A few days after my husband Paul was diagnosed with stage IV lung cancer, we were lying in our bed at home, and Paul said, "It's going to be OK." And I remember answering back, "Yes. We just don't know what OK means yet."
Beberapa hari setelah suami saya Paul didiagnosis dengan kanker paru stadium IV, kami sedang berbaring di kasur di rumah kami, dan Paul berkata, "Semua akan baik-baik saja." Dan saya ingat menjawabnya, "Ya. Kita hanya belum tahu apa arti baik-baik saja itu."
Paul and I had met as first-year medical students at Yale. He was smart and kind and super funny. He used to keep a gorilla suit in the trunk of his car, and he'd say, "It's for emergencies only."
Paul dan saya bertemu sebagai mahasiswa kedokteran tahun pertama di Yale. Dia pintar dan baik dan sangat lucu. Dia biasa menyimpan sebuah kostum gorila di dalam bagasi mobilnya, dan dia berkata, "untuk keadaan darurat saja."
(Laughter)
(Tertawa)
I fell in love with Paul as I watched the care he took with his patients. He stayed late talking with them, seeking to understand the experience of illness and not just its technicalities. He later told me he fell in love with me when he saw me cry over an EKG of a heart that had ceased beating. We didn't know it yet, but even in the heady days of young love, we were learning how to approach suffering together.
Saya jatuh cinta dengan Paul saat saya melihat cara dia merawat pasiennya. Dia tinggal sampai larut untuk berbicara dengan mereka, berusaha untuk memahami pengalaman menjadi sakit dan tidak hanya teknisnya saja. Dia kemudian memberitahu saya bahwa ia jatuh cinta pada saya ketika dia melihat saya menangis karena sebuah EKG jantung yang berhenti berdetak. Kami masih belum tahu hal itu, namun bahkan dalam hari-hari cinta muda yang memabukkan, kami belajar bagaimana cara mengatasi penderitaan bersama-sama.
We got married and became doctors. I was working as an internist and Paul was finishing his training as a neurosurgeon when he started to lose weight. He developed excruciating back pain and a cough that wouldn't go away. And when he was admitted to the hospital, a CT scan revealed tumors in Paul's lungs and in his bones. We had both cared for patients with devastating diagnoses; now it was our turn.
Kami menikah dan menjadi dokter. Saya bekerja sebagai seorang internis dan Paul tengah menyelesaikan pelatihannya sebagai seorang bedah syaraf ketika dia mulai kehilangan berat badan. Dia mengalami sakit punggung yang menyiksa dan batuk yang tidak kunjung pergi. Dan ketika dia masuk rumah sakit, hasil CT scan menunjukkan tumor pada paru-paru Paul dan tulang-tulangnya. Kami berdua telah merawat pasien-pasien dengan diagnosis mematikan; sekarang giliran kami.
We lived with Paul's illness for 22 months. He wrote a memoir about facing mortality. I gave birth to our daughter Cady, and we loved her and each other. We learned directly how to struggle through really tough medical decisions. The day we took Paul into the hospital for the last time was the most difficult day of my life. When he turned to me at the end and said, "I'm ready," I knew that wasn't just a brave decision. It was the right one. Paul didn't want a ventilator and CPR. In that moment, the most important thing to Paul was to hold our baby daughter. Nine hours later, Paul died.
Kami hidup bersama penyakit Paul selama 22 bulan. Dia menulis sebuah memoir tentang menghadapi kematian. Saya melahirkan anak perempuan kami Cady, dan kami mencintainya dan satu sama lain. Kami belajar langsung perjuangan melalui keputusan medis yang sangat sulit. Hari di mana kami mengantar Paul ke rumah sakit untuk terakhir kalinya adalah hari tersulit dalam hidup saya. Ketika dia melihat saya di akhir dan berkata, "Saya siap," saya tahu hal itu bukan hanya keputusan berani. Itu adalah keputusan yang benar. Paul tidak ingin sebuah ventilator dan CPR. Dalam momen itu, hal terpenting bagi Paul adalah untuk memegang bayi perempuan kami. Sembilan jam kemudian, Paul meninggal.
I've always thought of myself as a caregiver -- most physicians do -- and taking care of Paul deepened what that meant. Watching him reshape his identity during his illness, learning to witness and accept his pain, talking together through his choices -- those experiences taught me that resilience does not mean bouncing back to where you were before, or pretending that the hard stuff isn't hard. It is so hard. It's painful, messy stuff. But it's the stuff. And I learned that when we approach it together, we get to decide what success looks like.
