So in 2011, I altered my name so that I could participate in Far Right youth camp in Hungary. I was doing a PhD looking at youth political socialization -- why young people were developing political ideologies in a post-communist setting, and I saw that a lot of young people I was talking to were joining the Far Right, and this was astounding to me. So I wanted to enroll in this youth camp to get a better understanding of why people were joining.
Pada tahun 2011 saya mengubah nama saya agar saya bisa mengikuti kamp pemuda golongan kanan di Hungaria. Saat itu saya menjalani program doktor di bidang sosialisasi politik pemuda - mengapa pemuda mengembangkan ideologi politik di era pasca komunisme. Saya melihat banyak pemuda yang berbicara dengan saya bergabung dengan golongan kanan dan saya terkejut. Maka saya ingin bergabung ke kamp pemuda tersebut agar bisa memahami mengapa orang-orang bergabung.
So a colleague enrolled me, and my last name sounds a little bit too Jewish. So Erin got turned into Iréna, and Saltman got turned into Sós, which means "salty" in Hungarian. And in Hungarian, your last name goes first, so my James Bond name turned into "Salty Irena," which is not something I would have naturally chosen for myself.
Seorang rekan mendaftarkan saya dan nama marga saya terdengar terlalu Yahudi. Sehingga Erin diganti Iréna dan Saltman diganti Sós yang berarti "salty" (asin) dalam bahasa Hungaria. Dan di Hungaria, nama marga terletak di awal, jadi nama samaran saya menjadi "Salty Irena", nama yang tidak akan saya pilih jika memungkinkan.
But going to this camp, I was further shocked to realize that it was actually really fun. They talked very little about politics. It was mostly learning how to ride horses, shooting a bow and arrow, live music at night, free food and alcohol, also some air-gun target practice using mainstream politicians' faces as targets. And this seemed like a very, actually, friendly, inclusive group until you started talking or mentioning anything to do with the Roma population, Jewish people or immigrants, and then the discourse would become very hate-based very quickly.
Tapi berada di kamp ini, saya terkejut saat menyadari ternyata berada di sana sangatlah menyenangkan. Mereka sangat jarang bicara soal politik. Kebanyakan tentang bagaimana menunggang kuda, memanah, mendengar musik secara langsung di malam hari, makanan dan alkohol gratis, latihan menembak dengan senapan angin menggunakan wajah-wajah politisi sebagai sasarannya. Dan rasanya seperti berada dalam kelompok yang akrab dan bersahabat sampai dimulainya pembicaraan tentang bagaimana menangani orang-orang Gipsi, orang Yahudi atau imigran. Dan pembahasannya segera berubah menjadi penuh kebencian.
So it led me into my work now, where we pose the question, "Why do people join violent extremist movements, and how do we effectively counter these processes?" In the aftermath of horrible atrocities and attacks in places like Belgium, France, but all over the world, sometimes it's easier for us to think, "Well, these must be sociopaths, these must be naturally violent individuals. They must have something wrong with their upbringing." And what's really tragic is that oftentimes there's no one profile. Many people come from educated backgrounds, different socioeconomic backgrounds, men and women, different ages, some with families, some single. So why? What is this allure? And this is what I want to talk you through, as well as how do we challenge this in a modern era?
Hal itu menginspirasi pekerjaan saya sekarang, yang mencari tahu, "Mengapa orang bergabung dalam gerakan ekstremisme dengan kekerasan dan bagaimana cara mengatasinya dengan efektif?" Setelah terjadinya tindak kekejaman dan serangan seperti di Belgia, Prancis, di berbagai tempat di seluruh dunia terkadang lebih mudah untuk berpikir, "Orang-orang ini pasti sosiopat yang pada dasarnya memang orang-orang bengis. Pasti ada yang salah dengan masa kecil mereka." Dan yang paling tragis profil mereka sangat tidak seragam. Banyak yang latar belakangnya terpelajar, sosial ekonominya berbeda-beda, pria-wanita, tua-muda, beberapa sudah berkeluarga, sebagian belum. Jadi, apa sebenarnya daya tariknya? Dan ini yang saya ingin jelaskan pada Anda termasuk cara kita melawannya di era modern ini.
