We most certainly do talk to terrorists, no question about it. We are at war with a new form of terrorism. It's sort of the good old, traditional form of terrorism, but it's sort of been packaged for the 21st century. One of the big things about countering terrorism is, how do you perceive it? Because perception leads to your response to it. So if you have a traditional perception of terrorism, it would be that it's one of criminality, one of war. So how are you going to respond to it? Naturally, it would follow that you meet kind with kind. You fight it. If you have a more modernist approach, and your perception of terrorism is almost cause-and-effect, then naturally from that, the responses that come out of it are much more asymmetrical.
Tidak diragukan lagi, kita berkomunikasi dengan para teroris. Kita berada di tengah-tengah peperangan melawan versi baru dari terorisme. Semacam terorisme model lama, versi tradisional, tapi telah dikemas khusus untuk abad ke-21. Satu hal yang penting saat melawan terorisme adalah, bagaimana Anda mengartikannya? Karena perspektif Anda menentukan bagaimana Anda menanggapinya. Jadi apabila Anda memiliki persepsi tradisional mengenai terorisme, bahwa terorisme adalah salah satu kejahatan, salah satu peperangan, bagaimana cara Anda menanggapinya? Normalnya, tanggapan yang diharapkan adalah Anda membalas kebaikan dengan kebaikan. Anda melawan. Apabila Anda memakai pendekatan yang lebih modern, dan apabila persepsi anda mengenai terorisme adalah bahwa bentuk sebab-akibat, maka secara alami, tanggapan yang akan timbul menjadi lebih tidak simetris.
We live in a modern, global world. Terrorists have actually adapted to it. It's something we have to, too, and that means the people who are working on counterterrorism responses have to start, in effect, putting on their Google-tinted glasses, or whatever.
Kita hidup di jaman yang modern dan global. Para teroris telah beradaptasi dengan dunia ini. Ini adalah sesuatu yang juga harus kita lakukan, dan ini berarti orang-orang yang bekerja melawan terorisme harus memulainya, mereka harus mulai mengenakan kacamata Google, atau semacamnya.
For my part, what I wanted us to do was just to look at terrorism as though it was a global brand, say, Coca-Cola. Both are fairly bad for your health. (Laughter) If you look at it as a brand in those ways, what you'll come to realize is, it's a pretty flawed product. As we've said, it's pretty bad for your health, it's bad for those who it affects, and it's not actually good if you're a suicide bomber either. It doesn't actually do what it says on the tin. You're not really going to get 72 virgins in heaven. It's not going to happen, I don't think. And you're not really going to, in the '80s, end capitalism by supporting one of these groups. It's a load of nonsense.
Sementara bagi saya, saya ingin kita semua menganggap terorisme sebagai merk global, semacam Coca-Cola. Kedua-duanya sama-sama berakibat buruk untuk kesehatan. (Tawa) Apabila Anda menganalogikan hal itu dengan merk dagang, Anda menyadari bahwa terorisme adalah produk gagal. Seperti yang kami jelaskan sebelumnya, terorisme tidak baik untuk kesehatan Anda, dan juga buruk bagi mereka yang terpengaruh, juga untuk Anda, sebenarnya, kalau Anda adalah seorang pelaku bom-bunuh-diri. Merk ini tidak benar-benar membuktikan apa yang tertulis di kemasannya memang benar. Anda tidak akan mendapatkan 72 perawan di surga. Tidak, saya rasa tidak. Dan sebenarnya Anda tidak menjatuhkan kapitalisme di tahun 80-an melalui dukungan terhadap salah satu kelompok-kelompok tersebut. Semuanya omong kosong belaka.
But what you realize, it's got an Achilles' heel. The brand has an Achilles' heel. We've mentioned the health, but it needs consumers to buy into it. The consumers it needs are the terrorist constituency. They're the people who buy into the brand, support them, facilitate them, and they're the people we've got to reach out to. We've got to attack that brand in front of them.
