Suppose that two American friends are traveling together in Italy. They go to see Michelangelo's "David," and when they finally come face-to-face with the statue, they both freeze dead in their tracks. The first guy -- we'll call him Adam -- is transfixed by the beauty of the perfect human form. The second guy -- we'll call him Bill -- is transfixed by embarrassment, at staring at the thing there in the center. So here's my question for you: Which one of these two guys was more likely to have voted for George Bush, which for Al Gore?
Misal ada dua orang Amerika yang bepergian bersama di Italia. Mereka ingin melihat karya Michaelangelo, "David," dan saat menyaksikan patung tersebut, keduanya mematung. Orang pertama --- panggil saja Adam --- terpaku oleh keindahan bentuk manusia yang sempurna. Orang kedua --- panggil saja Bill --- terpana menatap malu pada sesuatu yang ada di tengah. Jadi, ini pertanyaan saya: yang mana dari dua orang tadi yang kemungkinan memilih George Bush, mana yang Al Gore?
I don't need a show of hands, because we all have the same political stereotypes. We all know that it's Bill. And in this case, the stereotype corresponds to reality. It really is a fact that liberals are much higher than conservatives on a major personality trait called openness to experience. People who are high in openness to experience just crave novelty, variety, diversity, new ideas, travel. People low on it like things that are familiar, that are safe and dependable.
Anda tidak perlu mengacungkan tangan karena kita semua memiliki stereotipe politik yang sama. Kita tahu itu Bill. Dalam hal ini, stereotipe ini berhubungan dengan kenyataan. Ini fakta bahwa kaum liberal jauh lebih tinggi dari konservatif dalam sifat kepribadian yang disebut keterbukaan terhadap pengalaman. Orang yang lebih terbuka terhadap pengalaman mendambakan hal baru, variasi, keragaman, ide baru, petualangan. Orang yang tidak terbuka lebih suka sesuatu yang familier, aman, bisa diharapkan.
If you know about this trait, you can understand a lot of puzzles about human behavior, like why artists are so different from accountants. You can predict what kinds of books they like to read, what kinds of places they like to travel to and what kinds of food they like to eat. Once you understand this trait, you can understand why anybody would eat at Applebee's, but not anybody that you know.
Jika Anda mengetahui sifat tersebut, Anda bisa memahami banyak teka-teki tentang perilaku manusia. Anda bisa memahami mengapa seniman begitu berbeda dari akuntan. Anda bisa memprediksi jenis buku apa yang ingin mereka baca, tempat-tempat mana yang ingin mereka kunjungi, dan jenis makanan apa yang mereka sukai. Setelah memahami sifat ini, Anda bisa memahami mengapa Anda tidak mengenal satu pun orang yang suka makan di Applebee.
(Laughter)
(Suara tawa)
This trait also tells us a lot about politics. The main researcher of this trait, Robert McCrae, says that "Open individuals have an affinity for liberal, progressive, left-wing political views ..." They like a society which is open and changing, "... whereas closed individuals prefer conservative, traditional, right-wing views."
Sifat ini juga memberi banyak informasi tentang politik. Peneliti utama dari sifat ini, Robert McCrae mengatakan, "Individu yang terbuka cenderung punya pandangan politik kiri yang liberal, progresif" -- mereka menyukai tatanan sosial yang terbuka dan berubah -- "sedangkan individu yang tertutup lebih memilih padangan politik kanan yang konservatif, tradisional." Sifat ini juga memberitahu kita jenis kelompok yang diikuti masyarakat.
This trait also tells us a lot about the kinds of groups people join. Here's the description of a group I found on the web. What kinds of people would join "a global community ... welcoming people from every discipline and culture, who seek a deeper understanding of the world, and who hope to turn that understanding into a better future for us all"? This is from some guy named Ted.
Ini deskripsi sebuah kelompok yang saya temukan di Web. Orang macam apa yang mau bergabung dengan komunitas global menyapa orang-orang dari berbagai disiplin ilmu dan budaya, yang mencari pemahaman lebih dalam tentang dunia, dan mengharap perubahan menuju masa depan yang lebih baik bagi kita semua? Ini dari seseorang yang bernama TED. (Suara tawa)
Well, let's see now. If openness predicts who becomes liberal, and openness predicts who becomes a TEDster, then might we predict that most TEDsters are liberal? Let's find out.
Jika keterbukaan meramalkan siapa yang liberal, dan keterbukaan meramalkan siapa yang menjadi TEDster, apa kita bisa memperkirakan bahwa kebanyakan TEDster liberal? Mari kita cari tahu.
I'll ask you to raise your hand, whether you are liberal, left of center -- on social issues, primarily -- or conservative. And I'll give a third option, because I know there are libertarians in the audience. So please raise your hand -- in the simulcast rooms too. Let's let everybody see who's here. Please raise your hand if you'd say that you're liberal or left of center. Please raise your hand high right now. OK. Please raise your hand if you'd say you're libertarian. OK. About two dozen. And please raise your hand if you'd say you are right of center or conservative. One, two, three, four, five -- about eight or 10.
