Throughout my career, I've been fortunate enough to work with many of the great international architects, documenting their work and observing how their designs have the capacity to influence the cities in which they sit. I think of new cities like Dubai or ancient cities like Rome with Zaha Hadid's incredible MAXXI museum, or like right here in New York with the High Line, a city which has been so much influenced by the development of this.
Sepanjang karir saya, saya cukup beruntung dapat bekerja dengan banyak arsitek kelas internasional yang hebat, mendokumentasikan pekerjaan mereka dan mengamati bagaimana desain mereka dapat mempengaruhi kota di mana mereka berada. Saya berpikir tentang kota-kota baru seperti Dubai, atau kota-kota tua seperti Roma dengan museum MAXXI Zaha Hadid yang spektakuler, atau seperti di New York ini dengan High Line-nya, sebuah kota yang sudah banyak dipengaruhi oleh pembangunan seperti ini.
But what I find really fascinating is what happens when architects and planners leave and these places become appropriated by people, like here in Chandigarh, India, the city which has been completely designed by the architect Le Corbusier. Now 60 years later, the city has been taken over by people in very different ways from whatever perhaps intended for, like here, where you have the people sitting in the windows of the assembly hall. But over the course of several years, I've been documenting Rem Koolhaas's CCTV building in Beijing and the olympic stadium in the same city by the architects Herzog and de Meuron. At these large-scale construction sites in China, you see a sort of makeshift camp where workers live during the entire building process. As the length of the construction takes years, workers end up forming a rather rough-and-ready informal city, making for quite a juxtaposition against the sophisticated structures that they're building.
Akan tetapi yang menarik perhatian saya adalah apa yang terjadi ketika para arstitek dan perencana meninggalkan kota tersebut dan tempat-tempat itu diambil alih oleh masyarakat setempat, seperti di Chandigarh, India seperti yang ditunjukkan di sini, sebuah kota yang didesain oleh arsitek Le Corbusier. Sekarang, 60 tahun setelahnya, kota ini telah diambil alih oleh masyarakat dengan cara yang sangat berbeda dari maksud pembangunannya semula, seperti di sini, di mana orang-orang duduk di jendela aula pertemuan. Tapi dalam kurun waktu beberapa tahun, saya sudah mendokumentasikan bangunan CCTV Rem Koolhaa di Beijing dan juga stadium olimpiade di kota yang sama yang dibangun arsitek Herzog dan de Meuron. Di situs-situs konstruksi berskala besar di China seperti ini, Anda bisa melihat semacam perkemahan sementara tempat para pekerja tinggal selama proses pembangunan berlangsung. Karena pembangunannya bisa memakan waktu beberapa tahun, tempat tinggal para pekerja berkembang menjadi semacam kota informal yang cukup kokoh dan siap, yang menjadikannya kontras dengan bangunan modern yang sedang mereka bangun.
Over the past seven years, I've been following my fascination with the built environment, and for those of you who know me, you would say that this obsession has led me to live out of a suitcase 365 days a year. Being constantly on the move means that sometimes I am able to catch life's most unpredictable moments, like here in New York the day after the Sandy storm hit the city.
Selama tujuh tahun terakhir, saya terus merasa tertarik untuk mengamati lingkungan yang terbentuk ini, dan bagi Anda yang mengenal saya, mungkin akan mengatakan bahwa obsesi ini telah membuat saya hidup berpindah-pindah 365 hari dalam setahun. Karena saya selalu berada di jalan dan itu berarti terkadang saya dapat menyaksikan peristiwa tak terduga dalam hidup, seperti di New York ketika badai Sandy menerpa kota ini.
Just over three years ago, I was for the first time in Caracas, Venezuela, and while flying over the city, I was just amazed by the extent to which the slums reach into every corner of the city, a place where nearly 70 percent of the population lives in slums, draped literally all over the mountains. During a conversation with local architects Urban-Think Tank, I learned about the Torre David, a 45-story office building which sits right in the center of Caracas. The building was under construction until the collapse of the Venezuelan economy and the death of the developer in the early '90s. About eight years ago, people started moving into the abandoned tower and began to build their homes right in between every column of this unfinished tower. There's only one little entrance to the entire building, and the 3,000 residents come in and out through that single door. Together, the inhabitants created public spaces and designed them to feel more like a home and less like an unfinished tower. In the lobby, they painted the walls and planted trees. They also made a basketball court. But when you look up closely, you see massive holes where elevators and services would have run through.
