[This talk contains mature language Viewer discretion is advised]
Pembicaraan ini mengandung bahasa dewasa. Kebijaksanaan pemirsa disarankan.
If we traveled back to the year 800 BC, in Greece, we would see that merchants whose businesses failed were forced to sit in the marketplace with a basket over their heads. In premodern Italy, failed business owners, who had outstanding debts, were taken totally naked to the public square where they had to bang their butts against a special stone while a crowd jeered at them. In the 17th century in France, failed business owners were taken to the center of the market, where the beginning of their bankruptcy was publicly announced. And in order to avoid immediate imprisonment, they had to wear a green bonnet so that everyone knew they were a failure. Of course, these are extreme examples. But it is important to remember that when we excessively punish those who fail, we stifle innovation and business creation, the engines of economic growth in any country.
Bila kita kembali ke tahun 800 SM, di Yunani, kita akan melihat pedagang yang usahanya gagal dipaksa duduk di pasar dengan keranjang menutupi kepala mereka. Di era pramodern Italia, pengusaha yang gagal, yang memiliki utang tak terbayar, akan dibawa ke alun-alun dalam keadaan telanjang bulat dan mereka harus menghantamkan bokong mereka ke sebuah batu khusus sambil dicemooh orang-orang yang menonton mereka. Pada abad ke-17 di Perancis, pengusaha yang gagal akan dibawa ke pusat pasar, untuk mengumumkan awal kebangkrutan mereka. Dan untuk menghindari penahanan di penjara saat itu juga, mereka harus memakai topi hijau agar semua orang tahu kalau mereka gagal. Semua itu memang contoh ekstrem. Tapi penting untuk diingat bahwa saat kita menghukum kegagalan secara berlebihan, kita menghambat inovasi dan kreasi bisnis yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di negara manapun.
Time has passed, and today we don't publicly humiliate failed entrepreneurs. And they don't broadcast their failures on social media. In fact, I think that all of us can relate with the pain of failure. But we don't share the details of those experiences. And I totally get it, my friends, I have also been there.
Waktu terus berjalan dan kita tidak lagi mempermalukan pengusaha yang gagal. Mereka pun tidak mempublikasikan kegagalan mereka di media sosial. Bahkan saya yakin kita semua dapat memahami sakitnya kegagalan. Tapi kita enggan berbagi pengalaman kegagalan itu. Saya mengerti karena saya pun pernah mengalaminya.
I had a business that failed and sharing that story was incredibly hard. In fact, it required seven years, a good dose of vulnerability and the company of my friends. This is my failure story.
Saya pernah gagal dalam bisnis. Berbagi cerita kegagalan itu benar-benar sulit. Untuk melakukan itu, saya butuh waktu tujuh tahun, rasa rentan yang cukup, dan kehadiran teman-teman saya. Inilah cerita kegagalan saya.
When I was in college, studying business, I met a group of indigenous women. They lived in a poor rural community in the state of Puebla, in central Mexico. They made beautiful handmade products. And when I met them and I saw their work, I decided I wanted to help.
Saat saya kuliah di bidang bisnis, saya bertemu sekelompok wanita pribumi. Mereka tinggal di daerah miskin di Puebla, salah satu negara bagian di Meksiko. Mereka membuat produk kerajinan tangan yang indah. Saat saya bertemu mereka dan melihat hasil kerja mereka, saya memutuskan untuk membantu mereka.
With some friends, I cofounded a social enterprise with the mission to help the women create an income stream and improve their quality of life. We did everything by the book, as we had learned in business school. We got investors, we spent a lot of time building the business and training the women. But soon we realized we were novices. The handmade products were not selling, and the financial plan we had made was totally unrealistic. In fact, we worked for years without a salary, hoping that a miracle would happen, that magically a great buyer would arrive and she would make the business profitable. But that miracle never happened.
Dengan beberapa teman, saya mendirikan usaha sosial untuk membantu wanita-wanita itu mendapatkan penghasilan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Kami lakukan semuanya berdasarkan teori yang kami pelajari di sekolah bisnis. Kami mendapatkan investor, kami habiskan waktu kami untuk membangun bisnis dan melatih para wanita itu. Tapi tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa kami masih amatir. Produk kerajinan tangan yang dibuat tidak terjual sesuai rencana dan rencana keuangan yang kami buat benar-benar tidak realistis. Faktanya kami bekerja bertahun-tahun tanpa gaji, berharap datangnya sebuah keajaiban, yaitu seorang pembeli luar biasa akan datang dan bisnis kami pun dapat menghasilkan keuntungan Tapi keajaiban itu tidak pernah terjadi.
