For the last year, everyone's been watching the same show, and I'm not talking about "Game of Thrones," but a horrifying, real-life drama that's proved too fascinating to turn off. It's a show produced by murderers and shared around the world via the Internet. Their names have become familiar: James Foley, Steven Sotloff, David Haines, Alan Henning, Peter Kassig, Haruna Yukawa, Kenji Goto Jogo.
Tahun lalu, semua orang menonton pertunjukan yang sama dan bukan serial TV "Games of Thrones," melainkan kisah nyata yang mengerikan yang terbukti terlalu menarik untuk diacuhkan. Pertunjukan ini dibuat oleh para pembunuh dan disiarkan ke seluruh dunia melalui internet. Nama mereka jadi akrab di telinga: James Foley, Steven Sotloff, David Haines, Alan Henning, Peter Kassig, Haruna Yukawa, Kenji Goto Jogo.
Their beheadings by the Islamic State were barbaric, but if we think they were archaic, from a remote, obscure age, then we're wrong. They were uniquely modern, because the murderers acted knowing well that millions of people would tune in to watch.
Pemenggalan mereka oleh ISIS sungguh barbar, namun bila kita pikir mereka kuno, dari zaman baheula, dulu sekali, maka kita salah. Mereka sangat modern, karena para pembunuh ini bertindak dengan kesadaran penuh bahwa jutaan orang di dunia akan menontonnya.
The headlines called them savages and barbarians, because the image of one man overpowering another, killing him with a knife to the throat, conforms to our idea of ancient, primitive practices, the polar opposite of our urban, civilized ways. We don't do things like that. But that's the irony. We think a beheading has nothing to do with us, even as we click on the screen to watch. But it is to do with us. The Islamic State beheadings are not ancient or remote. They're a global, 21st century event, a 21st century event that takes place in our living rooms, at our desks, on our computer screens. They're entirely dependent on the power of technology to connect us. And whether we like it or not, everyone who watches is a part of the show.
Media massa menyebut mereka orang biadab dan barbar karena gambar seseorang yang mengalahkan manusia lain, membunuhnya dengan sayatan pisau ke lehernya, sesuai dengan bayangan kita akan praktik kuno dan primitif yang berada di kutub yang berlawanan dari cara kita yang beradab. Kita tidak melakukan hal semacam itu. Tapi, itulah ironinya. Kita pikir pemenggalan tidak ada hubungannya dengan diri kita, bahkan ketika kita memutuskan untuk menontonnya di layar. Tapi sebenarnya ada hubungannya, Pemenggalan oleh ISIS tidaklah kuno ataupun asing. Ini adalah peristiwa global di abad ke-21, yang terjadi di ruang tamu kita, di meja kerja kita, di layar komputer kita. Mereka tergantung dengan kekuatan teknologi untuk terhubung dengan kita. Dan suka atau tidak, semua yang menyaksikan adalah bagian dari pertunjukan ini.
And lots of people watch. We don't know exactly how many. Obviously, it's difficult to calculate. But a poll taken in the UK, for example, in August 2014, estimated that 1.2 million people had watched the beheading of James Foley in the few days after it was released. And that's just the first few days, and just Britain. A similar poll taken in the United States in November 2014 found that nine percent of those surveyed had watched beheading videos, and a further 23 percent had watched the videos but had stopped just before the death was shown. Nine percent may be a small minority of all the people who could watch, but it's still a very large crowd. And of course that crowd is growing all the time, because every week, every month, more people will keep downloading and keep watching.
Dan banyak sekali orang yang menonton. Kita tak tahu berapa banyaknya. Tentu saja, sulit untuk menghitungnya. Namun, survei yang dilakukan di Inggris, misalnya, pada bulan Agustus 2014, memperkirakan 1,2 juta orang telah menonton pemenggalan James Foley beberapa hari setelah videonya dirilis. Dan itu baru beberapa hari pertama saja, dan itu baru di Inggris. Survei serupa yang dilakukan di Amerika Serikat pada November 2014 menemukan bahwa 9 persen orang yang disurvei telah menonton video pemenggalan itu, dan 23 persen lainnya juga telah menonton tapi berhenti sebelum adegan pemenggalan. 9 persen mungkin jumlah yang kecil dari semua orang yang dapat menonton, tapi tetap saja jumlah yang besar. Dan tentunya, jumlah tersebut terus bertambah seiring waktu, karena setiap minggu, setiap bulan, semakin banyak orang yang mengunduh dan menontonnya.