Saya meminta Anda untuk mengangkat tangan, bila Anda orang liberal, golongan kiri -- terutama pada masalah sosial yang sedang kita bicarakan -- atau yang konservatif, dan saya akan memberikan pilihan ketiga, karena saya tahu ada sejumlah libertarian di antara penonton. Jadi, sekarang, silakan angkat tangan Anda -- juga yang berada di ruang simulcast, mari kita biarkan semua orang tahu siapakah yang ada di sini. Silakan angkat tangan jika Anda menyatakan bahwa Anda liberal atau golongan kiri. Silakan angkat tangan Anda sekarang. OK. Silakan angkat tangan jika Anda menyatakan bahwa Anda libertarian! OK, sekitar satu -- 2 lusin. Silakan angkat tangan jika Anda menyatakan bahwa Anda golongan kanan atau konservatif. Satu, dua, tiga, empat, lima --- sekitar delapan atau 10.
OK. This is a bit of a problem. Because if our goal is to seek a deeper understanding of the world, our general lack of moral diversity here is going to make it harder. Because when people all share values, when people all share morals, they become a team. And once you engage the psychology of teams, it shuts down open-minded thinking. When the liberal team loses,
OK. Ini akan jadi sedikit masalah. Karena jika yang menjadi tujuan kita adalah memahami dunia, untuk mencari pemahaman dunia yang lebih dalam kurangnya keragaman moral kita akan menjadikan ini lebih sulit. Karena ketika semua orang berbagi nilai, moral yang sama, mereka menjadi tim, dan begitu Anda melibatkan psikologi tim, itu akan mematikan pemikiran terbuka. Ketika tim liberal kalah, seperti yang terjadi pada tahun 2004,
[United States of Canada / Jesusland]
as it did in 2004, and as it almost did in 2000, we comfort ourselves.
dan itu hampir terjadi pada tahun 2000, kita menghibur diri.
(Laughter)
(Suara tawa)
We try to explain why half of America voted for the other team. We think they must be blinded by religion
Kita mencoba untuk menjelaskan mengapa setengah dari Amerika memilih tim lain. Kita pikir mereka pasti telah dibutakan oleh agama, atau karena kebodohan.
[Post-election US map: America / Dumbf*ckistan]
or by simple stupidity.
(Suara tawa)
(Laughter)
(Applause)
(Tepuk tangan)
(Laughter)
Jadi, jika Anda berpikir bahwa separuh Amerika memilih Republik
So if you think that half of America votes Republican because they are blinded in this way, then my message to you is that you're trapped in a moral Matrix, in a particular moral Matrix. And by "the Matrix," I mean literally the Matrix, like the movie "The Matrix."
karena mereka dibutakan seperti itu, maka saya katakan Anda terjebak dalam sebuah matriks moral. di sebuah matriks moral tertentu Dengan matriks, maksud saya matriks seperti dalam film "The Matrix."
But I'm here today to give you a choice. You can either take the blue pill and stick to your comforting delusions, or you can take the red pill, learn some moral psychology and step outside the moral Matrix. Now, because I know --
Tapi saya hari ini akan memberi Anda sebuah pilihan. Anda bisa memilih pil biru dan menikmati khayalan nyaman Anda, atau Anda memilih pil merah, belajar psikologi moral dan melangkah keluar matriks moral. Sekarang, karena saya tahu ---
(Applause)
(Tepuk tangan)
I assume that answers my question. I was going to ask which one you picked, but no need. You're all high in openness to experience, and it looks like it might even taste good, and you're all epicures. Anyway, let's go with the red pill, study some moral psychology and see where it takes us.
OK, saya anggap itu jawaban atas pertanyaan saya. Saya tadi akan bertanya mana yang Anda pilih, tapi sepertinya tidak perlu. Anda semua terbuka terhadap pengalaman baru dan lagi, Anda punya selera yang bagus. Jadi, mari kita lihat pil merah. Mari belajar psikologi moral dan perhatikan ke mana ini membawa kita.
Let's start at the beginning: What is morality, where does it come from? The worst idea in all of psychology is the idea that the mind is a blank slate at birth. Developmental psychology has shown that kids come into the world already knowing so much about the physical and social worlds and programmed to make it really easy for them to learn certain things and hard to learn others. The best definition of innateness I've seen, which clarifies so many things for me, is from the brain scientist Gary Marcus. He says, "The initial organization of the brain does not depend that much on experience. Nature provides a first draft, which experience then revises. 'Built-in' doesn't mean unmalleable; it means organized in advance of experience." OK, so what's on the first draft of the moral mind? To find out, my colleague Craig Joseph and I read through the literature on anthropology, on culture variation in morality and also on evolutionary psychology, looking for matches: What sorts of things do people talk about across disciplines that you find across cultures and even species? We found five best matches, which we call the five foundations of morality.
Mari kita mulai dari awal. Apa itu moralitas dan dari mana asalnya? Gagasan terburuk dalam psikologi menyatakan bahwa pikiran manusia itu kosong ketika lahir. Psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir ke dunia sudah tahu banyak tentang dunia fisik dan sosial, dan diprogram untuk mudah mempelajari hal-hal tertentu tapi sulit untuk mempelajari hal lainnya. Definisi terbaik dari bakat lahir yang pernah saya temukan -- ini sangat menjelaskan banyak hal bagi saya -- adalah dari ilmuwan otak Gary Marcus. Dia berkata, "Organisasi awal dari otak tidak tergantung banyak pada pengalaman. Alam menyediakan draf pertama, yang kemudian direvisi oleh pengalaman. Sudah ada draf tidak berarti tidak bisa berubah; ini artinya terorganisir sebelum ada pengalaman." OK, lalu apa yang ada pada draf pertama pemikiran moral? Untuk mengetahuinya, rekan saya Craig Joseph, dan saya telah membaca literatur antropologi, tentang moralitas pada berbagai budaya dan juga pada psikologi evolusioner, mencari keterkaitannya. Jadi apa yang diperbincangkan orang lintas disiplin ilmu, yang Anda temukan dari seluruh kebudayaan atau bahkan di seluruh spesies? Kami menemukan 5 --- 5 kaitan terbaik, yang kita sebut 5 dasar moralitas.
