Julia Gillard: Ngozi, 10 years ago when I became prime minister of Australia, I assumed that at the start, there would be a strong reaction to me being the first woman, but it would abide over time and then I would be treated the same as every other Prime Minister had been. I was so wrong. That didn't happen. The longer I governed, the more visible the sexism became. I don't want any other woman to be blindsided like that. That's why I'm so excited about working with you to help women get ready to lead in what is still a sexist world.
Julia Gillard: Ngozi, 10 tahun lalu saat saya jadi Perdana Menteri Australia, pada awalnya saya berasumsi, akan ada reaksi keras karena saya menjadi perempuan pertama, tapi seiring waktu itu akan mereda dan saya akan diperlakukan sama seperti Perdana Menteri lainnya. Saya salah. Itu tidak terjadi. Semakin lama saya memimpin, semakin terlihat seksisme yang ada. Saya tidak ingin perempuan lain mengalami hal yang sama. Untuk itu saya sangat bersemangat bekerja bersamamu untuk membantu perempuan mempersiapkan diri memimpin dunia yang masih seksis.
Ngozi Okonjo-Iweala: I share that sense of excitement. After I was finance minister of Nigeria, I was overwhelmed by the number of women who wanted me to be their mentor. It is terrific that aspiring, young women are keen to learn from those who have gone before, but there are still too few female role models, especially women of color. Now as a result of the work we have done together, I can offer everyone clear, standout lessons that are based not just on my own experience, but on the global research on women and leadership and the candid insights of leading women.
Ngozi Okonjo-Iweala: Saya berbagi semangat yang sama. Setelah saya menjabat sebagai Menteri Keuangan Nigeria, saya kewalahan dengan jumlah perempuan yang menginginkan saya jadi mentor mereka. Mengejutkan bahwa banyak perempuan muda ingin belajar dari orang yang telah berpengalaman sebelum mereka, tapi masih ada sangat sedikit tokoh panutan perempuan, terutama perempuan kulit berwarna. Sebagai hasil dari kerja-kerja kita bersama, saya bisa menawarkan semua orang, pelajaran yang jelas dan bermakna bukan hanya berdasarkan pengalaman saya, tapi berdasarkan riset global tentang perempuan dan kepemimpinan dan pandangan dari pemimpin perempuan.
JG: One of the things to share is that there's joy in being a leader -- in having the opportunity to put your values into action. Emphasizing the positive makes a real difference to the power of role modeling. If we only focus on the sexist and negative experiences, women may decide that being a leader sounds so grim they don't want to do it. On the other hand, if we pretend it's all rosy and easy, women and girls can be put off because they decide leadership is only for superwomen who never have any problems. We all have to get the balance right, but Ngozi, it's impossible to talk about role models right now without asking you: how does it make you feel to see Kamala Harris elected as vice president?
Satu hal untuk dibagikan adalah ada kebahagiaan saat menjadi pemimpin -- saat punya kesempatan untuk mewujudkan nilaimu menjadi aksi nyata. Menekankan hal positif memberi perbedaan pada kekuatan dari tokoh panutan. Jika kita fokus pada pengalaman seksis dan negatif, perempuan mungkin memutuskan bahwa jadi pemimpin itu sulit & enggan melakukannya. Sebaliknya, jika kita berpura-pura itu semua mudah perempuan mungkin menolak karena mereka pikir kepemimpinan hanya untuk perempuan super yang tidak pernah punya masalah. Kita harus menyeimbangkannya, tapi Ngozi, tidak mungkin membicarakan panutan saat ini tanpa bertanya: bagaimana perasaanmu saat melihat Kamala Harris terpilih sebagai wakil presiden?
NOI: I'm delighted. It's important to the aspiration of girls and women that they see role models they can relate to. Vice President-elect Harris is exactly that kind of role model, particularly for girls and women of color. And every woman who steps forward makes more space for the women who come next.
Saya gembira. Ini penting sebagai aspirasi bagi wanita dan anak perempuan mereka melihat panutan yang dekat dengan mereka. Wakil presiden terpilih Harris adalah contoh panutan itu, terutama bagi wanita dan anak perempuan kulit berwarna. Dan setiap wanita yang maju ke depan membuat lebih banyak ruang untuk perempuan yang datang selanjutnya.