Saya selalu menganggap diri saya seorang pengasuh -- hampir semua dokter begitu -- dan merawat Paul memperdalam apa arti itu. Melihat dia membentuk kembali identitasnya selama dia sakit, belajar menyaksikan dan menerima sakitnya, berdiskusi bersama melalui keputusannya -- pengalaman itu mengajarkan saya bahwa ketahanan bukan berarti lompat kembali ke tempat Anda sebelumnya, atau menganggap sesuatu yang sulit tidaklah sulit. Itu sangatlah sulit. Itu sangat menyakitkan, sesuatu yang kacau. Namun itulah adanya. Dan saya belajar bahwa ketika kami menghadapinya bersama, kami memutuskan seperti apa kesuksesan itu.
One of the first things Paul said to me after his diagnosis was, "I want you to get remarried." And I was like, whoa, I guess we get to say anything out loud.
Satu dari hal-hal pertama yang Paul katakan kepada saya setelah diagnosis, "Saya mau kamu menikah lagi." Dan saya seperti, wow, kurasa kita bisa mengatakan apapun dengan lantang.
(Laughter)
(Tertawa)
It was so shocking and heartbreaking ... and generous, and really comforting because it was so starkly honest, and that honesty turned out to be exactly what we needed. Early in Paul's illness, we agreed we would just keep saying things out loud. Tasks like making a will, or completing our advance directives -- tasks that I had always avoided -- were not as daunting as they once seemed. I realized that completing an advance directive is an act of love -- like a wedding vow. A pact to take care of someone, codifying the promise that til death do us part, I will be there. If needed, I will speak for you. I will honor your wishes. That paperwork became a tangible part of our love story.
Itu sangat mengejutkan dan menyayat hati ... dan murah hati, dan sangat menenangkan karena itu sangatlah jujur, dan kejujuran itu ternyata menjadi persis apa yang kita butuhkan. Awal-awal sakit Paul, kami setuju kami akan terus mengatakan apapun dengan lantang. Tugas seperti membuat surat wasiat, atau menyelesaikan arahan medis lanjut -- tugas-tugas yang selalu saya hindari -- ternyata tidak menakutkan seperti yang dikira. Saya sadar bahwa menyelesaikan surat wasiat adalah sebuah tindakan cinta -- seperti sebuah sumpah pernikahan. Sebuah pakta untuk menjaga orang lain, menyusun janji bahwa sampai kematian memisahkan kita, saya akan selalu ada. Jika dibutuhkan, saya akan berbicara untukmu. Saya akan menghormati keputusanmu. Dokumen itu menjadi sebuah bagian nyata dari kisah cinta kami.
As physicians, Paul and I were in a good position to understand and even accept his diagnosis. We weren't angry about it, luckily, because we'd seen so many patients in devastating situations, and we knew that death is a part of life. But it's one thing to know that; it was a very different experience to actually live with the sadness and uncertainty of a serious illness. Huge strides are being made against lung cancer, but we knew that Paul likely had months to a few years left to live.
Sebagai dokter, Paul dan saya ada dalam posisi yang bagus untuk mengerti dan bahkan menerima diagnosisnya. Kami tidak marah tentang hal itu, untungnya, karena kami telah melihat banyak pasien dalam situasi menyulitkan itu, dan kami tahu bahwa kematian adalah bagian dari hidup. Namun satu hal yang diketahui bahwa; itu adalah pengalaman yang sangat berbada untuk benar-benar hidup dalam kesedihan dan ketidakpastian dari penyakit serius. Langkah besar sedang dilakukan untuk melawan kanker paru-paru, namun kami tahu Paul hanya punya sisa beberapa bulan hingga tahun untuk hidup.
During that time, Paul wrote about his transition from doctor to patient. He talked about feeling like he was suddenly at a crossroads, and how he would have thought he'd be able to see the path, that because he treated so many patients, maybe he could follow in their footsteps. But he was totally disoriented. Rather than a path, Paul wrote, "I saw instead only a harsh, vacant, gleaming white desert. As if a sandstorm had erased all familiarity. I had to face my mortality and try to understand what made my life worth living, and I needed my oncologist's help to do so."
Selama waktu itu, Paul menulis tentang transisinya dari dokter menjadi pasien. Dia berbicara tentang merasa seperti tiba-tiba ada di persimpangan, dan bagaimana dia sempat berpikir dia akan bisa melihat jalan, bahwa karena dia telah menolong banyak pasien, mungkin dia dapat mengikuti jejak mereka. Namun dia sangat kebingungan. Bukannya sebuah jalan, Paul menulis, "Saya justru melihat hanya sebuah gurun putih yang bersinar, hampa, dan kasar. Seolah sebuah badai pasir telah menghapus semua keakraban. Saya harus menghadapi kematian saya dan mencoba untuk memahami apa yang membuat hidup saya layak dijalani, dan saya butuh pertolongan dokter onkologis saya untuk melakukan hal itu."