Tapi Anda akan menyadari bahwa terorisme memiliki kelemahan. Merk ini memiliki kelemahan. Salah satunya kesehatan, seperti yang disebutkan sebelumnya, tapi terorisme juga membutuhkan konsumen yang mempercayai mereka. Mereka membutuhkan konsumen-konsumen pilihan mereka. Merekalah orang-orang yang membeli, mendukung, dan memfasilitasi merk ini, dan merekalah orang-orang yang perlu kita jangkau. Kita harus menyerang merk ini di depan orang-orang tersebut.
There's two essential ways of doing that, if we carry on this brand theme. One is reducing their market. What I mean is, it's their brand against our brand. We've got to compete. We've got to show we're a better product. If I'm trying to show we're a better product, I probably wouldn't do things like Guantanamo Bay. We've talked there about curtailing the underlying need for the product itself. You could be looking there at poverty, injustice, all those sorts of things which feed terrorism.
Ada dua cara untuk melakukannya, yang pertama adalah dengan menurunkan pasar mereka. Maksud saya, kita harus melawan produk mereka dengan produk kita. Kita harus bersaing. dan menunjukkan bahwa produk kita lebih baik. Apabila saya mencoba menunjukkan hal tersebut, mungkin saya tidak akan melakukan hal-hal seperti yang telah dilakukan di Teluk Guantanamo. Kami telah berbicara mengenai pembatasan kebutuhan dasar bagi produk tersebut di sana. Anda dapat melihat pada kemiskinan, ketidakadilan, dan sejenisnya yang malah menggalakkan terorisme.
The other thing to do is to knock the product, attack the brand myth, as we've said. You know, there's nothing heroic about killing a young kid. Perhaps we need to focus on that and get that message back across. We've got to reveal the dangers in the product. Our target audience, it's not just the producers of terrorism, as I've said, the terrorists. It's not just the marketeers of terrorism, which is those who finance, those who facilitate it, but it's the consumers of terrorism. We've got to get in to those homelands. That's where they recruit from. That's where they get their power and strength. That's where their consumers come from. And we have to get our messaging in there. So the essentials are, we've got to have interaction in those areas, with the terrorists, the facilitators, etc. We've got to engage, we've got to educate, and we've got to have dialogue.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah menjatuhkan produk tersebut, serang mitos-mitos yang berhubungan dengan merk tersebut. Membunuh seorang anak kecil sama sekali tidak gagah. Mungkin kita perlu fokus pada hal-hal tersebut dan menyampaikannya. Kita harus menyingkap bahaya dari produk ini. Kita tidak hanya menargetkan para dalang dari terorisme, seperti yang telah saya katakan, para teroris. Tidak hanya mereka yang memasarkan terorisme, yaitu mereka yang mendanai dan mefasilitasi terorisme, tapi juga mereka yang mengkonsumsi produk ini. Kita perlu masuk ke negara-negara asal produk ini. Di sanalah mereka merekruit para personelnya dan mendapat kekuasaan dan kekuatannya. Di sana pula konsumen mereka berasal. Dan kita harus menyampaikan pesan kita di sana. Maka hal terpenting adalah interaksi di daerah-daerah tersebut dengan para teroris, para fasilitator, dan yang lainnya. Kita perlu ikut terlibat, kita perlu mendidik, dan kita perlu berdialog dengan mereka.
Now, staying on this brand thing for just a few more seconds, think about delivery mechanisms. How are we going to do these attacks? Well, reducing the market is really one for governments and civil society. We've got to show we're better. We've got to show our values. We've got to practice what we preach. But when it comes to knocking the brand, if the terrorists are Coca-Cola and we're Pepsi, I don't think, being Pepsi, anything we say about Coca-Cola, anyone's going to believe us.
Sekarang, masih pada topik merk produk ini coba pikirkan mengenai mekanisme pendistribusian. Bagaimana cara kita menyerangnya? Menurunkan pasar merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat sipil. Kita harus menunjukkan bahwa kitalah yang lebih baik. Kita perlu menunjukkan nilai-nilai kita. Kita perlu mempraktekkan perkataan kita. Tapi jika kita berbicara mengenai menjatuhkan produk tersebut, apabila para teroris adalah Coca-Cola dan kita adalah Pepsi, Menurut saya, sebagai Pepsi, apapun yang kita katakan tentang Coca-Cola tidak akan dipercaya oleh orang-orang.
