So it's 1995, I'm in college, and a friend and I go on a road trip from Providence, Rhode Island to Portland, Oregon. And you know, we're young and unemployed, so we do the whole thing on back roads through state parks and national forests -- basically the longest route we can possibly take. And somewhere in the middle of South Dakota, I turn to my friend and I ask her a question that's been bothering me for 2,000 miles. "What's up with the Chinese character I keep seeing by the side of the road?" My friend looks at me totally blankly. There's actually a gentleman in the front row who's doing a perfect imitation of her look. (Laughter) And I'm like, "You know, all the signs we keep seeing with the Chinese character on them." She just stares at me for a few moments, and then she cracks up, because she figures out what I'm talking about. And what I'm talking about is this. (Laughter) Right, the famous Chinese character for picnic area.
Waktu itu tahun 1995, saya masih kuliah, dan saya beserta teman saya melakukan perjalanan dari Providence, di Rhode Island ke Portland, di Oregon. Dan Anda tahu, waktu itu kami masih muda dan tidak memiliki pekerjaan, jadi kami melakukannya melalui jalan-jalan kecil melalui taman-taman nasional dan hutan-hutan nasional -- pada dasarnya, kami mengambil rute terpanjang yang mungkin. Dan di suatu tempat di tengah Dakota Utara, saya menengok ke teman saya dan menanyakan satu pertanyaan yang cukup mengganggu saya sepanjang 2.000 mil "Apa arti karakter Bahasa Cina yang selalu saya lihat pada rambu di sisi jalan?" Teman saya melihat saya dengan tatapan kosong. Sebenarnya ada satu pria di barisan depan ini yang memiliki ekspresi yang sama seperti dia. (Tertawa) Dan saya tegaskan lagi, "kau tahu, semua rambu lalu lintas yang selalu kita lihat dengan karakter Bahasa Cina yang tertera di sana." Dia hanya menatap saya untuk beberapa saat, dan kemudian dia tertawa, karena dia tahu apa yang saya bicarakan. Dan yang saya bicarakan adalah ini (Tertawa) Benar, karakter Bahasa Cina yang terkenal untuk area piknik.
(Laughter)
(Tertawa)
I've spent the last five years of my life thinking about situations exactly like this -- why we sometimes misunderstand the signs around us, and how we behave when that happens, and what all of this can tell us about human nature. In other words, as you heard Chris say, I've spent the last five years thinking about being wrong. This might strike you as a strange career move, but it actually has one great advantage: no job competition. (Laughter) In fact, most of us do everything we can to avoid thinking about being wrong, or at least to avoid thinking about the possibility that we ourselves are wrong. We get it in the abstract. We all know everybody in this room makes mistakes. The human species, in general, is fallible -- okay fine.
Saya menghabiskan lima tahun terakhir ini untuk memikirkan situasi-situasi yang serupa seperti ini -- mengapa kita seringkali salah paham dengan tanda-tanda di sekitar kita dan bagaimana kita bersikap saat hal itu terjadi, serta bagaimana semua ini dapat memberikan informasi tentang sifat dasar manusia. Dengan kata lain, seperti apa yang telah telah Anda dengar dari Chris, saya telah menghabiskan lima tahun terakhir ini berpikir tentang melakukan kesalahan. Mungkin Anda berpikir bahwa ini adalah keputusan karir yang aneh, namun sebenarnya hal ini memiliki satu keuntungan besar: tidak ada persaingan kerja. (Tertawa) Kenyataannya, kebanyakan dari kita melakukan apapun yang kita bisa untuk menghindari berpikir tentang melakukan kesalahan atau paling tidak menghindari berpikir tentang kemungkinan kita melakukan kesalahan. Kita sudah memiliki gambaran umum mengenai hal ini. Kita semua tahu bahwa setiap orang di ruangan ini melakukan kesalahan. Semua manusia, secara umum, dapat melakukan kesalahan --- baiklah.
But when it comes down to me, right now, to all the beliefs I hold, here in the present tense, suddenly all of this abstract appreciation of fallibility goes out the window -- and I can't actually think of anything I'm wrong about. And the thing is, the present tense is where we live. We go to meetings in the present tense; we go on family vacations in the present tense; we go to the polls and vote in the present tense. So effectively, we all kind of wind up traveling through life, trapped in this little bubble of feeling very right about everything.