We do know, through research, that there are quite a number of different things that affect somebody's process of radicalization, and we categorize these into push and pull factors. And these are pretty much similar for Far Right, neo-Nazi groups all the way to Islamist extremist and terrorist groups. And push factors are basically what makes you vulnerable to a process of radicalization, to joining a violent extremist group. And these can be a lot of different things, but roughly, a sense of alienation, a sense of isolation, questioning your own identity, but also feeling that your in-group is under attack, and your in group might be based on a nationality or an ethnicity or a religion, and feeling that larger powers around you are doing nothing to help.
Kita tahu berdasarkan riset ada cukup banyak faktor yang mempengaruhi proses radikalisasi seseorang, dan kita mengkategorikannya menjadi faktor pendorong dan penarik. Semua faktor-faktor ini ada di kelompok golongan kanan, neo-Nazi sampai dengan ekstremis Islam dan kelompok teroris. Faktor pendorong adalah hal yang membuat Anda rentan terhadap proses radikalisasi untuk bergabung dengan kelompok ekstremis. Contohnya bisa bermacam-macam, misalnya perasaan terasingkan, perasaan terkucilkan, meragukan identitas diri sendiri, tapi juga perasaan bahwa golongan Anda tengah diserang dan golongan Anda mungkin berdasarkan kewarganegaraan atau etnis atau agama dan perasaan bahwa kekuatan-kekuatan besar di sekeliling Anda diam saja.
Now, push factors alone do not make you a violent extremist, because if that were the fact, those same factors would go towards a group like the Roma population, and they're not a violently mobilized group. So we have to look at the pull factors. What are these violent extremist organizations offering that other groups are not offering? And actually, this is usually very positive things, very seemingly empowering things, such as brotherhood and sisterhood and a sense of belonging, as well as giving somebody a spiritual purpose, a divine purpose to build a utopian society if their goals can be met, but also a sense of empowerment and adventure.
Faktor pendorong saja tidak cukup membuat Anda menjadi ekstremis berbahaya, karena jika demikian halnya mak faktor itu akan berakibat sama bagi orang-orang Gipsi, padahal mereka bukan kelompok kekerasan. Jadi kita juga harus melihat faktor penariknya. Apa sebenarnya tawaran dari kelompok- kelompok ekstremis ini yang tidak ditawarkan kelompok lain? Dan biasanya itu hal-hal yang sangat positif, terlihat seperti memberdayakan, seperti ikatan persaudaraan, rasa dimiliki dan memiliki, serta memberikan tujuan spiritual, tujuan mulia untuk mewujudkan masyarakat utopis jika tujuan mereka tercapai. Tetapi juga rasa keberdayaan dan petualangan.
When we look at foreign terrorist fighters, we see young men with the wind in their hair out in the desert and women going to join them to have nuptials out in the sunset. It's very romantic, and you become a hero. For both men and women, that's the propaganda being given. So what extremist groups are very good at is taking a very complicated, confusing, nuanced world and simplifying that world into black and white, good and evil. And you become what is good, challenging what is evil.
Ketika kita melihat pasukan teroris asing, kita melihat pemuda dengan rambut terkibas angin berada di gurun pasir dan para wanita menghampiri mereka untuk menikah kala matahari terbenam. Sangat romantis dan Anda menjadi pahlawan. Bagi pria dan wanita, itulah propaganda yang diberikan. Jadi yang dilakukan sangat baik oleh kelompok ekstremis adalah mentransformasikan dunia nyata yang rumit, membingungkan, dan ambigu dan menyederhanakannya menjadi hitam dan putih baik dan buruk. Dan Anda menjadi pihak yang baik memerangi pihak yang jahat.
So I want to talk a little bit about ISIS, Daesh, because they have been a game changer in how we look at these processes, and through a lot of the material and their tactics. They're very much a modern movement. One of the aspects is the internet and the usage of social media, as we've all seen in headlines tweeting and videos of beheadings. But the internet alone does not radicalize you. The internet is a tool. You don't go online shopping for shoes and accidentally become a jihadist. However, what the Internet does do is it is a catalyst.