In the end, we had to close the business, and that broke my heart. I started everything to create a positive impact on the life of the artisans. And I felt that I have done the opposite. I felt so guilty that I decided to hide this failure from my conversations and my resume for years. I didn't know other failed entrepreneurs, and I thought I was the only loser in the world.
Pada akhirnya, bisnis itu harus kami tutup dan hal itu membuat saya sangat sedih. Saya memulai semuanya untuk membuat sesuatu yang positif pada kehidupan wanita-wanita pengrajin, tapi saya merasa melakukan hal sebaliknya. Saya merasa sangat bersalah dan memutuskan untuk menyembunyikan kegagalan ini dari obrolan dan resume saya selama bertahun-tahun. Saya tidak mengenal pengusaha lain yang juga gagal. Saya mengira saya satu-satunya pecundang di dunia ini.
One night, seven years later, I was out with some friends and we were talking about the life of the entrepreneur. And of course, the issue of failure came out. I decided to confess to my friends the story of my failed business. And they shared similar stories. In that moment, a thought became really clear in my mind: all of my friends were failures.
Pada suatu malam, tujuh tahun kemudian, saya sedang pergi bersama beberapa teman dan kami membicarakan kehidupan para pengusaha. Tentu saja isu kegagalan pun dibahas. Saya memutuskan untuk menceritakan tentang bisnis saya yang gagal. Mereka pun menceritakan hal serupa. Pada saat itu, sesuatu menjadi jelas dalam benak saya: semua teman-teman saya pun gagal.
(Laughter)
(Tertawa)
Being more serious, that night I realized that A: I wasn't the only loser in the world, and B: we all have hidden failures. Please tell me if that is not true. That night was like an exorcism for me. I realized that sharing your failures makes you stronger, not weaker. And being open to my vulnerability helped me connect with others in a deeper and more meaningful way and embrace life lessons I wouldn't have learned previously. As a consequence of this experience of sharing stories of businesses that didn't work, we decided to create a platform of events to help others share their failure stories. And we called it Fuckup Nights.
Selain itu, saya pun menyadari bahwa A: Saya bukan satu-satunya pecundang di dunia ini, dan B: kita semua memiliki cerita gagal yang kita sembunyikan. Silakan koreksi saya jika saya salah. Malam itu terasa seperti malam eksorsis. Saya sadar bahwa menceritakan kegagalan membuat kita lebih kuat, bukan lemah. Membuka diri pada kerentanan saya telah menghubungkan saya pada teman-teman dengan cara yang lebih dalam dan berarti dan membuat saya merangkul pelajaran hidup yang tidak saya temukan sebelumnya. Sebagai kelanjutan pengalaman itu, yaitu berbagi cerita tentang bisnis yang tidak berhasil, kami membuat platform pengelolaan acara untuk membantu orang lain berbagi cerita kegagalan mereka. Kami menyebutnya Fuckup Nights.
Years later, we also created a research center devoted to the story of failure and its implications on business, people and society and as we love cool names, we called it the Failure Institute. It has been surprising to see that when an entrepreneur stands on a stage and shares a story of failure, she can actually enjoy that experience. It doesn't have to be a moment of shame and embarrassment, as it used to be in the past. It is an opportunity to share lessons learned and build empathy. We have also discovered that when the members of a team share their failures, magic happens. Bonds grow stronger and collaboration becomes easier.
Beberapa tahun kemudian, kami juga mendirikan pusat riset khusus untuk meneliti kegagalan dan implikasinya terhadap bisnis, orang-orang, dan masyarakat, dan berhubung kami suka nama yang keren, kami menamainya Failure Institute. Hal yang mengejutkan adalah saat seorang pengusaha berdiri di panggung dan bercerita tentang kegagalan, ternyata dia dapat menikmatinya. Hal itu tidak harus menjadi momen yang memalukan seperti sebelumnya. Hal itu justru menjadi kesempatan berbagi pelajaran dan membangun empati. Kami juga menemukan bahwa saat seorang anggota tim berbagi kegagalan mereka, keajaiban terjadi. Ikatan menjadi lebih kuat dan kolaborasi menjadi lebih mudah.
Through our events and research projects, we have found some interesting facts. For instance, that men and women react in a different way after the failure of a business. The most common reaction among men is to start a new business within one year of failure, but in a different sector, while women decide to look for a job and postpone the creation of a new business. Our hypothesis is that this happens because women tend to suffer more from the impostor syndrome. We feel that we need something else to be a good entrepreneur. But I have seen that in many, many cases women have everything that's needed. We just need to take the step. And in the case of men, it is more common to see that they feel they have enough knowledge and just need to put it in practice in another place with better luck.
