As an actor, I get scripts and it's my job to stay on script, to say my lines and bring to life a character that someone else wrote. Over the course of my career, I've had the great honor playing some of the greatest male role models ever represented on television. You might recognize me as "Male Escort #1."
Sebagai seorang aktor, saya mendapat naskah dan tugas saya untuk mengikuti naskah, mengucapkan dialog bagian saya dan menghidupkan karakter yang telah ditulis orang lain. Selama karir saya berlangsung, saya mendapatkan kehormatan memerankan beberapa pemeran laki-laki terhebat yang pernah ada yang ditayangkan di televisi. Anda mungkin mengenali saya sebagai “Pria Bayaran #1”.
(Laughter)
(Tertawa)
"Photographer Date Rapist," "Shirtless Date Rapist" from the award-winning "Spring Break Shark Attack."
“Fotografer Pemerkosa”, “Pemerkosa Telanjang Dada” dari pemenang penghargaan “Spring Break Shark Attack”.
(Laughter)
(Tertawa)
"Shirtless Medical Student," "Shirtless Steroid-Using Con Man" and, in my most well-known role, as Rafael.
“Mahasiswa Kedokteran Telanjang Dada”, “Penipu Pengguna Steroid Telanjang Dada” dan, peran saya yang paling terkenal, sebagai Rafael.
(Applause)
(Tepuk tangan)
A brooding, reformed playboy who falls for, of all things, a virgin, and who is only occasionally shirtless.
Seorang playboy yang bertobat dan muram yang jatuh cinta kepada seorang perawan, yang sesekali telanjang dada.
(Laughter)
(Tertawa)
Now, these roles don't represent the kind of man I am in my real life, but that's what I love about acting. I get to live inside characters very different than myself. But every time I got one of these roles, I was surprised, because most of the men I play ooze machismo, charisma and power, and when I look in the mirror, that's just not how I see myself. But it was how Hollywood saw me, and over time, I noticed a parallel between the roles I would play as a man both on-screen and off.
Peran ini tidak mencerminkan diri saya sebagai seorang pria di kehidupan nyata, tapi itulah mengapa saya suka akting. Saya bisa hidup dalam karakter yang sangat berbeda dari diri saya. Tapi setiap kali saya menerima salah satu peran ini, saya kaget, karena peran yang umumnya saya mainkan punya aura keperkasaan, karisma dan kekuatan, dan ketika saya bercermin, bukan begitu saya melihat diri saya. Tapi itulah cara Hollywood melihat saya, dan seiring waktu, saya menyadari kemiripan antara peran yang saya mainkan sebagai pria baik di depan atau belakang layar.
I've been pretending to be a man that I'm not my entire life. I've been pretending to be strong when I felt weak, confident when I felt insecure and tough when really I was hurting. I think for the most part I've just been kind of putting on a show, but I'm tired of performing. And I can tell you right now that it is exhausting trying to be man enough for everyone all the time. Now -- right?
Saya sedang berpura-pura menjadi laki-laki yang bukan saya seumur hidup. Saya berpura-pura menjadi kuat ketika saya merasa lemah, percaya diri ketika saya merasa cemas dan kuat ketika saya sedang sakit. Saya rasa untuk sebagian besar saya cuma seperti berpura-pura, tapi saya lelah berpura-pura. Dan saya bisa bilang sekarang bahwa sebenarnya melelahkan terus-menerus menjadi cukup jantan bagi semua orang. Benar bukan?
(Laughter)
(Tertawa)
My brother heard that.
Saudara saya mendengarnya.
Now, for as long as I can remember, I've been told the kind of man that I should grow up to be. As a boy, all I wanted was to be accepted and liked by the other boys, but that acceptance meant I had to acquire this almost disgusted view of the feminine, and since we were told that feminine is the opposite of masculine, I either had to reject embodying any of these qualities or face rejection myself. This is the script that we've been given. Right? Girls are weak, and boys are strong. This is what's being subconsciously communicated to hundreds of millions of young boys and girls all over the world, just like it was with me.