Namun menurut saya sekarang ini berdasarkan semua kepercayaan yang saya pegang, di sini dan pada saat ini secara tiba-tiba, semua apresiasi abstrak mengenai melakukan kesalahan dibuang melalui jendela -- dan saya tidak bisa berpikir mengenai segala kesalahan yang telah saya lakukan. Dan yang terpenting adalah, kita hidup pada saat ini. Kita pergi ke pertemuan-pertemuan pada saat ini; kita pergi berwisata bersama keluarga pada saat ini; kita memberikan suara dalam pemilihan umum pada saat ini; Jadi, secara efektif, kita seperti terjebak untuk berkelana melalui kehidupan, terperangkap dalam gelembung kecil dari perasaan selalu benar dalam segala hal.
I think this is a problem. I think it's a problem for each of us as individuals, in our personal and professional lives, and I think it's a problem for all of us collectively as a culture. So what I want to do today is, first of all, talk about why we get stuck inside this feeling of being right. And second, why it's such a problem. And finally, I want to convince you that it is possible to step outside of that feeling and that if you can do so, it is the single greatest moral, intellectual and creative leap you can make.
Saya rasa ini adalah suatu masalah Saya rasa ini masalah dari kita semua secara individual, dalam kehidupan pribadi dan profesional kita, dan saya rasa ini adalah masalah kita bersama sebagai suatu budaya. Jadi, apa yang ingin saya lakukan hari ini adalah, yang pertama, berbicara mengenai mengapa kita terperangkap dalam perasaan selalu benar ini. Dan yang kedua adalah mengapa itu menjadi suatu masalah. Dan pada akhirnya, saya ingin meyakinkan Anda bahwa sangat mungkin untuk melangkah keluar dari perasaan itu, dan jika Anda bisa melakukannya maka hal itu akan menjadi satu lompatan moral, intelektual dan kreatif terbesar yang bisa Anda lakukan.
So why do we get stuck in this feeling of being right? One reason, actually, has to do with a feeling of being wrong. So let me ask you guys something -- or actually, let me ask you guys something, because you're right here: How does it feel -- emotionally -- how does it feel to be wrong? Dreadful. Thumbs down. Embarrassing. Okay, wonderful, great. Dreadful, thumbs down, embarrassing -- thank you, these are great answers, but they're answers to a different question. You guys are answering the question: How does it feel to realize you're wrong? (Laughter) Realizing you're wrong can feel like all of that and a lot of other things, right? I mean it can be devastating, it can be revelatory, it can actually be quite funny, like my stupid Chinese character mistake. But just being wrong doesn't feel like anything.
Jadi, mengapa kita terperangkap dalam perasaan selalu benar ini? Salah satu alasan sebenarnya berkaitan dengan perasaan melakukan kesalahan. Jadi saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda -- atau sebenarnya, biarkan saya bertanya sesuatu, karena Anda ada di sini: Bagaimana rasanya -- secara emosional -- bagaimana rasanya saat melakukan kesalahan? Sangat buruk. Merasa ditolak. Memalukan. Baik, sangat bagus. Sangat buruk, merasa ditolak, memalukan -- terima kasih, ini adalah jawaban-jawaban yang sangat bagus, tapi itu adalah jawaban-jawaban untuk pertanyaan yang berbeda Anda menjawab pertanyaan: Bagaimana rasanya saat Anda menyadari bahwa Anda melakukan kesalahan? (Tertawa) Menyadari bahwa Anda melakukan kesalahan bisa terasa seperti itu, benar? Maksud saya, bisa saja itu terasa merusak atau menyingkap sesuatu, bahkan bisa juga menjadi hal yang cukup lucu, seperti kesalahan bodoh yang saya lakukan dengan karakter Bahasa Cina. Namun hanya dengan melakukan kesalahan Anda tidak akan merasakan apapun.
I'll give you an analogy. Do you remember that Loony Tunes cartoon where there's this pathetic coyote who's always chasing and never catching a roadrunner? In pretty much every episode of this cartoon, there's a moment where the coyote is chasing the roadrunner and the roadrunner runs off a cliff, which is fine -- he's a bird, he can fly. But the thing is, the coyote runs off the cliff right after him. And what's funny -- at least if you're six years old -- is that the coyote's totally fine too. He just keeps running -- right up until the moment that he looks down and realizes that he's in mid-air. That's when he falls. When we're wrong about something -- not when we realize it, but before that -- we're like that coyote after he's gone off the cliff and before he looks down. You know, we're already wrong, we're already in trouble, but we feel like we're on solid ground. So I should actually correct something I said a moment ago. It does feel like something to be wrong; it feels like being right.