Sekitar lebih dari 3 tahun yang lalu saya berada di Caracas, Venezuela untuk pertama kalinya, dan ketika terbang di atas kota itu, saya sangat kagum melihat betapa gubuk-gubuk kumuh menjangkau setiap sudut kota, sebuah tempat di mana 70% populasinya tinggal di gubuk kumuh, benar-benar menyelimuti seluruh wilayah pegunungan. Ketika bercengkerama dengan arsitek lokal dari Urban Think Tank, saya jadi tahu tentang Torre David, sebuah gedung perkantoran 45 lantai yang berada tepat di pusat Caracas. Bangunan itu sedang dalam proses pembangunan sebelum perekenomian Venezuela ambruk dan developer-nya meninggal di awal tahun 90-an. Sekitar 8 tahun yang lalu, orang-orang mulai pindah ke menara yang terbengkalai itu dan membangun tempat tinggal mereka tepat di antara tiang-tiang bangunan yang belum selesai itu. Hanya ada satu pintu masuk kecil ke gedung itu, dan 3.000 penghuni keluar-masuk melalui satu pintu itu. Bersama-sama, para penghuninya menciptakan tempat publik dan membuatnya terasa seperti rumah dan tidak lagi seperti menara setengah jadi. Di lobi, mereka mengecat dinding-dindingnya dan menanam pepohonan. Mereka juga membuat lapangan basket. Tapi apabila Anda lihat lebih dekat, Anda dapat melihat lubang besar di mana lift dan fasilitas lain yang seharusnya terpasang.
Within the tower, people have come up with all sorts of solutions in response to the various needs which arise from living in an unfinished tower. With no elevators, the tower is like a 45-story walkup. Designed in very specific ways by this group of people who haven't had any education in architecture or design. And with each inhabitant finding their own unique way of coming by, this tower becomes like a living city, a place which is alive with micro-economies and small businesses. The inventive inhabitants, for instance, find opportunities in the most unexpected cases, like the adjacent parking garage, which has been reclaimed as a taxi route to shuttle the inhabitants up through the ramps in order to shorten the hike up to the apartments.
Di dalam menara, orang-orang menciptakan bermacam-macam jalan keluar dan solusi untuk menjawab berbagai kebutuhan mereka yang muncul karena mereka tinggal di menara yang belum jadi. Tanpa lift, menara itu harus dicapai dengan berjalan kaki setinggi 45 lantai. Didesain sedemikian rupa oleh sekelompok orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang arsitektur maupun desain. Dengan setiap penghuni yang memutuskan cara mereka sendiri untuk hidup di sana, menara ini menjadi seperti sebuah kota hidup, sebuah tempat yang hidup dengan berbagai kegiatan ekonomi mikro dan bisnis kecil. Para penghuni yang penuh daya cipta, misalnya, mereka menemukan berbagai kesempatan dari keadaan yang tidak terduga, seperti garasi parkir paralel yang diubah menjadi rute taksi untuk mengantar-jemput para penghuni melewati tanjakan agar mempersingkat perjalanan mendaki mereka ke unit-unit apartemen di atas.
A walk through the tower reveals how residents have figured out how to create walls, how to make an air flow, how to create transparency, circulation throughout the tower, essentially creating a home that's completely adapted to the conditions of the site. When a new inhabitant moves into the tower, they already have a roof over their head, so they just typically mark their space with a few curtains or sheets. Slowly, from found materials, walls rise, and people create a space out of any found objects or materials.
Apabila Anda berjalan di sepanjang menara itu Anda akan melihat bagaimana para penghuninya mencari cara sendiri membangun dinding-dinding, membuat saluran ventilasi udara, bagaimana mereka menciptakan sebuah transparansi, sirkulasi di seluruh menara, dan menciptakan tempat tinggal yang sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi situs itu. Ketika ada penghuni baru yang pindah ke menara itu, mereka sudah punya atap di atas kepala mereka, jadi mereka hanya menandai wilayah mereka dengan beberapa helai tirai atau kain seprai. Perlahan, dari bahan bangunan yang mereka temukan, mereka membuat dinding, dan orang-orang membuat ruangan dari objek atau materi bangunan yang mereka temukan.