The clinicians taking care of Paul gave me an even deeper appreciation for my colleagues in health care. We have a tough job. We're responsible for helping patients have clarity around their prognoses and their treatment options, and that's never easy, but it's especially tough when you're dealing with potentially terminal illnesses like cancer. Some people don't want to know how long they have left, others do. Either way, we never have those answers. Sometimes we substitute hope by emphasizing the best-case scenario. In a survey of physicians, 55 percent said they painted a rosier picture than their honest opinion when describing a patient's prognosis. It's an instinct born out of kindness. But researchers have found that when people better understand the possible outcomes of an illness, they have less anxiety, greater ability to plan and less trauma for their families.
Dokter-dokter yang merawat Paul memberi saya apresiasi yang lebih dalam untuk kolega saya di layanan kesehatan. Kami punya sebuah pekerjaan yang sulit. Kami bertanggung jawab menolong pasien untuk memiliki kejelasan tentang prognosis dan pilihan-pilihan pengobatan mereka, dan itu tidak pernah mudah, namun itu sangatlah sulit ketika Anda tengah menghadapi penyakit berpotensi fatal seperti kanker. Beberapa orang tidak mau tahu berapa sisa waktu mereka, beberapa orang ada yang mau. Bagaimanapun juga, kami tidak pernah punya jawaban itu. Terkadang kami mengganti harapan dengan menekankan skenario terbaik. Dalam sebuah survei pada dokter, 55 persen mengatakan mereka melukiskan sebuah gambaran cerah daripada opini jujur mereka ketika menggambarkan prognosis seorang pasien. Itu adalah sebuah insting terlahir dari kebaikan. Namun peneliti menemukan bahwa ketika orang memahami lebih baik hasil yang mungkin terjadi dari penyakit, mereka mempunyai kecemasan lebih rendah, kemampuan lebih besar untuk membuat rencana dan trauma lebih rendah untuk keluarga.
Families can struggle with those conversations, but for us, we also found that information immensely helpful with big decisions. Most notably, whether to have a baby. Months to a few years meant Paul was not likely to see her grow up. But he had a good chance of being there for her birth and for the beginning of her life. I remember asking Paul if he thought having to say goodbye to a child would make dying even more painful. And his answer astounded me. He said, "Wouldn't it be great if it did?" And we did it. Not in order to spite cancer, but because we were learning that living fully means accepting suffering.
Keluarga bisa kesulitan dengan percakapan itu, namun kami juga menemukan informasi sangat membantu dalam keputusan penting. Terutama, apakah mempunyai anak atau tidak. Bulan sampai beberapa tahun berarti Paul tidak melihat ia tumbuh. Namun dia punya kesempatan bagus untuk berada di sana saat kelahirannya dan untuk awal kehidupannya. Saya ingat bertanya kepada Paul jika dia berpikir untuk mengucapkan selamat tinggal kepada seorang anak akan membuat proses kematian menjadi lebih menyakitkan. Dan jawabannya mengejutkan saya. Dia berkata, "Bukankah hal itu hebat jika dilakukan?" Dan kami melakukannya. Bukan karena kanker, namun karena kami belajar bahwa hidup sepenuhnya berarti menerima penderitaan.
Paul's oncologist tailored his chemo so he could continue working as a neurosurgeon, which initially we thought was totally impossible. When the cancer advanced and Paul shifted from surgery to writing, his palliative care doctor prescribed a stimulant medication so he could be more focused. They asked Paul about his priorities and his worries. They asked him what trade-offs he was willing to make. Those conversations are the best way to ensure that your health care matches your values. Paul joked that it's not like that "birds and bees" talk you have with your parents, where you all get it over with as quickly as possible, and then pretend it never happened. You revisit the conversation as things change. You keep saying things out loud. I'm forever grateful because Paul's clinicians felt that their job wasn't to try to give us answers they didn't have, or only to try to fix things for us, but to counsel Paul through painful choices ... when his body was failing but his will to live wasn't.