Saya akan memberi sebuah perumpamaan. Apakah Anda ingat film kartun Looney Tunes di mana ada serigala yang menyedihkan ini, yang selalu mengejar dan tidak pernah menangkap roadrunner? Hampir pada setiap episode kartun ini, ada suatu kejadian di mana sang serigala mengejar roadrunner dan roadrunner berlari melewati tebing itu, di mana itu bukan masalah, karena dia adalah burung yang bisa terbang. Namun yang menarik adalah serigala ini juga berlari untuk mengejarnya. Dan lucunya -- paling tidak jika Anda sudah berumur 6 tahun -- adalah sang serigala itu merasa baik-baik saja. Dia tetap berlari -- sampai tepat suatu saat di mana dia melihat ke bawah dan menyadari bahwa dia tidak lagi berpijak di tanah. Dan saat itulah dia jatuh Saat kita melakukan suatu kesalahan -- bukan saat kita menyadarinya, namun sebelum itu -- kita seperti serigala itu sesaat setelah dia melewati tebing itu dan sebelum dia melihat ke bawah Anda tahu, kita sudah melakukan kesalahan kita sudah ada dalam masalah, namun kita merasa bahwa kita masih berdiri dan memijak tanah. Jadi sebaiknya saya memperbaiki apa yang telah saya katakan tadi bahwa tidak terasa ada sesuatu yang salah namun terasa seperti sesuatu yang benar.
(Laughter)
(Tertawa)
So this is one reason, a structural reason, why we get stuck inside this feeling of rightness. I call this error blindness. Most of the time, we don't have any kind of internal cue to let us know that we're wrong about something, until it's too late. But there's a second reason that we get stuck inside this feeling as well -- and this one is cultural. Think back for a moment to elementary school. You're sitting there in class, and your teacher is handing back quiz papers, and one of them looks like this. This is not mine, by the way. (Laughter) So there you are in grade school, and you know exactly what to think about the kid who got this paper. It's the dumb kid, the troublemaker, the one who never does his homework. So by the time you are nine years old, you've already learned, first of all, that people who get stuff wrong are lazy, irresponsible dimwits -- and second of all, that the way to succeed in life is to never make any mistakes.
Jadi ini adalah salah satu alasan, alasan yang mendasar, mengapa kita terjebak didalam perasaan selalu benar. Saya menyebut ini sebagai buta akan kesalahan. Seringkali, kita tidak memiliki petunjuk internal apapun yang memberi tahu bahwa kita melakukan suatu kesalahan sampai hal itu terlambat. Namun ada alasan kedua mengapa kita terperangkap dalam perasaan ini juga -- dan alasan ini terkait dengan budaya. Berpikirlah kembali pada saat kita ada di Sekolah Dasar. Anda duduk di dalam kelas, dan guru Anda membagikan kembali kertas ujian, dan salah satu dari kertas itu nampak seperti ini. Asal tahu saja, ini bukan milik saya. (Tertawa) Jadi Anda berada di sekolah dasar dan Anda tahu pasti tentang apa yang Anda pikirkan mengenai anak yang mendapatkan kertas ujian ini. Ini adalah anak yang bodoh, pembuat masalah, anak yang tidak pernah mengerjakan PRnya. Jadi, pada waktu Anda berusia 9 tahun Anda sudah belajar, bahwa yang pertama, orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang malas, seorang bodoh yang tidak bertanggung jawab --- dan yang kedua, cara untuk sukses dalam kehidupan adalah dengan tidak pernah melakukan kesalahan.
We learn these really bad lessons really well. And a lot of us -- and I suspect, especially a lot of us in this room -- deal with them by just becoming perfect little A students, perfectionists, over-achievers. Right, Mr. CFO, astrophysicist, ultra-marathoner? (Laughter) You're all CFO, astrophysicists, ultra-marathoners, it turns out. Okay, so fine. Except that then we freak out at the possibility that we've gotten something wrong. Because according to this, getting something wrong means there's something wrong with us. So we just insist that we're right, because it makes us feel smart and responsible and virtuous and safe.