It's remarkable to see the design decisions that they're making, like when everything is made out of red bricks, some residents will cover that red brick with another layer of red brick-patterned wallpaper just to make it a kind of clean finish.
Sangat mengagumkan melihat berbagai keputusan desain yang mereka buat, seperti ketika semuanya dibuat dari bata merah, beberapa penghuni akan menutupi bata merah itu dengan satu lapisan kertas dinding bermotif bata merah sekadar untuk membuatnya terlihat sudah selesai sepenuhnya.
The inhabitants literally built up these homes with their own hands, and this labor of love instills a great sense of pride in many families living in this tower. They typically make the best out of their conditions, and try to make their spaces look nice and homey, or at least up until as far as they can reach. Throughout the tower, you come across all kinds of services, like the barber, small factories, and every floor has a little grocery store or shop. And you even find a church. And on the 30th floor, there is a gym where all the weights and barbells are made out of the leftover pulleys from the elevators which were never installed. From the outside, behind this always-changing facade, you see how the fixed concrete beams provide a framework for the inhabitants to create their homes in an organic, intuitive way that responds directly to their needs.
Para penghuninya benar-benar membangun rumah-rumah ini dengan tangan mereka sendiri, dan pekerjaan penuh cinta ini menanamkan perasaan bangga yang sangat besar bagi banyak keluarga yang tinggal di menara ini. Biasanya mereka berusaha memanfaatkan kondisi yang ada dengan sebaik-baiknya dan berusaha untuk membuat ruangan mereka terlihat bagus dan nyaman, atau setidaknya sedapat yang mereka bisa lakukan. Di seluruh menara, Anda bisa melihat berbagai fasilitas, seperti tukang cukur, pabrik kecil-kecilan, dan setiap lantai mempunyai sebuah toko kelontong atau kedai. Anda bahkan akan menemukan sebuah gereja di sana. Dan di lantai 30, ada sarana kebugaran di mana alat angkat berat dan barbelnya dibuat dari katrol-katrol sisa dari lift yang tidak pernah dipasang. Dari luar, di balik perubahan yang selalu terlihat, Anda bisa melihat bagaimana balok-balok beton itu menjadi suatu kerangka bagi para penghuni untuk membangun rumah mereka dengan cara yang organik dan penuh intuisi untuk menjawab kebutuhan mereka.
Let's go now to Africa, to Nigeria, to a community called Makoko, a slum where 150,000 people live just meters above the Lagos Lagoon. While it may appear to be a completely chaotic place, when you see it from above, there seems to be a whole grid of waterways and canals connecting each and every home. From the main dock, people board long wooden canoes which carry them out to their various homes and shops located in the expansive area. When out on the water, it's clear that life has been completely adapted to this very specific way of living. Even the canoes become variety stores where ladies paddle from house to house, selling anything from toothpaste to fresh fruits. Behind every window and door frame, you'll see a small child peering back at you, and while Makoko seems to be packed with people, what's more shocking is actually the amount of children pouring out of every building. The population growth in Nigeria, and especially in these areas like Makoko, are painful reminders of how out of control things really are.
Sekarang kita lihat keadaan di Afrika, tepatnya di Nigeria, sebuah komunitas bernama Makoko, lingkungan kumuh di mana 150.000 orang tinggal hanya beberapa meter di atas Danau Lagos. Meski mungkin terlihat seperti sebuah tempat yang sangat tidak beraturan, kalau Anda lihat dari atas, akan terlihat seperti kisi-kisi jalur air dan kanal yang menghubungkan setiap rumah yang ada, Dari dermaga utama, orang-orang menaiki perahu kayu panjang yang akan membawa mereka ke rumah-rumah mereka dan toko-toko yang berada di area yang luas itu. Saat berada di atas air, jelas bahwa mereka sudah beradaptasi dengan cara hidup yang sangat spesial ini. Perahu pun menjadi bermacam-macam toko di mana para perempuan mengayuh perahu mereka dari rumah ke rumah dan menjual berbagai macam barang dari pasta gigi hingga buah-buahan segar. Di balik setiap jendela dan daun pintu, Anda akan melihat ada anak kecil yang mengintip balik, dan meski Makoko sepertinya sangat padat penghuni yang lebih mengejutkan justru adalah betapa banyaknya anak-anak yang berada di setiap bangunan ini. Pertumbuhan penduduk di Nigeria dan khususnya di daerah seperti Makoko ini, adalah sebuah pengingat yang menyakitkan bahwa kita tidak memegang kendali atas segala hal yang ada.