So we've got to find a different mechanism, and one of the best mechanisms I've ever come across is the victims of terrorism. They are somebody who can actually stand there and say, "This product's crap. I had it and I was sick for days. It burnt my hand, whatever." You believe them. You can see their scars. You trust them. But whether it's victims, whether it's governments, NGOs, or even the Queen yesterday, in Northern Ireland, we have to interact and engage with those different layers of terrorism, and, in effect, we do have to have a little dance with the devil.
Maka kita perlu mencari mekanisme yang berbeda, dan salah satu mekanisme terbaik yang pernah saya temui adalah para korban dari terorisme. Mereka adalah orang yang benar-benar bisa berdiri tegak dan berkata, "Produk ini jelek. Saya sudah mencobanya dan saya sakit berhari-hari karenanya. Produk ini membakar tangan saya, dan semacamnya." Dan Anda mempercayai mereka. Anda dapat melihat bekas luka mereka. Anda percaya. Tapi apakah itu para korban, pemerintah, LSM, maupun sang Ratu sekalipun, kemarin, di Irlandia Utara, kita perlu berinteraksi dan terlibat dengan bermacam-macam lapisan terorisme yang berbeda, dan sebagai akibatnya, kita pun perlu berkompromi.
This is my favorite part of my speech. I wanted to blow you all up to try and make a point, but — (Laughter) — TED, for health and safety reasons, have told me I've got to do a countdown, so I feel like a bit of an Irish or Jewish terrorist, sort of a health and safety terrorist, and I — (Laughter) — I've got to count 3, 2, 1, and it's a bit alarming, so thinking of what my motto would be, and it would be, "Body parts, not heart attacks." So 3, 2, 1. (Explosion sound) Very good. (Laughter) Now, lady in 15J was a suicide bomber amongst us all. We're all victims of terrorism. There's 625 of us in this room. We're going to be scarred for life. There was a father and a son who sat in that seat over there. The son's dead. The father lives. The father will probably kick himself for years to come that he didn't take that seat instead of his kid. He's going to take to alcohol, and he's probably going to kill himself in three years. That's the stats. There's a very young, attractive lady over here, and she has something which I think's the worst form of psychological, physical injury I've ever seen out of a suicide bombing: It's human shrapnel. What it means is, when she sat in a restaurant in years to come, 10 years to come, 15 years to come, or she's on the beach, every so often she's going to start rubbing her skin, and out of there will come a piece of that shrapnel. And that is a hard thing for the head to take. There's a lady over there as well who lost her legs in this bombing. She's going to find out that she gets a pitiful amount of money off our government for looking after what's happened to her. She had a daughter who was going to go to one of the best universities. She's going to give up university to look after Mum. We're all here, and all of those who watch it are going to be traumatized by this event, but all of you here who are victims are going to learn some hard truths. That is, our society, we sympathize, but after a while, we start to ignore. We don't do enough as a society. We do not look after our victims, and we do not enable them, and what I'm going to try and show is that actually, victims are the best weapon we have against more terrorism.
