This weekend, tens of millions of people in the United States and tens of millions more around the world, in Columbus, Georgia, in Cardiff, Wales, in Chongqing, China, in Chennai, India will leave their homes, they'll get in their cars or they'll take public transportation or they will carry themselves by foot, and they'll step into a room and sit down next to someone they don't know or maybe someone they do, and the lights will go down and they'll watch a movie.
Akhir pekan ini, Puluhan juta orang di Amerika dan puluhan juta lainnya di dunia, di Columbus, Georgia, di Cardiff, Wales, di Chongqing, Cina, di Chennai, India akan meninggalkan rumah mereka, menaiki mobil mereka, atau menggunakan transportasi umum atau mereka memilih untuk berjalan kaki, dan masuk ke suatu ruangan, duduk di samping orang yang tidak mereka kenal atau mungkin yang mereka kenal, kemudian lampu akan meredup dan mereka menonton sebuah film.
They'll watch movies about aliens or robots, or robot aliens or regular people. But they will all be movies about what it means to be human. Millions will feel awe or fear, millions will laugh and millions will cry. And then the lights will come back on, and they'll reemerge into the world they knew several hours prior. And millions of people will look at the world a little bit differently than they did when they went in.
Mereka menonton film tentang alien atau robot, atau robot alien atau tentang orang biasa. Namun semua film itu akan berisi tentang arti menjadi seorang manusia. Jutaan orang akan merasa kagum atau bahkan takut, jutaan orang akan tertawa dan jutaan pula akan menangis. Ketika lampu perlahan menyala kembali, mereka akan kembali ke dunia yang mereka jalani beberapa jam lalu. Dan jutaan orang akan melihat dunia dengan sedikit berbeda dari sebelumnya.
Like going to temple or a mosque or a church, or any other religious institution, movie-going is, in many ways, a sacred ritual. Repeated week after week after week. I'll be there this weekend, just like I was on most weekends between the years of 1996 and 1990, at the multiplex, near the shopping mall about five miles from my childhood home in Columbus, Georgia. The funny thing is that somewhere between then and now, I accidentally changed part of the conversation about which of those movies get made.
Seperti masuk ke dalam kuil atau mesjid atau gereja atau institusi keagamaan lainnya, menonton di bioskop adalah seperti sebuah ritual suci. Diulang setiap minggu dan minggu depan dan minggu depannya lagi. Saya akan ke bioskop akhir minggu ini, sama seperti akhir minggu lainnya, antara tahun 1996 dan 1990, di dalam bioskop, dekat mall sekitar lima mil dari rumah masa kecilku di Columbus, Georgia. Namun hal yang menarik antara waktu itu dan sekarang, adalah saya kini terlibat dalam pembicaraan mengenai mana film yang layak diproduksi.
So, the story actually begins in 2005, in an office high above Sunset Boulevard, where I was a junior executive at Leonardo DiCaprio's production company Appian Way. And for those of you who aren't familiar with how the film industry works, it basically means that I was one of a few people behind the person who produces the movie for the people behind and in front of the camera, whose names you will better recognize than mine. Essentially, you're an assistant movie producer who does the unglamorous work that goes into the creative aspect of producing a movie. You make lists of writers and directors and actors who might be right for movies that you want to will into existence; you meet with many of them and their representatives, hoping to curry favor for some future date. And you read, a lot. You read novels that might become movies, you read comic books that might become movies, you read articles that might become movies, you read scripts that might become movies. And you read scripts from writers that might write the adaptations of the novels, of the comic books, of the articles, and might rewrite the scripts that you're already working on. All this in the hope of finding the next big thing or the next big writer who can deliver something that can make you and your company the next big thing.