Kita telah belajar mengenai pelajaran yang buruk ini dengan sangat baik. Dan banyak dari kita --- dan saya menduga, banyak dari kita di ruangan ini --- mengatasi hal itu dengan menjadi siswa sempurna yang selalu mendapatkan nilai A, perfeksionis, selalu ingin mencapai lebih. Benarkah, Tuan. Kepala pejabat keuangan, ahli-ahli astrofisika, atlet ultra-maraton? (Tertawa) Ternyata Anda adalah kepala pejabat keuangan, ahli astrofisika dan atlet ultra-maraton. Baiklah, kalau begitu. Kecuali bahwa kemudian kita ketakutan pada kemungkinan kita akan melakukan kesalahan. Karena berdasarkan hal ini melakukan kesalahan berarti ada yang salah dengan diri kita. Jadi kita berpura-pura merasa benar, karena hal itu membuat kita merasa pintar dan bertanggung jawab berbudi luhur dan aman.
So let me tell you a story. A couple of years ago, a woman comes into Beth Israel Deaconess Medical Center for a surgery. Beth Israel's in Boston. It's the teaching hospital for Harvard -- one of the best hospitals in the country. So this woman comes in and she's taken into the operating room. She's anesthetized, the surgeon does his thing -- stitches her back up, sends her out to the recovery room. Everything seems to have gone fine. And she wakes up, and she looks down at herself, and she says, "Why is the wrong side of my body in bandages?" Well the wrong side of her body is in bandages because the surgeon has performed a major operation on her left leg instead of her right one. When the vice president for health care quality at Beth Israel spoke about this incident, he said something very interesting. He said, "For whatever reason, the surgeon simply felt that he was on the correct side of the patient." (Laughter) The point of this story is that trusting too much in the feeling of being on the correct side of anything can be very dangerous.
Jadi ijinkan saya menceritakan sesuatu. Beberapa tahun yang lalu seorang wanita datang ke rumah sakit Beth Israel Deaconess untuk menjalani operasi. Beth Israel berada di Boston. Tempat ini merupakan rumah sakit praktek untuk Harvard -- dan merupakan salah satu rumah sakit terbaik di negara ini. Jadi, wanita ini datang dan dia dibawa ke ruang operasi Dia dibius, dan dokter bedah melakukan pekerjaannya -- menjahit lukanya kembali dan mengirimnya kembali ke ruang perawatan. Segala sesuatunya nampak berjalan dengan baik. Saat dia bangun dan melihat dirinya sendiri, dia berkata, "mengapa bagian tubuh saya yang salah, yang diperban?" Baiklah, bagian tubuhnya yang salah diperban karena sang dokter bedah melakukan operasi pada kaki kirinya, dan bukan pada kaki kanannya. Saat wakil presiden untuk perawatan kesehatan di Beth Israel berbicara mengenai insiden ini, dia mengatakan suatu hal yang sangat menarik. Dia berkata " Untuk alasan apapun, sang dokter bedah merasa dia berada pada bagian yang benar dari pasien itu." (Tertawa) Inti dari cerita ini adalah mempercayai terlalu banyak perasaan berada di bagian yang benar dari segala sesuatu dapat menjadi sangat berbahaya.
This internal sense of rightness that we all experience so often is not a reliable guide to what is actually going on in the external world. And when we act like it is, and we stop entertaining the possibility that we could be wrong, well that's when we end up doing things like dumping 200 million gallons of oil into the Gulf of Mexico, or torpedoing the global economy. So this is a huge practical problem. But it's also a huge social problem.
Perasaan internal untuk selalu merasa benar ini yang sering kita alami bukanlah suatu panduan yang dapat diandalkan terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata. Dan saat kita bertindak seperti ini, dan kita berhenti memikirkan kemungkinan bahwa kita bisa saja salah, akan menyebabkan kita akhirnya melakukan hal seperti membuang 200 juta galon minyak di Teluk Meksiko, atau mengacaukan perekonomian global. Jadi ini adalah masalah praktis yang cukup besar. Namun ini juga adalah masalah sosial yang besar.