Jadi saya ingin sedikit berbicara tentang ISIS, Daesh karena mereka telah mempelopori perubahan dalam proses ini melalui bahan-bahan dan taktik mereka. Mereka adalah gerakan modern. Salah satu aspeknya adalah internet dan penggunaan sosial media, seperti yang kita lihat di twitter dan video-video pemenggalan kepala. Tapi internet saja tidak cukup untuk meradikalisasi. Internet adalah alat. Anda tidak belanja sepatu secara daring dan tanpa sadar menjadi jihadis Peran yang dimainkan internet ialah sebagai katalisator.
It provides tools and scale and rapidity that doesn't exist elsewhere. And with ISIS, all of a sudden, this idea of a cloaked, dark figure of a jihadist changed for us. All of a sudden, we were in their kitchens. We saw what they were eating for dinner. They were tweeting. We had foreign terrorist fighters tweeting in their own languages. We had women going out there talking about their wedding day, about the births of their children. We had gaming culture, all of a sudden, and references to Grand Theft Auto being made.
Ia menjadi alat penyebaran dengan skala dan kecepatan yang tidak tersedia di mana pun Dengan adanya ISIS, secara tiba-tiba gagasan tentang figur seorang jihadis yang gelap dan tertutup telah berubah. Tiba-tiba, kita berada di dapur mereka. Kita bisa lihat makan malam mereka. Mereka mengunggah tweet. Ada teroris asing yang mengunggah tweet dalam bahasa mereka. Ada wanita yang berbicara tentang hari pernikahan mereka, tentang kelahiran anak-anak mereka. Kita punya budaya dari permainan video dan tiba-tiba game Grand Theft Auto menjadi referensi.
So all of a sudden, they were homey. They became human. And the problem is that trying to counter it, lots of governments and social media companies just tried to censor. How do we get rid of terrorist content? And it became a cat-and-mouse game where we would see accounts taken down and they'd just come back up, and an arrogance around somebody having a 25th account and material that was disseminated everywhere.
Dalam seketika mereka tak terlihat asing. Mereka menjadi manusia. Masalahnya, dalam upaya untuk mengatasinya banyak pemerintah dan perusahaan sosial media hanya berusaha menyensor. Bagaimana cara menghilangkan konten teroris? Ini bak permainan kucing dan tikus yang menunjukkan penutupan sejumlah akun lalu muncul lagi yang baru dan arogansi orang yang memiliki 25 akun media sosial dan material yang disebarkan di mana-mana.
But we also saw a dangerous trend -- violent extremists know the rules and regulations of social media, too. So we would see a banal conversation with a recruiter start on a mainstream platform, and at the point at which that conversation was going to become illegal, they would jump to a smaller, less regulated, more encrypted platform. So all of a sudden, we couldn't track where that conversation went. So this is a problem with censorship, which is why we need to develop alternatives to censorship.
Tapi kita juga lihat tren yang berbahaya - para ekstremis ini juga tahu peraturan dan regulasi media sosial. Kita bisa melihat sebuah percakapan normal dengan seorang perekrut bermula di media arus utama dan ketika pembicaraannya mulai menjurus ilegal, mereka pindah ke media yang lebih kecil, sedikit diatur dan lebih terenkripsi. Sehingga, kita tidak bisa melacak pembicaraan mereka. Inilah masalah dari penyensoran dan inilah mengapa kita butuh mengembangkan alternatif selain sensor.
ISIS is also a game-changer because it's state-building. It's not just recruiting combatants; it's trying to build a state. And what that means is all of a sudden, your recruitment model is much more broad. You're not just trying to get fighters -- now you need architects, engineers, accountants, hackers and women. We've actually seen a huge increase of women going in the last 24, but especially 12 months. Some countries, one in four of the people going over to join are now women. And so, this really changes who we're trying to counter this process with.
ISIS juga menjadi pelopor karena mereka membangun negara. Mereka tidak sekadar merekrut pejuang, mereka mencoba membangun sebuah negara. Dan itu artinya dalam seketika model rekrutmennya menjadi lebih beragam. Mereka tidak hanya merekrut pejuang -- mereka kini butuh arsitek, insinyur, akuntan, peretas, dan wanita. Tren wanita untuk bergabung pun semakin meningkat pada 24 bulan terakhir, terlebih 12 bulan terakhir. Di beberapa negara, 1 dari 4 orang yang bergabung adalah wanita. Jadi, pihak dan proses yang kita coba lawan sudah sangat berubah.
Now, not all doom and gloom. So the rest I'd like to talk about some of the positive things and the new innovation in trying to prevent and counter violent extremism.