Ini adalah bagian kesukaan saya dalam presentasi ini. Saya ingin meledakkan Anda untuk menyampaikan pesan saya, tapi — (Tawa) — untuk alasan kesehatan dan keamanan, TED memberitahu saya, bahwa saya perlu menghitung mundur, jadi saya merasa seperti teroris Irlandia atau Yahudi, semacam teroris kesehatan dan keamanan, dan saya — (Tawa) — saya harus menghitung 3, 2, 1, dan ini sedikit mengkhawatirkan, maka setelah menyusun kata-kata, moto saya adalah, "Bukan menyerang jantung, tapi organ tubuh." Jadi, 3, 2, 1. (Suara ledakan) Bagus sekali. (Tawa) Wanita yang duduk di 15J adalah pengebom bunuh diri di tengah-tengah kita. Kita semua korban terorisme. Ada 625 orang di dalam ruangan ini. Kita semua akan mendapat luka seumur hidup. Ada seorang ayah dan anak yang duduk di kursi sebelah sana. Sang anak meninggal, sementara ayahnya hidup. Sang ayah mungkin akan menghukum dirinya sendiri pada tahun-tahun yang akan datang. Dia menyalahkan dirinya karena bukan dia yang duduk di kursi terebut. Ia akan lari ke alkohol, dan kemungkinan akan bunuh diri setelah tiga tahun. Setidaknya begitu menurut statistik. Ada seorang wanita muda yang sangat menarik di sebelah sana, dan dia mengalami sesuatu yang saya rasa merupakan luka fisik dan psikis yang paling mengerikan yang pernah saya temui, dari bom bunuh diri: potongan manusia. Maksudnya, saat dia duduk di rumah makan di masa mendatang, 10 tahun atau 15 tahun kemudian, atau saat dia berada di pantai, seringkali dia akan menggaruk kulitnya. Kemudian potongan tubuh tersebut akan berjatuhan. Dan ini adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami. Ada seorang wanita lain di sebelah sana yang kehilangan kakinya karena bom ini. Dia akan menyadari bahwa pemerintah hanya memberikan uang dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai bentuk dukungan. Dia mempunyai seorang putri yang akan melanjutkan sekolah ke salah satu universitas terkemuka. Dan putrinya harus mengorbankan hal itu untuk merawat ibunya. Kita semua di sini, dan semuanya yang menonton akan mendapat trauma dari peristiwa ini, tapi semua korban di sini akan mendapatkan kenyataan yang menyakitkan. Bahwa, masyarakat kita memang bersimpati, namun setelah beberapa saat, mereka akan mulai tidak peduli. Kita belum cukup bertindak sebagai masyarakat. Kita tidak memperhatikan para korban tersebut, dan kita tidak juga memberdayakan mereka, dan yang ingin saya coba tunjukkan adalah bahwa para korban sebenarnya merupakan senjata paling ampuh untuk melawan terorisme ini.
How would the government at the turn of the millennium approach today? Well, we all know. What they'd have done then is an invasion. If the suicide bomber was from Wales, good luck to Wales, I'd say. Knee-jerk legislation, emergency provision legislation -- which hits at the very basis of our society, as we all know -- it's a mistake. We're going to drive prejudice throughout Edinburgh, throughout the U.K., for Welsh people.
Pendekatan seperti apa yang akan pemerintah lakukan sekarang di akhir milenium ini? Kita semua tahu. Yang telah mereka lakukan adalah invasi. Kalau pengebom bunuh diri berasal dari Wales, yah, selamat berjuang, Wales. Undang-undang otomatis, legislasi persediaan darurat — seperti yang kita ketahui, ini merupakan pondasi masyarakat — semua ini merupakan kesalahan. Kita akan menciptakan prasangka terhadap orang-orang Weles di seluruh Edinburgh, di seluruh Inggris.
Today's approach, governments have learned from their mistakes. They are looking at what I've started off on, on these more asymmetrical approaches to it, more modernist views, cause and effect. But mistakes of the past are inevitable. It's human nature. The fear and the pressure to do something on them is going to be immense. They are going to make mistakes. They're not just going to be smart.
Dengan pendekatan yang sekarang, pemerintah telah belajar melalui kesalahan di masa lalu. Mereka melihat apa yang telah saya mulai dengan pendekatan yang lebih tidak simetris, pandangan yang lebih modern, sebab dan akibat. Tapi kesalahan yang telah terjadi memang tidak terhindarkan. Ini adalah sifat alami manusia. Ketakutan dan tekanan untuk melakukan sesuatu terhadap para teroris itu akan menjadi sangat besar. Mereka akan membuat kesalahan. Mereka tidak akan menjadi cerdas.
There was a famous Irish terrorist who once summed up the point very beautifully. He said, "The thing is, about the British government, is, is that it's got to be lucky all the time, and we only have to be lucky once."
Seorang teroris Irlandia yang terkenal meringkas poin yang saya maksud dengan sangat indah. Beliau berkata, "Masalah dengan pemerintah Inggris adalah bahwa mereka perlu memiliki keberuntungan setiap saat, dan kita hanya perlu keberuntungan sekali saja."
So what we need to do is we have to effect it. We've got to start thinking about being more proactive. We need to build an arsenal of noncombative weapons in this war on terrorism. But of course, it's ideas -- is not something that governments do very well.
