It's become strangely normal to tell our kids that they're going to die from climate change. If sea-level rise doesn’t get them, then a wildfire will, or a global famine, or crop failures. Maybe a fatal heat wave, the insect apocalypse or the fishless oceans. These are the headlines we've all been told will be the end of humanity.
Bercerita pada anak bahwa mereka akan mati akibat perubahan iklim sudah lazim. Jika kenaikan permukaan laut tidak dapat dibendung, akan terjadi kebakaran hutan, atau kelaparan global, atau gagal panen. Mungkin gelombang panas yang fatal, kiamat serangga atau lautan tanpa ikan. Ini adalah berita utama yang sering kita dengar akan menjadi akhir dari umat manusia.
So we shouldn't be surprised, then, that young people today feel crippled with anxiety. A large international survey asked 10,000 young people about their attitudes to climate change. More than half said they think humanity’s doomed; three-quarters find the future frightening; and more than one in three are hesitant to have children of their own. Young people today truly feel like they could be the last generation. In fact, prominent activist groups actually take on this very name.
Jadi kita tidak perlu heran, kalau begitu, bahwa anak muda saat ini dihantui kecemasan. Sebuah survei internasional besar diajukan ke 10.000 orang muda tentang sikap mereka terhadap perubahan iklim. Lebih dari setengahnya berpikir bahwa umat manusia akan hancur; tiga perempat menganggap masa depan menakutkan; dan lebih dari satu dari tiga ragu-ragu untuk memiliki anak. Anak muda saat ini benar-benar merasa seperti menjadi generasi terakhir. Faktanya, kelompok aktivis terkemuka sebenarnya mengambil nama ini.
Now I get this feeling, I've been there. I used to feel like humanity was doomed, and despite having multiple environmental degrees, I felt completely helpless to do anything about it.
Sekarang saya paham perasaan ini, saya pernah muda. Dulu saya merasa seperti umat manusia ditakdirkan, dan meskipun memiliki beberapa gelar lingkungan, saya merasa benar-benar tidak berdaya melakukan apa pun tentang hal itu.
But I'm a data scientist, and after years poring over the data on how far humanity's come and how quickly things are now moving, my perspective on this has changed. I think we've got this framing upside down. Far from being the last generation, I think we will be the first generation: the first generation to be sustainable.
Namun, saya ilmuwan data, dan setelah bertahun-tahun meneliti data tentang seberapa jauh manusia berhasil dan seberapa cepat hal-hal sekarang bergerak, pandangan saya tentang hal ini telah berubah. Saya pikir kita melihat kerangka ini secara terbalik. Alih-alih generasi terakhir, saya pikir kita akan menjadi generasi pertama: generasi pertama yang berkelanjutan.
When we think about sustainability, we might imagine humans have only become unsustainable in the very recent past, that our ancestors lived in perfect balance with nature and only recently has that been knocked off. Unfortunately, this is not true. If we're nostalgic for sustainable paths to rewind back to, there is none. The world has never been sustainable.
Ketika kita berpikir tentang keberlanjutan, kita mungkin membayangkan manusia hanya menjadi tidak berkelanjutan di masa lalu, bahwa nenek moyang kita hidup dalam keseimbangan sempurna dengan alam dan baru-baru ini saja keseimbangan itu hilang. Sayangnya, ini tidak benar. Jika kita ingin menelusuri jalur berkelanjutan yang bisa diulang, itu tidak ada. Dunia tidak pernah berkelanjutan.
Now I get that that's a controversial statement, so let me explain why. When we think about the definition of sustainability, we might imagine something like this: "having a low environmental impact to protect future generations." And it's true, by this definition, many of our ancestors were sustainable. They did have a low environmental impact. But the reason they had a low environmental impact is because the populations were tiny. And the reason their populations were tiny is because half of children died before reaching puberty. Half of children died. That, then, raises the question: Is that what we really think sustainability is? Is that the world we want to maintain and preserve, one where half of our children die? Hope your answer to that is no. If we care about human suffering, we need to add another dimension to this. We need to also provide a good life for everyone today.