If we go back 11 years, before sites like YouTube and Facebook were born, it was a similar story. When innocent civilians like Daniel Pearl, Nick Berg, Paul Johnson, were beheaded, those videos were shown during the Iraq War.
Bila kita kembali ke 11 tahun lalu, sebelum situs Youtube dan Facebook ada, ceritanya tetap sama. Ketika orang sipil yang tak bersalah seperti Daniel Pearl, Nick Berg, Paul Johnson dipenggal, videonya dipertontonkan selama Perang Irak.
Nick Berg's beheading quickly became one of the most searched for items on the Internet. Within a day, it was the top search term across search engines like Google, Lycos, Yahoo. In the week after Nick Berg's beheading, these were the top 10 search terms in the United States. The Berg beheading video remained the most popular search term for a week, and it was the second most popular search term for the whole month of May, runner-up only to "American Idol." The al-Qaeda-linked website that first showed Nick Berg's beheading had to close down within a couple of days due to overwhelming traffic to the site. One Dutch website owner said that his daily viewing figures rose from 300,000 to 750,000 every time a beheading in Iraq was shown. He told reporters 18 months later that it had been downloaded many millions of times, and that's just one website. A similar pattern was seen again and again when videos of beheadings were released during the Iraq War.
Pemenggalan Nick Berg segera menjadi salah satu hal yang paling dicari di internet. Dalam sehari, ia muncul sebagai topik pencarian terpopuler di mesin pencari seperti Google, Lycos, Yahoo. Seminggu setelah pemenggalan Nick Berg, ia masuk dalam daftar 10 topik pencarian terpopuler di Amerika Serikat. Video pemenggalan Berg tetap menjadi topik pencarian terpopuler selama seminggu, dan menjadi topik pencarian kedua terpopuler di bulan Mei, setelah "American Idol". Situs terkait Al-Qaeda yang pertama kali menampilkan pemenggalan Nick harus ditutup dalam beberapa hari karena lalu lintas ke situsnya terlalu tinggi. Salah satu orang Belanda pemilik situs mengatakan jumlah pengunjung hariannya meningkat dari 300.000 menjadi 750.000 setiap kali pemenggalan kepala di Irak dipertontonkan. Ia mengatakan pada wartawam 18 bulan kemudian bahwa video di situsnya telah diunduh jutaan kali, dan itu hanya dari satu situs. Pola yang sama lagi-lagi dapat dilihat ketika video pemenggalan dirilis selama Perang Irak.
Social media sites have made these images more accessible than ever before, but if we take another step back in history, we'll see that it was the camera that first created a new kind of crowd in our history of beheadings as public spectacle. As soon as the camera appeared on the scene, a full lifetime ago on June 17, 1939, it had an immediate and unequivocal effect.
Situs media sosial menjadikan gambar dapat diakses dengan lebih mudah, namun bila kita mundur sejenak dalam sejarah, kita melihat bahwa kameralah yang pertama menciptakan jenis masyarakat yang baru dalam sejarah pemenggalan sebagai tontonan publik. Segera setelah kamera muncul dalam peristiwa semacam ini, tepatnya pada 17 Juni 1939, ia menimbulkan efek langsung dan jelas.
That day, the first film of a public beheading was created in France. It was the execution, the guillotining, of a German serial killer, Eugen Weidmann, outside the prison Saint-Pierre in Versailles. Weidmann was due to be executed at the crack of dawn, as was customary at the time, but his executioner was new to the job, and he'd underestimated how long it would take him to prepare. So Weidmann was executed at 4:30 in the morning, by which time on a June morning, there was enough light to take photographs, and a spectator in the crowd filmed the event, unbeknownst to the authorities. Several still photographs were taken as well, and you can still watch the film online today and look at the photographs. The crowd on the day of Weidmann's execution was called "unruly" and "disgusting" by the press, but that was nothing compared to the untold thousands of people who could now study the action over and over again, freeze-framed in every detail.
