Good afternoon. If you have followed diplomatic news in the past weeks, you may have heard of a kind of crisis between China and the U.S. regarding cyberattacks against the American company Google. Many things have been said about this. Some people have called a cyberwar what may actually be just a spy operation -- and obviously, a quite mishandled one. However, this episode reveals the growing anxiety in the Western world regarding these emerging cyber weapons.
Selamat siang. Jika Anda mengikuti berita politik luar negeri belakangan ini, mungkin Anda pernah dengar tentang krisis antara Cina dan Amerika Serikat tentang serangan siber terhadap perusahaan Amerika, Google. Banyak hal telah mengatakan tentang ini. Beberapa orang menyebutnya perang siber yang bisa saja sebetulnya hanya operasi intelijen -- dan jelas saja, operasi yang salah urus. Tetapi, kasus ini menunjukkan memuncaknya kegelisahan di dunia barat terhadap senjata-senjata siber ini.
It so happens that these weapons are dangerous. They're of a new nature: they could lead the world into a digital conflict that could turn into an armed struggle. These virtual weapons can also destroy the physical world. In 1982, in the middle of the Cold War in Soviet Siberia, a pipeline exploded with a burst of 3 kilotons, the equivalent of a fourth of the Hiroshima bomb. Now we know today -- this was revealed by Thomas Reed, Ronald Reagan's former U.S. Air Force Secretary -- this explosion was actually the result of a CIA sabotage operation, in which they had managed to infiltrate the IT management systems of that pipeline.
Yang ternyata senjata-senjata ini berbahaya. Mereka adalah implikasi baru: mereka bisa mengarahkan dunia ke dalam konflik dunia digital yang bisa berubah menjadi perlombaan bersenjata. Senjata-senjata siber ini juga bisa menghancukan dunia nyata. Pada tahun 1982, di tengah Perang Dingin di Siberia, Soviet, sebuah pipa minyak mentah meledak dengan kekuatan 3 kiloton, setara dengan seperempat kekuatan bom Hiroshima. Sekarang kita tahu saat ini -- ini diungkap oleh Thomas Reed, Mantan Sekretaris Angkatan Udara AS pada masa Ronald Reagan -- ledakan tersebut sebenarnya hasil operasi sabotase CIA, dimana mereka berhasil menyusupi sistem manajemen TI perpipaan itu.
More recently, the U.S. government revealed that in September 2008, more than 3 million people in the state of Espirito Santo in Brazil were plunged into darkness, victims of a blackmail operation from cyber pirates. Even more worrying for the Americans, in December 2008 the holiest of holies, the IT systems of CENTCOM, the central command managing the wars in Iraq and Afghanistan, may have been infiltrated by hackers who used these: plain but infected USB keys. And with these keys, they may have been able to get inside CENTCOM's systems, to see and hear everything, and maybe even infect some of them. As a result, the Americans take the threat very seriously. I'll quote General James Cartwright, Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff, who says in a report to Congress that cyberattacks could be as powerful as weapons of mass destruction. Moreover, the Americans have decided to spend over 30 billion dollars in the next five years to build up their cyberwar capabilities.
Belum lama ini, Pemerintah AS mengungkapkan bahwa pada September 2008, lebih dari 3 juta orang di negara bagian Espírito Santo di Brazil mengalami mati listrik, sebagai akibat operasi pemerasan dari perompak siber. Yang lebih mengkhawatirkan bagi orang Amerika, pada Desember 2008 yang keramat, Sistem TI CENTCOM, pusat komando yang menangani perang di Iraq dan Afganistan, mungkin telah disusupi oleh para peretas yang mengunakan ini: Stik USB yang biasa tapi terinfeksi. dan dengan stik USB ini, mereka telah berhasil masuk ke dalam sistem CENTCOM, untuk melihat dan mendengar semuanya, dan bahkan mungkin menginfeksi beberapa yang lain. Hasilnya, pemerintah Amerika menanggapi ancaman ini dengan sangat serius. Saya akan mengutip perkataan Jenderal James Cartwright, Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf, yang melaporkan kepada Kongres bahwa serangan siber bisa sedahsyat senjata pemusnah massal. Apalagi, pemerintah Amerika telah memutuskan untuk menghabiskan 30 milyar dolar untuk lima tahun kedepan untuk membangun persenjataan siber mereka.