Tapi tidak semuanya buruk. Sisanya, saya akan berbicara tentang hal-hal baik dan inovasi baru dalam mencegah dan melawan ekstremisme dengan kekerasan.
Preventing is very different than countering, and actually, you can think of it in medical terms. So preventative medicine is, how do we make it so you are naturally resilient to this process of radicalization, whereas that is going to be different if somebody is already showing a symptom or a sign of belonging to a violent extremist ideology. And so in preventative measures, we're talking more about really broad groups of people and exposure to ideas to make them resilient. Whereas it's very different if somebody is starting to question and agree with certain things online, and it's also very different if somebody already has a swastika tattoo and is very much embedded within a group. How do you reach them?
Pencegahan sangatlah berbeda dengan perlawanan. Analoginya seperti istilah medik. Obat pencegahan berarti bagaimana membuat kita menjadi kebal secara alamiah dari proses radikalisasi seperti ini. Hal ini akan berbeda jika seseorang telah menunjukkan tanda-tanda meyakini suatu ideologi ekstrem dengan kekerasan. Jadi sebagai langkah pencegahan, bagaimana kita membuat kelompok-kelompok yang amat beragam memperoleh berbagai gagasan yang membuat mereka tidak terpengaruh. Dan akan sangat berbeda bagi seseorang yang mulai mempertanyakan dan menyetujui hal-hal daring dan juga sangat berbeda bagi seseorang yang telah bertato swastika dan telah merasa menjadi bagian suatu grup. Bagaimana menjangkau mereka?
So I'd like to go through three examples of each one of those levels and talk you through what some of the new ways of engaging with people are becoming.
Saya akan memberi tiga contoh untuk setiap level dan menjelaskan pada Anda tentang cara-cara baru pencegahan orang menjadi radikal.
One is "Extreme Dialogue," and it's an educational program that we helped develop. This one is from Canada, and it's meant to create dialogues within a classroom setting, using storytelling, because violent extremism can be very hard to try to explain, especially to younger individuals. So we have a network of former extremists and survivors of extremism that tell their stories through video and create question-giving to classrooms, to start a conversation about the topic.
Pertama "Dialog Ekstrem", sebuah program edukasi yang kami bantu kembangkan. Yang ini digunakan di Kanada dan ini ditujukan untuk menciptakan dialog di dalam kelas dengan cara mendongeng karena ekstremisme dengan kekerasan dapat sangat susah dijelaskan, terutama pada anak-anak. Jadi kami punya suatu jaringan mantan ekstremis dan penyintas ekstremisme yang bercerita melalui video dan menggugah pertanyaan bagi anak-anak di kelas untuk memancing diskusi tentang ekstremisme.
These two examples show Christianne, who lost her son, who radicalized and died fighting for ISIS, and Daniel is a former neo-Nazi who was an extremely violent neo-Nazi, and they pose questions about their lives and where they're at and regret, and force a classroom to have a dialogue around it.
Dua contoh ini adalah Christianne yang kehilangan anaknya, yang teradikalisasi dan mati sebagai prajurit ISIS dan Daniel yang adalah eks neo-Nazi yang dulu sangat penuh kekerasan. Mereka menceritakan kisah mereka, posisi saat ini dan penyesalan mereka dan memaksa para murid berdialog seputar hal itu.
Now, looking at that middle range of individuals, actually, we need a lot of civil society voices. How do you interact with people that are looking for information online, that are starting to toy with an ideology, that are doing those searching identity questions? How do we provide alternatives for that? And that's when we combine large groups of civil society voices with creatives, techies, app developers, artists, comedians, and we can create really specified content and actually, online, disseminate it to very strategic audiences. So one example would be creating a satirical video which makes fun of Islamophobia, and targeting it to 15- to 20-year-olds online that have an interest in white power music and live specifically in Manchester.