Saya paham itu kontroversial, jadi izinkan saya menjelaskan. Ketika kita berpikir tentang definisi keberlanjutan, kita mungkin membayangkan sesuatu seperti ini: “memiliki dampak lingkungan yang rendah untuk melindungi generasi mendatang.” Dan memang benar, menurut definisi ini, banyak nenek moyang kita yang berkelanjutan. Mereka memang memiliki dampak lingkungan yang rendah. Tetapi alasan mereka memiliki dampak lingkungan yang rendah karena populasinya kecil. Dan alasan populasi mereka kecil, setengah dari anak-anak meninggal sebelum mencapai pubertas. Setengah dari anak-anak meninggal. Kemudian, timbul pertanyaan: Apa itu yang kita maksud dengan keberlanjutan? Itukah yang ingin kita pertahankan dan lestarikan? Di mana setengah dari anak-anak kita mati? Semoga jawaban Anda “tidak”. Jika kita peduli dengan kemanusiaan, kita perlu menambahkan dimensi lain untuk ini. Kita juga perlu memberi kehidupan yang baik untuk semua.
Now that gives our definition two halves. If we fail on either half, we have failed to be sustainable. That's where our ancestors were never sustainable. They never achieved the first half of the equation. And over the last few centuries, the world has made amazing progress on the first half. As we've shown at Our World in Data, child mortality is now down to four percent. Extreme poverty used to be the default, now less than one in 10 people live there. Literacy and education used to be rare; now, most children in the world get the opportunity to go to school. But the world as it is today is still unacceptable. It's unacceptable that millions of children die every year, that hundreds of millions live on less than two dollars a day, which is an incredibly low poverty line. But pick almost any metric of human wellbeing, and you'll find that the world has become a much better place.
Definisi kita terbelah dua. Jika kita gagal pada setengahnya, kita gagal untuk berkelanjutan. Di situlah nenek moyang kita tidak pernah berkelanjutan. Mereka tidak pernah mencapai paruh pertama persamaan. Beberapa abad terakhir, dunia telah membuat kemajuan luar biasa di babak pertama. Pada <i>Our World in Data</i>, angka kematian anak sekarang turun empat persen. Kemiskinan ekstrem dulu adalah wajar, sekarang kurang dari 1 dari 10 orang. Literasi dan pendidikan dulunya langka; sekarang, sebagian besar anak-anak didunia mendapatkan kesempatan untuk sekolah. Namun, dunia seperti sekarang ini masih tidak dapat diterima. Tidak dapat diterima bahwa jutaan anak meninggal setiap tahun, bahwa ratusan juta hidup dengan kurang dari dua dolar sehari, yang merupakan garis kemiskinan yang sangat rendah. Namun, pilih hampir semua metrik kesejahteraan manusia, dan dunia telah menjadi tempat yang jauh lebih baik.
But that progress has come at a cost. It's come at a cost to the environment. We burn wood and fossil fuels for energy. We expanded farmlands at the cost of forests, and our insatiable appetite for meat means we now use half of the world's habitable land for farming. We kill billions of animals every year. These are the trends that make us feel doomed. We see these lines rising, and we assume they might never stop.
Namun, kemajuan itu datang dengan biaya. Itu datang dengan biaya untuk lingkungan. Kita membakar kayu dan bahan bakar fosil untuk energi. Kita memperluas lahan pertanian dengan mengorbankan hutan, dan selera kita yang tak terpuaskan untuk daging berarti kita menggunakan setengah dari lahan layak huni dunia untuk pertanian. Kita membunuh miliaran hewan setiap tahun. Tren ini yang membuat kita merasa menuju kehancuran. Kita melihat garis-garis ini naik, dan berasumsi itu tidak akan berhenti.
But more recent data tells us a slightly different story. A more hopeful story, that we can turn things around. This is per-capita CO2 emissions in the UK since 1750. Over the last few decades, emissions in the UK have halved. That means that my carbon footprint today is less than half that of my grandparents' when they were my age. That's despite the fact I live a much more extravagant lifestyle, or, as they'd put it, "You youngsters just don't know how good you've got it these days."
Namun, data baru memberi tahu kita cerita yang sedikit berbeda. Sebuah kisah yang lebih penuh harapan, bahwa kita dapat membalikkan keadaan. Ini adalah emisi CO2 per kapita di Inggris sejak tahun 1750. Beberapa dekade terakhir, emisi di Inggris telah berkurang setengahnya. Artinya, jejak karbon saya hari ini kurang dari setengah kakek-nenek saya ketika mereka seusia saya. Terlepas dari kenyataan bahwa gaya hidup saya lebih boros, seperti kata mereka, “Kalian tidak tahu betapa beruntungnya kalian saat ini.”