Think for a moment about what it means to feel right. It means that you think that your beliefs just perfectly reflect reality. And when you feel that way, you've got a problem to solve, which is, how are you going to explain all of those people who disagree with you? It turns out, most of us explain those people the same way, by resorting to a series of unfortunate assumptions. The first thing we usually do when someone disagrees with us is we just assume they're ignorant. They don't have access to the same information that we do, and when we generously share that information with them, they're going to see the light and come on over to our team. When that doesn't work, when it turns out those people have all the same facts that we do and they still disagree with us, then we move on to a second assumption, which is that they're idiots. (Laughter) They have all the right pieces of the puzzle, and they are too moronic to put them together correctly. And when that doesn't work, when it turns out that people who disagree with us have all the same facts we do and are actually pretty smart, then we move on to a third assumption: they know the truth, and they are deliberately distorting it for their own malevolent purposes. So this is a catastrophe.
Pikirkanlah untuk beberapa saat tentang arti merasa benar. Hal ini berarti bahwa Anda berpikir bahwa kepercayaan Anda dengan sangat sempurna mencerminkan kenyataan. Dan saat Anda merasa seperti itu Anda memiliki suatu masalah untuk dipecahkan, yaitu, bagaimana Anda akan menjelaskan semua orang yang tidak setuju dengan Anda? Ternyata, kebanyakan kita menjelaskan orang-orang tersebut dengan cara yang sama, yaitu dengan mengaitkan pada serangkaian asumsi yang tidak masuk akal. Hal pertama yang biasa kita lakukan saat ada orang yang tidak setuju dengan kita adalah kita mengasumsikan mereka sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki akses yang sama pada informasi yang kita punya, dan kita dengan baik hati membagikan informasi itu kepada mereka, mereka akan melihat cahaya kebenaran itu dan bergabung dengan kelompok kita. Saat hal itu tidak berhasil, saat ternyata orang-orang itu juga memiliki fakta-fakta yang kita miliki dan mereka masih tidak sependapat dengan kita, kita bergerak pada asumsi kedua, yaitu bahwa mereka idiot. (Tertawa) Mereka memiliki semua bagian yang benar dari teka-teki, dan mereka terlalu bodoh untuk menyusunnya secara benar. Dan saat hal itu tidak berhasil, saat ternyata orang-orang yang tidak setuju dengan kita nemiliki semua fakta seperti yang kita miliki, dan sesungguhnya cukup cerdas, maka kita bergerak pada asumsi yang ketiga yaitu mereka mengerti kebenarannya, dan mereka dengan sengaja mengacaukannya untuk tujuan jahat mereka. Jadi ini adalah suatu kekacauan.
This attachment to our own rightness keeps us from preventing mistakes when we absolutely need to and causes us to treat each other terribly. But to me, what's most baffling and most tragic about this is that it misses the whole point of being human. It's like we want to imagine that our minds are just these perfectly translucent windows and we just gaze out of them and describe the world as it unfolds. And we want everybody else to gaze out of the same window and see the exact same thing. That is not true, and if it were, life would be incredibly boring. The miracle of your mind isn't that you can see the world as it is. It's that you can see the world as it isn't. We can remember the past, and we can think about the future, and we can imagine what it's like to be some other person in some other place. And we all do this a little differently, which is why we can all look up at the same night sky and see this and also this and also this. And yeah, it is also why we get things wrong.
Ketergantungan kita pada perasaan paling benar membuat kita tidak bisa mencegah kesalahan saat kita benar-benar harus melakukannya dan menyebabkan kita memperlakukan orang lain dengan buruk. Namun untuk saya, hal yang paling mengherankan dan yang paling tragis mengenai hal ini adalah kita kehilangan bagian penting dari menjadi manusia. Hal ini seperti kita ingin membayangkan bahwa pikiran kita adalah seperti jendela tembus pandang sempurna dan kita hanya perlu memandangnya dan menggambarkan dunia saat jendela itu terbuka. Dan kita ingin semua orang melihat melalui jendela yang sama. dan melihat hal yang sama persis. Hal ini tidak benar Dan walaupun benar, maka kehidupan akan menjadi sangat membosankan. Keajaiban pikiran Anda bukan berarti Anda dapat melihat dunia apa adanya. Keajaiban itu adalah saat Anda dapat melihat dunia tidak dengan semestinya. Kita dapat mengingat masa lalu dan memikirkan tentang masa depan, dan kita dapat membayangkan seperti apa rasanya menjadi orang lain di tempat yang lain. Dan setiap orang melakukan hal ini dengan berbeda, di mana kita semua bisa melihat langit malam yang sama dan melihat hal ini dan juga ini dan juga ini Dan benar, inilah mengapa seringkali kita salah.
