I love dumplings. But I seldom have dumplings in a restaurant, because my mom's cooking is the best. One day, I happened to take a bite of Dumpling Xi's dish. To my surprise, they had a flavor of going home. Fresh, chewy and unexpected.
Saya suka pangsit. Tapi saya jarang memesan pangsit di restoran, karena masakan Ibu saya adalah yang terbaik. Suatu hari, saya mencoba Dumpling Xi. Saya terkejut, rasanya seperti masakan rumahan. Segar, kenyal, dan tak terduga.
In addition to being a dumpling lover, I actually have a full-time job. I am a management consultant, so naturally, I was keen to understand the reasons behind those delicious dumplings. What I didn't expect is that this dumpling triggered my exploration of new ways of management in China. A change that is deeply rooted in ancient Chinese philosophies. But first, let's go back to the dumplings.
Selain sebagai penggemar pangsit, saya sebenarnya memiliki pekerjaan penuh waktu. Saya adalah konsultan manajemen, jadi tentu saja saya tertarik untuk memahami alasan di balik enaknya pangsit tersebut. Saya tidak menyangka bahwa pangsit tersebut memicu eksplorasi saya terhadap cara-cara baru manajemen di Cina. Sebuah perubahan yang berakar dalam filosofi Cina kuno. Tapi pertama-tama, mari kembali ke pangsit.
Gāo Défú founded Dumpling Xi 17 years ago. Today, the company enjoys 500 stores with 8,000 employees. But it wasn't always the case. Three years ago, the demand for his dumplings was soaring due to consumers' craving for healthy food. But the strong growth of online food delivery services had pulled the consumers away from store visits, causing a huge concern for Gāo. If I were to advise Gāo back then, I would go directly with the classical approach, hiring venture managers, providing training on how to integrate online-offline sales, or having some high potentials fully dedicated to the new job, such as a Chief Digital Officer.
Gāo Défú mendirikan Dumpling Xi 17 tahun yang lalu. Sekarang, mereka memiliki 500 toko dengan 8.000 karyawan. Tetapi, tidak selalu demikian. Tiga tahun yang lalu, permintaan pangsit melonjak karena konsumen menginginkan makanan sehat. Tetapi, pertumbuhan layanan daring pengiriman makanan yang pesat telah menjauhkan konsumen dari kunjungan toko, dan menimbulkan kekhawatiran besar bagi Gāo. Jika saya dapat menasihati Gāo saat itu, saya akan langsung menyarankan pendekatan klasik, mempekerjakan manajer usaha, memberikan pelatihan tentang cara mengintegrasikan penjualan daring-luring, atau menggandeng calon potensial yang berdedikasi penuh pada pekerjaan baru, seperti Direktur Digital.
But Gāo did something totally different. He invented a two-hat model. Instead of recruiting new executives, he invited five successful regional heads to take on a second role at headquarters. The catch was, they had to do it while still being the frontline managers. Keep in mind that these people had no formal training or related experience in this field. What they did have, though, was natural strengths and a growth mindset.
Namun, Gāo melakukan hal yang sangat berbeda. Ia menciptakan model dua-kepala. Alih-alih merekrut eksekutif baru, ia mengundang lima kepala pelopor sukses untuk mengambil peran kedua di kantor pusat. Syaratnya, mereka harus melakukannya sambil tetap menjadi manajer lini depan. Perlu diingat orang-orang ini tidak mendapatkan pelatihan formal atau pengalaman di bidang terkait. Yang mereka miliki adalah kekuatan alami dan pola pikir berkembang.
When Gāo first told me the idea, I said, "Are you sure? I have seldom seen companies as large as yours having part-time senior executives." But Gāo smiled. "This is my dumpling way." Gāo's team was also puzzled. In the first three months, the sales fluctuated, some even dropped by 20 percent. But Gāo didn't blink.