Jadi, awal cerita ini dimulai di 2005, di suatu kantor di Sunset Boulevard, saya seorang eksekutif junior di perusahan produksi Appian Way milik Leonardo DiCaprio. Bagi Anda yang kurang paham dengan bagaimana industri film bergerak, ini berarti saya adalah salah satu orang yang bekerja untuk orang yang memproduksi film untuk orang yang di belakang dan depan kamera, yang namanya akan lebih dikenali daripada nama saya. Ringkasnya, saya ini asisten produser yang mengerjakan pekerjaan tidak keren, yaitu di aspek kreatif dari produksi film. Anda membuat daftar penulis, sutradara, dan aktor yang pas untuk film yang Anda harapkan dapat diproduksi; bertemu dengan mereka atau perwakilannya, berharap untuk adanya pertemuan lanjutan. Dan Anda membaca, banyak membaca. Membaca novel yang dapat menjadi film, membaca komik yang dapat menjadi film, membaca artikel yang dapat menjadi film, membaca naskah yang dapat menjadi film. Dan Anda membaca naskah dari penulis yang mungkin menulis adaptasi dari novel, komik, atau dari artikel, dan mungkin menulis ulang naskah yang pernah Anda kerjakan. Semua ini untuk harapan menemukan karya unggulan atau penulis yang menghasilkan karya besar yang dapat menjadikan Anda dan perusahaan Anda populer.
So in 2005, I was a development executive at Leonardo's production company. I got a phone call from the representative of a screenwriter that began pretty much the way all of those conversations did: "I've got Leo's next movie." Now in this movie, that his client had written, Leo would play an oil industry lobbyist whose girlfriend, a local meteorologist, threatens to leave him because his work contributes to global warming. And this is a situation that's been brought to a head by the fact that there's a hurricane forming in the Atlantic that's threatening to do Maria-like damage from Maine to Myrtle Beach. Leo, very sad about this impending break up, does a little more research about the hurricane and discovers that in its path across the Atlantic, it will pass over a long-dormant, though now active volcano that will spew toxic ash into its eye that will presumably be whipped into some sort of chemical weapon that will destroy the world.
Di 2005, saya adalah staf pengembangan di perusahaan produksi Leonardo Dicaprio. Saya ditelepon oleh perwakilan si penulis naskah awal percakapannya mirip dengan percakapan lain pada umumnya: "Saya sudah punya film baru untuk Leo." Dalam film ini, yang sudah ditulis naskahnya, Leo akan berperan sebagai pelobi industri minyak yang pacarnya, seorang ahli meteorologi, mengancam untuk putus karena pekerjaan Leo memicu pemanasan global. Ini berhubungan karena ada kondisi di mana akan terjadi badai yang sedang terbentuk di Atlantik yang daya rusaknya seperti badai Maria dari Maine ke Pantai Myrtle. Leo, sedih dengan berakhirnya hubungannya melakukan penelitian mengenai badai tersebut dan menyadari bahwa ketika di Atlantik, badai ini akan melewati daerah yang kini menjadi daerah aktif gunung berapi dan menyemburkan gas beracun ke pusat badai yang kemudian menjadi semacam senjata kimia untuk menghancurkan dunia.
(Laughter)
(Tertawa)
It was at that point that I asked him, "So are you basically pitching me 'Leo versus the toxic superstorm that will destroy humanity?'" And he responded by saying, "Well, when you say it like that, it sounds ridiculous." And I'm embarrassed to admit that I had the guy send me the script, and I read 30 pages before I was sure that it was as bad as I thought it was. Now, "Superstorm" is certainly an extreme example, but it's also not an unusual one. And unfortunately, most scripts aren't as easy to dismiss as that one.
Saat itu saya bertanya ke dia, "Jadi idenya adalah Leo melawan badai beracun yang akan memusnahkan umat manusia?" Dan dia membalas dengan "Yah, kalau diringkas begitu jadinya terdengar konyol." Saya malu untuk mengakui bahwa saya minta dikirimkan naskah itu, saya baca 30 halaman sebelum akhirnya yakin ini seburuk yang saya kira. Jadi, "Superstorm" adalah contoh kasus ekstrem, namun bukan pula hal yang tidak lazim. Sayangnya, tidak semua naskah semudah itu untuk ditolak.