Selama yang saya ingat, saya selalu diberi tahu saya harus tumbuh menjadi laki-laki seperti apa. Sebagai anak laki-laki, yang saya inginkan hanya penerimaan dan disukai anak lainnya, tapi penerimaan berarti saya harus punya pandangan yang menjijikkan mengenai kefemininan, dan karena kami diberi tahu feminin adalah kebalikan maskulin, saya tidak boleh memiliki sifat feminin atau saya akan ditolak orang lain. Ini adalah naskah yang telah kita terima. Benar bukan? Perempuan lemah, dan laki-laki kuat. Hal ini ditanamkan secara tidak sadar kepada ratusan dan jutaan anak laki-laki dan perempuan di dunia, seperti yang saya alami.
Well, I came here today to say, as a man that this is wrong, this is toxic, and it has to end.
Saya datang hari ini untuk bilang, sebagai seorang laki-laki bahwa semua ini salah, ini beracun, dan ini harus dihentikan.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Now, I'm not here to give a history lesson. We likely all know how we got here, OK? But I'm just a guy that woke up after 30 years and realized that I was living in a state of conflict, conflict with who I feel I am in my core and conflict with who the world tells me as a man I should be. But I don't have a desire to fit into the current broken definition of masculinity, because I don't just want to be a good man. I want to be a good human. And I believe the only way that can happen is if men learn to not only embrace the qualities that we were told are feminine in ourselves but to be willing to stand up, to champion and learn from the women who embody them.
Saya tidak datang untuk memberikan pelajaran sejarah. Kita semua tahu bagaimana situasi menjadi seperti ini, oke? Saya hanya laki-laki yang bangun setelah 30 tahun dan sadar bahwa saya hidup dalam kondisi konflik, konflik dengan siapa diri saya sebenarnya dan konflik dengan cara dunia melihat laki-laki sepatutnya. Namun saya tidak berkenan untuk menerima definisi rusak tentang maskulinitas, karena saya tidak mau hanya jadi laki-laki baik. Saya mau jadi manusia baik. Dan saya percaya satu-satunya jalan adalah jika laki-laki belajar tidak hanya memeluk kualitas yang dikatakan sebagai feminin di dalam dirinya tapi juga mau berdiri, untuk mengadvokasi dan belajar dari perempuan yang memeluk kualitas itu.
Now, men --
Laki-laki --
(Laughter)
(Tertawa)
I am not saying that everything we have learned is toxic. OK? I'm not saying there's anything inherently wrong with you or me, and men, I'm not saying we have to stop being men. But we need balance, right? We need balance, and the only way things will change is if we take a real honest look at the scripts that have been passed down to us from generation to generation and the roles that, as men, we choose to take on in our everyday lives.
saya tidak bilang bahwa semua yang kita pelajari itu beracun, oke? Saya tidak bilang ada yang pasti salah dengan diri Anda atau saya, dan laki-laki, saya tidak bilang untuk berhenti menjadi laki. Tapi kita perlu keseimbangan, bukan? Kita perlu keseimbangan, dan satu-satunya keadaan ini berubah jika kita melihat dengan jujur pada naskah yang telah diturunkan kepada kita dari generasi ke generasi dan peran yang, sebagai laki-laki, kita pilih untuk lakukan di kehidupan sehari-hari.
So speaking of scripts, the first script I ever got came from my dad. My dad is awesome. He's loving, he's kind, he's sensitive, he's nurturing, he's here.
Berbicara soal naskah, naskah pertama yang saya terima berasal dari ayah saya. Ayah saya itu keren. Dia penyayang, baik, sensitif, dan bisa merawat, dia ada di sini.
(Applause)
(Tepuk tangan)
He's crying.
Dia menangis.