(Laughter)
(Tertawa)
Now, you might think the UK's cheating here. It used to be this industrial powerhouse, now it gets China, India and Bangladesh to produce its stuff for it. Maybe it's just offshored all these emissions. There's a bit of truth to this -- when we adjust for trade, emissions in the UK are higher -- but we still see this dramatic decline over the last few decades. Offshoring is a bit of the story, but it's not the entire story. At the same time, the UK has increased its GDP. GDP has gone up, while emissions have come down. And it's not the only country to achieve this. You will see the same for the US, for Germany, France, Spain, Portugal. A long list of countries have increased GDP while reducing their emissions. And again, this is not just because they've offshored them. The notion that economic growth has to be incompatible with reducing our environmental impact is simply wrong.
Anda mungkin berpikir Inggris berlaku curang. Dulu, Inggris adalah tempat industri, sekarang China, India, dan Bangladesh yang memproduksi barang untuk Inggris. Mungkin itu hanyalah memindahkan emisi. Kurang lebih ada benarnya -- saat menyesuaikan diri dengan perdagangan, emisi di Inggris lebih tinggi -- tetapi kita masih melihat penurunan dramatis selama beberapa dekade terakhir. Salah satunya karena lepas pantai, tapi bukan seluruhnya. Pada saat yang sama, Inggris telah meningkatkan PDB-nya. PDB naik, sementara emisi turun. Inggris bukan satu-satunya negara yang mencapai ini. Anda akan melihat hal yang sama untuk AS, Jerman, Prancis, Spanyol, Portugal. Daftar panjang negara telah meningkatkan PDB sekaligus mengurangi emisi mereka. Dan lagi, ini bukan hanya karena mereka telah lepas pantai. Gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan pengurangan dampak lingkungan adalah salah.
Now rich countries are reducing their emissions, but low- and middle-income countries are increasing theirs. What does this mean at a global level? Well, total CO2 emissions are now beginning to flatline, but actually, emissions per person already peaked a decade ago. That means the emissions of the average person in the world today have peaked, and are now falling. And we will see a peak in total CO2 emissions soon.
Sekarang negara-negara kaya mengurangi emisi mereka, tetapi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah meningkatkan emisi mereka. Apa artinya ini di tingkat global? Nah, total emisi CO2 sekarang mulai datar, tetapi sebenarnya, emisi per orang sudah mencapai puncaknya satu dekade lalu. Itu berarti emisi rata-rata orang di dunia saat ini telah mencapai puncaknya, dan sekarang turun. Dan kita akan segera melihat puncak emisi CO2 total.
Now, why is this happening? A big driver has been technological change. Here, we see coal production in the UK since 1700. Now the UK was the birthplace of industrial coal, and it has now died there. When I was born, more than half of the UK's electricity was coming from coal. This is now less than two percent. And it’s dying in many other countries too. You will see the same for the US, Germany, Denmark, Spain, Portugal, Greece, Ireland. In many countries in the world, coal is dying. Taking its place are renewables, where costs are plummeting. The cost of solar has fallen by 99.8 percent since 1970, fallen by 90 percent in the last decade alone. And if you're worried that it looks like this price trend is leveling off, don't be. When we zoom in, we see that the price of solar continues to fall. And the same is true for wind. Go back a decade, and solar and wind were among the most expensive energy technologies we had. That is why the world was not making progress, that is why countries were not deploying them -- they were far too expensive. But just ten years on, and that script has flipped. In many countries in the world, solar and wind are now the cheapest.
Sekarang, mengapa ini terjadi? Pendorong utamanya adalah perubahan teknologi. Di sini, kita melihat produksi batubara di Inggris sejak tahun 1700. Inggris adalah tempat kelahiran industri batubara, yang sekarang telah mati. Ketika saya lahir, lebih dari setengah listrik Inggris berasal dari batu bara. Sekarang, kurang dari dua persen. Batubara juga sekarat di banyak negara lain. Anda akan melihat hal yang sama untuk AS, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Yunani, Irlandia. Di banyak negara di dunia, batubara sedang sekarat. Penggantinya adalah energi terbarukan, di mana biayanya terjun bebas. Biaya sinar matahari telah turun 99,8 persen sejak 1970, turun 90 persen dalam dekade terakhir saja. Dan jika Anda khawatir sepertinya tren harga ini turun, jangan. Jika dilihat lebih dekat, harga sinar matahari terus turun. Hal yang sama juga berlaku untuk angin. Kembali satu dekade, dan matahari dan angin adalah salah satu teknologi energi paling mahal yang kita miliki. Itulah sebabnya dunia tidak membuat kemajuan, itulah sebabnya mereke tidak digunakan -- mereka terlalu mahal. Namun, hanya berselang sepuluh tahun, hal itu telah berubah. Di banyak negara di dunia, matahari dan angin sekarang yang termurah.