The first one is harm/care. We're all mammals here, we all have a lot of neural and hormonal programming that makes us really bond with others, care for others, feel compassion for others, especially the weak and vulnerable. It gives us very strong feelings about those who cause harm. This moral foundation underlies about 70 percent of the moral statements I've heard here at TED.
Yang pertama perlindungan dari bahaya. Kita semua mamalia, punya banyak saraf dan hormon pemrograman yang membuat kita terikat dengan orang lain, memperhatikan orang lain, kasihan kepada orang lain, terutama kepada kaum yang lemah dan rentan. Ini memberi kita naluri yang kuat terhadap mereka yang menyebabkan bahaya. Landasan moral ini yang mendasari sekitar 70 persen dari pernyataan moral yang pernah saya dengar di sini di TED.
The second foundation is fairness/reciprocity. There's actually ambiguous evidence as to whether you find reciprocity in other animals, but the evidence for people could not be clearer. This Norman Rockwell painting is called "The Golden Rule" -- as we heard from Karen Armstrong, it's the foundation of many religions. That second foundation underlies the other 30 percent of the moral statements I've heard here at TED.
Dasar kedua adalah keadilan timbal balik. Sebenarnya ada bukti yang samar atas adanya timbal balik ini pada hewan lain, namun bukti pada manusia sangat jelas. Lukisan Norman Rockwell dinamakan "The Golden Rule," dan kita mendengar ini dari Karen Armstrong, tentu saja, sebagai dasar bagi begitu banyak agama. Landasan kedua ini mendasari 30 persen lainnya dari pernyataan moral yang saya pernah dengar di sini di TED.
The third foundation is in-group/loyalty. You do find cooperative groups in the animal kingdom, but these groups are always either very small or they're all siblings. It's only among humans that you find very large groups of people who are able to cooperate and join together into groups, but in this case, groups that are united to fight other groups. This probably comes from our long history of tribal living, of tribal psychology. And this tribal psychology is so deeply pleasurable that even when we don't have tribes, we go ahead and make them, because it's fun.
Landasan ketiga yakni loyalitas kelompok. Memang ada kelompok dalam kerajaan hewan -- ada kelompok kerja sama --- tetapi kelompok ini biasanya jumlahnya sangat kecil atau bersaudara. Hanya pada manusia kita temukan kelompok dalam jumlah yang sangat besar mampu bekerja sama, bergabung bersama dalam kelompok -- dalam hal ini, kelompok yang dipersatukan untuk melawan kelompok lain. Ini mungkin berasal dari sejarah panjang kehidupan suku kita, psikologi kesukuan. Psikologi kesukuan ini sangat menyenangkan bahkan ketika kita tidak punya suku, kita langsung membuatnya karena itu menyenangkan.
(Laughter)
(Suara tawa)
Sports is to war as pornography is to sex. We get to exercise some ancient drives.
Hubungan olahraga dengan perang itu seperti pornografi dengan seks. Kita bisa mempraktikkan naluri kuno ini.
The fourth foundation is authority/respect. Here you see submissive gestures from two members of very closely related species. But authority in humans is not so closely based on power and brutality as it is in other primates. It's based on more voluntary deference and even elements of love, at times.
Landasan keempat adalah rasa hormat-otoritas. Di sini Anda melihat gerakan ketundukan dari dua anggota spesies yang masih sangat berkaitan -- tetapi otoritas pada manusia tidak didasarkan pada kekuatan dan kekejaman, seperti pada primata lainnya. Tapi didasarkan pada penghormatan tulus, atau bahkan ada unsur cinta juga.
The fifth foundation is purity/sanctity. This painting is called "The Allegory Of Chastity," but purity is not just about suppressing female sexuality. It's about any kind of ideology, any kind of idea that tells you that you can attain virtue by controlling what you do with your body and what you put into your body. And while the political right may moralize sex much more, the political left is doing a lot of it with food. Food is becoming extremely moralized nowadays. A lot of it is ideas about purity, about what you're willing to touch or put into your body.
Landasan yang kelima adalah kemurnian-kesucian. Lukisan ini dinamakan "Kiasan Kesucian," tapi kemurnian ini tidak semata-mata menonjolkan seksualitas perempuan. Ini tentang segala jenis ideologi, apapun idenya, yang memberi nasihat bahwa Anda bisa memperoleh kebajikan dengan mengendalikan seluruh gerak tubuh Anda, dengan mengendalikan apa yang masuk ke tubuh Anda. Ketika politik kanan mungkin lebih mengangkat masalah seks, politik kiri banyak melakukannya dengan makanan. Makanan menjadi masalah moral saat ini, dan ide ini kebanyakan mengenai ide kesucian, mengenai apa yang Anda sentuh atau masukkan ke tubuh Anda.