Lewat acara-acara dan penelitian kami, kami menemukan fakta-fakta yang menarik. Contohnya bahwa pria dan wanita memiliki reaksi yang berbeda saat bisnis mereka mengalami kegagalan. Reaksi paling umum dari kalangan pria adalah membuat bisnis baru dalam kurun waktu satu tahun, tapi dalam sektor yang berbeda, sementara para wanita memilih mencari kerja dan menunda untuk membuat bisnis baru. Hipotesis kami adalah semua itu terjadi karena 'sindrom penipu' memiliki pengaruh lebih besar terhadap wanita. Kita (wanita) merasa kita masih butuh hal lain untuk menjadi pengusaha sukses, tapi saya melihat di banyak kasus, wanita memiliki semua hal yang dibutuhkan. Kita hanya perlu mengambil langkah maju. Lalu dalam kasus para pria lebih umum terlihat bahwa para pria merasa punya cukup pengetahuan tentang bisnis dan hanya perlu melakukannya di tempat lain dengan keberuntungan yang lebih baik.
Another interesting finding has been that there are regional differences on how entrepreneurs cope with failure. For instance, the most common reaction after the failure of a business in the American continent is to go back to school. While in Europe, the most common reaction is to look for a therapist.
Temuan menarik lainnya adalah ada perbedaan regional terkait cara pengusaha menghadapi kegagalan. Contohnya reaksi paling umum pasca kegagalan bisnis di benua Amerika adalah kembali sekolah. Sementara di Eropa, reaksi paling umum adalah mencari terapis.
(Laughter)
(Tertawa)
We're not sure which is a better reaction after the failure of a business, but this is something we will study in the future. Another interesting finding has been the profound impact that public policy has on failed entrepreneurs. For instance, in my country, in Mexico, the regulatory environment is so hard, that closing a business can take you a lot of time and a lot of money.
Kami masih belum yakin reaksi mana yang lebih baik, tapi kami akan terus mempelajarinya di masa depan. Temuan menarik lainnya adalah betapa signifikannya dampak kebijakan publik pada pengusaha yang pernah gagal. Contohnya di negara asal saya, Meksiko, peraturan yang berlaku begitu berat sehingga menutup bisnis dapat membuat kita menghabiskan banyak waktu dan uang.
Let's begin with the money. In the best possible scenario, meaning you don't have problems with partners, providers, clients, employees, in the best possible scenario, officially closing a business will cost you 2,000 dollars. Which is a lot of money in Mexico. Someone who earns the minimum wage would have to work for 15 months to save this amount. Now, let's talk about the time. As you may know, in most of the developing world, the average life expectancy of a business is two years. In Mexico, the process of officially closing a business takes two years. What happens when the average life expectancy of a business is so similar to the time it will take you to close it if it doesn't work? Of course, this discourages business creation and promotes informal economy.
Kita mulai dengan uang. Dalam skenario terbaik, yaitu kita tidak bermasalah dengan rekan bisnis, pemasok, klien, pegawai, dalam skenario terbaik, menutup bisnis secara resmi membutuhkan biaya 2.000 dolar. Jumlah uang yang sangat banyak di Meksiko. Seseorang dengan gaji setara upah minimum butuh 15 bulan bekerja untuk jumlah sebanyak itu. Sekarang kita bicara tentang waktu. Seperti kita ketahui, di mayoritas negara berkembang, harapan hidup rata-rata sebuah bisnis adalah 2 tahun. Di Meksiko, proses untuk secara resmi menutup bisnis butuh 2 tahun. Apa yang terjadi saat harapan hidup rata-rata sebuah bisnis sangat mirip dengan waktu yang dibutuhkan untuk menutupnya bila tidak berhasil? Tentu saja hal ini mengurangi potensi pembuatan bisnis baru dan mendorong ekonomi informal.
In fact, econometric research has proved that if the process of declaring bankruptcy takes less time and less money, more new firms will enter the market. For this reason, in 2017, we proposed a series of public policy recommendations for the procedure of officially closing businesses in Mexico. For a whole year, we worked with entrepreneurs from all over the country and with Congress. And the good news is that we managed to help change the law. Yay!
Bahkan penelitian di bidang ekonometri membuktikan bila proses untuk menyatakan bangkrut dapat dilakukan dengan cepat dan murah, akan ada lebih banyak bisnis baru yang masuk ke pasar. Atas dasar ini, di tahun 2017, kami mengusulkan serangkaian rekomendasi untuk kebijakan publik terkait prosedur penutupan bisnis secara resmi di Meksiko. Selama setahun penuh kami bekerja dengan para pengusaha dari seluruh penjuru negeri dan dengan Kongres. Berita baiknya adalah kami berhasil membantu mengubah peraturan yang ada. Yay!
(Applause)
(Tepuk tangan)
The idea is that when the new regulation comes into force, entrepreneurs will be able to close their businesses in an online procedure that is faster and inexpensive.
