Imagine a distant future when humans reach beyond our pale blue dot, forge cities on planets thousands of light-years away, and maintain a galactic web of trade and transport. What would it take for our civilization to make that leap? There are many things to consider— how would we communicate? What might a galactic government look like? And one of the most fundamental of all: where would we get enough energy to power that civilization— its industry, its terraforming operations, and its starships?
Bayangkan masa depan di mana manusia menjangkau ke luar titik biru pucat kita, menciptakan kota-kota di planet ribuan tahun cahaya jauhnya, dan memiliki jaringan perdagangan serta transportasi antar-galaksi. Apa yang dibutuhkan agar peradaban kita dapat membuat lompatan tersebut? Ada banyak pertimbangan— bagaimana cara kita berkomunikasi? Seperti apakah bentuk pemerintahan galaksi? Dan satu hal yang paling mendasar adalah: darimana kita mendapat energi yang cukup untuk menopang peradaban itu— industri, proses teraformasi, dan pesawat luar angkasanya?
An astronomer named Nikolai Kardashev proposed a scale to quantify an evolving civilization’s increasing energy needs. In the first evolutionary stage, which we’re currently in, planet-based fuel sources like fossil fuels, solar panels and nuclear power plants are probably enough to settle other planets inside our own solar system, but not much beyond that. For a civilization on the third and final stage, expansion on a galactic scale would require about 100 billion times more energy than the full 385 yotta joules our sun releases every second. Barring a breakthrough in exotic physics, there’s only one energy source that could suffice: a supermassive black hole.
Seorang ahli astronomi bernama Nikolai Kardashev mengusulkan sebuah skala untuk mengukur kebutuhan energi dari sebuah peradaban yang berkembang. Dalam tahap pertama evolusi, seperti yang kita alami saat ini, sumber bahan bakar berbasis planet seperti bahan bakar fosil, panel surya dan pembangkit listrik tenaga nuklir mungkin cukup untuk menopang planet-planet lain dalam tata surya kita, tetapi lebih dari itu tidak. Untuk peradaban dalam tahap tiga dan tahap akhir, perluasan ke skala galaksi membutuhkan energi sekitar 100 milyar kali lebih banyak dari 385 Yotta joule energi yang matahari kita lepaskan tiap detik. Kecuali ada terobosan dalam fisika yang eksotis, hanya ada satu sumber energi yang memadai: Lubang hitam super masif.
It’s counterintuitive to think of black holes as energy sources, but that’s exactly what they are, thanks to their accretion disks: circular, flat structures formed by matter falling into the event horizon.
Ide lubang hitam sebagai sumber energi berlawanan dengan intuisi, tetapi lubang hitam memang seperti itu, berkat piringan-piringan akresinya: struktur bundar pipih yang terbentuk oleh zat yang jatuh ke horizon peristiwa.
Because of conservation of angular momentum, particles there don’t just plummet straight into the black hole. Instead, they slowly spiral. Due to the intense gravitational field of the black hole, these particles convert their potential energy to kinetic energy as they inch closer to the event horizon. Particle interactions allow for this kinetic energy to be radiated out into space at an astonishing matter-to-energy efficiency: 6% for non-rotating black holes, and up to 32% for rotating ones. This drastically outshines nuclear fission, currently the most efficient widely available mechanism to extract energy from mass. Fission converts just 0.08% of a Uranium atom into energy.
Karena adanya konservasi momentum sudut, partikel-partikel tidak langsung jatuh ke dalam lubang hitam. Sebaliknya, mereka perlahan berpilin. Karena adanya medan gravitasi lubang hitam yang kuat, partikel-partikel ini merubah energi potensialnya menjadi energi kinetik seiring mendekatnya mereka ke horizon peristiwa. Interaksi antar partikel membuat energi kinetik ini terpancar hingga ke angkasa dalam efisiensi energi yang mencengangkan: 6% untuk lubang hitam tak berputar, dan hingga 32% untuk yang berputar. Hal ini secara drastis mengalahkan fisi nuklir, yang saat ini merupakan mekanisme paling efisien yang tersedia luas untuk mengekstrak energi dari massa. Fisi hanya mengubah 0,08% atom Uranium menjadi energi.