Pada hari itu, film pertama pemenggalan di depan publik dibuat di Prancis. Eksekusi itu, pemenggalan pembunuh berantai dari Jerman, Eugen Weidmann, dilakukan di luar Penjara Saint-Pierre di Versailles. Weidmann seharusnya dieksekusi saat fajar, sebagaimana kebiasaan saat itu, namun algojonya masih baru, dan salah memperhitungkan waktu yang dibutuhkan untuk persiapan. Jadi Weidmann dieksekusi pada pukul 04.30 pagi, dan di Bulan Juni, sudah cukup terang untuk mengambil foto dan salah seorang penonton memfilmkannya, tanpa diketahui pihak berwenang. Beberapa gambar juga diambil dan Anda masih dapat menonton filmnya secara online dan melihat fotonya. Penonton eksekusi Weidmann itu disebut "melanggar" dan "menjijikkan" oleh media massa, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan ribuan orang yang jadi dapat melihat tindakan itu berulang-ulang, dan mengamati setiap detilnya.
The camera may have made these scenes more accessible than ever before, but it's not just about the camera. If we take a bigger leap back in history, we'll see that for as long as there have been public judicial executions and beheadings, there have been the crowds to see them. In London, as late as the early 19th century, there might be four or five thousand people to see a standard hanging. There could be 40,000 or 50,000 to see a famous criminal killed. And a beheading, which was a rare event in England at the time, attracted even more.
Kamera mungkin telah membuat peristiwa ini lebih mudah diakses dibanding sebelumnya, namun ini tidak terjadi hanya karena kamera. Bila kita mundur lebih jauh ke belakang, kita akan melihat bahwa selama ada eksekusi dan pemenggalan di depan publik, selalu ada kerumunan massa yang menyaksikan. Di London, sampai awal abad ke-19, ada sekitar empat sampai lima ribu orang yang hadir melihat orang digantung. Akan jadi 40.000 sampai 50.000 orang yang menonton bila ia kriminal kelas kakap. Dan pemenggalan, yang jarang dilakukan di Inggris pada saat itu, menarik lebih banyak massa.
In May 1820, five men known as the Cato Street Conspirators were executed in London for plotting to assassinate members of the British government. They were hung and then decapitated. It was a gruesome scene. Each man's head was hacked off in turn and held up to the crowd. And 100,000 people, that's 10,000 more than can fit into Wembley Stadium, had turned out to watch. The streets were packed. People had rented out windows and rooftops. People had climbed onto carts and wagons in the street. People climbed lamp posts. People had been known to have died in the crush on popular execution days.
Pada Mei 1820, lima orang yang dikenal sebagai Konspirator Jalan Cato dieksekusi di London karena merencanakan pembunuhan anggota kabinet Inggris. Mereka digantung dan kemudian dipenggal. Sungguh adegan yang mengerikan. Setiap orang dipenggal kepalanya satu persatu dan ditunjukkan pada publik. Dan 100.000 orang, 10.000 orang lebih banyak dari daya tampung Stadiun Wembley, datang untuk menonton. Jalan-jalan penuh. Orang-orang menyewakan jendela dan atap rumah mereka. Orang memanjat atap kereta kuda di jalanan. Orang memanjat tiang lampu jalan. Bahkan ada orang yang mati terinjak pada hari-hari eksekusi yang populer.
Evidence suggests that throughout our history of public beheadings and public executions, the vast majority of the people who come to see are either enthusiastic or, at best, unmoved. Disgust has been comparatively rare, and even when people are disgusted and are horrified, it doesn't always stop them from coming out all the same to watch.