Saat Gāo memberitahu saya ide tersebut, saya berkata, "Apakah Anda yakin? Saya jarang melihat perusahaan sebesar perusahaan Anda yang memiliki eksekutif senior paruh waktu." Namun Gāo tersenyum. "Ini adalah cara pangsit saya." Tim Gāo juga heran. Pada tiga bulan pertama, penjualan menurun, beberapa bahkan anjlok hingga 20 persen. Tapi Gāo tak berkedip.
The regional heads had to learn new skills while still doing their job. Things like what kinds of dumplings can be sold online, how to digitalize their supply chain. After the transition period, something magical happened. The sales came back. One year later, the company began to launch its fresh and spicy dumplings online. Two years later, more talents with start-up dreams were attracted. More importantly, the company began to translate these individual new capabilities into company policies, and roll them out. A true differentiator compared with his peers.
Para kepala regional harus belajar keterampilan baru sambil bekerja. Seperti pangsit jenis apa yang bisa dijual secara daring, cara mendigitalkan rantai pasokan. Setelah periode transisi, sebuah keajaiban terjadi. Penjualan kembali. Setahun kemudian, perusahaan itu meluncurkan pangsit segar dan pedasnya secara daring. Dua tahun kemudian, lebih banyak orang dengan mimpi <i>start-up</i> tertarik. Terlebih lagi, perusahaan mulai menerjemahkan kemampuan baru tiap orang tersebut ke dalam kebijakan perusahaan, dan melaksanakannya. Sebuah terobosan dibanding para pesaingnya.
Because most Chinese entrepreneurs are very good at growth strategies. In Chinese, we call it kāi jiāng kuò tǔ, expanding territories, but not so good at what we call zhì guó ān bāng, converting individual best practices into company policies for the long run. The nature of Gāo's approach, such as having tolerance for frontline managers to make mistakes, or having some new ideas not coming from the top, is not common in China. Because they go against our traditions.
Karena kebanyakan pengusaha Cina sangat bagus dalam strategi pengembangan. Di Cina, kita menyebutnya kāi jiāng kuò tǔ, memperluas wilayah, namun tak sebagus dalam yang kita sebut dengan zhì guó ān bāng, mengubah praktik terbaik seseorang menjadi kebijakan perusahaan untuk jangka waktu lama. Dasar dari pendekatan Gāo, seperti toleransi bagi manajer lini depan untuk membuat kesalahan, atau memiliki ide-ide baru yang bukan dari atasan, bukanlah hal lumrah di Cina. Karena itu melawan tradisi kami.
In the past 2,000 years, Confucianism has been dominant in China, which values seniority and authority. For a nation, this is a time-tested formula to ensure order and harmony. For a company, this ensures precise execution at a large scale. But with business environments constantly changing, internet disrupting traditional industries, new millennials becoming a major workforce, new ways of management emerge. I feel so lucky to study this in such a dynamic age, while at the same time to satisfy my stomach with delicious dumplings.
Dalam 2.000 tahun terakhir, Konfusianisme dominan di Cina, yang di dalamnya ada nilai senioritas dan otoritas. Untuk sebuah bangsa, ini adalah formula yang diuji seiring waktu untuk memastikan tatanan dan keselarasan. Untuk sebuah perusahaan, ini memastikan eksekusi yang tepat dalam skala besar. Namun dengan lingkungan bisnis yang terus berubah, internet mengusik industri tradisional, milenial muda mendominasi pekerja, cara baru manajemen muncul. Saya beruntung mempelajari ini, di era yang sangat dinamis, tetapi secara bersamaan memuaskan perut dengan pangsit yang lezat.
Gāo's two-hat approach is just one example. Another example comes from Miranda Qu, the founder of Xiaohongshu. Xiaohongshu is a thriving internet company with 300 million users. It is an online community where young fans can get together to talk about their favorite soap opera, "Go Go Squid!" Or buy the cool shoes that the lead actress wears in a running scene. From the early days, Qu wanted the whole organization to be ready to spot things that need to change and challenge the authority. But one day, she noticed her interns were calling senior staff "teachers." This may sound innocent, but it signaled a problem to Qu. Because if the teacher phenomenon becomes a norm, it will encourage hierarchy and discourage ownership.