Melihat kisaran tengah dari para individu, sebenarnya kita butuh banyak suara masyarakat sipil. Bagaimana Anda berinteraksi dengan pencari informasi di internet yang mulai bermain dengan ideologi, yang bertanya-tanya tentang jati diri mereka? Bagaimana kita dapat memberi alternatif lain? Itulah saat kita menggabungkan suara masyarakat sipil dengan orang-orang kreatif, ahli teknologi, pengembang aplikasi, seniman, pelawak dan kita dapat membuat konten yang sangat spesifik dan menyebarkannya secara daring ke target penonton spesifik yang telah ditentukan. Satu contoh adalah membuat video satir yang menertawakan Islamophobia dan menargetkannya kepada anak usia 15-20 tahun yang tertarik pada musik barat dan yang tinggal di Manchester.
We can use these marketing tools to be very specific, so that we know when somebody's viewing, watching and engaging with that content, it's not just the average person, it's not me or you -- it's a very specific audience that we are looking to engage with.
Alat pemasaran ini dapat digunakan secara sangat spesifik sehingga kita tahu ketika ada yang melihat, menonton dan tertarik dengan konten itu, dia bukan sekedar orang biasa, bukan saya atau Anda -- dia adalah penonton yang sangat spesifik yang kita targetkan.
Even more downstream, we developed a pilot program called "One to One," where we took former extremists and we had them reach out directly to a group of labeled neofascists as well as Islamist extremists, and put direct messages through Facebook Messenger into their inbox, saying, "Hey, I see where you're going. I've been there. If you want to talk, I'm here." Now, we kind of expected death threats from this sort of interaction. It's a little alarming to have a former neo-Nazi say, "Hey, how are you?" But actually, we found that around 60 percent of the people reached out to responded, and of that, around another 60 percent had sustained engagement, meaning that they were having conversations with the hardest people to reach about what they were going through, planting seeds of doubt and giving them alternatives for talking about these subjects, and that's really important.
Lebih jauh lagi, kami mengembangkan sebuah program percontohan "One to One," mantan ekstremis kami ajak untuk menjangkau secara langsung suatu kelompok neofasis dan juga ekstremis Islam dan mengirim pesan langsung melalui Facebook ke kotak masuk mereka berbunyi, "Hai, saya tahu Anda mau apa. Dulu saya juga begitu. Saya di sini, jika butuh teman bicara." Kita mengira mendapati ancaman mati dari interaksi semacam ini. Cukup menakutkan jika mantan neo-Nazi berkata, "Hai, bagaimana kabar Anda?" Tapi kami menemukan bahwa sekitar 60 persen dari orang yang dikirimi pesan memberi tanggapan dan dari jumlah tersebut, sekitar 60 persennya masih terus terlibat. Artinya, mereka berbincang dengan orang yang paling sulit dijangkau mengenai apa yang sedang mereka alami, menanamkan benih keraguan dan memberi mereka alternatif tentang hal ini dan ini sangatlah penting.
So what we're trying to do is actually bring unlikely sectors to the table. We have amazing activists all over the world, but oftentimes, their messages are not strategic or they don't actually reach the audiences they want to reach. So we work with networks of former extremists. We work with networks of young people in different parts of the world. And we work with them to bring the tech sector to the table with artists and creatives and marketing expertise so that we can actually have a more robust and challenging of extremism that works together.
Jadi, apa yang kami coba lakukan adalah mengajak sektor-sektor yang tak terduga untuk berperan. Kami punya aktivis luar biasa di seluruh dunia, tapi seringkali, pesan mereka tidak strategis atau mereka tidak menjangkau orang yang ingin mereka jangkau. Kami bekerja sama dengan jaringan mantan ekstremis. Kami bekerja sama dengan jaringan anak muda di berbagai belahan dunia. Dan kami berkerja sama dengan mereka untuk mengajak ahli teknologi, seniman, orang-orang kreatif, dan ahli pemasaran sehingga kita memiliki penantang gagasan ekstremisme yang lebih kuat yang saling berkerja sama.
So I would say that if you are in the audience and you happen to be a graphic designer, a poet, a marketing expert, somebody that works in PR, a comedian -- you might not think that this is your sector, but actually, the skills that you have right now might be exactly what is needed to help challenge extremism effectively.
Jika Anda sedang menonton saya dan Anda seorang desainer grafis, penyair, pakar pemasaran, bekerja di bidang hubungan masyarakat, seorang pelawak -- Anda mungkin merasa ini bukan sektor Anda, tapi sebenarnya kemampuan yang Anda miliki saat ini mungkin itulah yang dibutuhkan saat ini untuk membantu melawan ekstremisme secara efektif.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)