(Laughter)
(Tertawa)
But, sorry, Dad, as a kid I resented him for it, because I blamed him for making me soft, which wasn't welcomed in the small town in Oregon that we had moved to. Because being soft meant that I was bullied. See, my dad wasn't traditionally masculine, so he didn't teach me how to use my hands. He didn't teach me how to hunt, how to fight, you know, man stuff. Instead he taught me what he knew: that being a man was about sacrifice and doing whatever you can to take care of and provide for your family. But there was another role I learned how to play from my dad, who, I discovered, learned it from his dad, a state senator who later in life had to work nights as a janitor to support his family, and he never told a soul. That role was to suffer in secret. And now three generations later, I find myself playing that role, too. So why couldn't my grandfather just reach out to another man and ask for help? Why does my dad to this day still think he's got to do it all on his own? I know a man who would rather die than tell another man that they're hurting. But it's not because we're just all, like, strong silent types. It's not. A lot of us men are really good at making friends, and talking, just not about anything real.
Tapi, maaf, ayah, sebagai anak kecil saya tidak suka dia karena hal itu, saya menyalahkannya karena membuat diri saya lembut, yang tidak diterima di kota kecil di Oregon tempat kami tinggal. Karena menjadi lembut berarti saya dirundung. Lihat, ayah saya bukan maskulin pada umumnya, jadi dia tidak mengajarkan saya bermain tangan. Dia tidak mengajari saya cara berburu, berkelahi, kalian tahu, perilaku laki-laki. Justru dia mengajari saya hal yang dia tahu: bahwa menjadi laki-laki berarti pengorbanan dan melakukan semuanya untuk menjaga dan merawat keluarga. Tapi ada peran lain yang saya pelajari dari ayah saya, yang, saya ketahui, dia pelajari dari ayahnya, seorang senator negara bagian yang di kemudian hari harus bekerja jadi penjaga gedung demi menafkahi keluarga, dan dia tidak pernah bilang siapa pun. Peran itu adalah untuk tersiksa dalam diam. Tiga generasi kemudian, saya juga menjalani peran itu. Jadi kenapa kakek saya tidak bisa menghubungi laki-laki lain dan minta tolong? Mengapa ayah saya sampai hari ini berpikir dia harus melakukan semua sendirian? Saya kenal laki-laki yang memilih mati dibanding cerita ke laki-laki lain bahwa dia sakit. Tapi ini bukan karena kita tipe orang kuat yang pendiam. Bukan. Banyak laki-laki yang pintar berteman dan berbicara, tapi tidak tentang sesuatu yang nyata.
(Laughter)
(Tertawa)
If it's about work or sports or politics or women, we have no problem sharing our opinions, but if it's about our insecurities or our struggles, our fear of failure, then it's almost like we become paralyzed. At least, I do.
Jika ini tentang pekerjaan atau olahraga atau politik atau perempuan, kami tidak masalah untuk membagikan opini, tapi jika soal kecemasan atau kesulitan kami, atau ketakutan akan gagal, kami seperti langsung lumpuh. Setidaknya, saya begitu.
So some of the ways that I have been practicing breaking free of this behavior are by creating experiences that force me to be vulnerable. So if there's something I'm experiencing shame around in my life, I practice diving straight into it, no matter how scary it is -- and sometimes, even publicly. Because then in doing so I take away its power, and my display of vulnerability can in some cases give other men permission to do the same.
Jadi beberapa cara yang saya lakukan adalah memecahkan sikap ini dengan cara membuat pengalaman yang memaksa saya menjadi terbuka. Jadi ketika saya mengalami rasa malu di hidup saya, saya mempraktikkan untuk tidak lari, tidak peduli setakut apa pun -- dan kadang, bahkan secara publik. Karena dengan begitu saya mengambil kekuasaannya, dan sikap saya yang terbuka bisa jadi membuat laki-laki lain melakukan hal yang sama.