For example, a comedy about a high school senior, who, when faced with an unplanned pregnancy, makes an unusual decision regarding her unborn child. That's obviously "Juno." Two hundred and thirty million at the worldwide box office, four Oscar nominations, one win. How about a Mumbai teen who grew up in the slums wants to become a contestant on the Indian version of "Who Wants To Be A Millionaire?"? That's an easy one -- "Slumdog Millionaire." Three hundred seventy-seven million worldwide, 10 Oscar nominations and eight wins. A chimpanzee tells his story of living with the legendary pop star Michael Jackson. Anyone?
Contoh, komedi tentang anak SMA, yang ketika tiba-tiba hamil, membuat keputusan tidak terduga untuk anaknya yang belum lahir. Jelas saja film itu adalah "Juno." 230 juta di jajaran film laris dunia, empat nominasi Oscar, satu menang. Atau tentang remaja Mumbai di permukiman kumuh ingin menjadi peserta acara kuis versi India dari "Who Wants To Be A Millionaire?"? Nah itu gampang -- "Slumdog Millionaire." 377 juta penonton di seluruh dunia, Sepuluh nominasi Oscar, delapan menang. Seekor simpanse bercerita tentang kehidupannya dengan seorang legenda pop, Michael Jackson. Coba tebak?
(Laughter)
(Tertawa)
It's a trick question. But it is a script called "Bubbles," that is going to be directed by Taika Waititi, the director of "Thor: Ragnarok."
Pertanyaan jebakan. Tapi judul naskahnya adalah "Bubbles," yang akan disutradarai oleh Taika Waititi, sutradara film "Thor: Ragnarok."
So, a large part of your job as a development executive is to separate the "Superstorms" from the "Slumdog Millionaires," and slightly more generally, the writers who write "Superstorm" from the writers who can write "Slumdog Millionaire." And the easiest way to do this, obviously, is to read all of the scripts, but that's, frankly, impossible. A good rule of thumb is that the Writers Guild of America registers about 50,000 new pieces of material every year, and most of them are screenplays. Of those, a reasonable estimate is about 5,000 of them make it through various filters, agencies, management companies, screenplay compositions and the like, and are read by someone at the production company or major studio level. And they're trying to decide whether they can become one of the 300-and-dropping movies that are released by the major studios or their sub-brands each year.
Jadi, bagian besar pekerjaan seorang staf pengembangan adalah membedakan "Superstorm" dari "Slumdog Millionaires," dan secara lebih umum, penulis naskah "Superstorm" dan penulis naskah "Slumdog Millionaire." Cara paling gampang ya jelas, baca semua naskahnya, tapi jujur saja, itu mustahil. Contoh rumus cepatnya, serikat penulis naskah di Amerika mendaftarkan 50.000 material setiap tahun, kebanyakan berupa skenario. Dari jumlah tersebut, yang berpotensi hanya 5.000 skenario yang mampu menembus eliminasi, agensi, perusahaan manajemen, komposisi naskah dan sejenisnya, dan dibaca oleh seseorang dari rumah produksi atau studio film ternama. Merekalah yang memutuskan apakah ini akan menjadi 1 dari 300 film - dan menurun -, yang dirilis oleh studio film ternama atau cabangnya setiap tahun.
I've described it before as being a little bit like walking into a members-only bookstore where the entire inventory is just organized haphazardly, and every book has the same, nondescript cover. Your job is to enter that bookstore and not come back until you've found the best and most profitable books there. It's anarchic and gleefully opaque.
Saya sudah jelaskan rasanya seperti masuk ke toko buku khusus anggota yang isi tokonya disusun secara sembarangan dan setiap buku punya sampul yang tidak mendeskripsikan. Tugas Anda adalah masuk ke toko buku itu dan jangan keluar sampai Anda ketemu buku yang paling menjanjikan dan menguntungkan. Itu anarkis dan sedikit bodoh.