Jadi yang kita perlukan adalah mempengaruhinya.. Kita perlu mulai berpikir untuk menjadi lebih proaktif. Kita perlu membangun gudang senjata perdamaian dalam perang melawan terorisme ini. Tapi tentu saja, ini sekedar ide -- bukan sesuatu yang bisa dilakukan pemerintah dengan baik.
I want to go back just to before the bang, to this idea of brand, and I was talking about Coke and Pepsi, etc. We see it as terrorism versus democracy in that brand war. They'll see it as freedom fighters and truth against injustice, imperialism, etc.
Saya ingin kembali ke saat sebelum ledakan, saat saya membahas tentang merk, tentang Coke, dan Pepsi, dan sebagainya. Dalam peperangan merk ini, kita melihat terorisme melawan demokrasi. Mereka akan melihatnya sebagai pejuang kebebasan dan kebenaran melawan ketidakadilan, imperialisme, dan sejenisnya.
We do have to see this as a deadly battlefield. It's not just [our] flesh and blood they want. They actually want our cultural souls, and that's why the brand analogy is a very interesting way of looking at this. If we look at al Qaeda. Al Qaeda was essentially a product on a shelf in a souk somewhere which not many people had heard of. 9/11 launched it. It was its big marketing day, and it was packaged for the 21st century. They knew what they were doing. They were effectively [doing] something in this brand image of creating a brand which can be franchised around the world, where there's poverty, ignorance and injustice.
Kita harus melihat hal ini sebagai peperangan yang mematikan. Bukan hanya daging dan darah kita yang mereka inginkan. Tapi juga jiwa dari kebudayaan kita, dan karena itulah analogi mengenai merk ini merupakan perspektif yang sangat menarik. Misalnya Al Qaeda. Al Qaeda pada dasarnya merupakan produk yang ada di sebuah rak di tengah-tengah pasar yang tidak terlalu terkenal. Tapi peristiwa 11 September telah meluncurkan dan memasarkannya secara besar-besaran, dan dikemas secara khusus untuk abad-21. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Mereka telah melakukan sesuatu yang sangat efektif dengan citra mereka. Mereka menciptakan merk yang dapat dimonopoli di seluruh dunia, di mana ada kemiskinan, ketidakacuhan, dan ketidakadilan.
We, as I've said, have got to hit that market, but we've got to use our heads rather than our might. If we perceive it in this way as a brand, or other ways of thinking at it like this, we will not resolve or counter terrorism.
Nah, seperti yang sudah saya katakan, kita perlu menjangkau pasar tersebut, tapi kita perlu menggunakan otak kita, bukan otot kita. Kalau kita sekedar menganggapnya seperti sebuah merk, atau semacamnya, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah atau menangani terorisme.
What I'd like to do is just briefly go through a few examples from my work on areas where we try and approach these things differently. The first one has been dubbed "lawfare," for want of a better word. When we originally looked at bringing civil actions against terrorists, everyone thought we were a bit mad and mavericks and crackpots. Now it's got a title. Everyone's doing it. There's a bomb, people start suing. But one of the first early cases on this was the Omagh Bombing. A civil action was brought from 1998. In Omagh, bomb went off, Real IRA, middle of a peace process. That meant that the culprits couldn't really be prosecuted for lots of reasons, mostly to do with the peace process and what was going on, the greater good. It also meant, then, if you can imagine this, that the people who bombed your children and your husbands were walking around the supermarket that you lived in. Some of those victims said enough is enough. We brought a private action, and thank God, 10 years later, we actually won it. There is a slight appeal on at the moment so I have to be a bit careful, but I'm fairly confident.
