Chris Anderson: So, Jon, this feels scary.
Chris Anderson: Jon, ini menakutkan.
Jonathan Haidt: Yeah.
Jonathan Haidt: Ya.
CA: It feels like the world is in a place that we haven't seen for a long time. People don't just disagree in the way that we're familiar with, on the left-right political divide. There are much deeper differences afoot. What on earth is going on, and how did we get here?
CA: Rasanya seperti dunia saat ini dalam kondisi yang sudah lama sekali tidak kita lihat. Orang-orang tidak sekadar tidak setuju dengan cara yang biasa kita lihat, akan perbedaan politik sayap kiri-kanan. Ada banyak perbedaan yang mendalam. Apa yang sedang terjadi, dan bagaimana kita bisa sampai di sini?
JH: This is different. There's a much more apocalyptic sort of feeling. Survey research by Pew Research shows that the degree to which we feel that the other side is not just -- we don't just dislike them; we strongly dislike them, and we think that they are a threat to the nation. Those numbers have been going up and up, and those are over 50 percent now on both sides. People are scared, because it feels like this is different than before; it's much more intense.
JH: Ini berbeda. Ada perasaan seakan mau kiamat. Survei oleh <i>Pew Research</i> menunjukkan bahwa perasaan kita terhadap pihak seberang bukan sekedar -- bukan hanya tidak suka; tapi amat sangat tidak suka, dan menurut kita mereka adalah ancaman bagi bangsa ini. Makin banyak yang merasa demikian, dan melebihi 50% pada kedua belah pihak. Orang-orang ketakutan, karena rasanya berbeda dari sebelumnya; jauh lebih tegang.
Whenever I look at any sort of social puzzle, I always apply the three basic principles of moral psychology, and I think they'll help us here. So the first thing that you have to always keep in mind when you're thinking about politics is that we're tribal. We evolved for tribalism. One of the simplest and greatest insights into human social nature is the Bedouin proverb: "Me against my brother; me and my brother against our cousin; me and my brother and cousins against the stranger." And that tribalism allowed us to create large societies and to come together in order to compete with others. That brought us out of the jungle and out of small groups, but it means that we have eternal conflict. The question you have to look at is: What aspects of our society are making that more bitter, and what are calming them down?
Setiap kali saya mengamati teka-teki sosial, saya selalu menerapkan tiga prinsip dasar psikologi moral, yang menurut saya bisa membantu kita. Yang perlu Anda ingat ketika memikirkan politik adalah bahwa manusia itu kesukuan. Kita berevolusi dalam kesukuan. Salah satu pemikiran paling sederhana dan hebat tentang sifat manusia adalah peribahasa Bedouin: "Aku melawan abangku; aku dan abangku melawan sepupu kami; aku, abangku dan para sepupu kami melawan orang asing." Dan sifat kesukuan itu mengizinkan kita membangun komunitas masyarakat dan bersama-sama bersaing dengan suku lain. Ia membawa kita keluar dari hutan dan keluar dari kelompok kecil, tapi juga berarti kita selalu ada dalam konflik. Dan pertanyaannya adalah: Aspek apa dalam masyarakat kita yang membuatnya semakin parah dan apa yang bisa menenangkannya?
CA: That's a very dark proverb. You're saying that that's actually baked into most people's mental wiring at some level?
CA: Itu peribahasa yang sangat kelam. Yang Anda katakan adalah pada dasarnya otak manusia diprogram seperti itu?
JH: Oh, absolutely. This is just a basic aspect of human social cognition. But we can also live together really peacefully, and we've invented all kinds of fun ways of, like, playing war. I mean, sports, politics -- these are all ways that we get to exercise this tribal nature without actually hurting anyone. We're also really good at trade and exploration and meeting new people. So you have to see our tribalism as something that goes up or down -- it's not like we're doomed to always be fighting each other, but we'll never have world peace.
JH: Tentu saja. Ini hanyalah aspek dasar dari kesadaran sosial manusia. Tapi kita juga bisa hidup bersama dengan damai, kita menciptakan berbagai cara menyenangkan seperti main perang-perangan. Aktivitas olahraga, politik -- adalah cara yang kita gunakan untuk mempraktikkan sifat kesukuan alamiah ini tanpa menyakiti siapa pun. Kita juga ahli dalam berdagang dan mengeksplorasi dan bertemu orang baru. Sifat kesukuan kita itu sifatnya naik-turun -- kita tidak ditakdirkan untuk selalu bersengketa, tapi kita tidak akan pernah mencapai perdamaian dunia.
CA: The size of that tribe can shrink or expand.
CA: Ukuran suku itu bisa menyusut dan membesar.
JH: Right.
JH: Betul.
CA: The size of what we consider "us" and what we consider "other" or "them" can change. And some people believed that process could continue indefinitely.
CA: Persepsi kita tentang apa itu "kita" dan apa itu "orang lain" atau "mereka" bisa berubah. Dan ada orang yang percaya proses ini bisa berlangsung terus-menerus.
JH: That's right.
JH: Betul.
CA: And we were indeed expanding the sense of tribe for a while.