And everyone has their method to address these problems. You know, most rely on the major agencies and they just assume that if there's great talent in the world, they've already found their way to the agencies, regardless of the structural barriers that actually exist to get into the agencies in the first place. Others also constantly compare notes among themselves about what they've read and what's good, and they just hope that their cohort group is the best, most wired and has the best taste in town. And others try to read everything, but that's, again, impossible. If you're reading 500 screenplays in a year, you are reading a lot. And it's still only a small percentage of what's out there.
Setiap orang punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah. Banyak yang bergantung pada agensi besar, mereka berasumsi kalau masih ada orang yang berbakat tentunya mereka terdaftar di agensi tertentu, terlepas dari kesulitan dan batasan yang ada untuk bisa masuk ke agensi-agensi itu. Ada juga yang selalu membandingkan ringkasan mereka soal apa yang dibaca dan mana yang bagus, dan berharap tim merekalah yang terbaik, paling seru, dan paling bagus dibanding yang lain. Ada yang membaca semuanya, namun, kembali lagi, itu mustahil. Jika Anda membaca 500 naskah setahun, artinya Anda membaca sangat banyak. Dan itupun baru sekian kecil persen dari jumlah yang beredar.
Fundamentally, it's triage. And when you're in triage, you tend to default to conventional wisdom about what works and what doesn't. That a comedy about a young woman dealing with reproductive reality can't sell. That the story of an Indian teenager isn't viable in the domestic marketplace or anywhere else in the world outside of India. That the only source of viable movies is a very narrow groups of writers who have already found their way to living and working in Hollywood, who already have the best representation in the business, and are writing a very narrow band of stories.
Istilahnya, itu triase. Ketika Anda dalam triase, Anda cenderung akan setuju dengan paham umum tentang mana yang berhasil dan mana yang tidak. Sebuah komedi tentang kehamilan remaja yang sebenarnya kurang menjual. Sebuah cerita tentang remaja India kurang seru untuk pasar lokal atau di manapun di dunia ini di luar India. Satu-satunya sumber dari film sukses hanyalah rentetan kecil penulis yang sudah mengerti seluk beluk bekerja di Hollywood, yang sudah punya nama dalam lingkup pekerjaannya, dan yang menulis dalam kreativitas yang sempit.
And I'm somewhat embarrassed to admit, that that's where I found myself in 2005. Sitting in that office above Sunset Boulevard, staring down that metaphorical anonymized bookstore, and having read nothing but bad scripts for months. And I took this to mean one of two things: either A: I was not very good at my job, which was, ostensibly, finding good scripts, or B: reading bad scripts was the job. In which case, my mother's weekly phone calls, asking me if my law school entrance exam scores were still valid was something I should probably pay more attention to. What I also knew was that I was about to go on vacation for two weeks, and as bad as reading bad scripts is when it is your job, it's even more painful on vacation. So I had to do something.
Dan agak malu mengakuinya, tapi begitulah saya di tahun 2005. Duduk di suatu kantor, di atas Sunset Boulevard menatap ke toko buku anonim yang tidak nyata, dan hanya membaca naskah yang tidak menarik selama berbulan-bulan. Lalu, saya menyadari kondisinya adalah: A: saya tidak cukup ahli dalam bidang ini, yang adalah berpura-pura, menemukan naskah bagus, atau B: membaca naskah jelek memang pekerjaan saya. Padahal, telepon mingguan dari ibu saya yang menanyakan apakah nilai saya cukup untuk masuk sekolah hukum adalah hal yang lebih butuh saya perhatikan. Yang juga saya sadari adalah saya akan pergi berlibur selama dua minggu, yang meskipun membaca naskah buruk adalah pekerjaan Anda, lebih menderita lagi ketika liburan. Jadi, saya melakukan sesuatu.
So late one night at my office, I made a list of everyone that I had had breakfast, lunch, dinner or drinks with that had jobs similar to mine, and I sent them an anonymous email. And I made a very simple request. Send me a list of up to 10 of your favorite screenplays that meet three criteria. One: you love the screenplay, two: the filmed version of that screenplay will not be in theaters by the end of that calendar year, and three: you found out about the screenplay this year. This was not an appeal for the scripts that would be the next great blockbuster, not an appeal for the scripts that will win the Academy Award, they didn't need to be scripts that their bosses loved or that their studio wanted to make. It was very simply an opportunity for people to speak their minds about what they loved, which, in this world, is increasingly rare.
