Twenty years ago, my family introduced a system called "Friday Democracy Meetings." Every Friday at 7pm, my family came together for an official meeting to discuss the current family affairs. These meetings were facilitated by one of my parents, and we even had a notetaker.
20 tahun yang lalu, keluarga saya memperkenalkan sebuah sistem bernama "Rapat Demokrasi Jumat." Setiap Jumat jam 7 malam, keluarga saya berkumpul untuk pertemuan resmi untuk membahas urusan keluarga yang sedang berlangsung. Pertemuan ini difasilitasi oleh salah satu orangtua saya, dan kami bahkan punya juru tulis.
These meetings had two rules. First, you are allowed to speak open and freely. Us kids were allowed to criticize our parents without that being considered disrespectful or rude. Second rule was the Chatham House rule, meaning whatever is said in the meeting stays in the meeting.
Pertemuan ini punya dua aturan. Pertama, Anda diperbolehkan bicara secara terbuka dan bebas. Kami anak-anak diizinkan untuk mengkritisi orangtua kami tanpa dianggap tidak sopan atau kurang ajar. Aturan kedua adalah Aturan Rumah Chatham, artinya apapun yang diutarakan dalam rapat tetap berada dalam rapat.
(Laughter)
(Tertawa)
The topics which were discussed in these meetings varied from one week to another. One week, we'd talk about what food we wanted to eat, what time us kids should go to bed and how to improve things as a family, while another meeting discussed pretty much events that happened at school and how to solve disputes between siblings, by which I mean real fights. At the end of each meeting, we'd reach decisions and agreements that would last at least until the next meeting.
Topik yang dibahas dalam rapat-rapat tersebut beragam setiap minggunya. Di satu minggu, kami membahas kami mau makan apa, jam berapa kami, anak-anak, harus tidur dan bagaimana menjadi keluarga yang lebih baik, sementara rapat lain membahas tentang kejadian di sekolah dan bagaimana menyelesaikan pertengkaran antarsaudara, pertengkaran sungguhan. Di akhir setiap rapat, kami akan mencapai keputusan dan kesepakatan yang akan berlangsung setidaknya sampai rapat selanjutnya.
So you could say I was raised as a politician. By the age of six or seven, I mastered politics. I was negotiating, compromising, building alliances with other political actors.
Jadi bisa dikatakan saya dibesarkan sebagai politikus. Sekitar usia enam atau tujuh, saya sudah ahli politik. Saya bernegosiasi, berkompromi, membangun aliansi dengan aktor politik yang lain.
(Laughter)
(tertawa)
And I even once tried to jeopardize the political process.
Dan saya bahkan pernah sekali mencoba mengacaukan proses politik.
(Laughter)
(tertawa)
These meetings sound very peaceful, civil and democratic, right? But that was not always the case. Because of this open, free space to talk, discuss and criticize, things sometimes got really heated.
Rapat-rapat ini terdengar sangat damai, sopan dan demokratis, kan? Tapi tidak selalu demikian. Sebab dengan keterbukaan, bebas bicara, diskusi dan mengkritisi, keadaan terkadang menjadi panas.
One meeting went really bad for me. I was about 10 years old at that time, and I'd done something really horrible at school, which I'm not going to share today --
Ada satu rapat yang buruk bagi saya. Waktu itu saya sekitar 10 tahun, dan saya melakukan hal yang buruk di sekolah, tidak akan saya ceritakan di sini --
(Laughter)
(tertawa)
but my brother decided to bring it up in the meeting. I could not defend myself, so I decided to withdraw from the meeting and boycott the whole system. I literally wrote an official letter and handed it to my dad, announcing that I am boycotting.
tapi kakak laki-laki saya memutuskan menyinggungnya di rapat. Saya tidak bisa membela diri, jadi saya putuskan untuk keluar dari rapat dan memboikot seluruh sistem. Saya benar-benar menulis surat resmi dan menyerahkannya pada ayah saya, mengumumkan saya memboikot.
(Laughter)
(tertawa)
I thought that if I stopped attending these meetings anymore, the system would collapse,
Saya pikir jika saya berhenti menghadiri rapat semacam ini, sistem ini akan runtuh,
(Laughter)
(tertawa)
but my family continued with the meetings, and they often made decisions that I disliked. But I could not challenge these decisions, because I was not attending the meetings, and thus had no right to go against it.
tapi keluarga saya tetap melanjutkannya, dan mereka sering membuat keputusan yang tidak saya sukai. Tapi saya tidak bisa menentangnya, sebab saya tidak menghadiri pertemuan, maka saya tidak berhak menentangnya.