CA: Dan memang terjadi perluasan pemahaman kita tentang suku, selama beberapa waktu.
JH: So this is, I think, where we're getting at what's possibly the new left-right distinction. I mean, the left-right as we've all inherited it, comes out of the labor versus capital distinction, and the working class, and Marx. But I think what we're seeing now, increasingly, is a divide in all the Western democracies between the people who want to stop at nation, the people who are more parochial -- and I don't mean that in a bad way -- people who have much more of a sense of being rooted, they care about their town, their community and their nation. And then those who are anti-parochial and who -- whenever I get confused, I just think of the John Lennon song "Imagine." "Imagine there's no countries, nothing to kill or die for." And so these are the people who want more global governance, they don't like nation states, they don't like borders. You see this all over Europe as well. There's a great metaphor guy -- actually, his name is Shakespeare -- writing ten years ago in Britain. He had a metaphor: "Are we drawbridge-uppers or drawbridge-downers?" And Britain is divided 52-48 on that point. And America is divided on that point, too.
JH: Jadi, menurut saya, ketika menemukan kemungkinan definisi baru sayap kiri dan kanan, maksud saya, pemahaman sayap kiri dan kanan yang kita warisi, lahir dari pembedaan tenaga kerja vs kapital, dan kelas pekerja, dan Marx. Tapi yang kita lihat sekarang, menurut saya, adalah semakin terpecahnya demokrasi Barat antara orang-orang yang tujuan akhirnya adalah negara, dan orang-orang yang lebih religius -- dan saya tidak memandangnya negatif -- orang-orang yang lebih merasa memiliki akar, peduli akan kota mereka, masyarakat mereka, bangsa mereka. Dan orang-orang yang tidak religius dan yang -- ketika bingung, saya suka memikirkan lagu "Imagine" John Lennon: "Bayangkan tak ada negara, tak ada alasan untuk membunuh dan mati." Dan orang-orang ini menginginkan lebih banyak pengaturan global, mereka tidak suka negara-bangsa, mereka tidak suka perbatasan. Kita melihat hal yang sama di Eropa. Ada penyuka metafor yang hebat -- namanya Shakespeare -- ia menulis sepuluh tahun lalu di Inggris. Metafora-nya seperti ini: "Kita mau menutup jembatan atau membuka jembatan?" Inggris terbagi pendapatnya 52-48. Dan Amerika juga terpecah pendapatnya.
CA: And so, those of us who grew up with The Beatles and that sort of hippie philosophy of dreaming of a more connected world -- it felt so idealistic and "how could anyone think badly about that?" And what you're saying is that, actually, millions of people today feel that that isn't just silly; it's actually dangerous and wrong, and they're scared of it.
CA: Jadi kita-kita yang tumbuh besar di masa The Beatles dengan filosofi hippie yang memimpikan dunia yang lebih terhubung -- rasanya begitu idealis dan "kenapa ada yang berpikir itu buruk?" Dan yang Anda katakan adalah bahwa saat ini jutaan orang merasa pemikiran seperti itu tidak hanya konyol; tapi bahkan salah dan berbahaya, dan mereka merasa takut.
JH: I think the big issue, especially in Europe but also here, is the issue of immigration. And I think this is where we have to look very carefully at the social science about diversity and immigration. Once something becomes politicized, once it becomes something that the left loves and the right -- then even the social scientists can't think straight about it. Now, diversity is good in a lot of ways. It clearly creates more innovation. The American economy has grown enormously from it. Diversity and immigration do a lot of good things. But what the globalists, I think, don't see, what they don't want to see, is that ethnic diversity cuts social capital and trust.
JH: Menurut saya masalah besarnya, terutama di Eropa, tapi juga di AS, adalah masalah imigrasi. Menurut saya sudah saatnya kita mencermati dengan teliti tentang keragaman dan imigrasi dalam ilmu sosial. Ketika sesuatu dipolitisasi, begitu suatu hal didukung sayap kiri sementara sayap kanan -- bahkan para peneliti ilmu sosial pun tidak pasti tentang hal ini. Ada banyak hal baik tentang keragaman. Ia menghasilkan lebih banyak inovasi. Ekonomi Amerika tumbuh besar karena keragaman. Keragaman dan imigrasi banyak membuahkan hal positif. Tapi yang tidak dilihat penganut paham globalis, menurut saya adalah, mereka tidak ingin melihat bahwa keragaman etnis telah memangkas modal sosial dan kepercayaan.
There's a very important study by Robert Putnam, the author of "Bowling Alone," looking at social capital databases. And basically, the more people feel that they are the same, the more they trust each other, the more they can have a redistributionist welfare state. Scandinavian countries are so wonderful because they have this legacy of being small, homogenous countries. And that leads to a progressive welfare state, a set of progressive left-leaning values, which says, "Drawbridge down! The world is a great place. People in Syria are suffering -- we must welcome them in." And it's a beautiful thing. But if, and I was in Sweden this summer, if the discourse in Sweden is fairly politically correct and they can't talk about the downsides, you end up bringing a lot of people in. That's going to cut social capital, it makes it hard to have a welfare state and they might end up, as we have in America, with a racially divided, visibly racially divided, society. So this is all very uncomfortable to talk about. But I think this is the thing, especially in Europe and for us, too, we need to be looking at.