Malam itu di kantor, saya membuat daftar yang isinya orang-orang yang pernah makan ataupun ngobrol denganku punya pekerjaan yang mirip, kemudian saya kirimkan sebuah email anonim. Isinya sebuah pesan yang sangat sederhana. Kirimkan saya daftar yang memuat 10 naskah favoritmu namun memenuhi 3 kriteria. Pertama: Anda menyukai naskahnya, kedua: adaptasi filmnya tidak akan diputar di bioskop sampai akhir tahun ini, ketiga: Anda menemukan naskah ini di tahun ini. Ini tidak menarik untuk naskah yang berpotensi menjadi film besar, tidak menarik untuk naskah yang akan menang di Academy Award, tidak usah berupa naskah yang disukai bos mereka atau yang diharapkan diproduksi. Ini hanya sebuah kesempatan untuk bebas berpendapat tentang apa yang mereka suka, yang sekarang semakin jarang terjadi di dunia.
Now, almost all of the 75 people I emailed anonymously responded. And then two dozen other people actually emailed to participate to this anonymous email address, but I confirmed that they did in fact have the jobs they claimed to have. And I then compiled the votes into a spreadsheet, ran a pivot table, output it to PowerPoint, and the night before I left for vacation, I slapped a quasi subversive name on it and emailed it back from that anonymous email address to everyone who voted. The Black List. A tribute to those who lost their careers during the anti-communist hysteria of the 1940s and 50s, and a conscious inversion of the notion that black somehow had a negative connotation.
Hampir 75 orang yang saya email merespons. Dan 24 orang lainnya membalas agar dapat berpartisipasi ke alamat email anonim tersebut, tapi saya memastikan mereka bekerja di bidang yang mereka sebutkan. Kemudian saya rangkum hasilnya ke sebuah daftar, ke tabel pivot, lalu dibuat ke PowerPoint, dan malam sebelum saya berangkat liburan, daftar ini diberi nama yang tidak biasa dan saya balas kembali dari alamat email anonim itu ke semua partisipan. Si Daftar Hitam. Penghargaan untuk mereka yang putus karir saat era histeria anti-komunis pada tahun 1940-an dan 1950-an, dan sengaja ingin membalikkan arti bahwa hitam umumnya mempunyai konotasi negatif.
After arriving in Mexico, I pulled out a chair by the pool, started reading these scripts and found, to my shock and joy, that most of them were actually quite good. Mission accomplished. What I didn't and couldn't have expected was what happened next. About a week into my time on vacation, I stopped by the hotel's business center to check my email. This was a pre-iPhone world, after all. And found that this list that I had created anonymously had been forwarded back to me several dozen times, at my personal email address. Everyone was sharing this list of scripts that everyone had said that they loved, reading them and then loving them themselves. And my first reaction, that I can't actually say here, but will describe it as fear, the idea of surveying people about their scripts was certainly not a novel or a genius one. Surely, there was some unwritten Hollywood rule of omertà that had guided people away from doing that before that I was simply too naive to understand, it being so early in my career. I was sure I was going to get fired, and so I decided that day that A: I would never tell anybody that I had done this, and B: I would never do it again.