Bukti menunjukkan bahwa sepanjang sejarah pemenggalan dan eksekusi di depan publik, sebagian besar orang yang datang menonton adalah orang-orang yang sangat tertarik, atau yang tidak tersentuh oleh adegan itu. Jarang ada yang merasa jijik, dan meskipun ada orang yang jijik dan takut, itu tidak menghentikan mereka untuk tetap datang dan menonton.
Perhaps the most striking example of the human ability to watch a beheading and remain unmoved and even be disappointed was the introduction in France in 1792 of the guillotine, that famous decapitation machine. To us in the 21st century, the guillotine may seem like a monstrous contraption, but to the first crowds who saw it, it was actually a disappointment. They were used to seeing long, drawn-out, torturous executions on the scaffold, where people were mutilated and burned and pulled apart slowly. To them, watching the guillotine in action, it was so quick, there was nothing to see. The blade fell, the head fell into a basket, out of sight immediately, and they called out, "Give me back my gallows, give me back my wooden gallows."
Mungkin contoh yang paling mencolok dari kemampuan manusia menonton pemenggalan dan tetap tidak tersentuh dan bahkan kecewa adalah pengenalan penggunaan pisau guillotine di Prancis tahun 1792, mesin pemenggal kepala yang terkenal. Bagi kita di abad ke-21, guillotine mungkin terlihat seperti alat yang mengerikan, tapi bagi publik yang pertama kali melihatnya, pisau itu justru mengecewakan. Mereka terbiasa melihat proses eksekusi yang lama dan menyiksa di tiang gantungan, dimana orang dimutilasi dan dibakar dan ditarik perlahan-lahan. Bagi mereka, melihat pisau guillotine beraksi, kejadiannya sungguh cepat, tak ada yang bisa dilihat. Pisau ditetak, kepala terguling ke dalam keranjang, langsung tak terlihat, dan mereka berteriak, "Kembalikan tiang gantungan saya, kembalikan tiang kayu gantungan saya."
The end of torturous public judicial executions in Europe and America was partly to do with being more humane towards the criminal, but it was also partly because the crowd obstinately refused to behave in the way that they should. All too often, execution day was more like a carnival than a solemn ceremony.
Berakhirnya eksekusi publik di peradilan Eropa dan Amerika sebagian muncul untuk memberi perlakuan yang lebih manusiawi terhadap kriminal, tapi sebagian juga karena massa enggan berperilaku seperti yang seharusnya. Seringnya, hari eksekusi lebih seperti pesta karnaval daripada upacara yang khidmat.
Today, a public judicial execution in Europe or America is unthinkable, but there are other scenarios that should make us cautious about thinking that things are different now and we don't behave like that anymore.
Kini, eksekusi publik di Eropa atau Amerika tidak dapat dibayangkan, tapi ada skenario lain yang perlu kita waspadai ketika berpikir bahwa zaman sudah berbeda sekarang dan kita tidak berperilaku seperti itu lagi.
Take, for example, the incidents of suicide baiting. This is when a crowd gathers to watch a person who has climbed to the top of a public building in order to kill themselves, and people in the crowd shout and jeer, "Get on with it! Go on and jump!" This is a well-recognized phenomenon. One paper in 1981 found that in 10 out of 21 threatened suicide attempts, there was incidents of suicide baiting and jeering from a crowd. And there have been incidents reported in the press this year. This was a very widely reported incident in Telford and Shropshire in March this year.
Misalnya, insiden yang mendorong orang untuk bunuh diri. Ini terjadi saat massa berkumpul untuk menyaksikan seseorang yang memanjat ke atas gedung tinggi untuk bunuh diri, dan orang-orang di bawah berteriak dan mengejek, "Ngapain lama-lama! Cepat lompat!" Fenomena ini diakui terjadi. Satu makalah pada tahun 1981 menyebutkan bahwa dalam 10 dari 21 upaya bunuh diri ada insiden yang mendorong orang untuk bunuh diri dan teriakan dari massa. Dan ada insiden serupa yang dilaporkan oleh media massa tahun ini. Hal ini diberitakan secara luas di Telford dan Shropshire pada bulan Maret tahun ini.