Ada studi penting oleh Robert Putman yang menulis "Bowling Alone," yang mempelajari tentang basis data modal sosial. Pada dasarnya, semakin banyak orang yang merasa mereka adalah sama, semakin mereka percaya satu sama lain, dan semakin mungkin untuk negara meredistribusi kemakmuran. Negara-negara Skandinavia berhasil karena mereka punya warisan sejarah sebagai negara-negara kecil dan homogen. Dan ini membawa mereka menjadi negara makmur yang progresif, dengan nilai-nilai progresif sayap kiri yang mengatakan, "Buka jembatan! Dunia ini adalah tempat yang hebat, orang-orang di Suriah menderita -- kita harus menerima mereka." Dan ini adalah suatu hal yang indah. Saya ke Swedia musim panas lalu. Seandainya perbincangan di Swedia bisa dikatakan netral secara politik dan mereka tidak bisa membicarakan kerugiannya, mereka akan membawa banyak orang ke negara mereka. Yang akan memangkas modal sosial, sehingga sulit mempertahankan negara makmur dan seperti yang kita lihat di Amerika, negara mereka dan masyarakatnya bisa sangat terbelah karena isu rasial. Ini adalah topik pembicaraan yang tidak nyaman. Tapi menurut saya, inilah yang harus kita amati, terutama di Eropa dan juga di AS.
CA: You're saying that people of reason, people who would consider themselves not racists, but moral, upstanding people, have a rationale that says humans are just too different; that we're in danger of overloading our sense of what humans are capable of, by mixing in people who are too different.
CA: Anda mengatakan bahwa seseorang yang rasional, orang yang menganggap diri mereka tidak rasis, yang merasa dirinya bermoral, berintegritas, punya rasionalisasi bahwa manusia begitu berbeda; bahwa bahaya untuk terlalu memikirkan tentang apa yang mampu dilakukan manusia, dengan mencampur orang-orang yang terlalu berbeda.
JH: Yes, but I can make it much more palatable by saying it's not necessarily about race. It's about culture. There's wonderful work by a political scientist named Karen Stenner, who shows that when people have a sense that we are all united, we're all the same, there are many people who have a predisposition to authoritarianism. Those people aren't particularly racist when they feel as through there's not a threat to our social and moral order. But if you prime them experimentally by thinking we're coming apart, people are getting more different, then they get more racist, homophobic, they want to kick out the deviants. So it's in part that you get an authoritarian reaction. The left, following through the Lennonist line -- the John Lennon line -- does things that create an authoritarian reaction.
JH: Ya, tapi saya bisa membuatnya lebih bisa dipahami dengan mengatakan bahwa ini tidak harus tentang masalah ras saja. Ini adalah masalah budaya. Ada tulisan bagus oleh peneliti politik Karen Stenner, yang menunjukkan bahwa ketika orang merasa bersatu, bahwa kita semua sama, banyak orang mempunyai kecenderungan pada otoritarianisme. Mereka pada dasarnya tidak rasis ketika merasa tidak ada ancaman pada sistem sosial dan moral mereka. Tapi kalau Anda siapkan mereka untuk berpikir kita semakin terpisah, semakin banyak perbedaan dalam masyarakat, mereka akan jadi lebih rasis, homofobik, mereka ingin mengenyahkan para penyimpang. Jadi pada satu sisi kita melihat reaksi otoritarian. Sayap kiri, menggunakan logika Lennon tadi -- logika John Lennon -- melakukan hal-hal yang mendorong reaksi otoriter.
We're certainly seeing that in America with the alt-right. We saw it in Britain, we've seen it all over Europe. But the more positive part of that is that I think the localists, or the nationalists, are actually right -- that, if you emphasize our cultural similarity, then race doesn't actually matter very much. So an assimilationist approach to immigration removes a lot of these problems. And if you value having a generous welfare state, you've got to emphasize that we're all the same.
Itulah yang kita lihat di Amerika yang cenderung sayap kanan. Kita melihatnya di Inggris, dan di seluruh Eropa. Tapi aspek positifnya adalah menurut saya orang-orang yang menganut paham nasionalis sesungguhnya benar -- bahwa kalau kita menekankan kesamaan budaya kita, ras sebenarnya tidak terlalu penting. Jadi pendekatan asimilasi dalam imigrasi bisa menyelesaikan banyak masalah kita. Dan kalau kita menginginkan negara makmur yang berlimpah, kita harus menekankan bahwa kita semua sama.
CA: OK, so rising immigration and fears about that are one of the causes of the current divide. What are other causes?
CA: OK, jadi meningkatnya imigrasi dan ketakutan akan imigrasi adalah salah satu penyebab perpecahan saat ini. Apa penyebab lainnya?