In Makoko, very few systems and infrastructures exist. Electricity is rigged and freshest water comes from self-built wells throughout the area. This entire economic model is designed to meet a specific way of living on the water, so fishing and boat-making are common professions. You'll have a set of entrepreneurs who have set up businesses throughout the area, like barbershops, CD and DVD stores, movie theaters, tailors, everything is there. There is even a photo studio where you see the sort of aspiration to live in a real house or to be associated with a faraway place, like that hotel in Sweden.
Di Makoko, hanya ada sangat sedikit sistem pengaturan dan infrastruktur publik. Mereka mencuri listrik dan air bersih didapat dari sumur yang mereka bangun sendiri di seluruh wilayah ini. Model ekonomi ini didesain sedemikian rupa untuk mengakomodasi gaya hidup mereka di atas air, jadi nelayan dan pembuat perahu adalah pekerjaan yang biasa. Anda dapat menemukan beberapa pengusaha yang membangun bisnis mereka di wilayah ini, seperti tukang cukur, toko CD dan DVD, bioskop, tukang jahit, dan sebagainya di sana. Di sana bahkan ada sebuah studio foto dimana Anda dapat melihat adanya aspirasi untuk tinggal di rumah betulan atau untuk dapat diasosiasikan dengan suatu tempat yang jauh, seperti hotel itu di Swedia.
On this particular evening, I came across this live band dressed to the T in their coordinating outfits. They were floating through the canals in a large canoe with a fitted-out generator for all of the community to enjoy.
Pada malam ini, saya kebetulan melihat pertunjukan live band yang mengenakan baju kaos seragam ini. Mereka mengapung melalui kanal-kanal di perahu besar yang menggunakan generator agar dapat dinikmati seluruh komunitas ini.
By nightfall, the area becomes almost pitch black, save for a small lightbulb or a fire.
Pada malam hari, keseluruhan wilayah ini hampir gelap gulita, dengan hanya satu lampu kecil atau api unggun.
What originally brought me to Makoko was this project from a friend of mine, Kunlé Adeyemi, who recently finished building this three-story floating school for the kids in Makoko. With this entire village existing on the water, public space is very limited, so now that the school is finished, the ground floor is a playground for the kids, but when classes are out, the platform is just like a town square, where the fishermen mend their nets and floating shopkeepers dock their boats.
Yang membawa saya ke Makoko pertama kali adalah sebuah proyek yang dikerjakan teman saya, Kunle Adeyemi, yang baru saja selesai membangun sekolah terapung tiga lantai ini untuk anak-anak di Makoko. Dengan keseluruhan desa ini berada di atas air, ruang publik sangat terbatas, jadi sekarang setelah sekolah ini selesai, lantai dasar adalah lapangan bermain untuk anak-anak, tapi ketika sedang tidak ada kelas, podium ini menjadi selayaknya sebuah alun-alun kota, di mana para nelayan memperbaiki jaring-jaring mereka dan para pelayan toko terapung menambatkan perahu mereka.
Another place I'd like to share with you is the Zabbaleen in Cairo. They're descendants of farmers who began migrating from the upper Egypt in the '40s, and today they make their living by collecting and recycling waste from homes from all over Cairo. For years, the Zabbaleen would live in makeshift villages where they would move around trying to avoid the local authorities, but in the early 1980s, they settled on the Mokattam rocks just at the eastern edge of the city. Today, they live in this area, approximately 50,000 to 70,000 people, who live in this community of self-built multi-story houses where up to three generations live in one structure. While these apartments that they built for themselves appear to lack any planning or formal grid, each family specializing in a certain form of recycling means that the ground floor of each apartment is reserved for garbage-related activities and the upper floor is dedicated to living space. I find it incredible to see how these piles and piles of garbage are invisible to the people who live there, like this very distinguished man who is posing while all this garbage is sort of streaming out behind him, or like these two young men who are sitting and chatting amongst these tons of garbage. While to most of us, living amongst these piles and piles of garbage may seem totally uninhabitable, to those in the Zabbaleen, this is just a different type of normal. In all these places I've talked about today, what I do find fascinating is that there's really no such thing as normal, and it proves that people are able to adapt to any kind of situation. Throughout the day, it's quite common to come across a small party taking place in the streets, just like this engagement party. In this tradition, the bride-to-be displays all of their belongings, which they soon bring to their new husband. A gathering like this one offers such a juxtaposition where all the new stuff is displayed and all the garbage is used as props to display all their new home accessories. Like Makoko and the Torre David, throughout the Zabbaleen you'll find all the same facilities as in any typical neighborhood. There are the retail shops, the cafes and the restaurants, and the community is this community of Coptic Christians, so you'll also find a church, along with the scores of religious iconographies throughout the area, and also all the everyday services like the electronic repair shops, the barbers, everything.