Setelah tiba di Mexico, saya duduk di pinggir kolam renang, membaca naskah-naskah tersebut dan terkejut sekalian senang bahwa banyak naskah yang sebenarnya bagus. Misi terlaksanakan. Tapi yang tidak disangka adalah yang terjadi berikutnya. Seminggu memasuki liburan, saya ke satu ruangan hotel untuk mengecek email. Ini masih zaman sebelum iPhone ya. Kemudian saya menemukan bahwa daftar di email anonim yang saya buat sudah diteruskan kembali ke saya beberapa kali, ke email pribadiku. Semua orang saling berbagi daftar yang isinya apa yang mereka sukai, membaca naskah tersebut dan menyukainya. Reaksi pertama saya, yang harusnya jangan diceritakan, bisa dibilang adalah rasa takut, yaitu ide bahwa saya meninjau naskah orang lain bukanlah hal baru atau terobosan. Tentu, ada beberapa aturan tidak tertulis di Hollywood sehingga ini tidak dilakukan oleh orang lain, tapi karena saya masih baru di bidang ini maka saya masih naif. Saya yakin bahwa saya akan dipecat, maka saya putuskan bahwa A : saya tidak akan cerita ke siapapun tentang hal ini, dan B : saya tidak akan melakukannya lagi.
Then, six months later, something even more bizarre happened. I was in my office, on Sunset, and got a phone call from another writer's agent. The call began very similarly to the call about "Superstorm": "I've got Leo's next movie." Now, that's not the interesting part. The interesting part was the way the call ended. Because this agent then told me, and I quote, "Don't tell anybody, but I have it on really good authority this is going to be the number one script on next year's Black List."
6 bulan kemudian, hal yang lebih ajaib pun terjadi. Saya sedang di kantor, di Sunset, kemudian saya ditelepon oleh salah satu agen penulis. Awal telepon tersebut mirip dengan telepon tentang "Superstorm": "Saya sudah punya film baru untuk Leo." Nah, ini bukan yang bagian menariknya. Yang menarik adalah ketika telepon ini berakhir. Karena si agen ini kemudian mengatakan, dan saya kutip, "Ini antara kita saja ya, saya dengar dari sumber terpercaya kalau ini akan jadi urutan pertama di Daftar Hitam tahun depan."
(Laughter)
(Tertawa)
Yeah. Suffice it to say, I was dumbfounded. Here was an agent, using the Black List, this thing that I had made anonymously and decided to never make again, to sell his client to me. To suggest that the script had merit, based solely on the possibility of being included on a list of beloved screenplays. After the call ended, I sat in my office, sort of staring out the window, alternating between shock and general giddiness.
Ya. Jelas, saya tercengang. Seorang agen, menggunakan Daftar Hitam, hal yang saya buat secara anonim dan tidak akan saya buat lagi, untuk mempromosikan kliennya ke saya. Dia menyatakan bahwa naskahnya pantas, berdasarkan kemungkinan ini termasuk dalam daftar skenario favorit. Setelah teleponnya berakhir, saya duduk di kantor, menatap keluar jendela, separuh terkejut dan separuh merasa geli.
And then I realized that this thing that I had created had a lot more value than just me finding good screenplays to read over the holidays. And so I did it again the next year -- and the "LA Times" had outed me as the person who had created it -- and the year after that, and the year after that -- I've done it every year since 2005. And the results have been fascinating, because, unapologetic lying aside, this agent was exactly right. This list was evidence, to many people, of a script's value, and that a great script had greater value that, I think, a lot of people had previously anticipated. Very quickly, the writers whose scripts were on that list started getting jobs, those scripts started getting made, and the scripts that got made were often the ones that violated the assumptions about what worked and what didn't. They were scripts like "Juno" and "Little Miss Sunshine" and "The Queen" and "The King's Speech" and "Spotlight." And yes, "Slumdog Millionaire." And even an upcoming movie about Michael Jackson's chimpanzee.
Kemudian saya menyadari bahwa hal yang saya buat ini punya nilai lebih dari tujuan saya yang mencari naskah untuk dibaca ketika liburan. Jadinya saya lakukan lagi tahun depan -- "LA Times" mengeliminasi saya sebagai yang membuat daftar itu -- dan tahun depannya lagi, dan tahun depannya lagi -- Saya melakukannya setiap tahun sejak 2005. Dan hasilnya mencengangkan, karena, tanpa merasa bersalah, agen yang tadi ternyata benar. Ini adalah bukti untuk banyak orang tentang nilai sebuah naskah, dan naskah bagus punya nilai lebih tinggi yang saya kira, sudah diantisipasi juga oleh banyak orang. Segera, penulis yang naskahnya ada di daftar itu mulai mendapatkan pekerjaan, naskah-naskah tersebut mulai diproduksi, dan naskah yang diproduksi seringkali adalah yang melanggar asumsi-asumsi tentang yang berhasil dan yang tidak. Ada naskah seperti "Juno" dan "Little Miss Sunshine" dan "The Queen" dan "The King's Speech" dan "Spotlight." Dan ya, "Slumdog Millionaire." Dan film yang akan datang tentang simpanse Michael Jackson.