And across the world today, we see a sort of cyber arms race, with cyberwar units built up by countries like North Korea or even Iran. Yet, what you'll never hear from spokespeople from the Pentagon or the French Department of Defence is that the question isn't really who's the enemy, but actually the very nature of cyber weapons. And to understand why, we must look at how, through the ages, military technologies have maintained or destroyed world peace. For example, if we'd had TEDxParis 350 years ago, we would have talked about the military innovation of the day -- the massive Vauban-style fortifications -- and we could have predicted a period of stability in the world or in Europe. which was indeed the case in Europe between 1650 and 1750.
Dan di seluruh dunia saat ini, kita melihat semacam perlombaan senjata siber, dengan unit-unit perang siber yang dibangun oleh negara-negara seperti Korea Utara atau bahkan Iran. Yang tidak akan Anda dengar dari pejabat negara dari Pentagon atau Departemen Pertahanan Perancis adalah bahwa masalahnya bukan siapa musuhnya, tapi sebenarnya hakikat persenjataan siber. Dan untuk bisa memahami kenapa, kita harus melihat bagaimana, sepanjang masa, teknologi-teknologi militer telah melestarikan atau menghancurkan kedamaian dunia. Sebagai contoh, jika kita mengadakan TEDxParis 350 tahun yang lalu, kita akan membicarakan inovasi militer pada masa itu -- pembangunan benteng besar ala Vauban -- dan kita bisa memprediksi masa kejayaan di dunia atau di Eropa, yang memang terjadi di Eropa antara tahun 1650 dan 1750.
Similarly, if we'd had this talk 30 or 40 years ago, we would have seen how the rise of nuclear weapons, and the threat of mutually assured destruction they imply, prevents a direct fight between the two superpowers. However, if we'd had this talk 60 years ago, we would have seen how the emergence of new aircraft and tank technologies, which give the advantage to the attacker, make the Blitzkrieg doctrine very credible and thus create the possibility of war in Europe. So military technologies can influence the course of the world, can make or break world peace -- and there lies the issue with cyber weapons.
Sama halnya, jika kita mengadakan pembicaraan ini 30 atau 40 tahun yang lalu, kita mungkin akan membicarakan bagaimana bangkitnya persenjataan nuklir, dan ancaman terjadinya pemusnahan di kedua belah pihak, mencegah perang langsung antara kedua negara adi kuasa itu. Tetapi, tapi jika kita mengadakan pembicaraan ini 60 tahun yang lalu, kita mungkin akan membicarakan munculnya teknologi baru pesawat tempur dan tank yang memberikan keuntungan kepada penyerang, membuat doktrin Blitzkrieg sangat terbukti dan akan memungkinkan terjadinya perang di Eropa. Jadi teknologi militer bisa mempengaruhi sejarah dunia, bisa menciptakan atau menghancurkan kedamaian dunia -- dan ada masalah persenjataan siber.
The first issue: Imagine a potential enemy announcing they're building a cyberwar unit, but only for their country's defense. Okay, but what distinguishes it from an offensive unit? It gets even more complicated when the doctrines of use become ambiguous. Just 3 years ago, both the U.S. and France were saying they were investing militarily in cyberspace, strictly to defend their IT systems. But today both countries say the best defense is to attack. And so, they're joining China, whose doctrine of use for 15 years has been both defensive and offensive.