Now if we're going to have renewables, we're going to need energy storage. But there's good news there too. The price of batteries has fallen by 98 percent since 1990. If you take the battery you'd find in a Tesla today, go back to 1990, it would have cost one million dollars. It now costs just 12,000. That’s completely transformed the world of energy storage and completely transformed the world of transport. Global sales of petrol and diesel cars have already peaked -- they peaked in 2017, and they are now falling. Taking their place are electric cars, where, in a space of just a few years, sales are going through the roof.
Jika kita memiliki energi terbarukan, kita membutuhkan penyimpanan energi. Namun, ada kabar baik di sana juga. Harga baterai telah turun 98 persen sejak 1990. Jika Anda mengambil baterai Tesla hari ini, kembali ke tahun 1990, harganya menjadi satu juta dolar. Sekarang harganya hanya 12.000. Itu benar-benar mengubah dunia penyimpanan energi dan sepenuhnya mengubah dunia transportasi. Penjualan global mobil bensin dan diesel telah mencapai puncaknya pada 2017, dan sekarang telah turun. Penggantinya adalah mobil listrik, di mana, dalam waktu hanya beberapa tahun, penjualan akan meningkat.
And from energy and transport to the food we eat, you might imagine that global deforestation is at its highest level ever. But actually, global deforestation peaked decades ago and is now falling. But actually, it's better than that, because many countries are now regrowing their old forests, such that the net decline is even more impressive.
Dari energi dan transportasi ke makanan yang kita makan, Anda mungkin mengira deforestasi global berada pada level tertingginya. Namun sebenarnya, deforestasi global memuncak beberapa dekade yang lalu dan sekarang menurun. Tapi sebenarnya, itu lebih baik, karena banyak negara sekarang menumbuhkan kembali hutan lama mereka, sehingga penurunan bersihnya bahkan lebih mengesankan.
Now, why is this happening? A big driver has been increases in crop yields. For all of our agricultural history, crop yields were low and stagnant. Farmers had basically no opportunities to increase them. Over the last century, across many countries and many different crop types, crop yields have skyrocketed. Here, we see it for the US, for corn, where yields have grown sixfold, from two tonnes to 12 tonnes. Now what this means is we can grow a lot more food from a lot less land. The amount of land used to produce corn in the US has not increased in over a century, but look at the change in corn production.
Sekarang, mengapa ini terjadi? Pendorong besarnya adalah peningkatan hasil panen. Untuk semua sejarah pertanian kita, hasil panen rendah dan stagnan. Petani pada dasarnya tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkannya. Selama abad terakhir, di banyak negara dan banyak jenis tanaman yang berbeda, hasil panen telah meroket. Di sini, kita melihatnya untuk AS, untuk jagung, di mana hasil panen telah tumbuh enam kali lipat, dari dua ton menjadi 12 ton. Ini artinya kita bisa menanam lebih banyak makanan dari tanah yang jauh lebih sedikit. Jumlah lahan yang digunakan untuk memproduksi jagung di AS tidak meningkat selama lebih dari satu abad, tetapi lihat perubahan produksi jagung.
My main point here is that in the past, human progress had to come at the cost of the environment. If we wanted energy, we had to burn wood or we had to burn fossil fuels. If we wanted to grow more food, we had to expand farmland, often at the cost of forests. But technology and innovation means we're very quickly decoupling these impacts, such that this conflict is no longer true.
Poin utama saya di sini, di masa lalu, kemajuan manusia harus datang dengan mengorbankan lingkungan. Jika kita menginginkan energi, Kita harus membakar kayu atau bahan bakar fosil. Jika kita ingin menanam lebih banyak makanan, kita harus memperluas lahan pertanian, sering kali dengan mengorbankan hutan. Tetapi teknologi dan inovasi berarti kita dengan sangat cepat memisahkan dampak ini, sehingga konflik ini tidak lagi benar.
Let's then think about the world that we can have. We need to achieve the first half of our equation. We need to end global poverty. And here, I'm not talking about raising everyone above a two-dollar-a-day poverty line. That is simply not good enough. We need to provide everyone with a good, comfortable life. No child should die from a cause that’s preventable. Every child should get the opportunity to go to school and get an education. At the same time, we need to peak and reduce our CO2 emissions; we need to move away from fossil fuels; and we need to end deforestation, while feeding eight, nine, ten billion people, at the same time.