Now, I think it's really important that I pause here for a second and say that I can't take credit for the success of any of those movies. I didn't write them, I didn't direct them, I didn't produce them, I didn't gaff them, I didn't make food and craft service -- we all know how important that is. The credit for those movies, the credit for that success, goes to the people who made the films. What I did was change the way people looked at them. Accidentally, I asked if the conventional wisdom was correct. And certainly, there are movies on that list that would have gotten made without the Black List, but there are many that definitely would not have. And at a minimum, we've catalyzed a lot of them into production, and I think that's worth noting.
Nah, saya kira ini penting untuk saya berhenti sebentar disini dan menyatakan saya tidak mengambil kredit untuk kesuksesan film-filmnya. Saya tidak menulisnya, menyutradarai, memproduksi, mengkritisi, memberi layanan katering dan kreatif -- yang kita tahu betapa pentingnya. Kredit untuk film-film itu, kredit untuk kesuksesannya, ada pada orang-orang yang membuat film itu. Yang saya lakukan hanya mengubah cara pandang orang. Secara tidak sadar, saya bertanya apakah paham umum ini benar. Dan jelas pula, ada film di daftar itu yang tetap akan diproduksi tanpa Daftar Hitam, namun akan lebih banyak yang tidak akan diproduksi. Minimumnya, kita sudah memacu banyak film untuk diproduksi, dan saya rasa itu patut dicatat.
There have been about 1,000 screenplays on the Black List since its inception in 2005. About 325 have been produced. They've been nominated for 300 Academy Awards, they've won 50. Four of the last nine Best Pictures have gone to scripts from the Black List, and 10 of the last 20 screenplay Oscars have gone to scripts from the Black List. All told, they've made about 25 billion dollars in worldwide box office, which means that hundreds of millions of people have seen these films when they leave their homes, and sit next to someone they don't know and the lights go down. And that's to say nothing of post-theatrical environments like DVD, streaming and, let's be honest, illegal downloads.
Sudah ada sekitar 1.000 naskah di Daftar Hitam sejak dimulainya daftar itu pada 2005. Sekitar 325 sudah diproduksi. Banyak yang dinominasi untuk 300 penghargaan Academy Awards, 50 di antaranya menang. Empat dari sembilan Sinematografi Terbaik berasal dari naskah di Daftar Hitam, dan 10 dari 20 naskah Oscars berasal dari naskah di Daftar Hitam. Singkatnya, film-film itu setara 25 miliar dolar di kategori film laris dunia, yang berarti ratusan dari jutaan orang menonton film-film ini ketika meninggalkan rumah, duduk di sebelah orang yang tidak mereka kenal dan lampu meredup. Itu belum termasuk kondisi setelah penayangan di bioskop seperti DVD, layanan daring, dan jujur saja, unduhan ilegal.
Five years ago today, October 15, my business partner and I doubled down on this notion that screenwriting talent was not where we expected to find it, and we launched a website that would allow anybody on earth who had written an English-language screenplay to upload their script, have it evaluated, and make it available to thousands of film-industry professionals. And I'm pleased to say, in the five years since its launch, we've largely proved that thesis. Hundreds of writers from across the world have found representation, have had their work optioned or sold. Seven have even seen their films made in the last three years, including the film "Nightingale," the story of a war veteran's psychological decline, in which David Oyelowo's face is the only one on screen for the film's 90-minute duration. It was nominated for a Golden Globe and two Emmy Awards.