Idenya adalah saat peraturan yang baru diberlakukan, para pengusaha dapat menutup bisnisnya lewat mekanisme online yang lebih cepat dan lebih murah.
(Sighs)
(Menghela nafas)
On the night we invented Fuckup Nights, we never imagined that the movement would grow this big. We are in 80 countries now. In that moment, our only intention was to put the topic of failure on the table. To help our friends see that failure is something we must talk about. It is not a cause of humiliation, as it used to be in the past, or a cause of celebration, as some people say. In fact, I want to confess something. Every time I listen to Silicon Valley types or students bragging about failing fast and often like it's no big deal, I cringe. Because I think that there is a dark side on the mantra "fail fast."
Saat kami membuat Fuckup Nights, kami tidak pernah membayangkan pertumbuhan sebesar ini. Saat ini kami ada di 80 negara. Pada saat itu, niat kami hanya mengangkat isu kegagalan bisnis secara gamblang. Untuk menyadarkan orang-orang bahwa kegagalan itu layak dibicarakan. Kegagalan bukanlah aib, seperti halnya di masa lalu, atau alasan untuk perayaan, seperti kata orang-orang. Bahkan saya ingin membuat satu pengakuan. Setiap kali saya dengar orang-orang tipe Sillicon Valley atau mahasiswa bangga karena cepat dan sering gagal seperti itu bukan masalah, saya meringis. Saya rasa ada sisi gelap dalam mantra "fail fast" (gagal dengan cepat).
Of course, failing fast is a great way to accelerate learning and avoid wasting time. But I fear that when we present rapid failure to entrepreneurs as their one and only option, we might be promoting laziness. We might be promoting that entrepreneurs give up too easily. I also fear that the culture of rapid failure could be minimizing the devastating consequences of the failure of a business. For instance, when my social enterprise died, the worst part was that I had to go back to the indigenous community and tell the women that the business had failed and it was my fault. For some people this could be seen like a great learning opportunity for me, but the truth is that the closure of this business represented much more than that. It meant that the women would stop receiving an income that they really needed.
Gagal dengan cepat memang merupakan cara bagus untuk mempercepat pembelajaran dan tidak buang-buang waktu. Tapi saya khawatir kalau kita sajikan gagal dengan cepat sebagai satu-satunya pilihan bagi para pengusaha, kita justru mempromosikan kemalasan. Kita justru membuat para pengusaha menjadi lebih cepat menyerah. Saya juga khawatir kalau budaya gagal dengan cepat dapat membuat kerdil konsekuensi yang menghancurkan dari kegagalan bisnis. Contohnya saat bisnis sosial saya ditutup, bagian terburuknya adalah saat saya harus kembali ke komunitas pribumi dan memberi kabar bahwa bisnisnya telah gagal dan semua itu salah saya. Sebagian orang dapat melihat ini sebagai kesempatan belajar yang luar biasa, tapi sebenarnya menutup bisnis mewakili lebih banyak hal. Hal itu juga berarti para pengrajin akan berhenti mendapat penghasilan yang benar-benar mereka butuhkan.
For this reason, I want to propose something. I want to propose that just as we put aside the idea of publicly humiliating failed entrepreneurs, we must put aside the idea that failing fast is always the best. And I want to propose a new mantra: fail mindfully. We must remember that businesses are made of people, businesses are not entities that appear and disappear magically without consequences. When a firm dies, some people will lose their jobs. And others will lose their money. And in the case of social and green enterprises, the death of this business can have a negative impact on the ecosystems or communities they were trying to serve.
Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan sesuatu. Saya ingin mengusulkan sebagaimana kita kesampingkan ide untuk mempermalukan pengusaha yang gagal di depan publik, kita kesampingkan pula ide bahwa gagal cepat adalah cara terbaik. Dan saya ingin mengusulkan mantra baru: gagal dengan sadar. Kita harus ingat bahwa bisnis melibatkan orang-orang, bisnis bukan sekadar entitas yang datang dan pergi secara ajaib tanpa konsekuensi. Saat sebuah bisnis mati, ada orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Ada orang-orang yang kehilangan uang. Dan bagi bisnis yang bergerak di bidang sosial dan lingkungan hidup, kematiannya dapat memberikan dampak negatif terhadap ekosistem dan komunitas yang ingin dilayaninya.
But what does it mean to fail mindfully? It means being aware of the impact, of the consequences of the failure of that business. Being aware of the lessons learned. And being aware of the responsibility to share those learnings with the world.
Tapi apa sebenarnya arti gagal dengan sadar? Hal itu berarti sadar akan dampak dan akibat dari kegagalan bisnis tersebut. Sadar akan pelajaran yang dapat diperoleh dan sadar akan tanggung jawab untuk berbagi pelajaran itu ke seluruh dunia.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)