Dokter onkologis Paul menyesuaikan pengobatan kemo jadi dia dapat melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang bedah syaraf, yang awalnya kami anggap sangat mustahil dilakukan. Ketika kankernya berkembang dan Paul beralih dari ahli bedah ke menulis, dokter paliatifnya meresepkan sebuah obat stimulan jadi dia dapat lebih fokus. Dia menanyai Paul tentang prioritas dan kecemasannya. Dia menanyainya barter apa yang mau dia lakukan. Percakapan-percakapan itu adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa layanan kesehatan cocok dengan nilai-nilai diri Anda. Paul bercanda bahwa itu tidak sama dengan diskusi tentang seks bersama orang tua Anda, Anda berusaha mengakhirinya secepat mungkin, lalu menganggap hal itu tidak pernah terjadi. Anda meninjau kembali percakapan saat banyak hal berubah. Anda tetap mengatakan sesuatu dengan lantang. Saya selamanya bersyukur karena dokter-dokter yang merawat Paul merasa bahwa pekerjaan mereka bukan untuk memberi kami jawaban yang mereka tidak punya, atau hanya mencoba memperbaiki sesuatu untuk kami, namun memberi konseling Paul melalui pilihan-pilihan sulit ketika tubuhnya melemah namun semangat hidupnya kuat.
Later, after Paul died, I received a dozen bouquets of flowers, but I sent just one ... to Paul's oncologist, because she supported his goals and she helped him weigh his choices. She knew that living means more than just staying alive.
Kemudian, setelah Paul meninggal, Saya menerima lusinan karangan bunga, namun saya hanya mengirim satu ... untuk dokter onkologis Paul, karena dia mendukung tujuan Paul dan menolongnya menimbang pilihannya. Dia tahu bahwa hidup lebih dari sekadar hanya bertahan hidup.
A few weeks ago, a patient came into my clinic. A woman dealing with a serious chronic disease. And while we were talking about her life and her health care, she said, "I love my palliative care team. They taught me that it's OK to say 'no'." Yeah, I thought, of course it is. But many patients don't feel that. Compassion and Choices did a study where they asked people about their health care preferences. And a lot of people started their answers with the words "Well, if I had a choice ..." If I had a choice. And when I read that "if," I understood better why one in four people receives excessive or unwanted medical treatment, or watches a family member receive excessive or unwanted medical treatment. It's not because doctors don't get it. We do. We understand the real psychological consequences on patients and their families. The things is, we deal with them, too. Half of critical care nurses and a quarter of ICU doctors have considered quitting their jobs because of distress over feeling that for some of their patients, they've provided care that didn't fit with the person's values. But doctors can't make sure your wishes are respected until they know what they are.
Beberapa minggu yang lalu, seorang pasien datang ke klinik saya. Seorang wanita menghadapi sebuah penyakit kronis yang serius. Dan ketika kami membicarakan mengenai hidupnya dan layanan kesehatannya, dia berkata, "saya cinta tim layanan paliatif saya. Mereka mengajarkan saya bahwa tidak apa-apa untuk berkata 'tidak'." Ya, saya berpikir, tentu saja begitu. Namun banyak pasien tidak merasa begitu. "Compassion and Choices" melakukan penelitian di mana mereka menanyakan orang tentang preferensi layanan kesehatan mereka. Dan banyak orang mulai menjawab dengan kata "Coba aja saya punya pilihan ..." Jika saya punya sebuah pilihan. Dan ketika saya membaca kata "jika," Saya bisa lebih mengerti mengapa satu dari empat orang menerima layanan kesehatan yang berlebihan atau tidak diinginkan, atau melihat seorang anggota keluarga menerimanya. Itu bukan karena dokter tidak mengerti. Kami mengerti. Kami mengerti konsekuensi psikologis pada pasien atau keluarganya. Intinya, kami juga berurusan dengan mereka. Setengah dari perawat layanan kritis dan seperempat dokter ICU berpikir berhenti bekerja karena tekanan perasaan akibat beberapa dari pasien, yang mereka rawat yang tidak cocok dengan nilai-nilai diri pasien. Namun dokter tidak bisa memastikan keinginan Anda akan dihormati sampai mereka tahu apa itu.
Would you want to be on life support if it offered any chance of longer life? Are you most worried about the quality of that time, rather than quantity? Both of those choices are thoughtful and brave, but for all of us, it's our choice. That's true at the end of life and for medical care throughout our lives. If you're pregnant, do you want genetic screening? Is a knee replacement right or not? Do you want to do dialysis in a clinic or at home? The answer is: it depends. What medical care will help you live the way you want to? I hope you remember that question the next time you face a decision in your health care. Remember that you always have a choice, and it is OK to say no to a treatment that's not right for you.