Ironically, when I turned about 13 years old, I ended up attending one of these meetings again, after I boycotted them for a long time. Because there was an issue that was affecting me only, and no other family member was bringing it up. The problem was that after each dinner, I was always the only one who was asked to wash the dishes, while my brothers didn't have to do anything about it. I felt this was unjust, unfair and discriminatory, so I wanted to discuss it in the meeting. As you know, the idea that it's a woman or a girl's role to do household work is a rule that has been carried out by many societies for so long, so in order for a 13-year-old me to challenge it, I needed a platform.
Ironisnya, saat saya berusia sekitar 13 tahun, saya ikut menghadiri rapat ini lagi, setelah sekian lama memboikotnya. Karena ada isu yang hanya mempengaruhi saya, dan tidak seorangpun dalam keluarga yang menyinggungnya. Masalahnya adalah setiap selesai makan malam, saya yang selalu disuruh mencuci piring, sementara kakak-kakak saya tidak perlu melakukan apa-apa. Saya merasa ini tidak adil, curang dan diskriminatif, jadi saya ingin membahasnya dalam rapat. Seperti Anda tahu, ide peran wanita atau gadis untuk pekerjaan rumah tangga adalah aturan yang sudah sekian lamanya dijalankan di banyak masyarakat, jadi supaya saya yang 13 tahun bisa menantangnya, saya butuh tempat.
In the meeting, my brothers argued that none of the other boys we knew were washing the dishes, so why should our family be any different? But my parents agreed with me and decided that my brothers should assist me. However, they could not force them, so the problem continued.
Dalam rapat, kakak-kakak saya membantah bahwa tidak seorang anak laki-laki yang kami kenal mencuci piring, jadi kenapa keluarga kami harus berbeda? Tapi orangtua saya setuju dengan saya dan memutuskan kakak-kakak saya membantu. Akan tetapi, orangtua saya tidak bisa memaksa, maka masalah berlanjut.
Seeing no solution to my problem, I decided to attend another meeting and propose a new system that would be fair to everyone. So I suggested instead of one person washing all the dishes used by all the family members, each family member should wash their own dishes. And as a gesture of good faith, I said I'd wash the pots as well. This way, my brothers could no longer argue that it wasn't within their responsibility as boys or men to wash the dishes and clean after the family, because the system I proposed was about every member of the family cleaning after themselves and taking care of themselves.
Melihat tidak ada solusi untuk masalah ini saya putuskan hadir di rapat lainnya dan mengajukan sistem baru yang adil untuk semuanya. Jadi saya mengusulkan alih-alih satu orang mencuci semua piring yang dipakai semua anggota keluarga, setiap anggota keluarga harus mencuci piringnya sendiri. Dan sebagai tanda niat baik, saya katakan saya juga akan mencuci panci. Dengan begini, kakak-kakak saya tidak bisa membantah lagi, bahwa ini di luar tanggung jawab mereka sebagai laki-laki untuk mencuci piring dan berbenah sebab sistem yang saya ajukan adalah tentang setiap anggota keluarga membereskan barang mereka sendiri dan merawat diri sendiri.
Everyone agreed to my proposal, and for years, that was our washing-the-dishes system.
Semuanya setuju dengan usul saya, dan selama bertahun-tahun, itulah sistem cuci piring kami.
What I just shared with you is a family story, but it's pure politics. Every part of politics includes decision-making, and ideally, the process of decision-making should include people from different backgrounds, interests, opinions, gender, beliefs, race, ethnicity, age, and so on. And they should all have an equal opportunity to contribute to the decision-making process and influence the decisions that will affect their lives directly or indirectly. As such, I find it difficult to understand when I hear young people saying, "I'm too young to engage in politics or to even hold a political opinion." Similarly, when I hear some women saying, "Politics is a dirty world I don't want to engage with," I'm worried that the idea of politics and political engagement has become so polarized in many parts of the world that ordinary people feel, in order for them to participate in politics, they need to be outspoken activists, and that is not true. I want to ask these young people, women and ordinary people in general: Can you really afford not to be interested or not to participate in politics?