Mari kita pikirkan tentang dunia yang bisa kita miliki. Kita perlu mencapai paruh pertama persamaan kita. Kita harus mengakhiri kemiskinan global. Dan di sini, saya tidak berbicara tentang meningkatkan semua orang di atas garis kemiskinan dua dolar per hari. Itu tidak cukup baik. Kita perlu menyediakan semua orang dengan kehidupan yang baik dan nyaman. Tidak ada anak yang harus mati karena penyebab yang dapat dicegah. Setiap anak harus mendapatkan kesempatan sekolah dan mendapatkan pendidikan. Pada saat yang sama, kita perlu menyudahi dan mengurangi emisi CO2 kita; kita perlu menjauh dari bahan bakar fosil; dan kita perlu mengakhiri deforestasi, sambil memberi makan 8,9,10 miliar orang, pada saat yang sama.
How do we do that? How do we become the First Generation? First, our low-carbon technologies need to become the default. There's two ways to do this. The first is to make sure that they are affordable, to make sure that they are the cheapest option. Solar and wind are already cheaper than coal, electric cars will soon be cheaper than gasoline, and alternative proteins need to be cheaper than meat. The other way to do this is to make sure these technologies are better. Environmental products have often been promoted as this happy gimmick, but they need to go mainstream, and for that, they need to be better than the high-carbon alternatives.
Bagaimana kita melakukan itu? Bagaimana kita bisa menjadi generasi pertama? Pertama, teknologi rendah karbon kita harus menjadi standar. Ada dua cara untuk melakukan ini. Yang pertama adalah memastikan bahwa mereka terjangkau, untuk memastikan bahwa mereka adalah pilihan termurah. Tenaga surya dan angin sudah lebih murah daripada batu bara,l mobi listrik akan segera lebih murah daripada bensin, dan protein alternatif harus lebih murah daripada daging. Cara lain untuk melakukan ini adalah memastikan teknologi ini lebih baik. Produk lingkungan sering dipromosikan sebagai tipu muslihat bahagia, tetapi mereka harus menjadi arus utama, dan untuk itu, mereka harus lebih baik dari alternatif karbon tinggi.
Now my brother recently got an electric car. He didn't get an electric car because he really cares about the environment. He does not want to be the next Greta Thunberg. And he definitely does not want to be like me.
Sekarang kakak saya baru-baru ini mendapat mobil listrik. Dia tidak mendapatkan mobil listrik karena dia benar-benar peduli dengan lingkungan. Dia tidak ingin menjadi Greta Thunberg berikutnya. Dan dia pasti tidak ingin menjadi seperti saya.
(Laughter)
(Tawa)
He got an electric car because the design and the driving experience were far better than the petrol alternatives. That is how we make low-carbon technologies the default. We need to reframe the way we talk about sustainability as often promoted as a sacrifice. Environmental messaging is often built on scarcity. It’s about reducing our lives back to the bare minimum and no more. But this is not a vision that inspires anyone. This is not the future we want to build. We need to reframe sustainability as an opportunity, because it is an opportunity. It's an opportunity to provide clean, abundant energy for everyone, whether that's powering cities or countries, or getting rural communities connected for the very first time. It’s about not being at the whims of fossil-fuel markets or having millions plunged into fuel poverty when dictators invade neighboring countries. It's about breathing clean air. Here, we see the decline in harmful air pollution in the US, from 2005 to 2021. Stopping people from dying is not a sacrifice.
Dia mendapat mobil listrik karena desain dan pengalaman berkendara jauh lebih baik daripada kendaraan bahan bakar bensin. Begitulah cara kita menjadikan teknologi rendah karbon sebagai yang seharusnya. Kita perlu membingkai ulang cara bicara tentang keberlanjutan, yang sering dipromosikan sebagai pengorbanan. Pesan lingkungan sering dibangun di atas kelangkaan. Ini tentang mengurangi hidup kita kembali ke minimum dan tidak lebih. Tapi ini bukan visi yang menginspirasi siapa pun. Ini bukan masa depan yang ingin kita bangun. Kita perlu membingkai ulang keberlanjutan sebagai peluang, karena ini adalah peluang. Ini kesempatan untuk menyediakan energi bersih dan berlimpah untuk semua orang, apakah itu menggerakkan kota atau negara, atau menghubungkan komunitas pedesaan untuk pertama kalinya. Ini tentang tidak berada di keinginan pasar bahan bakar fosil atau membuat jutaan orang terjerumus ke dalam kemiskinan bahan bakar ketika diktator menyerang negara-negara tetangga. Ini tentang menghirup udara bersih. Di sini, kita melihat penurunan polusi udara berbahaya di AS, dari 2005 hingga 2021. Menghentikan orang dari kematian bukanlah pengorbanan.