Saya bermaksud untuk menunjukkan, secara singkat, beberapa contoh dari kerja saya di mana kami mencoba dan melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda. Secara halus, yang pertama disebut dengan "lawfare." Saat kita berpikir untuk menangani terorisme dengan cara-cara wajar, semua orang akan berpikir kita gila dan inkonvensional dan sinting. Begitulah orang-orang menyebutnya sekarang. Saat ada bom, orang-orang mulai menuntut di mana-mana. Tapi kasus Omagh Bombing merupakan salah satu kasus yang paling pertama TIndakan sipil dilakukan pada tahun 1998. Sebuah bom meledak di Omagh, IRA yang sebenarnya ada di tengah-tengah negosiasi perdamaian. Yang berarti dalang dari pengeboman tersebut tidak benar-benar bisa dihukum karena berbagai alasan yang kebanyakan berhubungan dengan proses negosiasi perdamaian serta hal-hal sedang berlangsung, untuk kebaikan bersama. Dan apabila Anda bisa membayangkan, hal ini juga berarti bahwa orang-orang yang mengebom anak-anak Anda dan suami-suami Anda masih berjalan dengan bebas di supermarket di daerah di mana Anda tinggal. Beberapa dari para korban berkata, "Sudah cukup." Kami berusaha berjuang sendiri melawan hal ini, dan syukurlah, 10 tahun kemudian, kami akhirnya menang. Ada satu atau dua orang yang mengajukan naik banding pada saat ini, dan karenanya saya harus berhati-hati, tapi saya cukup percaya diri.
Why was it effective? It was effective not just because justice was seen to be done where there was a huge void. It was because the Real IRA and other terrorist groups, their whole strength is from the fact that they are an underdog. When we put the victims as the underdog and flipped it, they didn't know what to do. They were embarrassed. Their recruitment went down. The bombs actually stopped -- fact -- because of this action. We became, or those victims became, more importantly, a ghost that haunted the terrorist organization.
Mengapa hal ini sangat efektif? Bukan hanya karena tampaknya keadilan sudah ditegakkan, saat ada kekosongan yang sangat besar. Tapi juga karena IRA dan kelompok-kelompok teroris yang lain, seluruh kekuatan mereka berasal dari fakta bahwa mereka adalah orang-orang yang tertindas. Saat kita memandang para korban sendiri sebagai pihak yang ditindas dan memutar balik posisi ini, para teroris tidak tahu harus melakukan apa. Mereka menjadi malu sendiri, dan semakin sedikit orang-orang yang ingin bergabung dengan mereka. Rentetan pengeboman tersebut akhirnya berhenti -- ini fakta -- karena aksi ini. Kita menjadi, atau yang lebih penting adalah, para korban tersebut menjadi hantu-hantu yang menghantui organisasi teroris.
There's other examples. We have a case called Almog which is to do with a bank that was, allegedly, from our point of view, giving rewards to suicide bombers. Just by bringing the very action, that bank has stopped doing it, and indeed, the powers that be around the world, which for real politic reasons before, couldn't actually deal with this issue, because there was lots of competing interests, have actually closed down those loopholes in the banking system. There's another case called the McDonald case, where some victims of Semtex, of the Provisional IRA bombings, which were supplied by Gaddafi, sued, and that action has led to amazing things for new Libya. New Libya has been compassionate towards those victims, and started taking it -- so it started a whole new dialogue there. But the problem is, we need more and more support for these ideas and cases.
Ada contoh lain. Kami mendapat kasus yang disebut dengan Almog yang berhubungan dengan bank yang diduga, menurut perspektif kami, memberikan penghargaan untuk para pelaku bom bunuh diri. Hanya dengan menyingkapkan, bahwa bank tersebut telah berhenti melakukan hal ini, dan memang, para otoritas di seluruh dunia yang karena alasan politik sebelumnya, tidak dapat mengatasi masalah ini, karena banyaknya kepentingan yang bertentangan, akhirnya menutup cleah-celah ini dalam sistem di bank mereka. Ada kasus lain yang disebut kasus McDonald, dimana para korban Semtex, dari peristiwa pengeboman IRA yang dipasok oleh Gaddafi, mangajukan tuntutan, dan aksi tersebut berujung pada hal-hal yang luar biasa bagi Libya yang baru. Libya baru prihatin terhadap para korban tersebut, dan mulai -- memulai dialog yang baru dari awal. Masalahnya adalah, kami butuh sokongan yang lebih banyak lagi untuk ide-ide dan kasus-kasus tersebut.