Yang baru saja saya ceritakan pada Anda adalah cerita keluarga, namun murni politik. Setiap bagian dari politik termasuk pembuatan keputusan, dan idealnya, proses pembuatan keputusan harus mengikutsertakan orang dari latar belakang yang berbeda, minat, opini, gender, kepercayaan, ras, etnis, usia dan sebagainya. Dan mereka harus punya kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses pembuatan keputusan dan mempengaruhi keputusan yang akan berpengaruh pada hidup mereka langsung atau tidak langsung. Karena itu, saya sulit memahami ketika saya mendengar anak muda berkata, "Saya terlalu muda untuk terlibat dalam politik atau untuk punya opini politik." Senada dengan itu, saat saya mendengar wanita berkata, "Politik itu kotor dan saya tidak mau berurusan dengan itu," saya khawatir ide tentang politik dan keterlibatan politik sudah menjadi sangat terpolarisasi di banyak tempat di dunia yang orang biasa merasa, agar mereka bisa berpartisipasi dalam politik, mereka harus menjadi aktivis yang blak-blakan, dan itu tidak benar. Saya ingin menanyai anak-anak muda ini, wanita dan orang-orang biasa umumnya: Sanggupkah Anda untuk benar-benar tidak tertarik atau tidak ikut dalam politik?
Politics is not only activism. It's awareness, it's keeping ourselves informed, it's caring for the facts. When it's possible, it's casting a vote. Politics is the tool through which we structure ourselves as groups and societies. Politics governs every aspect of life, and by not participating in it, you're literally allowing other people to decide on what you can eat, wear, if you can have access to health care, free education, how much tax you pay, when you can retire, what is your pension. Other people are also deciding on whether your race and ethnicity is enough to consider you a criminal, or if your religion and nationality is enough to put you on a terrorist list. And if you still think you are a strong, independent human being unaffected by politics, then think twice.
Politik bukan cuma aktivisme. Politik adalah kesadaran, menjaga diri kita tetap terinformasi, peduli terhadap fakta. Ketika mungkin, memberikan suara. Politik adalah alat yang melaluinya kita menyusun diri kita sebagai kelompok dan masyarakat. Politik mengatur setiap aspek dalam hidup kita, dan dengan tidak terlibat, Anda membiarkan orang lain memutuskan apa yang bisa Anda makan, di mana, apa Anda bisa mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan gratis, berapa pajak yang Anda bayar, kapan Anda bisa pensiun, seberapa pensiun Anda. Orang lain juga memutuskan apakah ras dan etnis Anda cukup untuk menganggap Anda seorang kriminal, atau jika agama dan kebangsaan Anda cukup untuk memasukkan Anda di daftar teroris. Dan jika Anda masih berpikir Anda adalah manusia yang kuat dan merdeka tidak terpengaruh politik, berpikirlah dua kali.
I am speaking to you as a young woman from Libya, a country that is in the middle of a civil war. After more than 40 years of authoritarian rule, it's not a place where political engagement by women and young people is possible, nor encouraged. Almost all political dialogues that took place in the past few years, even those gathered by foreign powers, has been with only middle-aged men in the room. But in places with a broken political system like Libya, or in seemingly functioning places, including international organizations, the systems we have nowadays for political decision-making are not from the people for the people, but they have been established by the few for the few. And these few have been historically almost exclusively men, and they've produced laws, policies, mechanisms for political participation that are based on the opinions, beliefs, worldviews, dreams, aspirations of this one group of people, while everyone else was kept out. After all, we've all heard some version of this sentence: "What does a woman, let alone a young person, who is brown, understand about politics?"
Saya berbicara pada Anda sebagai wanita muda dari Libya, negara yang sedang dalam perang saudara. Setelah pemerintahan otoriter lebih dari 40 tahun, ini bukanlah tempat di mana keterlibatan politik bagi wanita dan anak muda mungkin terjadi, apalagi dianjurkan. Hampir semua dialog politik yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, bahkan yang diadakan oleh asing, selalu diisi oleh pria-pria paruh baya. Tetapi di tempat-tempat dengan sistem politik yang kacau seperti Libya, atau di tempat yang terlihat baik, termasuk organisasi internasional, sistem yang kita miliki saat ini untuk pembuatan keputusan politik bukan dari rakyat untuk rakyat, tapi dibuat oleh kelompok untuk kelompok. Dan kelompok ini sudah secara sejarah adalah pria-pria yang hampir eksklusif, dan mereka menghasilkan hukum, peraturan, mekanisme untuk partisipasi politik yang didasarkan pada opini, kepercayaan, pandangan dunia, cita-cita, aspirasi dari sekelompok orang-orang ini, sementara yang lainnya tidak diikutkan. Lagipula, kita sudah mendengar beberapa versi dari kalimat ini: "Apa yang wanita, apalagi anak muda, yang masih coklat, mengerti tentang politik?"