I believe these are the five best candidates for what's written on the first draft of the moral mind. I think this is what we come with, a preparedness to learn all these things. But as my son Max grows up in a liberal college town, how is this first draft going to get revised? And how will it end up being different from a kid born 60 miles south of us, in Lynchburg, Virginia?
Saya yakin ini adalah lima kandidat terbaik, apa yang tertulis pada draf pertama pikiran moral. Saya rasa ini adalah hal terakhir yang kita sadari, sebuah kesiapan untuk mempelajari segala hal Tapi ketika Max anak saya tumbuh besar di sebuah kota kampus liberal, bagaimana draf pertama ini direvisi? Bagaimana ia akhirnya akan jadi berbeda dari seorang anak lahir 60 km sebelah selatan kita di Lynchburg, Virginia?
To think about culture variation, let's try a different metaphor. If there really are five systems at work in the mind, five sources of intuitions and emotions, then we can think of the moral mind as one of those audio equalizers that has five channels, where you can set it to a different setting on every channel. My colleagues Brian Nosek and Jesse Graham and I made a questionnaire, which we put up on the web at www.YourMorals.org. And so far, 30,000 people have taken this questionnaire, and you can, too. Here are the results from about 23,000 American citizens. On the left are the scores for liberals; on the right, conservatives; in the middle, moderates. The blue line shows people's responses on the average of all the harm questions.
Berpikir tentang variasi budaya, mari kita coba metafora yang berbeda. Jika benar ada lima sistem yang bekerja dalam pikiran -- lima sumber intuisi dan emosi -- maka kita bisa membayangkan pemikiran moral tersebut seperti halnya satu dari audio equalizer yang memiliki lima saluran, di mana bisa bisa mengatur setelan berbeda pada setiap saluran. Kolega saya, Brian Nosek dan Jesse Graham, dan saya, membuat kuesioner, yang kita muat di Web di www.YourMorals.org. Sejauh ini, 30.000 orang telah mengikuti kuesioner ini, dan Anda juga bisa. Berikut ini adalah hasilnya. Berikut adalah hasil dari sekitar 23.000 warga Amerika. Di sebelah kiri saya sudah mengisikan skor untuk liberal, di sebelah kanan itu untuk konservatif, yang di tengah untuk moderat. Garis biru menunjukkan respons masyarakat rata-rata, atas semua pertanyaan tajam ini.
So as you see, people care about harm and care issues. They highly endorse these sorts of statements all across the board, but as you also see, liberals care about it a little more than conservatives; the line slopes down. Same story for fairness. But look at the other three lines. For liberals, the scores are very low. They're basically saying, "This is not morality. In-group, authority, purity -- this has nothing to do with morality. I reject it." But as people get more conservative, the values rise. We can say liberals have a two-channel or two-foundation morality. Conservatives have more of a five-foundation, or five-channel morality.
Seperti yang Anda lihat, orang peduli dengan bahaya dan perlindungan. Mereka memberikan dukungan yang tinggi terhadap jenis pernyataan ini di seluruh papan, tetapi seperti yang juga Anda lihat, liberal lebih sedikit peduli dibanding konservatif, garis menurun. Hal yang sama juga berlaku dalam keadilan. Tapi lihat pada tiga garis lainnya, untuk liberal skor sangat rendah. Liberal pada dasarnya berkata, "Tidak, ini bukan moralitas. Otoritas Kelompok, kemurnian --- tidak ada hubungannya dengan moralitas, Saya menolaknya." Tapi ketika orang menjadi lebih konservatif, nilai-nilai yang dipakai bertambah. Kita bisa mengatakan bahwa kaum liberal punya semacam 2 jenis saluran, atau 2 landasan moralitas. Konservatif memiliki lebih dari 5 landasan moral. atau 5 saluran moralitas
We find this in every country we look at. Here's the data for 1,100 Canadians. I'll flip through a few other slides. The UK, Australia, New Zealand, Western Europe, Eastern Europe, Latin America, the Middle East, East Asia and South Asia. Notice also that on all of these graphs, the slope is steeper on in-group, authority, purity, which shows that, within any country, the disagreement isn't over harm and fairness. I mean, we debate over what's fair, but everybody agrees that harm and fairness matter. Moral arguments within cultures are especially about issues of in-group, authority, purity.
Kami menemukan ini pada setiap negara yang kami lihat. Berikut data 1.100 orang Kanada Saya hanya akan membuka cepat slide lainnya. Inggris, Australia, Selandia Baru, Eropa Barat, Eropa Timur, Amerika Latin, Timur Tengah, Asia Timur dan Asia Selatan. Perhatikan juga bahwa pada semua grafik, kemiringan yang lebih curam ada pada Kesetiaan Kelompok, Otoritas, Kemurnian. Yang menunjukkan bahwa di negara manapun, ketidaksepakatan tidak terdapat pada Perlindungan atas Bahaya dan Keadilan. Semua orang -- maksud saya, kita memperdebatkan tentang apa itu Keadilan --- tapi semua orang setuju akan masalah Perlindungan atas Bahaya dan Keadilan. Argumen moral dalam budaya terutama tentang tentang Kesetiaan Kelompok, Otoritas, Kemurnian.