JG: Of course both of us know from our own experiences that even when women get to the top, unfortunately, too much time and attention will be spent on what they look like rather than what they do and say. Ngozi, for women, is it still all about the hair?
Tentu kita berdua tahu dari pengalaman kita bahwa ketika perempuan sampai ke atas, sayangnya, banyak waktu dan perhatian akan tersita pada bagaimana penampilan mereka dibanding apa yang mereka lakukan dan katakan. Ngozi, untuk perempuan, masihkah terkait dengan rambut?
NOI: Certainly, Julia. I laughed when Hillary Clinton said she envied my dress style, and particularly my signature scarf, so I don't need to worry about my hair. Like many of our women leaders, I've effectively adopted a uniform. It's a colorful one, it's African, it's me. I have developed my own style that I wear every day and I don't vary from it. That has helped protect me from endless discussion of my appearance. It's helped me to get people to listen to my words, not look at my clothes.
Tentu, Julia. Saya tertawa ketika Hillary Clinton bilang dia iri pada gaya pakaian saya, dan syal khas saya, jadi saya tidak harus memikirkan rambut saya. Seperti kebanyakan pemimpin perempuan, saya secara efektif mengadopsi seragam. Seragam yang berwarna-warni, ini Afrika, ini saya. Saya mengembangkan gaya saya yang saya kenakan tiap hari dan saya tidak melenceng jauh. Ini membantu saya melindungi diri dari diskusi tiada henti terkait penampilan saya. Ini membantu saya membuat orang mendengarkan saya, bukannya melihat pakaian saya.
JG: Hillary told us she lost the equivalent of 24 full days of campaign time in the 2016 election getting her hair and makeup done every day. But actually, contemporary problems for women leaders go far deeper than anything to do with looks. I'd better warn you now, I'm about to use a word many people would find rude. My favorite funny moment in our travels was discussing "resting bitch face" with Prime Minister Erna Solberg of Norway. The global research shows that if a man comes across as strong, ambitious, even self-seeking, that's fine, but if a woman does it, then the reactions against her can be as visceral as revulsion or contempt. They're pretty mind-bogglingly strong words, aren't they?
Hillary bilang dia kehilangan 24 hari kampanye di pemilihan 2016 untuk menata rambut dan riasannya setiap hari. Sebenarnya, sebaliknya pemimpin perempuan lebih dari sekadar penampilannya saja. Saya harus memperingatkan, saya akan menggunakan kata yang kasar. Momen lucu yang saya sukai di perjalanan adalah mendiskusikan “<i>resting bitch face</i>” dengan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg. Riset global menunjukkan bahwa laki-laki terlihat kuat, ambisius, bahkan mengedepankan dirinya, itu tidak masalah, tapi ketika perempuan melakukannya, reaksi melawan perempuan bisa sangat kuat dan menjijikkan atau merendahkan. Itu kata-kata yang sangat kuat, kan?
NOI: They certainly are, and women leaders talk about it intuitively, understanding that to be viewed as acceptable as a leader, they have to stay balanced on a tightrope between strength and empathy. If they come across as too tough, they're viewed as hard and unlikeable. But if they come across as too soft, they seem to be lacking the backbone needed to lead.
Benar sekali dan pemimpin perempuan membicarakannya secara intuitif, memahami bahwa untuk dipandang sebagai pemimpin yang baik, mereka harus menyeimbangkan antara kekuatan dan empati. Jika tampak terlalu kuat, mereka akan dipandang sulit dan tidak disukai Tapi jika dianggap terlalu lembut, mereka terlihat tidak cocok memimpin.
JG: The problem is we still all have sexist stereotypes whirring in the back of our brains. I was portrayed as out of touch because I don't have children. I was even compared to a barren cow in the bush, destined to be killed for hamburger mince.
Masalahnya kita masih punya stereotip seksis di belakang otak kita. Saya dipandang tidak tersentuh karena saya tidak punya anak. Saya bahkan dibandingkan dengan sapi mandul di rerumputan, ditakdirkan untuk dibunuh dan dibuat daging hamburger.