JH: The next principle of moral psychology is that intuitions come first, strategic reasoning second. You've probably heard the term "motivated reasoning" or "confirmation bias." There's some really interesting work on how our high intelligence and our verbal abilities might have evolved not to help us find out the truth, but to help us manipulate each other, defend our reputation ... We're really, really good at justifying ourselves. And when you bring group interests into account, so it's not just me, it's my team versus your team, whereas if you're evaluating evidence that your side is wrong, we just can't accept that. So this is why you can't win a political argument. If you're debating something, you can't persuade the person with reasons and evidence, because that's not the way reasoning works. So now, give us the internet, give us Google: "I heard that Barack Obama was born in Kenya. Let me Google that -- oh my God! 10 million hits! Look, he was!"
JH: Prinsip psikologi moral berikutnya adalah intuisi muncul lebih dulu, baru rasionalisasi setelahnya. Anda mungkin pernah dengar istilah "motivated reasoning" atau "confirmation bias." Ada beberapa studi yang menarik tentang bagaimana intelejensia tinggi dan kemampuan verbal kita telah berevolusi bukan untuk membantu kita menemukan kebenaran, tapi untuk memanipulasi satu sama lain, menjaga reputasi kita. Kita amat sangat ahli dalam menjustifikasi diri sendiri. Dan ketika Anda membawa kepentingan kelompok, masalahnya bukan lagi saya, tapi kelompok saya vs kelompok Anda. Sebaliknya apabila Anda mengevaluasi bukti bahwa kelompok Anda salah, kita tidak bisa menerimanya. Inilah kenapa kita tak bisa menang dalam debat politik. Ketika berdebat tentang suatu hal, Anda tidak bisa meyakinkan seseorang dengan alasan dan bukti, karena bukan begitu cara kita berpikir. Dengan internet, kita mencari di Google: "Saya dengar Barack Obama lahir di Kenya. Coba di-Google -- Ya Tuhan! 10 juta hasil! Itu memang benar!"
CA: So this has come as an unpleasant surprise to a lot of people. Social media has often been framed by techno-optimists as this great connecting force that would bring people together. And there have been some unexpected counter-effects to that.
CA: Ini adalah kejutan yang tidak menyenangkan bagi banyak orang. Media sosial seringkali digambarkan oleh para optimis teknologi sebagai sebuah kekuatan penghubung hebat yang akan menyatukan kita. Dan sudah ada beberapa dampak sebaliknya yang tidak kita kira.
JH: That's right. That's why I'm very enamored of yin-yang views of human nature and left-right -- that each side is right about certain things, but then it goes blind to other things. And so the left generally believes that human nature is good: bring people together, knock down the walls and all will be well. The right -- social conservatives, not libertarians -- social conservatives generally believe people can be greedy and sexual and selfish, and we need regulation, and we need restrictions. So, yeah, if you knock down all the walls, allow people to communicate all over the world, you get a lot of porn and a lot of racism.
JH: Betul. Itulah kenapa saya begitu terpikat oleh pemikiran yin-yang tentang sifat alamiah manusia -- masing-masing yakin mereka benar tentang hal tertentu, tapi menutup mata pada hal-hal lain. Sayap kiri umumnya percaya bahwa sifat alami manusia itu baik: menyatukan orang-orang, menghapus batas dan semua akan baik. Sayap kanan -- kelompok konservatif, bukan libertarian -- kelompok konservatif pada umumnya percaya bahwa manusia bisa menjadi tamak dan seksual dan egois, dan kita butuh peraturan, kita butuh batasan. Jadi kalau kita menghancurkan dinding yang ada, semua orang bisa berkomunikasi di seluruh dunia, hasilnya adalah pornografi dan rasisme.
CA: So help us understand. These principles of human nature have been with us forever. What's changed that's deepened this feeling of division?
CA: Bantu saya memahami ini. Sifat alamiah manusia ini sudah ada pada kita sejak dulu. Apa yang berubah, sehingga memperburuk perasaan terpecah ini?
JH: You have to see six to ten different threads all coming together. I'll just list a couple of them. So in America, one of the big -- actually, America and Europe -- one of the biggest ones is World War II. There's interesting research from Joe Henrich and others that says if your country was at war, especially when you were young, then we test you 30 years later in a commons dilemma or a prisoner's dilemma, you're more cooperative. Because of our tribal nature, if you're -- my parents were teenagers during World War II, and they would go out looking for scraps of aluminum to help the war effort. I mean, everybody pulled together. And so then these people go on, they rise up through business and government, they take leadership positions. They're really good at compromise and cooperation. They all retire by the '90s. So we're left with baby boomers by the end of the '90s. And their youth was spent fighting each other within each country, in 1968 and afterwards. The loss of the World War II generation, "The Greatest Generation," is huge. So that's one.