Civil affairs and civil society initiatives. A good one is in Somalia. There's a war on piracy. If anyone thinks you can have a war on piracy like a war on terrorism and beat it, you're wrong. What we're trying to do there is turn pirates to fisherman. They used to be fisherman, of course, but we stole their fish and dumped a load of toxic waste in their water, so what we're trying to do is create security and employment by bringing a coastguard along with the fisheries industry, and I can guarantee you, as that builds, al Shabaab and such likes will not have the poverty and injustice any longer to prey on those people. These initiatives cost less than a missile, and certainly less than any soldier's life, but more importantly, it takes the war to their homelands, and not onto our shore, and we're looking at the causes.
Ide-ide para pejabat dan masyarakat sipil. Ada satu yang sangat bagus di Somalia, di mana sekarang terjadi peperangan melawan bajak laut Apabila Anda berpikir kalau Anda dapat melawan bajak laut seperti halnya Anda melawan terorisme dan menang, Anda salah. Kami berusaha untuk mengubah para bajak laut ini menjadi nelayan. Tentu saja, mereka pernah menjadi nelayan. Tapi kita mencuri ikan-ikan mereka dan membuang timbunan racun dan limbah di perairan mereka, maka kami berusaha untuk menciptakan keamanan dan lapangan kerja dengan mengikutsertakan penjaga pantai ke dalam industri perikanan, dan saya menjamin, seiring dengan waktu, al Shabaab dan kawan-kawannya tidak akan dapat menggunakan kemiskinan dan ketidakadilan sebagai senjata untuk membantai orang lain. Ide ini harganya lebih murah dari sebuah misil, dan tentunya jauh lebih murah dari harga nyawa seorang tentara, namun yang paling penting, kami membawa peperangan ini ke tanah air mereka, dan bukan ke pantai-pantai kita, dan kita melihat pada penyebabnya.
The last one I wanted to talk about was dialogue. The advantages of dialogue are obvious. It self-educates both sides, enables a better understanding, reveals the strengths and weaknesses, and yes, like some of the speakers before, the shared vulnerability does lead to trust, and it does then become, that process, part of normalization. But it's not an easy road. After the bomb, the victims are not into this. There's practical problems. It's politically risky for the protagonists and for the interlocutors. On one occasion I was doing it, every time I did a point that they didn't like, they actually threw stones at me, and when I did a point they liked, they starting shooting in the air, equally not great. (Laughter) Whatever the point, it gets to the heart of the problem, you're doing it, you're talking to them.
Hal terakhir yang ingin saya bicarakan adalah dialog. Manfaat dari dialog sangatlah jelas. Dialog mendidik kedua pihak secara langsung, menciptakan adanya pemahaman yang lebih baik, menyingkapkan kekuatan dan kelemahan, dan benar, seperti halnya para pembicara sebelumnya, kerapuhan dari dua pihak ini berujung pada rasa percaya, dan kemudian, menjadi sebuah proses, bagian dari normalisasi. Tapi ini tidaklah mudah. Setelah terjadi bom, para korban tidak terlalu menyukai ide ini. Ada masalah-masalah praktis, Dari segi politik, ini sangat berisiko baik bagi para protagonis maupun para lawan bicara mereka. Saat saya melakukannya, selalu ada saat di mana mereka tidak suka hal yang saya sampaikan. Mereka melempar batu ke arah saya, dan saat saya menyampaikan poin yang yang mereka sukai, mereka mulai menembaki langit, Sama tidak hebatnya. (Tawa) Apapun maksudnya, ini mencari inti dari permasalahan, Anda sedang melakukannya, Anda berbicara dengan mereka.
Now, I just want to end with saying, if we follow reason, we realize that I think we'd all say that we want to have a perception of terrorism which is not just a pure military perception of it. We need to foster more modern and asymmetrical responses to it. This isn't about being soft on terrorism. It's about fighting them on contemporary battlefields. We must foster innovation, as I've said. Governments are receptive. It won't come from those dusty corridors. The private sector has a role. The role we could do right now is going away and looking at how we can support victims around the world to bring initiatives.