Pertama: Bayangkan pihak yang berpotensi menjadi musuh mengumumkan bahwa mereka membangun unit perang siber, tapi hanya untuk pertahanan negaranya saja. Oke, tapi apa yang membedakannya dengan unit penyerangan? Kondisinya jadi semakin rumit ketika aturan penggunaannya tidak jelas. Tiga tahun yang lalu, AS dan Perancis mengumumkan mereka membangun persenjataan siber, semata-mata demi mempertahankan sistem TI mereka. Tapi sekarang kedua negara tersebut mengatakan bahwa pertahanan terbaik itu adalah dengan menyerang. Dan karenanya, mereka bergabung dengan Cina, yang telah menggunakan persenjataan siber selama 15 tahun untuk pertahanan dan penyerangan.
The second issue: Your country could be under cyberattack with entire regions plunged into total darkness, and you may not even know who's attacking you. Cyber weapons have this peculiar feature: they can be used without leaving traces. This gives a tremendous advantage to the attacker, because the defender doesn't know who to fight back against. And if the defender retaliates against the wrong adversary, they risk making one more enemy and ending up diplomatically isolated. This issue isn't just theoretical.
Kedua: Negara Anda mungkin di bawah serangan siber dimana seluruh wilayah mati listrik total, dan Anda mungkin tidak tahu siapa yang menyerang Anda. Persenjataan siber punya ciri-ciri seperti ini: mereka bisa digunakan tanpa meninggalkan jejak. Ini memberi keuntungan besar bagi penyerang, karena yang diserang tidak tahu siapa yang harus dibalas. Dan jika yang diserang membalas ke pihak yang salah, mereka beresiko mempunyai satu musuh lagi dan akhirnya dikucilkan secara diplomatis. Isu ini bukan teori
In May 2007, Estonia was the victim of cyberattacks, that damaged its communication and banking systems. Estonia accused Russia. But NATO, though it defends Estonia, reacted very prudently. Why? Because NATO couldn't be 100% sure that the Kremlin was indeed behind these attacks. So to sum up, on the one hand, when a possible enemy announces they're building a cyberwar unit, you don't know whether it's for attack or defense. On the other hand, we know that these weapons give an advantage to attacking.
Pada Mei 2007, Estonia menjadi korban serangan siber, yang merusak jaringan komunikasi dan sistem perbankannya. Estonia menuduh Rusia. Tapi NATO, meski berpihak pada Estonia, tidak main tuduh. Kenapa? Karena NATO tidak bisa yakin 100% bahwa Kremlin yang mendalangi penyerangan itu Kesimpulannya, di satu sisi, ketika musuh mengumumkan mereka sedang membangun angkatan bersenjata siber, kita tidak pernah tahu apakah itu untuk menyerang atau bertahan. Di sisi lain, kita tahu jenis persenjataan ini menguntungkan penyerangnya.
In a major article published in 1978, Professor Robert Jervis of Columbia University in New York described a model to understand how conflicts could arise. In this context, when you don't know if the potential enemy is preparing for defense or attack, and if the weapons give an advantage to attacking, then this environment is most likely to spark a conflict. This is the environment that's being created by cyber weapons today, and historically it was the environment in Europe at the onset of World War I. So cyber weapons are dangerous by nature, but in addition, they're emerging in a much more unstable environment.
Dalam artikel yang diterbitkan tahun 1978, Profesor Robert Jervis dari Universitas Columbia di New York merancang sebuah model untuk memahami bagaimana konflik bisa terjadi. Dalam konteks ini, ketika Anda tidak tahu calon musuh sedang membangun pertahanan atau sedang menyerang dan jika senjata itu menguntungkan si penyerang, maka kondisi ini cenderung menimbulkan konflik Kondisi inilah yang tercipta oleh persenjataan siber saat ini, dan secara historis pernah dialami Eropa ketika menghadapi Perang Dunia I. Jadi persenjataan siber berbahaya pada dasarnya, tapi sebagai tambahan, hal tersebut berkembang pada kondisi yang sangat tidak stabil.