When you're young -- and in many parts of the world, a woman -- you often hear experienced politicians say, "But you lack political experience." And when I hear that, I wonder what sort of experience are they referring to? The experience of corrupted political systems? Or of waging wars? Or are they referring to the experience of putting the interests of economic profits before those of the environment? Because if this is political experience, then yes --
Ketika Anda muda -- dan di banyak bagian di dunia, wanita -- Anda sering dengar politisi berpengalaman berkata, "Tapi Anda kurang pengalaman." Dan saat saya mendengarnya, saya berpikir pengalaman seperti apa yang mereka maksud? Pengalaman sistem politik yang korup? Atau mendanai perang? Ataukah maksud mereka pengalaman meletakkan kepentingan keuntungan ekonomi di atas kepentingan lingkungan? Sebab jika ini adalah pengalaman politik, iya kalau begitu --
(Applause)
(Tepuk tangan)
we, as women and young people, have no political experience at all.
kita, sebagai wanita dan anak muda, tidak punya pengalaman politik sama sekali.
Now, politicians might not be the only ones to blame, because ordinary people, and many young people as well, don't care about politics. And even those who care don't know how to participate.
Nah, bukan hanya para politikus yang bisa disalahkan, sebab orang biasa dan juga banyak anak muda, tidak peduli pada politik. Dan bahkan mereka yang peduli tidak tahu cara berpartisipasi.
This must change, and here is my proposal. We need to teach people at an early age about decision-making and how to be part of it. Every family is its own mini political system that is usually not democratic, because parents make decisions that affect all members of the family, while the kids have very little to say. Similarly, politicians make decisions that affect the whole nation, while the people have very little say in them.
Ini harus berubah, dan ini usul saya. Kita harus mengajarkan orang-orang sejak usia muda tentang pengambilan keputusan dan cara terlibat di dalamnya, Setiap keluarga adalah sistem politik kecil sendiri yang biasanya tidak demokratis, sebab orangtua membuat keputusan yang mempengaruhi seluruh anggota keluarga, sementara anak-anak punya sedikit sekali suara. Mirip dengan itu, para politikus membuat keputusan yang mempengaruhi negara, sementara orang-orangnya punya sedikit suara di dalamnya.
We need to change this, and in order to achieve this change systematically, we need to teach people that political, national and global affairs are as relevant to them as personal and family affairs.
Kita perlu mengubahnya, dan agar bisa mengubahnya secara sistematis, kita harus mengajarkan pada orang-orang bahwa politik, hubungan nasional dan global sama relevannya bagi mereka dengan urusan pribadi dan keluarga.
So if we want to achieve this, my proposal and advice is, try out the Family Democracy Meeting system. Because that will enable your kids to exercise their agency and decision-making from a very early age.
Jadi jika kita ingin mencapai hal ini, usul dan saran saya adalah, mencoba sistem Rapat Demokrasi Keluarga, Sebab hal itu akan melatih keikutsertaan anak-anak Anda dan pengambilan keputusan sejak dini.
Politics is about having conversations, including difficult conversations, that lead to decisions. And in order to have a conversation, you need to participate, not sign off like I did when I was a kid and then learn the lesson the hard way and have to go back again. If you include your kids in family conversations, they will grow up and know how to participate in political conversations. And most importantly, most importantly, they will help others engage.
Politik adalah tentang bercakap-cakap, termasuk percakapan sulit, yang mengarah pada keputusan. Dan supaya terjadi percakapan, Anda harus terlibat, bukannya pergi seperti saya waktu kecil dan belajar dengan cara yang sulit dan harus kembali lagi. Jika Anda melibatkan anak dalam pecakapan keluarga, mereka anak tumbuh dan tahu bagaimana cara terlibat dalam percakapan politik. Dan yang terpenting, yang paling penting, mereka akan membantu yang lain terlibat.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)