NOI: That's horrible that you faced that stereotype. While I was worried that people would think I couldn't do my job when my family was young, I enjoyed talking to New Zealand's Prime Minister Jacinda Ardern about her experience as the second woman ever to have a child while being a national leader. I was very taken by her saying she doesn't think she gets the work-life balance right, in the sense that she doesn't like the word "balance," and there's always guilt. She just makes it work.
Mengerikan bagaimana Anda masih menghadapi stereotip itu. Sementara saya khawatir orang akan menganggap saya tidak bisa bekerja karena keluarga saya masih muda, saya senang bicara dengan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengenai pengalamannya sebagai perempuan kedua yang memiliki anak saat menjadi pemimpin negara. Saya terkesan ketika dia bilang dia berpikir dia tidak bisa menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan, dalam artian dia tidak suka kata “seimbang”, dan selalu ada perasaan bersalah. Dia berusaha membuatnya selaras.
JG: Ngozi, where are men in this?
Ngozi, di mana laki-laki di sini?
NOI: Hopefully, manning up. Men can more equitably share domestic and care work. They can point out sexism when they see it. They can make space for women and mentor and sponsor them. Given that men disproportionately still have the power, we won't see change unless they work with us to create a world that will be better for men and women.
Mudah-mudahan, jadi kuat. Laki-laki bisa secara adil berbagi pekerjaan domestik dan perawatan. Mereka bisa menunjukkan seksisme ketika melihatnya. Mereka bisa memberi ruang untuk perempuan menjadi mentor dan sponsor mereka. Fakta bahwa laki-laki masih dominan memegang kekuasaan, tidak akan ada perubahan jika mereka tidak mau bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih baik untuk laki-laki dan perempuan.
JG: Let's talk about the "glass cliff" phenomenon. If a business or an organization is going well, then they're likely to appoint a new leader who looks a lot like the old one -- that is, a man. But if they are in difficulties, they decide it's time to get someone quite different, and often reach for a woman. To take one example, Christine Lagarde became the first woman to lead the International Monetary Fund when it was in crisis after its former head was arrested for sexual assault. Ngozi, while not as dramatic as that, you know a bit about glass cliffs too.
Mari bicara tentang fenomena “tebing kaca.” Jika pebisnis atau organisasi berjalan dengan baik, mereka mungkin akan memilih pemimpin baru yang mirip seperti pemimpin lama -- yaitu laki-laki. Namun, jika mereka mengalami kesulitan, mereka memutuskan ini saatnya memilih pemimpin yang berbeda dan seringkali memilih perempuan. Contohnya, Christine Lagarde jadi perempuan pertama yang memimpin Dana Moneter Dunia setelah krisis akibat pemimpin sebelumnya ditangkap karena kekerasan seksual. Ngozi, meski kita tidak sedramatis itu, Anda mungkin tahu tentang fenomena tebing kaca juga.
NOI: I certainly do. I remember clearly being chosen, as a young woman, to lead a very problematic World Bank project in Rwanda. No one else wanted to lead it, lest they fail. So there was this attitude of "if she pulls it off, it's OK. If she fails, then, well, she's just a young African woman whose career doesn't matter that much." From that experience, I learned things about myself and leadership, and the biggest lesson we can share is this: if you have a sense of purpose that drives you, then aim high -- become a leader. And make room as you go. Former US Secretary of State Madeleine Albright is fond of saying that there's a special place in hell for women who don't support women. In this world, we need to be there for each other.
Iya, saya tahu. Saya ingat sebagai perempuan muda saya dipilih untuk memimpin proyek Bank Dunia yang sangat bermasalah di Rwanda. Tidak ada seorang pun yang mau memimpinnya karena takut gagal. Jadi, ada sikap “kalau dia berhasil, oke, kalau dia gagal, ya, dia hanya perempuan muda Afrika yang kariernya tidak begitu penting.” Dari pengalaman itu, saya belajar tentang diri saya dan kepemimpinan dan pelajaran terbesar saya adalah: jika kamu punya tujuan yang mendorongmu, pasang target yang tinggi -- jadilah pemimpin. Dan buat ruang dalam perjalananmu. Menteri Luar Negeri Amerika sebelumnya, Madeleine Albright suka pepatah ada tempat khusus di neraka untuk perempuan yang tidak mendukung perempuan. Di dunia ini, kita harus mendukung satu sama lain.