This effect is so robust, we find it no matter how we ask the question. In a recent study, we asked people, suppose you're about to get a dog, you picked a particular breed, learned about the breed. Suppose you learn that this particular breed is independent-minded and relates to its owner as a friend and an equal. If you're a liberal, you say, "That's great!" because liberals like to say, "Fetch! Please."
Efek ini begitu kuat, yang kita temukan -- tidak peduli bagaimana caranya. Dalam sebuah penelitian mutakhir, kami meminta orang berandai-andai akan mendapatkan anjing. Anda memilih jenis tertentu, Anda mempelajari beberapa informasi baru tentang jenis tersebut. Misalkan Anda tahu bahwa jenis tertentu tersebut bersifat mandiri, dan berhubungan dengan pemiliknya sebagai teman dan sejajar? Jika Anda liberal yang Anda katakan, "Hei, itu bagus!" karena liberal suka mengatakan "Tolong ambilkan"
(Laughter)
(Suara tawa)
But if you're a conservative, that's not so attractive. If you're conservative and learn that a dog's extremely loyal to its home and family and doesn't warm up to strangers, for conservatives, loyalty is good; dogs ought to be loyal. But to a liberal, it sounds like this dog is running for the Republican nomination.
Tapi jika Anda konservatif, "Itu tidak menarik." Jika Anda konservatif dan tahu kalau anjing itu sangat setia kepada rumah dan keluarga, dan tidak cepat ramah dengan orang asing, untuk konservatif --- Oh, loyalitas itu baik --- anjing memang seharusnya setia. Tetapi bagi kaum liberal, sepertinya anjing ini sedang sedang menjadi calon dari Partai Republik.
(Laughter)
(Suara tawa)
You might say, OK, there are differences between liberals and conservatives, but what makes the three other foundations moral? Aren't they the foundations of xenophobia, authoritarianism and puritanism? What makes them moral? The answer, I think, is contained in this incredible triptych from Hieronymus Bosch, "The Garden of Earthly Delights." In the first panel, we see the moment of creation. All is ordered, all is beautiful, all the people and animals are doing what they're supposed to be doing, are where they're supposed to be. But then, given the way of the world, things change. We get every person doing whatever he wants, with every aperture of every other person and every other animal. Some of you might recognize this as the '60s.
Jadi Anda mungkin berkata, OK, ada perbedaan antara liberal dan konservatif, tetapi apa yang membuat adanya ketiga landasan moral lain? Bukankah itu hanya landasan dari xenofobia dan otoritarianisme dan Puritanisme? Apa yang membuat itu semua sebagai Nilai Moral? Jawabannya terkandung dalam triptych luar biasa dari Hieronymus Bosch, "The Garden of Earthly Delights." Pada panel pertama, kita menyaksikan saat-saat penciptaan. Semuanya teratur, semua indah, semua orang dan binatang melakukan apa yang seharusnya dilakukan, berada di mana seharusnya ada. Tapi kemudian, berlakulah cara dunia, dan segalanya berubah. Kita mendapati setiap orang melakukan apa yang dia inginkan, dengan setiap cerukan dari setiap orang dan setiap hewan. Beberapa dari Anda mungkin mengenali ini sebagai 60-an.
(Laughter)
(Suara tawa)
But the '60s inevitably gives way to the '70s, where the cuttings of the apertures hurt a little bit more. Of course, Bosch called this hell. So this triptych, these three panels, portray the timeless truth that order tends to decay. The truth of social entropy.
Tapi tahun 60-an pasti memberi jalan menuju ke 70-an, di mana potongan dari cerukan ini melukai sedikit banyak. Tentu saja, Bosch menyebut ini sebagai Neraka Jadi triptych ini, ketiga panel ini, menggambarkan kebenaran abadi yang cenderung membusuk. Kebenaran entropi sosial.
But lest you think this is just some part of the Christian imagination where Christians have this weird problem with pleasure, here's the same story, the same progression, told in a paper that was published in "Nature" a few years ago, in which Ernst Fehr and Simon Gächter had people play a commons dilemma, a game in which you give people money, and then, on each round of the game, they can put money into a common pot, then the experimenter doubles what's there, and then it's all divided among the players. So it's a nice analog for all sorts of environmental issues, where we're asking people to make a sacrifice and they don't really benefit from their own sacrifice. You really want everybody else to sacrifice, but everybody has a temptation to free ride. What happens is that, at first, people start off reasonably cooperative. This is all played anonymously. On the first round, people give about half of the money that they can. But they quickly see other people aren't doing so much. "I don't want to be a sucker. I won't cooperate." So cooperation quickly decays from reasonably good down to close to zero.