As an example, a little while ago I was wrestling with an issue in my life that I knew I needed to talk to my guy friends about, but I was so paralyzed by fear that they would judge me and see me as weak and I would lose my standing as a leader that I knew I had to take them out of town on a three-day guys trip --
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu saya bergulat dengan masalah hidup saya yang saya tahu saya perlu membicarakannya dengan teman laki-laki, tapi saya dilumpuhkan oleh ketakutan jika mereka akan menilai saya lemah dan saya akan kehilangan posisi saya sebagai pemimpin dan saya tahu saya harus mengajak mereka ke perjalanan tiga hari khusus laki-laki
(Laughter)
(Tertawa)
Just to open up. And guess what? It wasn't until the end of the third day that I finally found the strength to talk to them about what I was going through. But when I did, something amazing happened. I realized that I wasn't alone, because my guys had also been struggling. And as soon as I found the strength and the courage to share my shame, it was gone. Now, I've learned over time that if I want to practice vulnerability, then I need to build myself a system of accountability. So I've been really blessed as an actor. I've built a really wonderful fan base, really, really sweet and engaged, and so I decided to use my social platform as kind of this Trojan horse wherein I could create a daily practice of authenticity and vulnerability. The response has been incredible. It's been affirming, it's been heartwarming. I get tons of love and press and positive messages daily. But it's all from a certain demographic: women.
Hanya untuk membuka diri. Dan tebak? Baru pada akhir hari ketiga saya punya keberanian untuk bicara pada mereka soal apa yang terjadi pada saya. Tapi saat saya melakukannya, hal hebat terjadi. Saya sadar saya tidak sendiri, karena teman saya juga pernah kesulitan. Dan begitu saya mendapatkan kekuatan dan keberanian membagikan rasa malu, rasa itu menghilang. Saya belajar seiring waktu jika saya mempraktikkan keterbukaan, maka saya perlu membuat sistem akuntabilitas dalam diri. Saya telah sangat diberkati sebagai seorang aktor. Saya punya penggemar yang luar biasa, sangat, sangat manis dan interaktif, sehingga saya memakai media sosial saya sebagai kuda Trojan yang saya bisa pakai untuk membuat praktik keterbukaan dan autentik sehari-hari. Responsnya sangat luar biasa. Sangat menguatkan, juga sangat hangat. Saya menerima banyak cinta dan liputan dan pesan positif setiap hari. Tapi itu datang dari demografi tertentu: perempuan.
(Laughter)
(Tertawa)
This is real. Why are only women following me? Where are the men?
Ini kenyataan. Kenapa hanya ada perempuan yang jadi pengikut saya? Di mana laki-lakinya?
(Laughter)
(Tertawa)
About a year ago, I posted this photo. Now, afterwards, I was scrolling through some of the comments, and I noticed that one of my female fans had tagged her boyfriend in the picture, and her boyfriend responded by saying, "Please stop tagging me in gay shit. Thx."
Setahun yang lalu, saya mengunggah foto ini. Setelahnya, saya melihat beberapa komentar, dan menyadari salah satu penggemar wanita menandai pacarnya di foto itu, dan pacarnya merespons dengan bilang, “Tolong berhenti menandaiku di sesuatu yang gay. Trims.”
(Laughter)
(Tertawa)
As if being gay makes you less of a man, right?
Karena menjadi gay membuat Anda kurang jantan, bukan?
So I took a deep breath, and I responded. I said, very politely, that I was just curious, because I'm on an exploration of masculinity, and I wanted to know why my love for my wife qualified as gay shit. And then I said, honestly I just wanted to learn.
Jadi saya menghela napas, dan merespons. Saya bilang, dengan sangat sopan, saya penasaran, karena saya sedang mengeksplorasi maskulinitas, dan ingin tahu kenapa cinta saya pada istri saya disebut kelihatan gay. Dan saya bilang, sejujurnya saya hanya mau belajar.
(Laughter)
(Tertawa)
Now, he immediately wrote me back. I thought he was going to go off on me, but instead he apologized. He told me how, growing up, public displays of affection were looked down on. He told me that he was wrestling and struggling with his ego, and how much he loved his girlfriend and how thankful he was for her patience. And then a few weeks later, he messaged me again. This time he sent me a photo of him on one knee proposing.
Dia langsung membalas. Saya pikir dia akan memarahi saya, tapi ternyata dia malah minta maaf. Dia bilang, ketika tumbuh besar, memperlihatkan afeksi secara publik adalah hal yang hina. Dia bilang dia bergulat dan melawan egonya, dan betapa dia mencintainya pacarnya dan betapa berterima kasihnya dia untuk kesabarannya. Dan beberapa minggu kemudian, dia mengirimkan pesan lagi. Kali ini dia mengirimkan foto dirinya berlutut melamar.