JH: Ada 6-10 alasan yang mencuat bersamaan. Saya akan menyebutkan beberapa di antaranya. Di Amerika -- di Amerika dan Eropa -- salah satu penyebab terbesar adalah Perang Dunia II. Ada riset menarik yang dilakukan Joe Henrich dkk yang mengatakan bahwa ketika negara Anda sedang perang, terutama ketika Anda masih muda, dan mereka menguji Anda 30 tahun setelahnya dalam <i>commons dilemma</i> atau <i>prisoner's dilemma</i>, Anda akan lebih kooperatif. Karena sifat kesukuan Anda -- ketika orangtua saya masih remaja semasa Perang Dunia II, mereka membantu mencari sisa-sisa aluminium untuk membantu dalam perang. Semua orang bersatu padu. Dan mereka bersama-sama bangkit di sektor bisnis dan pemerintah, dan mengambil posisi pemimpin. Mereka ahli dalam berkompromi dan bekerja sama. Mereka semua pensiun tahun 90an. Sehingga di akhir 90an, yang ada di posisi ini adalah para <i>baby boomers</i>. Dan masa muda mereka dihabiskan berperang satu sama lain dalam negara masing-masing dari tahun 1968 seterusnya. Hilangnya generasi Perang Dunia II, "Generasi Terhebat," adalah tragedi besar. Ini satu penyebabnya.
Another, in America, is the purification of the two parties. There used to be liberal Republicans and conservative Democrats. So America had a mid-20th century that was really bipartisan. But because of a variety of factors that started things moving, by the 90's, we had a purified liberal party and conservative party. So now, the people in either party really are different, and we really don't want our children to marry them, which, in the '60s, didn't matter very much. So, the purification of the parties. Third is the internet and, as I said, it's just the most amazing stimulant for post-hoc reasoning and demonization.
Penyebab lainnya, di Amerika, adalah purifikasi dua partai. Dulu kita punya Partai Republik yang liberal dan Partai Demokrat yang konservatif. Amerika sangat bipartisan di pertengahan abad ke-20. Tapi karena banyak hal, ini mulai berubah dan di tahun 90an, kita punya partai liberal dan partai konservatif. Sekarang, orang-orang di kedua partai ini sangat berbeda, dan kita tidak ingin anak-anak kita menikahi mereka, yang mana di tahun 60an, ini bukan persoalan besar. Itulah purifikasi partai. Yang ketiga adalah internet, dan seperti sudah saya katakan, ini adalah stimulan paling spektakuler untuk mencari alasan dan menyalahkan.
CA: The tone of what's happening on the internet now is quite troubling. I just did a quick search on Twitter about the election and saw two tweets next to each other. One, against a picture of racist graffiti: "This is disgusting! Ugliness in this country, brought to us by #Trump." And then the next one is: "Crooked Hillary dedication page. Disgusting!" So this idea of "disgust" is troubling to me. Because you can have an argument or a disagreement about something, you can get angry at someone. Disgust, I've heard you say, takes things to a much deeper level.
CA: Nada bicara orang-orang di internet cukup meresahkan. Saya baru saja melakukan pencarian Twitter tentang pemilu dan saya melihat dua tweet berdekatan. Yang satu, di bawah gambar grafiti bernada rasis: "Ini menjijikkan! Keburukan di negara ini, dibawakan oleh #Trump." Dan yang berikutnya: "Halaman untuk Hillary yang korup. Menjijikkan!" Pemikiran tentang "jijik" ini meresahkan bagi saya. Karena kita bisa setuju atau tidak setuju tentang sesuatu hal, Anda bisa marah terhadap seseorang. Anda mengatakan bahwa perasaan jijik itu jauh lebih mendalam.
JH: That's right. Disgust is different. Anger -- you know, I have kids. They fight 10 times a day, and they love each other 30 times a day. You just go back and forth: you get angry, you're not angry; you're angry, you're not angry. But disgust is different. Disgust paints the person as subhuman, monstrous, deformed, morally deformed. Disgust is like indelible ink. There's research from John Gottman on marital therapy. If you look at the faces -- if one of the couple shows disgust or contempt, that's a predictor that they're going to get divorced soon, whereas if they show anger, that doesn't predict anything, because if you deal with anger well, it actually is good.
JH: Betul. Perasaan jijik itu berbeda. Marah -- Anda tahu, anak-anak saya berkelahi 10 kali sehari, dan mereka saling menyayangi 30 kali sehari. Begitu seterusnya: mereka marah, lalu tidak marah; marah, tidak marah. Tapi jijik itu berbeda. Perasaan jijik itu menggambarkan objeknya lebih rendah daripada manusia, monster, cacat, cacat secara moral. Jijik itu tidak bisa dihapus. Ada riset yang dilakukan John Gottman tentang terapi pernikahan. Apabila Anda lihat wajah mereka -- apabila salah seorang terlihat jijik atau benci, itu indikasi bahwa mereka akan segera bercerai. Tapi apabila mereka terlihat marah, itu tidak memprediksi apa pun, karena kalau Anda bisa mengatasi amarah, ini sesuatu yang baik.
So this election is different. Donald Trump personally uses the word "disgust" a lot. He's very germ-sensitive, so disgust does matter a lot -- more for him, that's something unique to him -- but as we demonize each other more, and again, through the Manichaean worldview, the idea that the world is a battle between good and evil as this has been ramping up, we're more likely not just to say they're wrong or I don't like them, but we say they're evil, they're satanic, they're disgusting, they're revolting. And then we want nothing to do with them. And that's why I think we're seeing it, for example, on campus now. We're seeing more the urge to keep people off campus, silence them, keep them away. I'm afraid that this whole generation of young people, if their introduction to politics involves a lot of disgust, they're not going to want to be involved in politics as they get older.