1,200 years before Descartes said his famous thing about "I think therefore I am," this guy, St. Augustine, sat down and wrote "Fallor ergo sum" -- "I err therefore I am." Augustine understood that our capacity to screw up, it's not some kind of embarrassing defect in the human system, something we can eradicate or overcome. It's totally fundamental to who we are. Because, unlike God, we don't really know what's going on out there. And unlike all of the other animals, we are obsessed with trying to figure it out. To me, this obsession is the source and root of all of our productivity and creativity.
1.200 tahun sebelum Descartes mengatakan prinsipnya yang terkenal mengenai "saya berpikir maka saya ada," orang ini, Santo Agustinus, duduk dan menulis "Fallor ergo sum" -- "Saya melakukan kesalahan, karena itu saya ada." Agustinus mengerti bahwa kapasitas kita untuk membuat kesalahan bukanlah suatu cacat yang memalukan dalam sistem kehidupan manusia ini adalah sesuatu yang bisa kita atasi. Hal ini sangat mendasar bagi siapa kita sesungguhnya. Karena, tidak seperti Tuhan, kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di luar sana, Dan tidak seperti binatang yang lain, kita terobsesi dengan perasaan ingin tahu. Bagi saya, obsesi ini adalah sumber dan akar dari produktivitas dan kreatifitas.
Last year, for various reasons, I found myself listening to a lot of episodes of the Public Radio show This American Life. And so I'm listening and I'm listening, and at some point, I start feeling like all the stories are about being wrong. And my first thought was, "I've lost it. I've become the crazy wrongness lady. I just imagined it everywhere," which has happened. But a couple of months later, I actually had a chance to interview Ira Glass, who's the host of the show. And I mentioned this to him, and he was like, "No actually, that's true. In fact," he says, "as a staff, we joke that every single episode of our show has the same crypto-theme. And the crypto-theme is: 'I thought this one thing was going to happen and something else happened instead.' And the thing is," says Ira Glass, "we need this. We need these moments of surprise and reversal and wrongness to make these stories work." And for the rest of us, audience members, as listeners, as readers, we eat this stuff up. We love things like plot twists and red herrings and surprise endings. When it comes to our stories, we love being wrong.
Pada tahun lalu, karena berbagai alasan, saya mendapati diri saya mendengar banyak episode dari suatu acara Radio, yaitu "This American Life." Dan saya tetap mendengarkan pada titik tertentu, saya merasa seperti semua cerita ini adalah tentang berbuat kesalahan. dan pemikiran pertama saya adalah "Saya kehilangan hal ini." Saya telah menjadi wanita gila yang berbuat banyak kesalahan. Saya membayangkannya di mana saja saya berada. di mana hal ini telah terjadi. Namun beberapa bulan kemudian Saya memiliki kesempatan untuk mewawancarai Ira Glass, pembawa acara tersebut. Dan saya menyebutkan hal ini kepadanya, dan dia berkata "Tidak, sesungguhnya semua hal itu benar-benar terjadi. bahkan sesungguhnya," dia berkata "sebagai staf, kami bercanda bahwa dalam setiap episode acara kami kami memiliki satu tema misterius dan tema misterius itu adalah: "Saya kira hal ini akan terjadi dan yang terjadi adalah hal yang lain.." Dan hal yang penting adalah", kata Ira Glass, "kami membutuhkan hal ini. Kami membutuhkan momen-momen seperti ini momen yang penuh kejutan, kebalikan dan kesalahan untuk membuat cerita-cerita ini menarik." dan bagi kita yang berada di sini, para pemirsa sebagai pendengar, sebagai pembaca kita menyukai hal-hal seperti ini. Kita menyukai hal-hal seperti alur cerita yang dipelintir dan pengalih perhatian serta akhir cerita yang mengejutkan. Saat berbicara mengenai cerita kita, kita suka melakukan kesalahan.