Apakah Anda mau menerima alat bantu hidup jika mungkin bisa menambah waktu hidup? Apakah Anda mengkhawatirkan kualitas waktu hidup itu daripada kuantitasnya? Kedua pilihan itu bijaksana dan berani, tapi untuk kita semua, itulah pilihan kita. Itu hal benar di saat akhir hidup dan untuk layanan kesehatan selama kehidupan kita. Jika Anda hamil, apakah Anda mau menerima skrining genetik? Apakah operasi penggantian lutut benar atau tidak? Apakah Anda mau melakukan dialisis di klinik atau di rumah? Jawabannya adalah: tergantung. Pelayanan medis seperti apa yang akan menolong Anda hidup seperti yang Anda mau? Saya harap Anda ingat pertanyaan itu di saat Anda menghadapi keputusan dalam pelayanan kesehatan Anda. Ingatlah bahwa Anda selalu punya pilihan, dan tidak apa-apa untuk berkata tidak pada pengobatan yang tidak tepat bagi Anda.
There's a poem by W.S. Merwin -- it's just two sentences long -- that captures how I feel now. "Your absence has gone through me like thread through a needle. Everything I do is stitched with its color." For me that poem evokes my love for Paul, and a new fortitude that came from loving and losing him.
Ada sebuah puisi dari W.S. Merwin -- puisi ini hanya dua kalimat -- yang menangkap perasaan saya sekarang. "Ketidakhadiranmu telah pergi melewatiku seperti benang yang melewati jarum. Semua yang kulakukan dijahit dengan warnanya." Bagi saya puisi itu membangkitkan cinta saya untuk Paul, dan sebuah ketabahan hati yang baru yang datang dari mencintai dan kehilangan dia.
When Paul said, "It's going to be OK," that didn't mean that we could cure his illness. Instead, we learned to accept both joy and sadness at the same time; to uncover beauty and purpose both despite and because we are all born and we all die. And for all the sadness and sleepless nights, it turns out there is joy. I leave flowers on Paul's grave and watch our two-year-old run around on the grass. I build bonfires on the beach and watch the sunset with our friends. Exercise and mindfulness meditation have helped a lot. And someday, I hope I do get remarried.
Ketika Paul berkata, "Semua akan baik-baik saja," itu tidak berarti bahwa kami bisa menyembuhkan penyakitnya. Justru, kami belajar menerima suka dan duka pada waktu yang bersamaan; untuk mengungkap keindahan dan tujuan keduanya dan karena kita semua lahir dan semua meninggal. Dan dalam semua kesedihan dan malam tanpa tidur, ternyata ada suka cita. Saya meninggalkan bunga di makam Paul dan melihat putri berumur dua tahun kami berlari di rumput. Saya membuat api unggun di pantai, melihat matahari terbenam bersama teman kami. Olahraga dan meditasi mindfulness telah sangat membantu saya. Dan suatu hari, Saya berharap bisa menikah lagi.
Most importantly, I get to watch our daughter grow. I've thought a lot about what I'm going to say to her when she's older. "Cady, engaging in the full range of experience -- living and dying, love and loss -- is what we get to do. Being human doesn't happen despite suffering. It happens within it. When we approach suffering together, when we choose not to hide from it, our lives don't diminish, they expand."
Yang terpenting, saya bisa melihat putri kami tumbuh. Saya telah banyak berpikir tentang apa yang akan saya katakan kepadanya ketika dia besar nanti. "Cady, terlibat dalam berbagai pengalaman -- hidup dan mati, cinta dan kehilangan -- adalah sesuatu yang harus dilakukan. Menjadi manusia tidak akan terjadi tanpa derita Itu terjadi bersamanya. Ketika kita menghadapi penderitaan bersama ketika kita memilih untuk tidak sembunyi, hidup kita tidaklah mengecil, mereka mengembang."
I've learned that cancer isn't always a battle. Or if it is, maybe it's a fight for something different than we thought. Our job isn't to fight fate, but to help each other through. Not as soldiers but as shepherds. That's how we make it OK, even when it's not. By saying it out loud, by helping each other through ... and a gorilla suit never hurts, either.
Saya belajar bahwa kanker bukanlah selalu sebuah pertarungan. Atau jika memang demikian, mungkin itu adalah pertarungan untuk sesuatu yang berbeda dari yang kami kira. Pekerjaan kami bukan untuk melawan takdir, namun untuk menolong satu sama lain melewatinya. Bukan sebagai seorang prajurit namun sebagai seorang gembala. Begitulah cara kita membuatnya baik-baik saja, bahkan di saat tidak demikian. Dengan mengatakannya dengan lantang, dengan menolong satu sama lain melewatinya ... dan sebuah kostum gorila tidak pernah melukai.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)