Tapi jangan Anda pikir ini hanya beberapa bagian dari imajinasi Kristen hanya karena Kristen memiliki masalah aneh dengan kesenangan, ini cerita yang sama, perkembangan yang sama, dari makalah yang diterbitkan di Nature beberapa tahun lalu, Ernst Fehr dan Simon Gachter meminta orang-orang memainkan sebuah dilema bersama. Sebuah permainan di mana Anda memberi uang kepada orang, dan kemudian pada setiap putaran permainan, mereka bisa memasukkan uang ke gelas yang sama, dan kemudian si peneliti menggandakan isinya, dan membagikannya ke semua pemain. Jadi itu adalah analog yang bagus untuk semua masalah masyarakat, di mana kita meminta orang untuk berkorban tapi mereka sendiri tidak mendapat keuntungan dari pengorbanan mereka. Tapi Anda benar-benar ingin yang lain juga berkorban, tapi semua orang tergoda untuk berlaku curang. Yang terjadi kemudian awalnya, orang-orang cukup kooperatif -- dan ini semua dimainkan secara anonim -- pada putaran pertama, orang memberikan sekitar setengah dari uang mereka. Tapi mereka cepat memperhatikan, "Sepertinya yang lain lebih sedikit, saya tidak ingin jadi yang kalah. Saya tidak akan bekerja sama." Kerja sama dengan cepat meluruh dari cukup baik, turun, mendekati angka nol. Tapi kemudian -- dan ini triknya --
But then -- and here's the trick -- Fehr and Gächter, on the seventh round, told people, "You know what? New rule. If you want to give some of your own money to punish people who aren't contributing, you can do that." And as soon as people heard about the punishment issue going on, cooperation shoots up. It shoots up and it keeps going up. Lots of research shows that to solve cooperative problems, it really helps. It's not enough to appeal to people's good motives. It helps to have some sort of punishment. Even if it's just shame or embarrassment or gossip, you need some sort of punishment to bring people, when they're in large groups, to cooperate. There's even some recent research suggesting that religion -- priming God, making people think about God -- often, in some situations, leads to more cooperative, more pro-social behavior.
Fehr dan Gachter berkata --- pada putaran ketujuh mereka berkata, "Ini aturan baru. Jika Anda ingin memberikan sebagian uang Anda untuk menghukum orang yang tidak berkontribusi, Anda bisa melakukannya." Seketika mendengar masalah hukuman diberlakukan, kerja sama menjadi meningkat. Meningkat dan terus meningkat. Banyak penelitian menunjukkan itu berguna sebagai solusi masalah dalam kerja sama. Tidak cukup hanya dengan mengharapkan niat baik orang, sangat berguna bila memiliki semacam hukuman. Meskipun itu hanya sekadar rasa malu atau gunjingan, Anda butuh hukuman untuk mengajak mereka, ketika berada dalam kelompok besar, untuk bekerja sama. Bahkan beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa agama -- utamanya Tuhan, membuat orang berpikir tentang Tuhan seringkali, dalam situasi tertentu mendorong perilaku kerja sama, lebih pro-sosial.
Some people think that religion is an adaptation evolved both by cultural and biological evolution to make groups to cohere, in part for the purpose of trusting each other and being more effective at competing with other groups. That's probably right, although this is a controversial issue. But I'm particularly interested in religion and the origin of religion and in what it does to us and for us, because I think the greatest wonder in the world is not the Grand Canyon. The Grand Canyon is really simple -- a lot of rock and a lot of water and wind and a lot of time, and you get the Grand Canyon. It's not that complicated. This is what's complicated: that people lived in places like the Grand Canyon, cooperating with each other, or on the savannahs of Africa or the frozen shores of Alaska. And some of these villages grew into the mighty cities of Babylon and Rome and Tenochtitlan. How did this happen? It's an absolute miracle, much harder to explain than the Grand Canyon.
Ada orang yang berpikir bahwa agama merupakan bentuk adaptasi yang berevolusi, secara budaya maupun biologis, untuk berkelompok dan saling membaur, sebagian untuk tujuan mempercayai satu sama lain, dan menjadi lebih efektif dalam bersaing dengan kelompok lain. Saya pikir itu mungkin benar, meskipun ini adalah masalah kontroversial. Tapi saya terutama tertarik pada agama, dan asal-mula agama, dan dalam apa yang dilakukannya kepada kita dan untuk kita. Karena saya berpikir bahwa keajaiban terbesar di dunia ini bukan Grand Canyon. Grand Canyon itu benar-benar sederhana. Hanya batu yang banyak, dan air dan angin yang banyak, dan waktu yang lama, dan Anda dapati Grand Canyon. Itu tidak rumit. Yang benar-benar rumit adalah bila manusia tinggal di tempat-tempat seperti Grand Canyon, bekerja sama dengan satu sama lain, atau di savana Afrika, atau di tepi beku Alaska, dan kemudian beberapa dari desa ini tumbuh menjadi kota-kota besar, Babel, dan Roma, dan Tenochtitlan. Bagaimana ini terjadi? Ini sebuah mukjizat, jauh lebih sulit untuk menjelaskannya daripada Grand Canyon.
The answer, I think, is that they used every tool in the toolbox. It took all of our moral psychology to create these cooperative groups. Yes, you need to be concerned about harm, you need a psychology of justice. But it helps to organize a group if you have subgroups, and if those subgroups have some internal structure, and if you have some ideology that tells people to suppress their carnality -- to pursue higher, nobler ends. Now we get to the crux of the disagreement between liberals and conservatives: liberals reject three of these foundations. They say, "Let's celebrate diversity, not common in-group membership," and, "Let's question authority," and, "Keep your laws off my body."
