If you do it right, it should sound like: TICK-tat, TICK-tat, TICK-tat, TICK-tat, TICK-tat, TICK-tat. If you do it wrong, it sounds like: Tick-TAT, tick-TAT, tick-TAT.
Kalau dilakukan dengan benar, bunyinya seperti ini: TIK-tat, TIK-tat, TIK-tat... Kalau salah, bunyinya seperti ini: Tik-TAT, tik-TAT, tik-TAT.
[Small thing. Big idea.]
[Hal kecil. Ide besar.]
[Kyra Gaunt on the Jump Rope]
[Kyra Gaunt Bicara Soal Lompat Tali]
The jump rope is such a simple object. It can be made out of rope, a clothesline, twine. It has, like, a twirl on it. (Laughs) I'm not sure how to describe that. What's important is that it has a certain weight, and that they have that kind of whip sound.
Lompat tali adalah benda sederhana. Bisa terbuat dari tambang, tali jemuran, benang ikat. Ada semacam puntirannya. (Tertawa) Entah bagaimana menggambarkannya. Yang terpenting, bobotnya pas, dan menciptakan bunyi lecutan.
It's not clear what the origin of the jump rope is. There's some evidence that it began in ancient Egypt, Phoenicia, and then it most likely traveled to North America with Dutch settlers. The rope became a big thing when women's clothes became more fitted and the pantaloon came into being. And so, girls were able to jump rope because their skirts wouldn't catch the ropes. Governesses used it to train their wards to jump rope. Even formerly enslaved African children in the antebellum South jumped rope, too.
Asal-usul lompat tali tidak jelas. Ada beberapa bukti kalau lompat tali bermula dari bangsa Fenisia di Mesir, lalu kemungkinan besar dibawa ke Amerika Utara oleh pendatang Belanda. Lompat tali menjadi populer ketika pakaian wanita semakin pas di badan dan pantalon mulai dikenakan. Maka, perempuan juga bisa bermain lompat tali, karena rok mereka tidak akan terbelit tali. Para pengasuh menggunakannya untuk melatih anak asuhnya lompat tali. Bahkan dulu, anak-anak para budak Afrika di Antebellum selatan juga bermain lompat tali.
In the 1950s, in Harlem, Bronx, Brooklyn, Queens, you could see on the sidewalk, lots of girls playing with ropes. Sometimes they would take two ropes and turn them as a single rope together, but you could separate them and turn them in like an eggbeater on each other. The skipping rope was like a steady timeline -- tick, tick, tick, tick -- upon which you can add rhymes and rhythms and chants. Those ropes created a space where we were able to contribute to something that was far greater than the neighborhood.
Pada tahun 1950-an, di Harlem, Bronx, Brooklyn, Queens, Anda bisa lihat anak-anak perempuan bermain lompat tali di trotoar. Terkadang mereka memakai dua buah tali dan menggabungkannya jadi satu, tetapi tali itu bisa dipisah dan dijadikan dua gelombang. Lompat tali mirip seperti linimasa yang stabil -- tik, tik, tik, tik -- Lalu bisa kita tambahkan lirik, irama, dan nyanyian. Tali itu menciptakan ruang untuk kita bisa berkontribusi terhadap sesuatu yang jauh lebih besar dari lingkungannya.
Double Dutch jump rope remains a powerful symbol of culture and identity for black women. Back from the 1950s to the 1970s, girls weren't supposed to play sports. Boys played baseball, basketball and football, and girls weren't allowed. A lot has changed, but in that era, girls would rule the playground. They'd make sure that boys weren't a part of that. It's their space, it's a girl-power space. It's where they get to shine.
Lompat tali <i>Double Dutch</i> tetap menjadi simbol kuat dari budaya dan identitas bagi wanita kulit hitam. Dari tahun 1950-an sampai 1970-an, perempuan tidak boleh bermain olahraga. Anak lelaki bermain bisbol, bola basket, dan bola kaki, dan perempuan tidak boleh. Sudah banyak yang berubah, tetapi pada masa itu, anak perempuan menguasai taman bermain. Mereka memastikan anak laki-laki tak bisa bergabung. Itu ruang mereka, ruang bagi kekuatan perempuan. Di sanalah mereka bisa berjaya.
But I also think it's for boys, because boys overheard those, which is why, I think, so many hip-hop artists sampled from things that they heard in black girls' game songs.
Namun itu juga bagi anak lelaki, karena mereka mendengarnya, itulah mengapa, menurut saya, banyak artis hip-hop mencomot dari nyanyian yang mereka dengar saat anak perempuan bermain.
(Chanting) ... cold, thick shake, act like you know how to flip, Filet-O-Fish, Quarter Pounder, french fries, ice cold, thick shake, act like you know how to jump.
(Bernyanyi) ...susu kocok dingin, pura-pura kau bisa melenting. Burger ikan, burger besar, kentang goreng, susu kocok dingin, pura-pura kau bisa melompat.
Why "Country Grammar" by Nelly became a Grammy Award-winning single was because people already knew "We're going down down baby your street in a Range Rover ... " That's the beginning of "Down down, baby, down down the roller coaster, sweet, sweet baby, I'll never let you go." All people who grew up in any black urban community would know that music. And so, it was a ready-made hit.
Single “Country Grammar” dari Nelly bisa memenangkan Grammy Award karena orang-orang sudah kenal “Kita akan meluncur, sayang, di dekat rumahmu naik Range Rover...” Itu awal dari lagu “Mari meluncur, sayang, naik halilintar, kekasih hatiku, aku takkan melepaskanmu." Semua orang yang tumbuh di komunitas kulit hitam perkotaan pasti tahu lagu itu. Maka, lagu itu sudah tenar sejak awal.
The Double Dutch rope playing helped maintain these songs and helped maintain the chants and the gestures that go along with it, which is very natural to what I call "kinetic orality" -- word of mouth and word of body. It's the thing that gets passed down over generations. In some ways, the rope is the thing that helps carry it. You need some object to carry memory through.
Permainan lompat tali <i>Double Dutch</i> membantu melestarikan lagu-lagu ini serta nyanyian dan gerak tubuh yang mengiringinya, dan ini sangat alami, saya menyebutnya “oralitas kinetik”, bahasa mulut dan tubuh. Inilah hal-hal yang diwariskan di setiap generasi. Bisa dibilang, tali itu adalah yang bantu membawanya. Kita butuh benda untuk mengabadikan memori.
So, a jump rope, you can use it for all different kinds of things. It crosses cultures. And I think it lasted because people need to move. And I think sometimes the simplest objects can make the most creative uses.
Jadi, lompat tali, bisa kita gunakan untuk berbagai hal. Lompat tali melintasi budaya. Saya rasa lompat tali bisa awet karena kita butuh bergerak dan kadang benda paling sederhana, bisa memiliki kegunaan paling kreatif.