Pendekatan dua-kepala Gāo hanyalah satu contoh. Contoh lain datang dari Miranda Qu, pendiri Xiaohongshu. Xiahongshu adalah perusahaan internet dengan 300 juta pengguna. Sebuah komunitas daring tempat penggemar muda berkumpul untuk membahas sinetron favorit mereka, "Go Go Squid!" Atau membeli sepatu keren yang dipakai si tokoh utama dalam adegan berlari. Zaman dahulu, Qu ingin seluruh organisasi siap menemukan sesuatu yang perlu perubahan dan menantang otoritas. Namun suatu hari, ia sadar pegawai magangnya memanggil seniornya ''guru." Ini mungkin terdengar biasa, tapi ini menandakan sebuah masalah bagi Qu. Karena jika fenomena guru menjadi norma, ini akan mendorong hirarki dan mengecilkan kepemilikan.
This is also something related to Confucian thinking. In Chinese, we call it "benfen." "Ben" means me, myself. "Fen" means the share of the job. "I will just focus on my job and not cross any lines," which is totally the opposite to Qu's thinking. So Qu created a unique initiative called "Signature Program." In the program, each employee chooses an avatar character that pops up alongside digital communication channels. Some common ideas include Captain Hook, Harry Potter and many well-known characters in Chinese literature. The way these characters interact proved to be the answer to Qu's problem. Avatars from the same story would get together to talk about their favorite characters.
Ini juga berhubungan dengan cara pikir Konfusianisme. Di Cina, kami menyebutnya "benfen." ''Ben" berarti aku, diriku. ''Fen'' berarti pembagian tugas. "Aku hanya akan fokus pada tugasku dan tidak melenceng," yang sangat berseberangan dengan pemikiran Qu. Jadi Qu menciptakan ide unik yang disebut "Signature Program." Dalam program itu, tiap pegawai memilih karakter avatar yang muncul bersama kanal komunikasi digital. Beberapa ide umum termasuk Captain Hook, Harry Potter dan banyak karakter terkenal di sastra Cina. Cara karakter-karakter ini berinteraksi terbukti menyelesaikan masalah Qu. Avatar dari cerita yang sama akan berkumpul membicarakan karakter favorit mereka.
In the community called "Slam Dunk," people from different cities, different departments, different levels of the organization, they would talk about how these characters inspired them at work. An employee with a signature called Coach Anzai was facing some difficulty in leading a very young team. Other Dunk fans will share the best practices on how to motivate a diversified team and inspire them to work to their full potential.
Dalam komunitas bernama "Slam Dunk," orang dari berbagai kota, berbagai departemen, berbagai level organisasi, akan membicarakan bagaimana karakter ini menginspirasi kerja mereka. Seorang pegawai dengan karakter yang dikenal sebagai Pelatih Anzai menghadapi kesulitan dalam memimpin tim muda. Fans Dunk yang lain membagikan cara terbaiknya untuk memotivasi tim yang heterogen dan menginspirasi mereka untuk bekerja dengan potensi penuh.
The signature program plays a pivotal role in fostering a collaborative environment at Xiaohongshu. Not only the teacher issue has disappeared, the company has been ranked as one of the most innovative Chinese companies by Forbes in the past two years.
Signature Program memainkan peran penting dalam menjaga kolaborasi di lingkungan kerja Xiaohongshu. Bukan hanya masalah guru yang hilang, tapi peringkat perusahaan juga naik sebagai satu dari perusahaan terinovatif di Cina versi Forbes dalam kurun waktu dua tahun.
Gāo's two-hat approach and Qu's signature program are just two examples of empowering the frontline staff. But these methods may not always be right. Let's take Ping An, for example. Very successful insurance company. The company couldn't adopt such an approach for the whole organization, because, one, the company has 400,000 employees, and the line between innovative chaos and chaotic chaos is very thin. Two, the company has five ecosystems and 10-plus sectors -- health care, insurance, real estate, smart city. Very difficult to apply a bottom-up innovation to all. But the company still needs to be innovating.