Jawabannya saya kira adalah mereka menggunakan semua yang mereka punya. Membutuhkan segenap psikologi moral kita untuk menciptakan kelompok yang bekerja sama. Ya, Anda perlu khawatir akan bahaya, Anda memang perlu psikologi keadilan. Tapi benar-benar membantu dalam mengorganisir kelompok jika Anda memiliki sub-kelompok, dan jika mereka sub-kelompok memiliki beberapa struktur internal, dan jika Anda memiliki beberapa ideologi yang menganjurkan mereka untuk menekan hawa nafsunya, untuk mengejar yang lebih tinggi, tujuan yang lebih mulia. Sekarang kita sampai ke inti dari perselisihan antara liberal dan konservatif. Karena liberal menolak tiga landasan tersebut. Mereka mengatakan "Tidak, mari kita rayakan perbedaan, jangan terbatas pada lingkup kelompok saja." Mereka berkata, "Mari kita persoalkan kekuasaan." Dan mereka berkata, "Jangan berlakukan hukum kalian atas diri saya."
Liberals have very noble motives for doing this. Traditional authority and morality can be quite repressive and restrictive to those at the bottom, to women, to people who don't fit in. Liberals speak for the weak and oppressed. They want change and justice, even at the risk of chaos. This shirt says, "Stop bitching, start a revolution." If you're high in openness to experience, revolution is good; it's change, it's fun. Conservatives, on the other hand, speak for institutions and traditions. They want order, even at some cost, to those at the bottom. The great conservative insight is that order is really hard to achieve. It's precious, and it's really easy to lose. So as Edmund Burke said, "The restraints on men, as well as their liberties, are to be reckoned among their rights." This was after the chaos of the French Revolution. Once you see that liberals and conservatives both have something to contribute, that they form a balance on change versus stability, then I think the way is open to step outside the moral Matrix.
Liberal memiliki motif yang sangat mulia dalam menangani hal ini. Otoritas tradisional, moralitas tradisional, bisa sangat represif, dan membatasi mereka yang berada di bawah, wanita, maupun orang yang bukan golongannya. Maka liberal berbicara untuk kaum lemah dan tertindas. Mereka menginginkan perubahan dan keadilan, bahkan dengan risiko kekacauan. Baju orang ini bertuliskan, "Berhenti mengeluh, mulailah revolusi." Jika Anda sangat suka akan keterbukaan untuk berpengalaman, revolusi sangat bagus, bisa mengubah, dan itu menyenangkan. Konservatif, di sisi lain, berbicara tentang lembaga dan tradisi. Mereka menginginkan tatanan, meskipun itu membebani mereka yang di bawah. Pemahaman dasar konservatif adalah bahwa tatanan sangat sulit dicapai, sangat berharga, dan sangat mudah hilang. Maka, ketika Edmund Burke berkata, "Pembatasan pada laki-laki, maupun kebebasan mereka, semuanya harus diperhitungkan dalam hak-hak mereka." Ini terjadi setelah kekacauan revolusi Prancis. Jadi setelah Anda melihat ini --- setelah Anda melihat bahwa kaum liberal dan konservatif keduanya memiliki sesuatu untuk dikontribusikan, mereka membentuk keseimbangan pada perubahan berbanding stabilitas -- maka saya pikir jalan itu terbuka, untuk melangkah di luar matriks moral
This is the great insight that all the Asian religions have attained. Think about yin and yang. Yin and yang aren't enemies; they don't hate each other. Yin and yang are both necessary, like night and day, for the functioning of the world. You find the same thing in Hinduism. There are many high gods in Hinduism. Two of them are Vishnu, the preserver, and Shiva, the destroyer. This image, actually, is both of those gods sharing the same body. You have the markings of Vishnu on the left, so we could think of Vishnu as the conservative god. You have the markings of Shiva on the right -- Shiva's the liberal god. And they work together.
Ini adalah gagasan besar yang telah dicapai semua agama di Asia. Pikirkan tentang Yin dan Yang. Yin dan Yang bukan musuh. Yin dan Yang tidak saling membenci. Yin dan Yang keduanya diperlukan, seperti siang dan malam, untuk fungsi dunia. Anda menemukan hal yang sama dalam agama Hindu. Ada beberapa dewa tertinggi dalam agama Hindu. Dua di antaranya adalah Wisnu Sang Pemelihara, dan Siwa sang penghancur. Gambar ini sebenarnya adalah kedua orang dewa berbagi tubuh yang sama. Anda memiliki tanda Wisnu di sebelah kiri, sehingga kita bisa memikirkan Wisnu sebagai dewa konservatif. Anda memiliki tanda Siwa di sebelah kanan, Siwa dewa liberal --- dan mereka bekerja bersama-sama.
You find the same thing in Buddhism. These two stanzas contain, I think, the deepest insights that have ever been attained into moral psychology. From the Zen master Sēngcàn: "If you want the truth to stand clear before you, never be 'for' or 'against.' The struggle between 'for' and 'against' is the mind's worst disease." Unfortunately, it's a disease that has been caught by many of the world's leaders. But before you feel superior to George Bush, before you throw a stone, ask yourself: Do you accept this? Do you accept stepping out of the battle of good and evil? Can you be not for or against anything?
Anda menemukan hal yang sama dalam Buddhisme. Kedua bait berisi, saya pikir, wawasan terdalam yang pernah dicapai dalam psikologi moral. Dari guru Zen Seng-ts'an: "Jika ingin kebenaran tegak jelas di hadapan Anda, jangan pernah membela ataupun memusuhinya, perjuangan antara yang membela dan menentang adalah penyakit pikiran yang terburuk." Sayangnya sekarang, ini sebuah penyakit yang telah ditangkap oleh banyak pemimpin dunia. Tapi sebelum Anda merasa superior terhadap George Bush, sebelum Anda melemparkan batu, tanyakan: Apakah Anda menerima ide untuk melangkah keluar dari pertempuran baik dan jahat? Bisakah Anda tidak membela atau memusuhi apapun?