JG: There's a bit of good news and bad news here. Certainly the research shows that the stereotype about the businesswoman who makes it to the top and then stops other women coming through isn't borne out by the facts. The constraint seems to be that organizations think once they've got a woman or two, they don't need to worry about gender anymore. But we do have to be frank -- women do get pitted against other women for the limited number of seats at the table. We have to be wary of having our solidarity with each other eroded by these politics of scarcity. Instead, we should work together to change the rules that keep us at the margins.
Ada sedikit kabar gembira dan kabar buruk. Riset menunjukkan bahwa stereotip tentang wanita karier yang mencapai posisi atas kemudian menghentikan perempuan lain untuk mengejarnya tidak lahir dari fakta. Paksaan ini sepertinya adalah cara pikir organisasi ketika mereka sudah punya satu atau dua perempuan sehingga mereka tidak perlu memikirkan tentang gender lagi. Namun, kita harus jujur -- perempuan dipaksa bersaing dengan perempuan lain untuk jumlah kursi yang sedikit. Kita harus khawatir solidaritas satu sama lain kita tergerus karena politik pembatasan ini. Sebaliknya, kita harus bekerja sama untuk mengubah aturan yang memberi kita ruang yang sempit.
NOI: So to summarize, our standout lessons are ... Number one, there's no right way to be a woman leader. Be true to yourself.
Kesimpulannya, pelajaran berharga kita adalah... Pertama, tidak ada cara paling benar untuk jadi pemimpin perempuan. Jadilah diri sendiri.
JG: Number two, we know that women leaders face sexism and stereotyping, so sit down with your mentors, sponsors, best supporters and friends and war-game. How are you going to deal with the gendered moments, with being judged on your appearance, with being assumed to be a bit of a bitch or with your family choices questioned? Forewarned is forearmed.
Kedua, kita tahu pemimpin perempuan menghadapi seksisme dan stereotip negatif, jadi duduklah dengan mentormu, sponsor, teman, dan pendukung terbaikmu dalam permainan perang. Bagaimana menghadapi momen yang berkaitan dengan gender, dengan penilaian akan penampilanmu, dengan asumsi kamu adalah orang yang sinis atau ketika pilihan keluargamu dipertanyakan? Persiapan akan memberikan keuntungan.
NOI: Number three, let everyone you know talking about gender stereotypes and debunking them: these false assumptions can't survive being held up to the light of day.
Ketiga, biarkan semua orang yang kamu kenal berbicara tentang stereotip gender dan patahkan itu: asumsi salah ini tidak akan bertahan melawan kenyataan.
JG: Number four, there are structural barriers too. Don't wait until you need help balancing work and family life or to be fairly evaluated for promotion. Be a supporter of systems and changes that aid gender equality even if you don't personally need them immediately.
Keempat, ada batasan struktural juga. Jangan menunggu sampai perlu bantuan untuk menyeimbangkan kerja & keluarga atau untuk dievaluasi dengan adil untuk promosi. Jadilah pendukung perubahan sistemik yang mendukung kesetaraan gender bahkan ketika secara personal kamu tidak segera membutuhkannya.
NOI: Number five, don't take a backwards step. Don't shy away from taking up space in the world. Don't assume you're too junior or people are too busy. Reach out, network.
Kelima, jangan mengambil langkah mundur. Jangan malu untuk mengambil ruang di dunia. Jangan berasumsi bahwa kamu terlalu muda atau orang lain terlalu sibuk. Bangun jaringan.
JG: That's great advice, and leads us to the most important lesson of all -- go for it.
Itu saran sangat baik dan akan membawa kita pada pelajaran paling berharga -- lakukanlah.
NOI: Yes, go for it.
Iya, lakukanlah.
JG: (Laughs) Thank you.
(Tertawa) Terima kasih.
NOI: Thank you.
Terima kasih.