Pendekatan dua-kepala Gāo dan Signature Program Qu hanyalah dua contoh pemberdayaan pegawai lini depan. Namun metode ini mungkin tak selamanya tepat. Mari kita ambil Ping An, sebagai contoh. Perusahaan asuransi yang sangat sukses. Perusahaan tak bisa meniru pendekatan itu untuk seluruh organisasi, karena, satu, perusahaan memiliki 400.000 pegawai, dan batas antara kekacauan inovasi dan kekacauan itu sendiri sangat tipis. Dua, perusahaan memiliki lima ekosistem dan 10 sektor tambahan -- kesehatan, asuransi, real estat, kota cerdas. Sangat sulit untuk mengaplikasikan inovasi bawah-atas ke semuanya. Tapi perusahaan masih harus berinovasi.
Ma Mingzhe, the founder, positions the headquarters as the steering wheel. Steering innovations and new ideas, cascading them down to its subsidiaries. One of the ideas that headquarters came up with is AI-enabled loss assessment. For a not-so-complicated case, the car owner can take a picture of the damaged car, upload it online. The insurance center can decide a claim amount right away by AI-enabled loss assessment. Facial recognition, ID verification. The car owner can get a payment in a few minutes, which could have taken a few days. So, for companies that [find it] difficult to conduct grassroots innovation, a centralized approach is also an option.
Ma Mingzhe, pendirinya, memosisikan kantor pusat sebagai setir. Menyetir inovasi dan ide-ide baru, menyalurkannya ke anak-anak perusahaan. Satu dari ide yang diusulkan kantor pusat adalah penilaian kerugian berbasis kecerdasan buatan. Secara sederhana, pemilik mobil dapat memfoto kerusakan mobil, mengunggahnya secara daring. Pusat asuransi memutuskan jumlah klaim saat itu juga dengan memanfaatkan penilaian kerugian berbasis kecerdasan buatan. Pengenalan wajah, verifikasi data diri. Pemilik mobil mendapat uang klaim dalam beberapa menit, yang biasanya bisa berhari-hari. Jadi, bagi perusahaan yang kesulitan mengadakan inovasi akar rumput, pendekatan terpusat juga pilihan.
The more I see these unconventional management mechanisms -- Gāo with two hats, Qu with the signature program and Ma with the steering wheel -- the more I ponder where do these mechanisms come from. They're definitely not Confucian. They are very similar to another Asian school of thought, Taoism.
Semakin saya mengamati mekanisme manajemen inkonvensional ini -- Gāo dengan dua-kepala, Qu dengan Signature Program dan Ma dengan setir -- semakin saya berpikir dari mana mekanisme ini datang. Pasti bukan dari Konfusianisme. Mekanisme itu sangat mirip dengan ajaran sekolah Asia lainnya, Taoisme.
Confucianism believes the way to achieve perfection is to organize and regulate things. But Taoism believes in letting things work to their perfection naturally, to support their natural state and to let them transform spontaneously. In other words, leaders should not impose their will. Leaders should act by shaping the context rather than control. Confucianism works best in winning a stable context, whereas Taoism, with its power to shape the context, is more effective in dealing with uncertainty. A leader is best when people barely know he exists. When work is done, people say, "We did it ourselves."
Konfusianisme percaya cara mencapai kesempurnaan adalah dengan menata dan mengatur. Namun Taoisme percaya pada membiarkan hal mengalir ke kesempurnaan secara alami, untuk mendukung sifat dasar alaminya dan untuk membiarkannya terbentuk secara spontan. Dalam kata lain, pemimpin tidak memaksakan kehendak. Pemimpin harus bertindak dengan membentuk konteks daripada kontrol. Konfusianisme sesuai untuk memenangkan konteks stabil, namun Taoisme, dengan kekuatan membentuk konteks, lebih efektif dalam menghadapi ketidakpastian. Pemimpin terbaik adalah ketika keberadaannya tak disadari. Saat pekerjaan selesai, orang berkata, "Kita melakukannya sendiri."
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)