And when it happens today, people take photographs and they take videos on their phones and they post those videos online. When it comes to brutal murderers who post their beheading videos, the Internet has created a new kind of crowd. Today, the action takes place in a distant time and place, which gives the viewer a sense of detachment from what's happening, a sense of separation. It's nothing to do with me. It's already happened. We are also offered an unprecedented sense of intimacy. Today, we are all offered front row seats. We can all watch in private, in our own time and space, and no one need ever know that we've clicked on the screen to watch.
Dan ketika terjadi sekarang, orang mengambil foto dan video menggunakan ponsel dan mereka menyiarkan videonya secara online. Ketika pembunuh brutal menyiarkan video pemenggalan mereka, internet menciptakan kumpulan massa yang tak ada sebelumnya. Kini, aksi tersebut terjadi di tempat dan waktu yang jauh, yang memberikan semacam jarak pada penonton atas apa yang terjadi, sehingga mereka merasa tak berhubungan. Hal itu tidak ada hubungannya denganku. Hal itu sudah terjadi. Ia juga memberikan perasaan dekat yang belum pernah kita alami. Kini, kita semua dapat menonton di baris pertama. Kita dapat menonton secara privat, pada waktu dan tempat yang kita tentukan, dan tak seorang pun perlu tahu apa yang kita klik di monitor untuk ditonton.
This sense of separation -- from other people, from the event itself -- seems to be key to understanding our ability to watch, and there are several ways in which the Internet creates a sense of detachment that seems to erode individual moral responsibility. Our activities online are often contrasted with real life, as though the things we do online are somehow less real. We feel less accountable for our actions when we interact online. There's a sense of anonymity, a sense of invisibility, so we feel less accountable for our behavior. The Internet also makes it far easier to stumble upon things inadvertently, things that we would usually avoid in everyday life. Today, a video can start playing before you even know what you're watching. Or you may be tempted to look at material that you wouldn't look at in everyday life or you wouldn't look at if you were with other people at the time. And when the action is pre-recorded and takes place in a distant time and space, watching seems like a passive activity. There's nothing I can do about it now. It's already happened.
Rasa keterpisahan ini -- dari orang lain, dari aksi itu sendiri -- merupakan kunci untuk memahami kemampuan kita untuk menyaksikan, dan terdapat beberapa cara bagaimana internet dapat menciptakan perasaan terpisah yang kemudian tampak menghilangkan tanggung jawab moral individu kita. Kegiatan kita di internet sering kali kontras dengan kehidupan nyata, seakan-akan yang kita lakukan di internet tidak senyata hidup kita. Kita merasa tindakan kita tidak perlu dipertanggungjawabkan saat berinteraksi online. Perasaan anonimitas ini, rasa bahwa kita tidak terlihat, membuat kita merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perilaku kita. Internet juga membuat kita lebih mudah menemukan berbagai hal yang biasanya kita hindari dalam keseharian kita, secara tidak sengaja. Kini, sebuah video bisa mulai diputar sebelum Anda menyadari tontonan apa itu, Atau Anda mungkin tergoda melihat hal-hal yang Anda tidak akan lihat sehari-hari atau tidak akan Anda lihat kalau Anda sedang bersama seseorang. Ketika suatu aksi direkam sebelumnya dan terjadi di tempat dan waktu yang jauh, menonton terasa seperti kegiatan yang pasif. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Itu sudah terjadi.
All these things make it easier as an Internet user for us to give in to our sense of curiosity about death, to push our personal boundaries, to test our sense of shock, to explore our sense of shock.
Semua hal ini memudahkan kita, para pengguna internet, untuk memenuhi rasa penasaran kita tentang kematian, untuk mendorong batas-batas pribadi kita, mengetes keterkejutan kita, mendalami rasa keterkejutan tersebut.