Satu tempat lain yang ingin saya perlihatkan pada Anda adalah Zabbaleen di Kairo. Mereka adalah keturunan para petani yang mulai bermigrasi dari daratan tinggi Mesir pada tahun 1940-an, dan sekarang mereka mencari penghidupan dengan mengumpulkan dan mendaur ulang sampah perumahan dari seluruh Kairo. Selama bertahun-tahun, orang-orang Zabbaleen tinggal di desa-desa sementara di mana mereka berpindah-pindah untuk menghindari otoritas lokal, tapi pada awal 1980-an, mereka tinggal di bebatuan Mokattam di pinggir timur kota. Sekarang, mereka tinggal di wilayah ini, sekitar 50.000 hingga 70.000 orang, yang tinggal di komunitas yang terdiri atas rumah-rumah bertingkat yang mereka bangun sendiri di mana hingga tiga generasi tinggal di satu tempat bersama-sama, Sementara apartemen-apartemen yang mereka bangun sendiri ini tampak seperti tidak terlalu terencana atau tidak memiliki kisi-kisi, setiap keluarga memiliki keahlian mendaur ulang sendiri-sendiri yang berarti lantai dasar setiap apartemen digunakan untuk aktivitas yang terkait dengan sampah dan lantai atas digunakan sebagai tempat tinggal. Menurut saya sangat mengagumkan melihat bagaimana tumpukan demi tumpukan sampah ini seakan tak terlihat bagi orang-orang yang tinggal di sana, seperti pria terhormat yang berpose dengan berbagai jenis sampah yang menumpuk di belakangnya ini, atau seperti kedua pria muda yang duduk mengobrol di antara berton-ton sampah ini. Sementara bagi sebagian besar dari kita, tinggal di antara tumpukan demi tumpukan sampah mungkin tampak seperti tak mungkin ditinggali, namun bagi orang-orang di Zabbaleen, ini hanya bentuk lain dari keseharian. Dari semua tempat yang sudah saya sebutkan hari ini, yang menurut saya menakjubkan adalah bahwa tidak ada yang namanya normal dan biasa, dan ini membuktikan bahwa manusia mampu beradaptasi dengan keadaan apa pun. Sepanjang hari, cukup wajar untuk melihat sebuah pesta yang sedang berlangsung di jalanan, seperti pesta pertunangan ini. Dalam tradisi ini, calon pengantin wanita menunjukkan seluruh harta benda mereka, yang akan mereka bawa ke calon suami mereka sebentar lagi, Pertemuan seperti ini menunjukkan sebuah kontras dimana berbagai barang baru dipertunjukkan dan berbagai macam sampah digunakan sebagai aksesoris untuk menghiasi rumah baru mereka. Seperti Makoko dan Torre David, di seluruh Zabbaleen Anda dapat menemukan semua fasilitas yang ada di lingkungan perumahan lazimnya. Ada toko kelontong, kafe-kafe dan restoran, dan komunitas ini adalah komunitas Kristen Koptik, jadi Anda juga akan menemukan gereja, lengkap dengan berbagai simbol keagamaan di wilayah itu, dan juga berbagai jenis jasa sehari-hari seperti toko reparasi barang-barang elektronik, tukang cukur, segala macam.