Pemilu ini berbeda. Donald Trump sendiri banyak menggunakan kata "jijik." Dia sensitif terhadap kuman, jadi jijik itu sangat penting -- terutama pada dirinya, ini adalah sesuatu yang khas Trump -- tapi semakin kita mengutuk satu sama lain menggunakan sudut pandang Manichaean, pemikiran bahwa dunia ini adalah pertarungan antara kekuatan baik dan jahat seperti yang berkembang saat ini, kita tidak hanya cenderung menyebut mereka salah dan kita tidak menyukai mereka, tapi kita menyebut mereka jahat, setan, bahwa mereka menjijikkan. Jadi kita tidak mau berurusan dengan mereka. Dan menurut saya, itulah kenapa kita menyaksikan ini di kampus-kampus. Kita melihat ada keinginan untuk menjauhkan mereka dari kampus, membungkam mereka, menjauhkan mereka. Saya khawatir jika pengalaman pertama generasi muda dengan politik melibatkan banyak perasaan jijik, mereka tidak akan ingin terlibat dalam politik ketika mereka dewasa.
CA: So how do we deal with that? Disgust. How do you defuse disgust?
CA: Jadi bagaimana kita mengatasinya? Jijik. Bagaimana kita meredakan rasa jijik?
JH: You can't do it with reasons. I think ... I studied disgust for many years, and I think about emotions a lot. And I think that the opposite of disgust is actually love. Love is all about, like ... Disgust is closing off, borders. Love is about dissolving walls. So personal relationships, I think, are probably the most powerful means we have. You can be disgusted by a group of people, but then you meet a particular person and you genuinely discover that they're lovely. And then gradually that chips away or changes your category as well. The tragedy is, Americans used to be much more mixed up in the their towns by left-right or politics. And now that it's become this great moral divide, there's a lot of evidence that we're moving to be near people who are like us politically. It's harder to find somebody who's on the other side. So they're over there, they're far away. It's harder to get to know them.
JH: Anda tidak bisa menggunakan alasan. Menurut saya... Saya mempelajari rasa jijik bertahun-tahun, dan saya banyak memikirkan tentang emosi. Dan menurut saya lawan dari jijik adalah kasih sayang. Kasih sayang itu seperti ... Kalau jijik membangun dan menutup perbatasan, rasa kasih sayang melebur dinding perbatasan itu. Jadi menurut saya, hubungan personal mungkin adalah alat terkuat yang kita punya. Anda mungkin merasa jijik akan sekelompok orang, tapi kemudian Anda bertemu dengan satu orang dan menemukan bahwa ternyata mereka orang baik. Perlahan itu akan mengikis atau mengubah kategorisasi Anda. Tragisnya, warga AS zaman dulu hidup lebih beragam di kota-kota mereka dari segi politik sayap kiri-kanan. Kini perbedaan itu jadi perpecahan moral yang besar sehingga banyak bukti menunjukkan kita cenderung berada di sekitar orang-orang yang pandangan politiknya mirip. Lebih sulit menemukan orang yang berbeda pandangan. Mereka ada di sana, jauh sekali. Lebih sulit mengenal mereka.
CA: What would you say to someone or say to Americans, people generally, about what we should understand about each other that might help us rethink for a minute this "disgust" instinct?
CA: Apa pesan Anda pada mereka, atau warga AS pada umumnya, tentang apa yang harus kita pahami tentang satu sama lain yang bisa membantu kita untuk merefleksikan kembali insting kita untuk merasa jijik?
JH: Yes. A really important thing to keep in mind -- there's research by political scientist Alan Abramowitz, showing that American democracy is increasingly governed by what's called "negative partisanship." That means you think, OK there's a candidate, you like the candidate, you vote for the candidate. But with the rise of negative advertising and social media and all sorts of other trends, increasingly, the way elections are done is that each side tries to make the other side so horrible, so awful, that you'll vote for my guy by default.
JH: Ya. Yang penting untuk diingat -- ada riset oleh peneliti politik Alan Abramowitz, yang menunjukkan bahwa demokrasi di Amerika semakin diarahkan oleh sesuatu yang disebut "partisan negatif." Yang berarti kita berpikir, ada seorang kandidat, kita suka kandidat ini, dan kita memilihnya di pemilu. Tapi dengan meningkatnya promosi negatif dan media sosial dan segala tren baru, semakin sering yang terjadi adalah masing-masing pihak berusaha menggambarkan pihak lawan dengan sangat buruk dan mengerikan, sehingga Anda mau tak mau memilih kandidat saya.
And so as we more and more vote against the other side and not for our side, you have to keep in mind that if people are on the left, they think, "Well, I used to think that Republicans were bad, but now Donald Trump proves it. And now every Republican, I can paint with all the things that I think about Trump." And that's not necessarily true. They're generally not very happy with their candidate.