But we're not passive when we watch. On the contrary, we're fulfilling the murderer's desire to be seen. When the victim of a decapitation is bound and defenseless, he or she essentially becomes a pawn in their killer's show. Unlike a trophy head that's taken in battle, that represents the luck and skill it takes to win a fight, when a beheading is staged, when it's essentially a piece of theater, the power comes from the reception the killer receives as he performs. In other words, watching is very much part of the event. The event no longer takes place in a single location at a certain point in time as it used to and as it may still appear to. Now the event is stretched out in time and place, and everyone who watches plays their part.
Tapi kita tidak pasif ketika kita menontonnya. Sebaliknya, kita memenuhi hasrat para pembunuh untuk dilihat. Saat korban pemenggalan itu terikat dan tak bisa membela diri, pada dasarnya ia menjadi pion dalam pertunjukan pembunuhnya. Tidak seperti kepala yang dipenggal dalam pertempuran, yang melambangkan keberuntungan dan keterampilan memenangkan pertempuran, ketika pemenggalan dilakukan, ketika aksi itu dipentaskan layaknya adegan teater, kekuasaan muncul dari penerimaan publik saat ia menampilkannya. Dengan kata lain, tindakan menonton adalah bagian dari aksi tersebut. Aksi itu tak lagi terjadi di satu lokasi pada satu waktu, sebagaimana dahulu, meskipun masih kelihatan seperti itu. Kini, aksi itu terbentang luas dalam tempat dan waktu, dan setiap orang yang menonton memainkan peran masing-masing.
We should stop watching, but we know we won't. History tells us we won't, and the killers know it too.
Kita harus berhenti menonton, tapi kita tahu, kita tak akan berhenti. Sejarah menunjukkannya, dan para pembunuh tahu itu.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Bruno Giussani: Thank you. Let me get this back. Thank you. Let's move here. While they install for the next performance, I want to ask you the question that probably many here have, which is how did you get interested in this topic?
Bruno Giussani: Terima kasih. Mari ke sini. Sementara ceramah selanjutnya disiapkan, saya ingin menanyakan sesuatu yang mungkin ingin ditanyakan para hadirin, bagaimana Anda jadi tertarik pada topik ini?
Frances Larson: I used to work at a museum called the Pitt Rivers Museum in Oxford, which was famous for its display of shrunken heads from South America. People used to say, "Oh, the shrunken head museum, the shrunken head museum!" And at the time, I was working on the history of scientific collections of skulls. I was working on the cranial collections, and it just struck me as ironic that here were people coming to see this gory, primitive, savage culture that they were almost fantasizing about and creating without really understanding what they were seeing, and all the while these vast -- I mean hundreds of thousands of skulls in our museums, all across Europe and the States -- were kind of upholding this Enlightenment pursuit of scientific rationality. So I wanted to kind of twist it round and say, "Let's look at us." We're looking through the glass case at these shrunken heads. Let's look at our own history and our own cultural fascination with these things. BG: Thank you for sharing that.
Frances Larson: Saya dulu bekerja di Museum Pitt Rivers di Oxford, yang terkenal dengan koleksi kepala mengkerut dari Amerika Selatan. Orang-orang bilang, "Oh, museum kepala mengkerut, museum kepala mengkerut!" Dan pada saat itu, saya tengah berkutat dengan sejarah koleksi ilmiah tengkorak manusia. Saat saya tengah meneliti koleksi tengkorak, tiba-tiba saya merasakan ironi bahwa orang datang ke museum ini untuk melihat budaya primitif dan biadab ini dan mereka mungkin berimajinasi tentangnya dan membuatnya tanpa benar-benar memahami apa yang mereka lihat dan sementara itu, ratusan ribu koleksi tengkorak di museum-museum kita, di Eropa dan Amerika -- seperti mendukung ide Masa Pencerahan yang mengejar rasionalitas ilmiah. Jadi saya ingin memutar pandangan itu dan berkata, "Lihatlah diri kita." Kita melihat kepala-kepala mengkerut ini melalui rak kaca. Mari kita lihat sejarah kita sendiri dan budaya kita yang terpukau dengan hal ini. BG: Terima kasih sudah berbagi.
FL: Thank you.
FL: Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)