Visiting the homes of the Zabbaleen is also full of surprises. While from the outside, these homes look like any other informal structure in the city, when you step inside, you are met with all manner of design decisions and interior decoration. Despite having limited access to space and money, the homes in the area are designed with care and detail. Every apartment is unique, and this individuality tells a story about each family's circumstances and values. Many of these people take their homes and interior spaces very seriously, putting a lot of work and care into the details. The shared spaces are also treated in the same manner, where walls are decorated in faux marble patterns.
Mengunjungi rumah-rumah Zabbaleen sungguh penuh kejutan. Meski dari luar rumah-rumah ini terlihat seperti bangunan informal lainnya di perkotaan, kalau Anda melangkah ke dalam Anda akan melihat berbagai bentuk keputusan desain dan dekorasi interior. Meski mereka mempunyai akses yang terbatas akan ruang dan uang, rumah-rumah di wilayah ini didesain dengan sepenuh hati dan dengan rinci. Setiap apartemen mempunyai keunikan tersendiri, dan individualisme ini menceritakan suatu kisah tentang keadaan dan nilai-nilai yang dianut setiap keluarga. Kebanyakan dari orang-orang ini memandang rumah mereka dan ruang interior dengan serius, mereka mencurahkan banyak tenaga dan kasih sayang ke dalam detil pekerjaan mereka. Ruang umum juga diperlakukan sama, dinding-dindingnya didekorasi dengan motif batu pualam.
But despite this elaborate decor, sometimes these apartments are used in very unexpected ways, like this home which caught my attention while all the mud and the grass was literally seeping out under the front door. When I was let in, it appeared that this fifth-floor apartment was being transformed into a complete animal farm, where six or seven cows stood grazing in what otherwise would be the living room. But then in the apartment across the hall from this cow shed lives a newly married couple in what locals describe as one of the nicest apartments in the area.
Meski dekorasinya cukup rumit, kadang apartemen-apartemen ini digunakan untuk fungsi yang tak terduga, seperti rumah ini yang menarik perhatian saya di mana lumpur dan rumput tumbuh keluar melalui celah pintu. Ketika saya dipersilahkan masuk, saya melihat bahwa apartemen di lantai 5 ini sudah diubah menjadi peternakan binatang yang lengkap dengan 6-7 sapi yang berdiri merumput di ruangan yang layaknya adalah ruang tamu. Tapi kemudian di apartemen di seberang selasar dari gubuk sapi ini tinggal sepasang suami-istri baru di ruangan yang disebut para penghuni lokal sebagai apartemen terbaik di wilayah ini.
The attention to this detail astonished me, and as the owner of the home so proudly led me around this apartment, from floor to ceiling, every part was decorated. But if it weren't for the strangely familiar stomach-churning odor that constantly passes through the apartment, it would be easy to forget that you are standing next to a cow shed and on top of a landfill. What moved me the most was that despite these seemingly inhospitable conditions, I was welcomed with open arms into a home that was made with love, care, and unreserved passion.
Perhatian terhadap setiap detail ini membuat saya merasa kagum dan pemilik rumah ini dengan bangga menunjukkan berbagai ruangan di apartemen ini kepada saya, setiap bagian dari lantai hingga langit-langit dipenuhi oleh dekorasi. Kalau saja bukan bau mengocok perut yang anehnya terasa familiar, yang terus-menerus tercium di seluruh apartemen, Anda akan dengan mudah melupakan bahwa Anda sedang berdiri di samping kandang sapi dan di atas tempat pembuangan sampah. Saya sangat tersentuh karena meskipun kondisi yang tampak tidak bersahabat itu, saya disambut dengan tangan terbuka ke rumah yang dibuat dengan cinta, kasih sayang, dan semangat yang tidak ada habisnya.
Let's move across the map to China, to an area called Shanxi, Henan and Gansu. In a region famous for the soft, porous Loess Plateau soil, there lived until recently an estimated 40 million people in these houses underground. These dwellings are called the yaodongs. Through this architecture by subtraction, these yaodongs are built literally inside of the soil. In these villages, you see an entirely altered landscape, and hidden behind these mounds of dirt are these square, rectangular houses which sit seven meters below the ground. When I asked people why they were digging their houses from the ground, they simply replied that they are poor wheat and apple farmers who didn't have the money to buy materials, and this digging out was their most logical form of living.