Dan kita semakin sering memilih karena tidak suka pihak lawan, alih-alih karena suka kandidat kita, Anda harus ingat apabila seseorang ada di sayap kiri, mereka berpikir, "Aku dulu berpikir pendukung Partai Republik itu buruk, tapi sekarang Donald Trump membuktikannya. Dan sekarang saya melihat setiap pendukung Partai Republik seperti Trump." Namun ini tidak sepenuhnya benar. Umumnya mereka tidak terlalu senang dengan kandidat mereka.
This is the most negative partisanship election in American history. So you have to first separate your feelings about the candidate from your feelings about the people who are given a choice. And then you have to realize that, because we all live in a separate moral world -- the metaphor I use in the book is that we're all trapped in "The Matrix," or each moral community is a matrix, a consensual hallucination. And so if you're within the blue matrix, everything's completely compelling that the other side -- they're troglodytes, they're racists, they're the worst people in the world, and you have all the facts to back that up. But somebody in the next house from yours is living in a different moral matrix. They live in a different video game, and they see a completely different set of facts. And each one sees different threats to the country. And what I've found from being in the middle and trying to understand both sides is: both sides are right. There are a lot of threats to this country, and each side is constitutionally incapable of seeing them all.
Ini adalah pemilu partisan paling negatif dalam sejarah Amerika. Jadi pertama, Anda harus memisahkan perasaan Anda tentang kandidat dengan perasaan Anda tentang orang-orang yang memilih. Lalu Anda harus menyadari bahwa karena kita semua tinggal dalam dunia moral yang berbeda -- metafora yang saya gunakan adalah bahwa kita semua terjebak dalam "The Matrix," atau bahwa setiap komunitas moral adalah sebuah <i>matrix</i>, halusinasi bersama. Jadi kalau Anda ada di dalam <i>matrix</i> biru, kita dibuat untuk berpikir bahwa pihak lawan adalah -- terbelakang layaknya manusia gua, rasis, orang terparah di dunia, dan Anda punya semua fakta yang mendukung pendapat tersebut. Tapi tetangga Anda tinggal dalam <i>matrix</i> moral yang berbeda. Mereka tinggal dalam video game yang berbeda, dan mereka melihat fakta-fakta yang berbeda. Masing-masing melihat ancaman yang berbeda terhadap negara ini. Yang saya lihat ketika berada di tengah-tengah dan berusaha memahami kedua pihak adalah: kedua pihak benar. Ada banyak ancaman di negara ini, dan masing-masing tidak mampu melihatnya secara keseluruhan.
CA: So, are you saying that we almost need a new type of empathy? Empathy is traditionally framed as: "Oh, I feel your pain. I can put myself in your shoes." And we apply it to the poor, the needy, the suffering. We don't usually apply it to people who we feel as other, or we're disgusted by.
CA: Jadi, Anda mengatakan bahwa kita agaknya membutuhkan empati jenis baru? Secara tradisional, empati itu dijelaskan sbb: "Saya bisa membayangkan diri saya di posisi Anda." Kita menerapkannya pada kaum miskin, orang yang membutuhkan, yang menderita. Tapi bukan pada orang yang kita anggap lawan, atau orang yang membuat kita merasa jijik.
JH: No. That's right.
JH: Ya, betul.
CA: What would it look like to build that type of empathy?
CA: Akan seperti apa seandainya kita membangun empati seperti ini?
JH: Actually, I think ... Empathy is a very, very hot topic in psychology, and it's a very popular word on the left in particular. Empathy is a good thing, and empathy for the preferred classes of victims. So it's important to empathize with the groups that we on the left think are so important. That's easy to do, because you get points for that.
JH: Sebenarnya, menurut saya ... Empati adalah topik hangat dalam studi psikologi, dan ini adalah kata yang sangat populer terutama di sayap kiri. Empati adalah hal baik, dan untuk berempati pada korban yang kita sukai. Adalah penting untuk berempati dengan kelompok yang menurut kita di sayap kiri, adalah penting. Dan ini gampang dilakukan, karena Anda dipuji ketika melakukannya.
But empathy really should get you points if you do it when it's hard to do. And, I think ... You know, we had a long 50-year period of dealing with our race problems and legal discrimination, and that was our top priority for a long time and it still is important. But I think this year, I'm hoping it will make people see that we have an existential threat on our hands. Our left-right divide, I believe, is by far the most important divide we face. We still have issues about race and gender and LGBT, but this is the urgent need of the next 50 years, and things aren't going to get better on their own. So we're going to need to do a lot of institutional reforms, and we could talk about that, but that's like a whole long, wonky conversation. But I think it starts with people realizing that this is a turning point. And yes, we need a new kind of empathy. We need to realize: this is what our country needs, and this is what you need if you don't want to -- Raise your hand if you want to spend the next four years as angry and worried as you've been for the last year -- raise your hand. So if you want to escape from this, read Buddha, read Jesus, read Marcus Aurelius. They have all kinds of great advice for how to drop the fear, reframe things, stop seeing other people as your enemy. There's a lot of guidance in ancient wisdom for this kind of empathy.