(Applause)
(Tepuk tangan)
And all he said was, "Thank you."
Dan dia bilang, “Terima kasih.”
I've been this guy. I get it. See, publicly, he was just playing his role, rejecting the feminine, right? But secretly he was waiting for permission to express himself, to be seen, to be heard, and all he needed was another man holding him accountable and creating a safe space for him to feel, and the transformation was instant. I loved this experience, because it showed me that transformation is possible, even over direct messages. So I wanted to figure out how I could reach more men, but of course none of them were following me.
Saya pernah jadi seperti pria ini. Saya paham. Di ruang publik, dia memainkan perannya menolak sifat feminim, bukan? Tapi diam-diam dia menunggu izin untuk mengekspresikan dirinya, untuk dilihat, didengar, dia hanya perlu laki-laki lain yang membantu dirinya dan menciptakan ruang aman untuk merasa, dan perubahannya sangat cepat. Saya suka pengalaman ini, karena ini menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin, bahkan melalui sebuah pesan. Jadi saya mau tahu cara menjangkau lebih banyak laki-laki, tapi tentu tidak ada yang mengikuti.
(Laughter)
(Tertawa)
So I tried an experiment. I started posting more stereotypically masculine things --
Jadi saya mencoba bereksperimen. Saya mencoba mengunggah lebih banyak hal yang maskulin --
(Laughter)
(Tertawa)
Like my challenging workouts, my meal plans, my journey to heal my body after an injury. And guess what happened? Men started to write me. And then, out of the blue, for the first time in my entire career, a male fitness magazine called me, and they said they wanted to honor me as one of their game-changers.
Seperti olahraga yang menantang, rencana makan, perjalanan menyembuhkan badan setelah terluka. tebak apa yang terjadi? Laki-laki mulai mengirim pesan. Lalu, tidak terduga, untuk pertama kalinya dalam karir saya, majalah kebugaran laki-laki menghubungi, mereka bilang ingin menghormati saya sebagai pengubah permainan.
(Laughter)
(Tertawa)
Was that really game-changing? Or is it just conforming? And see, that's the problem. It's totally cool for men to follow me when I talk about guy stuff and I conform to gender norms. But if I talk about how much I love my wife or my daughter or my 10-day-old son, how I believe that marriage is challenging but beautiful, or how as a man I struggle with body dysmorphia, or if I promote gender equality, then only the women show up. Where are the men? So men, men, men, men!
Benarkah itu mengubah permainan? Atau hanya mengikuti norma sosial? Lihat, itu masalahnya. Tidak masalah laki-laki mengikuti saya ketika saya berbicara tentang hal-hal pria dan saya mengikuti norma gender. Tapi jika saya bicara soal betapa saya mencintai istri saya atau anak perempuan saya atau anak laki-laki yang baru 10 hari, bagaimana saya percaya pernikahan itu menantang tapi indah, atau sebagai laki-laki saya bergumul dengan gangguan dismorfik tubuh, atau bicara soal kesetaraan gender, lalu hanya perempuan yang keluar. Ke mana laki-lakinya? jadi laki-laki, laki-laki, laki-laki, laki-laki!
(Applause)
(Tepuk tangan)
I understand. Growing up, we tend to challenge each other. We've got to be the toughest, the strongest, the bravest men that we can be. And for many of us, myself included, our identities are wrapped up in whether or not at the end of the day we feel like we're man enough. But I've got a challenge for all the guys, because men love challenges.
Saya mengerti. Tumbuh besar, kita cenderung berkompetisi. Kita harus jadi laki-laki terkeras, terkuat dan paling berani yang kita bisa. Dan bagi banyak dari kita, termasuk saya, identitas kita tertutup pada apakah akhirnya kita merasa kita cukup laki. Tapi saya punya tantangan untuk semua laki-laki, karena laki-laki suka tantangan.