But, you know, our stories are like this because our lives are like this. We think this one thing is going to happen and something else happens instead. George Bush thought he was going to invade Iraq, find a bunch of weapons of mass destruction, liberate the people and bring democracy to the Middle East. And something else happened instead. And Hosni Mubarak thought he was going to be the dictator of Egypt for the rest of his life, until he got too old or too sick and could pass the reigns of power onto his son. And something else happened instead. And maybe you thought you were going to grow up and marry your high school sweetheart and move back to your hometown and raise a bunch of kids together. And something else happened instead. And I have to tell you that I thought I was writing an incredibly nerdy book about a subject everybody hates for an audience that would never materialize. And something else happened instead.
Namun, Anda tahu, cerita kita adalah seperti ini, karena kehidupan kita seperti ini. Kita berpikir hal ini akan terjadi dan yang terjadi adalah hal yang lain. George Bush mengira dia akan menginvasi Irak, menemukan banyak senjata penghancur massal, membebaskan orang-orang dan membawa demokrasi ke Timur Tengah. Dan yang terjadi adalah hal yang lain. Dan Hosni Mubarak mengira bahwa dia akan menjadi diktator Mesir untuk seumur hidupnya, sampai dia menjadi terlalu tua atau terlalu sakit dan dapat mewariskan kekuasaannya kepada anaknya. Dan yang terjadi adalah hal yang lain. Dan mungkin Anda berpikir Anda akan menjadi dewasa dan menikah dengan kekasih Anda di SMA dan kembali ke kampung halaman serta membesarkan beberapa orang anak. Dan yang terjadi adalah hal yang lain. Dan saya harus mengatakan kepada Anda bahwa saya berpikir bahwa saya akan menulis buku yang luar biasa aneh, mengenai suatu masalah yang banyak dibenci semua orang bagi pembaca yang tidak pernah terwujud. Dan yang terjadi adalah hal yang lain.
(Laughter)
(Tertawa)
I mean, this is life. For good and for ill, we generate these incredible stories about the world around us, and then the world turns around and astonishes us. No offense, but this entire conference is an unbelievable monument to our capacity to get stuff wrong. We just spent an entire week talking about innovations and advancements and improvements, but you know why we need all of those innovations and advancements and improvements? Because half the stuff that's the most mind-boggling and world-altering -- TED 1998 -- eh. (Laughter) Didn't really work out that way, did it? (Laughter) Where's my jet pack, Chris?
Maksud saya, inilah kehidupan. Untuk masa-masa senang maupun susah, kita menghasilkan cerita-cerita yang luar biasa ini mengenai dunia di sekitar kita, dan saat dunia berputar dan membuat kita takjub. Tidak bermaksud menyinggung, namun seluruh konferensi ini adalah monumen yang luar biasa terhadap kapasitas kita untuk melakukan kesalahan. Kita menghabiskan satu minggu penuh berbicara mengenai inovasi dan kemajuan dan perbaikan, namun Anda tahu mengapa kita membutuhkan inovasi-inovasi ini dan kemajuan-kemajuan serta perbaikan-perbaikan? Karena separuh dari semua hal yang menakjubkan bagi pikiran dan di luar dunia kita -- TED 1998 -- eh. (Tertawa) Tidak terlalu berhasil, bukan. (Tertawa) Mana jet punggung saya, Chris?
(Laughter)
(Tertawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
So here we are again. And that's how it goes. We come up with another idea. We tell another story. We hold another conference. The theme of this one, as you guys have now heard seven million times, is the rediscovery of wonder. And to me, if you really want to rediscover wonder, you need to step outside of that tiny, terrified space of rightness and look around at each other and look out at the vastness and complexity and mystery of the universe and be able to say, "Wow, I don't know. Maybe I'm wrong."
Jadi kita kembali lagi. Dan seperti inilah hal ini berjalan. Kita memunculkan ide yang lain. Kita menceritakan kisah yang lain. Kita mengadakan konferensi yang lain. Tema dari yang satu ini, seperti apa yang Anda sudah dengar sekarang sebanyak 7 juta kali, adalah penemuan kembali keajaiban. Dan bagi saya, jika Anda ingin menemukan kembali keajaiban, maka Anda perlu melangkah keluar dari ruangan kebenaran yang kecil dan menakutkan itu dan melihat ke sekeliling serta mengamati bagaimana luasnya dan rumitnya serta misteriusnya alam semesta ini dan mampu berkata, "Wow, saya tidak tahu. Mungkin saya salah."
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you guys.
Terima kasih semuanya.
(Applause)
(Tepuk tangan)