So what's the point? What should you do? Well, if you take the greatest insights from ancient Asian philosophies and religions and combine them with the latest research on moral psychology, I think you come to these conclusions: that our righteous minds were designed by evolution to unite us into teams, to divide us against other teams and then to blind us to the truth. So what should you do? Am I telling you to not strive? Am I telling you to embrace Sēngcàn and stop, stop with the struggle of for and against?
Jadi apa maksudnya? Apa yang seharusnya Anda lakukan? Nah, jika Anda mengambil pandangan-pandangan besar dari filsafat Asia kuno dan Agama, dan Anda menggabungkannya dengan penelitian terbaru tentang psikologi moral, saya pikir Anda sampai pada kesimpulan berikut: Bahwa akal sehat kita dirancang oleh evolusi untuk mempersatukan kita sebagai sebuah tim, untuk memecah belah kita, melawan tim lain dan kemudian membutakan diri kita pada suatu kebenaran. Jadi apa yang harus Anda lakukan? Apakah saya sedang menasihati Anda untuk tidak berjuang? Apakah saya sedang menasihati Anda untuk merangkul pemikiran Seng-ts'an dan berhenti, berhenti berjuang dalam pembelaan dan permusuhan?
No, absolutely not. I'm not saying that. This is an amazing group of people who are doing so much, using so much of their talent, their brilliance, their energy, their money, to make the world a better place, to fight wrongs, to solve problems. But as we learned from Samantha Power in her story about Sérgio Vieira de Mello, you can't just go charging in, saying, "You're wrong, and I'm right," because, as we just heard, everybody thinks they are right.
Tidak, sama sekali tidak. Saya tidak mengatakan itu. Ini adalah kelompok masyarakat yang hebat yang melakukan begitu banyak, menggunakan bakat mereka, kecerdasan mereka, energi mereka, uang mereka, untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, untuk melawan --- untuk melawan kesalahan, untuk memecahkan masalah. Tapi seperti yang kita pelajari dari Samantha Power dalam ceritanya tentang Sergio Vieira de Mello, Anda tidak bisa hanya menyerang dan berkata, "Anda salah, dan saya benar." Karena, seperti yang saya katakan, semua orang berpikir mereka benar.
A lot of the problems we have to solve are problems that require us to change other people. And if you want to change other people, a much better way to do it is to first understand who we are -- understand our moral psychology, understand that we all think we're right -- and then step out, even if it's just for a moment, step out -- check in with Sēngcàn. Step out of the moral Matrix, just try to see it as a struggle playing out, in which everybody thinks they're right, and even if you disagree with them, everybody has some reasons for what they're doing. Step out. And if you do that, that's the essential move to cultivate moral humility, to get yourself out of this self-righteousness, which is the normal human condition. Think about the Dalai Lama. Think about the enormous moral authority of the Dalai Lama. It comes from his moral humility.
Terlalu banyak masalah yang harus kita selesaikan, yakni masalah yang mengharuskan kita mengubah orang lain. Jika Anda ingin mengubah orang lain, cara yang lebih baik untuk melakukannya adalah memahami terlebih dahulu siapa diri kita --- mengerti psikologi moral kita, . memahami bahwa ”kita semua berpikir bahwa kita benar” --- dan kemudian melangkah keluar --- meski hanya untuk sesaat, melangkah keluar --- lihat Seng-ts'an Melangkah keluar dari matriks moral, cobalah melihatnya sebagai sebuah perjuangan yang sedang bermain di mana setiap orang tidak berpikir mereka benar, dan semua orang, setidaknya mereka memiliki alasan --- bahkan jika Anda tidak setuju dengan mereka --- setiap orang memiliki alasan atas apa yang mereka lakukan. Melangkahlah keluar. Jika Anda melakukan itu, itu adalah langkah penting untuk menumbuhkan moral rendah hati, untuk mengeluarkan diri Anda dari kebenaran diri, yang merupakan kondisi manusia yang normal. Pikirkan tentang Dalai Lama. Pikirkan tentang otoritas moral Dalai Lama yang sangat besar -- dan itu datang dari kerendahan hati moralnya.
So I think the point -- the point of my talk and, I think, the point of TED -- is that this is a group that is passionately engaged in the pursuit of changing the world for the better. People here are passionately engaged in trying to make the world a better place. But there is also a passionate commitment to the truth. And so I think the answer is to use that passionate commitment to the truth to try to turn it into a better future for us all.
Jadi saya pikir yang menjadi tujuan – tujuan dari ceramah saya, dan saya memikirkan tujuan --- tujuan TED, yakni bahwa ini adalah kelompok yang sangat bersemangat terlibat dalam mengejar perubahan dunia menjadi lebih baik. Orang-orang di sini bersemangat terlibat dalam usaha dunia menjadi tempat yang lebih baik. Tapi ada juga komitmen gairah untuk kebenaran. Jadi, saya berpikir bahwa jawabannya adalah dengan menggunakan komitmen gairah tersebut untuk kebenaran, untuk mewujudkannya menjadi masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)