Tapi harusnya, Anda hanya dipuji ketika empati itu sulit dilakukan. Dan menurut saya ... Anda tahu, selama 50 tahun kita berkutat dengan masalah ras dan diskriminasi legal di AS, dan ini sudah lama menjadi prioritas utama kita dan masih sangat penting sampai sekarang. Tapi tahun ini, menurut saya, saya harap orang-orang bisa melihat bahwa ada ancaman yang selalu ada di tangan kita. Saya yakin bahwa perbedaan sayap kiri dan kanan adalah perpecahan paling penting yang pernah kita hadapi. Masih ada masalah ras, jender, dan LGBT, tapi masalah ini sifatnya mendesak untuk 50 tahun ke depan, dan situasi tidak akan membaik dengan sendirinya. Kita harus melakukan banyak reformasi institusi, dan kita bisa membicarakannya, tapi ini adalah pembicaraan panjang dan melelahkan. Tapi menurut saya ini dimulai dengan orang-orang menyadari bahwa ini adalah titik balik. Kita memerlukan empati jenis baru. Kita perlu menyadari: ini yang dibutuhkan negara kita: dan ini yang kita butuhkan jika kita tidak ingin -- Angkat tangan Anda jika Anda ingin menghabiskan 4 tahun ke depan semarah dan sekhawatir setahun terakhir -- angkat tangan. Kalau Anda ingin lepas dari masalah ini, bacalah Buddha, bacalah Jesus, bacalah Marcus Aurelius. Semuanya punya nasehat baik untuk melepaskan ketakutan, menata ulang, berhenti melihat orang lain sebagai musuh. Ada banyak panduan dalam kebijaksanaan kuno
CA: Here's my last question: Personally, what can people do to help heal?
tentang empati jenis ini. CA: Pertanyaan terakhir saya: Secara individu, apa yang bisa dilakukan orang-orang untuk kembali pulih?
JH: Yeah, it's very hard to just decide to overcome your deepest prejudices. And there's research showing that political prejudices are deeper and stronger than race prejudices in the country now. So I think you have to make an effort -- that's the main thing. Make an effort to actually meet somebody. Everybody has a cousin, a brother-in-law, somebody who's on the other side. So, after this election -- wait a week or two, because it's probably going to feel awful for one of you -- but wait a couple weeks, and then reach out and say you want to talk. And before you do it, read Dale Carnegie, "How to Win Friends and Influence People" --
JH: Sangat sulit untuk memutuskan Anda ingin mengalahkan prasangka terdalam Anda. Dan ada riset yang menunjukkan bahwa prasangka politik lebih mendalam dan lebih kuat daripada prasangka rasial di AS saat ini. Jadi menurut saya, Anda harus berusaha -- itu yang utama. Berusaha untuk bertemu dengan seseorang. Setiap orang punya sepupu, saudara ipar, seseorang di sisi berlawanan. Jadi, setelah pemilu ini -- tunggu satu atau dua minggu, karena salah satu dari Anda mungkin akan merasa sangat menderita -- tunggulah beberapa minggu, kemudian hubungi mereka dan ajak bicara. Dan sebelum Anda melakukannya, bacalah buku Dale Carnegie, "Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain"
(Laughter)
(Tertawa)
I'm totally serious. You'll learn techniques if you start by acknowledging, if you start by saying, "You know, we don't agree on a lot, but one thing I really respect about you, Uncle Bob," or "... about you conservatives, is ... " And you can find something. If you start with some appreciation, it's like magic. This is one of the main things I've learned that I take into my human relationships. I still make lots of stupid mistakes, but I'm incredibly good at apologizing now, and at acknowledging what somebody was right about. And if you do that, then the conversation goes really well, and it's actually really fun.
Saya serius. Anda bisa belajar caranya, apabila Anda mulai dengan mengakui, mulai dengan mengatakan, "Kita tidak setuju tentang banyak hal, tapi satu hal yang kuhormati darimu, Paman Bob," atau "...dari kelompok konservatif adalah..." Anda bisa menemukan sesuatu. Kalau Anda mulai dengan menghargai, mudah saja. Ini adalah salah satu hal utama yang saya pelajari dan saya gunakan dalam hubungan pribadi saya. Saya masih melakukan banyak kesalahan. tapi sekarang saya jadi sangat ahli meminta maaf, dan mengakui bahwa orang lain benar. Dan jika Anda melakukannya, percakapan akan mengalir dengan baik, dan sebenarnya menyenangkan.
CA: Jon, it's absolutely fascinating speaking with you. It really does feel like the ground that we're on is a ground populated by deep questions of morality and human nature. Your wisdom couldn't be more relevant. Thank you so much for sharing this time with us.
CA: Jon, sungguh menarik berdiskusi dengan Anda. Benar-benar terasa seakan tanah yang kita pijak penuh dengan pertanyaan mendalam tentang moral dan sifat alamiah manusia. Pengetahuan yang Anda bagi hari ini sangat relevan. Terima kasih telah membagi waktu Anda bersama kami.
JH: Thanks, Chris.
JH: Terima kasih, Chris.
JH: Thanks, everyone.
JH: Terima kasih semuanya.
(Applause)
(Tepuk tangan)