If you remember the Cold War, it was a very hard game, but a stable one played only by two players, which allowed for some coordination between the two superpowers. Today we're moving to a multipolar world in which coordination is much more complicated, as we have seen at Copenhagen. And this coordination may become even trickier with the introduction of cyber weapons. Why? Because no nation knows for sure whether its neighbor is about to attack. So nations may live under the threat of what Nobel Prize winner Thomas Schelling called the "reciprocal fear of surprise attack," as I don't know if my neighbor is about to attack me or not -- I may never know -- so I might take the upper hand and attack first.
Jika Anda ingat Perang Dingin, kondisinya sangat sulit, tapi stabil karena pemainnya hanya dua, yang memungkinkan keduanya berkoordinasi. Sekarang pihak yang terlibat jauh lebih banyak sehingga koordinasi jauh lebih sulit dilakukan, seperti kejadian di Copenhagen. Dan koordinasi ini akan makin sulit dilakukan dengan adanya persenjataan siber. Mengapa? Karena tidak ada negara yang mengetahui dengan yakin kapan negara tetangganya akan melakukan serangan. Jadi negara-negara akan hidup dibawah ancaman dari apa yang oleh pemenang nobel Thomas Schelling sebut sebagai "ketakutan timbal balik akan serangan mendadak" karena saya tidak tahu kapan tetangga saya akan jadi menyerang saya atau tidak -- saya mungkin tidak akan pernah tahu -- jadi saya lebih baik cari selamat dan menyerang lebih dulu.
Just last week, in a New York Times article dated January 26, 2010, it was revealed for the first time that officials at the National Security Agency were considering the possibility of preemptive attacks in cases where the U.S. was about to be cyberattacked. And these preemptive attacks might not just remain in cyberspace. In May 2009, General Kevin Chilton, commander of the U.S. nuclear forces, stated that in the event of cyberattacks against the U.S., all options would be on the table.
Baru minggu lalu, dalam sebuah artikel terbitan New York Times tanggal 26 januari 2010, diungkap untuk pertama kalinya bahwa pejabat Badan Keamanan Nasional AS benar-benar mempertimbangkan untuk melancarkan serangan pencegahan jika disinyalir AS akan diserang secara siber. Dan serangan pencegahan ini tidak hanya terbatas di ruang siber. Pada Mei 2009, Jenderal Kevin Chilton, kepala komando senjata nuklir AS, menyatakan bahwa dalam serangan siber kepada AS, semua kemungkinan sudah diantisipasi.
Cyber weapons do not replace conventional or nuclear weapons -- they just add a new layer to the existing system of terror. But in doing so, they also add their own risk of triggering a conflict -- as we've just seen, a very important risk -- and a risk we may have to confront with a collective security solution which includes all of us: European allies, NATO members, our American friends and allies, our other Western allies, and maybe, by forcing their hand a little, our Russian and Chinese partners.
Persenjataan siber tidak menggantikan senjata konvensional atau senjata nuklir -- mereka hanya menambahkan satu lapis lagi pada sistem yang ada. Tapi dengan melakukan itu, mereka juga menambah risiko mereka yang memicu konflik -- Seperti yang kita ketahui, ada risiko yang sangat penting -- risiko yang mungkin akan jadi kenyataan dengan munculnya solusi keamanan bersama yang melibatkan semua dari kita yaitu: Persatuan Uni Eropa, anggota NATO, sekutu Amerika, negara-negara sekutu barat lainnya, dan mungkin, jika tidak keberatan, aliansi Rusia dan Cina.
The information technologies Joël de Rosnay was talking about, which were historically born from military research, are today on the verge of developing an offensive capability of destruction, which could tomorrow, if we're not careful, completely destroy world peace.
Teknologi informasi yang dimaksud Joël de Rosnay, yang secara historis merupakan produk riset militer, saat ini sedang berkembang jadi memiliki daya rusak yang dahsyat, yang di kemudian hari, jika kita tidak hati-hati, bisa secara total menghancurkan kedamaian dunia.
Thank you.
Terima kasih
(Applause)
(Tepuk tangan)