The key to harnessing this power may lie in a structure devised by physicist Freeman Dyson, known as the Dyson sphere. In the 1960s, Dyson proposed that an advanced planetary civilization could engineer an artificial sphere around their main star, capturing all of its radiated energy to satisfy their needs. A similar, though vastly more complicated design could theoretically be applied to black holes. In order to produce energy, black holes need to be continuously fed— so we wouldn’t want to fully cover it with a sphere. Even if we did, the plasma jets that shoot from the poles of many supermassive black holes would blow any structure in their way to smithereens.
Kunci dalam memanfaatkan kekuatan ini mungkin terletak dalam sebuah struktur yang ditemukan oleh fisikawan Freeman Dyson, yang disebut Bola Dyson. Tahun 1960an, Dyson mengemukakan bahwa sebuah peradaban planet yang maju dapat merekayasa sebuah bola artifisial di sekeliling bintang utamanya, untuk menangkap energi yang terpancar guna memenuhi kebutuhan planet tersebut. Sebuah desain yang mirip, meskipun lebih rumit, secara teoretis dapat diaplikasikan ke lubang hitam. Agar menghasilkan energi, lubang hitam perlu terus diberi makan— agar kita tidak menutup keseluruhan bolanya. Bahkan jika kita menutupnya, plasma jet yang terpancar dari kutub-kutub lubang-lubang hitam super masif akan meledakkan struktur apapun dihadapannya hingga berkeping-keping.
So instead, we might design a sort of Dyson ring, made of massive, remotely controlled collectors. They’d swarm in an orbit around a black hole, perhaps on the plane of its accretion disk, but farther out. These devices could use mirror-like panels to transmit the collected energy to a powerplant, or a battery for storage. We’d need to ensure that these collectors are built at just the right radius: too close and they’d melt from the radiated energy. Too far, and they’d only collect a tiny fraction of the available energy and might be disrupted by stars orbiting the black hole. We would likely need several Earths worth of highly reflective material like hematite to construct the full system— plus a few more dismantled planets to make a legion of construction robots. Once built, the Dyson ring would be a technological masterpiece, powering a civilization spread across every arm of a galaxy.
Jadi, kita dapat merancang semacam cincin Dyson, yang terbuat dari kolektor-kolektor masif yang dikendalikan dari jauh. Cincin akan melayang di sebuah orbit di sekeliling lubang hitam, mungkin di atas bidang piringan akresi, tetapi lebih jauh. Alat-alat ini dapat menggunakan panel-panel seperti cermin untuk menghantarkan energi yang terkumpul ke sebuah pembangkit, atau baterai untuk penyimpanan. Kita perlu memastikan bahwa kolektor dibangun dalam radius yang tepat. Jika terlalu dekat, kolektor akan meleleh akibat pancaran energi. Jika terlalu jauh, hanya sedikit energi yang akan terkumpul dan mungkin akan terganggu oleh bintang yang mengelilingi lubang hitam. Kita akan membutuhkan beberapa material bumi yang sangat reflektif seperti hematit untuk membangun keseluruhan sistem— ditambah beberapa planet yang dihancurkan untuk membuat pasukan robot konstruksi. Saat sudah jadi, Cincin Dyson akan menjadi sebuah mahakarya teknologi, yang menopang peradaban yang tersebar di antero galaksi.
This all may seem like wild speculation. But even now, in our current energy crisis, we’re confronted by the limited resources of our planet. New ways of sustainable energy production will always be needed, especially as humanity works towards the survival and technological progress of our species. Perhaps there’s already a civilization out there that has conquered these astronomical giants. We may even be able to tell by seeing the light from their black hole periodically dim as pieces of the Dyson ring pass between us and them. Or maybe these superstructures are fated to remain in the realm of theory. Only time— and our scientific ingenuity— will tell.
Semuanya mungkin terlihat seperti spekulasi yang liar. Namun sekarang pun, dalam kondisi krisis energi saat ini, kita dihadapkan dengan sumber daya planet kita yang terbatas. Cara-cara baru dalam memproduksi energi berkelanjutan akan selalu dibutuhkan, terlebih saat manusia sedang fokus ke arah kelangsungan hidup dan kemajuan teknologi spesies kita. Mungkin sudah ada sebuah peradaban di luar sana yang telah menaklukkan raksasa-raksasa astronomis ini. Bahkan kita mungkin dapat mengetahuinya lewat cahaya dari lubang hitam mereka yang redup secara berkala seiring bagian-bagian cincin Dyson lewat di antara kita dan mereka. Atau mungkin struktur-struktur super ini ditakdirkan untuk tetap menjadi teori. Hanya waktu dan kecerdasan ilmiah kita yang akan membuktikannya.