Nah, sebelum saya akhiri, kalau kita memahami alasannya, kita menyadari bahwa saya pikir kita semua akan berkata bahwa kita ingin memiliki sebuah persepsi mengenai terorisme yang lebih dari sekedar persepsi militer murni. Kita perlu mengembangkan tanggapan yang lebih modern dan tidak simetris terhadapnya. Ini bukan berarti bersikap lunak terhadap terorisme. Ini berarti melawan mereka di medan perang kontemporer. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kita perlu mengembangkan inovasi. Pemerintah mau menerimanya, dan bukan hanya mereka yang bekerja di lorong-lorong berdebu, tapi juga dari sektor swasta. Mereka pun memegang peranan. Peran kita saat ini adalah pergi dan mencari cara untuk membantu para korban di seluruh dunia untuk mencetuskan ide-ide.
If I was to leave you with some big questions here which may change one's perception to it, and who knows what thoughts and responses will come out of it, but did myself and my terrorist group actually need to blow you up to make our point? We have to ask ourselves these questions, however unpalatable. Have we been ignoring an injustice or a humanitarian struggle somewhere in the world? What if, actually, engagement on poverty and injustice is exactly what the terrorists wanted us to do? What if the bombs are just simply wake-up calls for us? What happens if that bomb went off because we didn't have any thoughts and things in place to allow dialogue to deal with these things and interaction?
Apabila saya mau meninggalkan beberapa pertanyaan serius untuk Anda, yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap terorisme, dan siapa yang tahu akan tanggapan dan ide-ide yang akan muncul, tapi apakah saya sendiri dan para kelompok teroris tersebut sebenarnya perlu meledakkan Anda untuk menyampaikan maksud kami? Kita perlu mempertanyakan hal-hal tersebut, meski mungkin ini tidak menyenangkan. Apakah selama ini kita telah mengacuhkan ketidakadilan atau kemanusiaan yang tengah berjuang di suatu tempat di dunia ini? Bagaimana kalau sebenarnya, koneksi antara kemiskinan dan ketidakadilan adalah apa yang para teroris ingin kita lakukan? Bagaimana kalau bom-bom tersebut hanyalah sekedar seruan untuk kita? Apa yang akan terjadi kalau bom tersebut meledak karena kita tidak mau berpikir dan bertindak seperti yang seharusnya, mengadakan dialog untuk mengurus hal-hal serta interaksi semacamnya?
What is definitely uncontroversial is that, as I've said, we've got to stop being reactive, and more proactive, and I just want to leave you with one idea, which is that it's a provocative question for you to think about, and the answer will require sympathy with the devil. It's a question that's been tackled by many great thinkers and writers: What if society actually needs crisis to change? What if society actually needs terrorism to change and adapt for the better? It's those Bulgakov themes, it's that picture of Jesus and the Devil hand in hand in Gethsemane walking into the moonlight. What it would mean is that humans, in order to survive in development, quite Darwinian spirit here, inherently must dance with the devil.
Yang sudah pasti tidaklah kontroversial adalah seperti yang saya katakan sebelumnya, kita perlu berhenti sekedar menanggapi tapi juga proaktif, dan saya ingin membagikan satu ide terakhir, di mana ini merupakan pertanyaan provokatif yang perlu Anda pikirkan, dan untuk menjawabnya, kita memerlukan simpati dengan mereka. Ini merupakan pertanyaan yang telah ditangani oleh banyak pemikir dan penulis hebat: Bagaimana kalau masyarakat memang membutuhkan krisis supaya bisa berubah? Bagaimana kalau sebenarnya masyarakat memang membutuhkan terorisme untuk berubah dan beradaptasi untuk menjadi lebih baik? Ini merupakan salah satu tema dari Bulgakov, seperti halnya lukisan di mana Yesus dan Setan berjalan berdampingan di bawah sinar bulan di taman Getsemani. Artinya adalah manusia perlu bertahan hidup di tengah-tengah perkembangan, dan seperti halnya Darwin, kita perlu berkompromi supaya kita bisa bertahan hidup.
A lot of people say that communism was defeated by the Rolling Stones. It's a good theory. Maybe the Rolling Stones has a place in this. Thank you. (Music) (Applause) Bruno Giussani: Thank you. (Applause)
Banyak orang berkata komunisme sudah dikalahkan oleh Rolling Stones. Teori yang bagus. Mungkin Rolling Stones memang berperan dalam hal ini. Terima kasih. (Musik) (Tepuk tangan) Bruno Giussani: Terima kasih. (Tepuk tangan)