Sekarang kita berpindah ke sisi lain dunia ke China, sebuah wilayah yang dikenal sebagai Shanxi, Henan, dan Gansu. Di wilayah yang terkenal dengan tanah dataran tinggi Loess yang lembut dan berporos, hingga sekarang tinggal sekitar 40 juta orang di rumah-rumah di bawah tanah ini. Tempat tinggal seperti ini disebut yaodong. Arsitektur ini menggunakan teknik substraksi, di mana yaodong ini dibangun di dalam tanah. Di desa-desa ini, Anda dapat melihat lanskap yang sudah diubah sepenuhnya dan tersembunyi di balik tumpukan kotoran ada rumah-rumah berbentuk bujur sangkar, persegi panjang yang tertanam tujuh meter di bawah permukaan tanah. Ketika saya bertanya kenapa mereka menggali rumah mereka dari dasar, mereka menjawab bahwa mereka adalah petani gandum dan apel miskin yang tidak punya uang untuk membeli bahan bangunan, dan menggali adalah bentuk kehidupan yang paling logis bagi mereka.
From Makoko to Zabbaleen, these communities have approached the tasks of planning, design and management of their communities and neighborhoods in ways that respond specifically to their environment and circumstances. Created by these very people who live, work and play in these particular spaces, these neighborhoods are intuitively designed to make the most of their circumstances. In most of these places, the government is completely absent, leaving inhabitants with no choice but to reappropriate found materials, and while these communities are highly disadvantaged, they do present examples of brilliant forms of ingenuity, and prove that indeed we have the ability to adapt to all manner of circumstances. What makes places like the Torre David particularly remarkable is this sort of skeleton framework where people can have a foundation where they can tap into. Now imagine what these already ingenious communities could create themselves, and how highly particular their solutions would be, if they were given the basic infrastructures that they could tap into.
Dari Makoko hingga Zabbaleen, komunitas-komunitas ini mempunyai pendekatan sendiri-sendiri dalam melakukan perencanaan, perancangan, dan manajemen komunitas dan lingkungan tempat tinggal mereka dengan cara yang menjawab kondisi dan lingkungan spesifik mereka masing-masing. Diciptakan oleh orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain di ruang-ruang ini, masing-masing lingkungan didesain dengan penuh intuisi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di kebanyakan dari tempat-tempat ini, pemerintah sama sekali tidak terlibat, sehingga para penghuni tidak mempunyai pilihan lain tapi menggunakan kembali bahan bangunan yang mereka temukan, dan meski komunitas-komunitas ini sungguh kurang beruntung, mereka menunjukkan satu contoh bentuk kecerdasan yang sungguh cemerlang, dan membuktikan bahwa kita memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai keadaan yang ada. Yang membuat tempat-tempat seperti Torre David sungguh spesial adalah struktur bangunan seperti ini di mana orang-orang dapat memiliki fondasi yang dapat dimasuki. Bayangkan apa yang sudah dapat dibuat oleh komunitas yang pada dasarnya cerdas seperti mereka, dan bagaimana mereka dapat menciptakan solusi yang spesifik, apabila mereka diberikan infrastruktur mendasar yang dapat mereka akses.
Today, you see these large residential development projects which offer cookie-cutter housing solutions to massive amounts of people. From China to Brazil, these projects attempt to provide as many houses as possible, but they're completely generic and simply do not work as an answer to the individual needs of the people.
Sekarang Anda dapat melihat proyek-proyek pembangunan perumahan yang menawarkan solusi perumahan massal bagi banyak orang. Dari China hingga Brasil, proyek-proyek ini mencoba menyediakan sebanyak mungkin rumah, tapi solusi mereka sangat umum dan tidak berhasil menjawab kebutuhan masing-masing orang.
I would like to end with a quote from a friend of mine and a source of inspiration, Zita Cobb, the founder of the wonderful Shorefast Foundation, based out of Fogo Island, Newfoundland. She says that "there's this plague of sameness which is killing the human joy," and I couldn't agree with her more.
Saya ingin mengakhiri sesi ini dengan mengutip teman dan sumber inspirasi saya, Zita Cobb, pendiri dari Shorefast Foundation yang luar biasa, yang terletak di Kepulauan Fogo di Newfoundland. Ia berkata bahwa "ada semacam wabah keseragaman yang membunuh kebahagiaan umat manusia," dan saya sangat setuju dengan pendapatnya.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)