Finally, it's a way to rethink the way we live our lives, the way we design our cities and our communities. Here, we see Copenhagen, with bikes on the road, or Amsterdam, where you have layer upon layer of bike rack. Now I'm not saying this is how our cities have to look. We can design them in any way we want. What I'm saying is that sustainability gives us the shelf to rethink the way we do things.
Akhirnya, ini adalah cara untuk memikirkan kembali cara kita menjalani hidup kita, cara kita merancang kota dan komunitas kita. Di sini, kita melihat Kopenhagen, dengan sepeda di jalan, atau Amsterdam, di mana Anda memiliki lapisan demi lapis rak sepeda. saya tidak mengatakan bagaimana kota-kota kita harus terlihat. Kita dapat mendesainnya dengan cara apa pun yang kita inginkan. Yang ingin saya sampaikan, keberlanjutan memberi kita landasan untuk memikirkan kembali cara kita melakukan sesuatu.
Finally, we need to rethink the way we use data. As a data scientist, I take this very seriously. The environmentalists have done an amazing job of waking the world up to these problems. Those charts of rising CO2 and rising temperature have been absolutely critical. They're why I'm on the stage today, they're why I got involved in this in the first place. But there's a limit. When that's all we see, we become paralyzed. We see these lines rising, and we assume that they might never stop. We assume that no progress has been made, that nothing good is happening. But as we've just seen, this couldn't be further from the truth. We need to use data to inspire, to show what the problems are, also what the solutions are, and we need to show real signs of progress from countries, individuals, companies.
Akhirnya, kita perlu memikirkan kembali cara kita menggunakan data. Sebagai ilmuwan data, saya menganggap ini sangat serius. Para pencinta lingkungan melakukan pekerjaan luar biasa untuk membangunkan dunia akan masalah ini. Grafik kenaikan CO2 dan kenaikan suhu sangat penting. Itulah mengapa saya berada di atas panggung hari ini, itulah mengapa saya terlibat dalam hal ini sejak awal. Tapi ada batasnya. Ketika hanya itu yang kita lihat, kita menjadi lumpuh. Kita melihat garis-garis ini naik, dan kita berasumsi bahwa mereka mungkin tidak akan pernah berhenti. Kita berasumsi bahwa tidak ada kemajuan yang dibuat, bahwa tidak ada hal baik yang terjadi. Tapi seperti yang baru saja kita lihat, tidak lebih jauh dari kebenaran. Kita perlu menggunakan data untuk menginspirasi, dan menunjukkan apa masalahnya, juga apa solusinya, dan kita perlu menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang nyata dari negara, individu, perusahaan.
Historically, our sustainability equation went like this. It was one or the other. You could not have both at the same time. We can be the first generation that does achieve both. Now the emphasis here is on "can." None of this is inevitable. It's not even inevitable that we'd have this opportunity in the first place. We're only here because of the relentless work of environmentalists, activists, scientists, engineers, entrepreneurs, communicators, determined to make the world a better place. They have brought us here, and we need to take that forward. We need to do it bigger, and we need to do it much, much faster.
Secara historis, persamaan keberlanjutan kami berjalan seperti ini. Salah satu atau yang lainnya. Anda tidak dapat memiliki keduanya pada saat yang bersamaan. Kita bisa menjadi generasi pertama yang mencapai keduanya. Sekarang penekanannya di sini adalah pada “bisa.” Tak satu pun bisa dihindari. Bahkan tidak dapat dihindari bahwa kita akan memiliki kesempatan ini sejak awal. Kita ada di sini karena kerja tanpa henti para pencinta lingkungan, aktivis, ilmuwan, insinyur, pengusaha, komunikator, bertekad untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Mereka membawa kita ke sini, dan kita harus meneruskannya. Kita perlu melakukannya lebih besar, dan kita perlu melakukannya jauh lebih cepat.
But we do have the opportunity to be the first generation that builds a sustainable world. Let's take it.
Tapi kita memiliki kesempatan untuk menjadi generasi pertama yang membangun dunia yang berkelanjutan. Mari kita mengambil langkah.
Thank you.
Terima kasih.
(Cheers and applause)
(Sorak-sorai dan tepuk tangan)