(Laughter)
(Tertawa)
I challenge you to see if you can use the same qualities that you feel make you a man to go deeper into yourself. Your strength, your bravery, your toughness: Can we redefine what those mean and use them to explore our hearts? Are you brave enough to be vulnerable? To reach out to another man when you need help? To dive headfirst into your shame? Are you strong enough to be sensitive, to cry whether you are hurting or you're happy, even if it makes you look weak? Are you confident enough to listen to the women in your life? To hear their ideas and their solutions? To hold their anguish and actually believe them, even if what they're saying is against you? And will you be man enough to stand up to other men when you hear "locker room talk," when you hear stories of sexual harassment? When you hear your boys talking about grabbing ass or getting her drunk, will you actually stand up and do something so that one day we don't have to live in a world where a woman has to risk everything and come forward to say the words "me too?"
Saya menantang apa kalian bisa memakai kualitas yang sama yang membuat kalian merasa jantan untuk masuk ke diri kalian lebih dalam. Kekuatan kalian, keberanian kalian, ketangguhan kalian: Bisakah kita mengartikan kembali hal itu dan memakainya untuk menyelami hati kita? Apa Anda cukup berani untuk terbuka? Untuk minta bantuan laki-laki lain ketika butuh? Untuk terjun dalam rasa malu Anda? Apa Anda cukup kuat untuk jadi sensitif, untuk menangis ketika terluka atau bahagia, bahkan jika itu membuat Anda terlihat lemah? Apa Anda cukup percaya diri untuk mendengar perempuan di hidup Anda? Untuk mendengar ide dan solusi mereka? Untuk memeluk penderitaan mereka dan benar-benar percaya, bahkan jika apa yang mereka katakan melawan Anda? Dan akankah kalian cukup jantan untuk membela laki-laki lain ketika kalian dengar “pembicaraan loker”, ketika Anda dengar cerita soal kekerasan seksual? Jika ada yang bicara soal meraba pantat atau membuat perempuan mabuk, apa kalian akan melakukan sesuatu sehingga nanti kita tidak perlu hidup di dunia di mana perempuan mengambil risiko dan maju ke depan untuk bilang “aku juga?”
(Applause)
(Tepuk tangan)
This is serious stuff. I've had to take a real, honest look at the ways that I've unconsciously been hurting the women in my life, and it's ugly. My wife told me that I had been acting in a certain way that hurt her and not correcting it. Basically, sometimes when she would go to speak, at home or in public, I would just cut her off mid-sentence and finish her thought for her. It's awful. The worst part was that I was completely unaware when I was doing it. It was unconscious. So here I am doing my part, trying to be a feminist, amplifying the voices of women around the world, and yet at home, I am using my louder voice to silence the woman I love the most. So I had to ask myself a tough question: am I man enough to just shut the hell up and listen?
Ini hal serius. Saya harus melihat dengan jujur ke bagaimana saya secara tidak sadar melukai perempuan dalam hidup saya, dan itu buruk. Istri saya bilang bahwa saya bertindak dengan cara tertentu yang melukainya dan tidak memperbaikinya. Misalnya, ketika dia bicara, baik di rumah atau di publik, saya memotongnya dan menyambung apa yang dia pikirkan untuk dia. Ini buruk sekali. Lebih buruk lagi ketika saya tidak sadar saat saya melakukannya. Ini kebiasaan tidak sadar. Jadi di sini saya melakukan bagian saya, mencoba menjadi feminis, memperkuat suara perempuan di dunia, tapi ketika di rumah, saya menggunakan suara saya dengan keras untuk membungkam wanita yang saya cintai. Saya perlu menanyakan diri sendiri: apa saya cukup laki untuk diam dan mendengarkan?
(Laughter)
(Tertawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
I've got to be honest. I wish that didn't get an applause.
Saya harus jujur. Saya berharap tidak dapat tepuk tangan.
(Laughter)
(Tertawa)
Guys, this is real. And I'm just scratching the surface here, because the deeper we go, the uglier it gets, I guarantee you. I don't have time to get into porn and violence against women or the split of domestic duties or the gender pay gap. But I believe that as men, it's time we start to see past our privilege and recognize that we are not just part of the problem. Fellas, we are the problem. The glass ceiling exists because we put it there, and if we want to be a part of the solution, then words are no longer enough.