Lima tahun lalu hari ini, 15 Oktober, rekan bisnis saya dan saya bertaruh dalam gagasan bahwa penulis skenario berbakat belum tentu ada di tempat yang kami duga, dan kami membuat sebuah situs yang memperbolehkan siapa saja yang menulis naskah dalam bahasa Inggris untuk mengunggah naskah mereka, dievaluasi, dan mengedarkannya kepada ribuan ahli di industri film. Dan saya bangga, bahwa lima tahun sejak peluncurannya, kami telah membuktikan tesis itu. Ratusan penulis dari seluruh dunia menemukan perwakilannya, karya mereka dipilih atau terjual. 7 diantaranya melihat karyanya diproduksi 3 tahun terakhir, termasuk film "Nightingale," tentang kondisi psikologis seorang veteran perang, di mana hanya wajah David Oyelowo yang terpampang di layar selama 90 menit film tersebut. Film itu dinominasikan untuk Golden Globe dan dua Emmy Award.
It's also kind of cool that more than a dozen writers who were discovered on the website have ended up on this end-of-year annual list, including two of the last three number one writers. Simply put, the conventional wisdom about screenwriting merit -- where it was and where it could be found, was wrong. And this is notable, because as I mentioned before, in the triage of finding movies to make and making them, there's a lot of relying on conventional wisdom. And that conventional wisdom, maybe, just maybe, might be wrong to even greater consequence.
Cukup keren bahwa lebih dari puluhan penulis yang ditemukan dari situs itu masuk ke daftar tahunan pada akhir tahun ini, termasuk dua dari tiga penulis papan atas terbaru. Simpelnya, paham umum tentang mana naskah yang pantas -- dan tentang keberadaan dan dimana itu dapat ditemukan, sebenarnya salah. Dan patut dicatat, seperti yang saya katakan sebelumnya, di triase memilih film mana yang dapat diproduksi dan memproduksinya, yang masih banyak ditentukan dengan paham umum. Dan paham umum tersebut, mungkin, hanya mungkin, sebenarnya keliru.
Films about black people don't sell overseas. Female-driven action movies don't work, because women will see themselves in men, but men won't see themselves in women. That no one wants to see movies about women over 40. That our onscreen heroes have to conform to a very narrow idea about beauty that we consider conventional. What does that mean when those images are projected 30 feet high and the lights go down, for a kid that looks like me in Columbus, Georgia? Or a Muslim girl in Cardiff, Wales? Or a gay kid in Chennai? What does it mean for how we see ourselves and how we see the world and for how the world sees us?
Bahwa film tentang orang berkulit hitam sulit laku. Film aksi tentang perempuan tidak laku, karena wanita melihat diri mereka dari kacamata pria, namun tidak sebaliknya. Film yang diperankan wanita diatas 40 tahun tidak cukup menarik. Bahwa pahlawan kita di film harusnya mengikuti standar kecantikan tertentu sesuai asumsi yang kita bentuk. Apa artinya ketika gambaran itu diproyeksikan setinggi 30 kaki dan lampu diredupkan, untuk seorang anak seperti saya di Columbus, Georgia? Seorang anak perempuan Muslim di Cardiff, Wales? Seorang anak gay di Chennai? Apa artinya bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana kita melihat dunia dan bagaimana dunia melihat kita?
We live in very strange times. And I think for the most part, we all live in a state of constant triage. There's just too much information, too much stuff to contend with. And so as a rule, we tend to default to conventional wisdom. And I think it's important that we ask ourselves, constantly, how much of that conventional wisdom is all convention and no wisdom? And at what cost?
Kita hidup di zaman yang aneh. Dan saya kira kebanyakan dari kita hidup dalam kondisi triase yang konstan. Terlalu banyak informasi, terlalu banyak hal yang harus dihadapi. Jadi layaknya sebuah sistem, kita kembali ke mode paham umum. Dan saya kira penting untuk kita bertanya terus menerus ke diri kita, sebanyak apa dari paham umum tersebut yang sifatnya umum namun bukan paham? Dan sampai sejauh mana?
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)