Teman-teman, ini nyata. Dan saya hanya membahas permukaan saja, karena semakin kita dalami, semakin buruk jadinya, saya jamin. Saya tidak punya waktu membahas pornografi dan kekerasan pada perempuan atau pembagian tugas domestik atau kesenjangan upah. Tapi saya percaya sebagai laki-laki, ini waktunya kita melihat hak istimewa kita dan menyadari kita bukan hanya bagian dari masalah. Teman, kitalah masalahnya. Hambatan sosial ada karena kita meletakkannya di sana, dan jika kita ingin jadi bagian dari solusi, kata-kata tidak cukup.
There's a quote that I love that I grew up with from the Bahá'í writings. It says that "the world of humanity is possessed of two wings, the male and the female. So long as these two wings are not equivalent in strength, the bird will not fly."
Ada kalimat yang saya suka saat tumbuh dewasa dari tulisan Bahá’í. Ini berbunyi “dunia manusia memiliki dua sayap, laki-laki dan perempuan. Selama kedua sayap ini tidak sama kuat, burungnya tidak akan terbang.”
So women, on behalf of men all over the world who feel similar to me, please forgive us for all the ways that we have not relied on your strength. And now I would like to ask you to formally help us, because we cannot do this alone. We are men. We're going to mess up. We're going to say the wrong thing. We're going to be tone-deaf. We're more than likely, probably, going to offend you. But don't lose hope. We're only here because of you, and like you, as men, we need to stand up and become your allies as you fight against pretty much everything. We need your help in celebrating our vulnerability and being patient with us as we make this very, very long journey from our heads to our hearts. And finally to parents: instead of teaching our children to be brave boys or pretty girls, can we maybe just teach them how to be good humans?
Jadi perempuan, mewakili laki-laki di seluruh dunia yang punya perasaan sama dengan saya, tolong maafkan kami karena kami tidak mengandalkan kekuatan kalian. Dan saya ingin meminta bantuan kalian secara formal, karena kami tidak bisa melakukannya sendiri. Kami laki-laki. Kami akan mengacau. Kami akan mengatakan hal yang salah. Kami akan menjadi bebal. Kami kemungkinan besar akan menyinggung kalian. Tapi jangan putus asa. Kami ada di sini karena kalian, dan sebagai laki-laki, kami perlu berdiri dan jadi sekutu kalian saat kalian melawan hampir semuanya. Kami perlu bantuan kalian dalam merayakan keterbukaan kami dan sabar bersama kami saat kami menjalani perjalanan panjang ini dari kepala ke hati kami. Dan akhirnya untuk orang tua: daripada mengajari anak kita untuk jadi laki-laki pemberani atau perempuan cantik, bisakah kita hanya ajari mereka cara menjadi manusia baik?
So back to my dad. Growing up, yeah, like every boy, I had my fair share of issues, but now I realize that it was even thanks to his sensitivity and emotional intelligence that I am able to stand here right now talking to you in the first place. The resentment I had for my dad I now realize had nothing to do with him. It had everything to do with me and my longing to be accepted and to play a role that was never meant for me. So while my dad may have not taught me how to use my hands, he did teach me how to use my heart, and to me that makes him more a man than anything.
Jadi, balik ke ayah saya. Tumbuh besar, seperti anak laki-laki lainnya, saya punya masalah, tapi sekarang saya sadar itu semua berkat rasa sensitif dan kecerdasan emosialnya sehingga saya bisa berdiri di sini berbicara pada kalian sekarang. Kekesalan saya pada ayah sekarang ternyata tidak ada hubungannya dengannya. Semuanya berhubungan dengan saya dan keinginan saya untuk diterima dan untuk memerankan hal yang tidak cocok untuk saya. Jadi, meski ayah tidak pernah mengajari saya main tangan, dia mengajari saya cara memakai hati saya, dan bagi saya itu membuat dirinya lebih jantan dari apa pun.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)