I will always remember the first time I met the girl in the blue uniform. I was eight at the time, living in the village with my grandmother, who was raising me and other children. Famine had hit my country of Zimbabwe, and we just didn't have enough to eat. We were hungry. And that's when the girl in the blue uniform came to my village with the United Nations to feed the children.
Saya akan selalu ingat pertama kali saya bertemu dengan gadis berseragam biru. Saat itu saya berusia delapan tahun, tinggal di desa bersama nenek saya, yang membesarkan saya dan anak lainnya. Kelaparan melanda negara saya, Zimbabwe, dan kami tak punya cukup makanan. Kami lapar. Dan saat itulah gadis berseragam biru itu datang ke desa saya bersama PBB untuk memberi makan anak-anak.
As she handed me my porridge, I asked her why she was there, and without hesitation, she said, "As Africans, we must uplift all the people of Africa." I had absolutely no idea what she meant.
Ketika ia memberikan bubur pada saya, saya bertanya mengapa ia berada di sana, dan tanpa keraguan, ia berkata, "Sebagai orang Afrika, kita harus mengangkat harkat semua orang Afrika." Saya sungguh tak mengerti maksudnya.
(Laughter)
(Tawa)
But her words stuck with me.
Tapi saya tak pernah lupa perkataannya.
Two years later, famine hit my country for the second time. My grandmother had no choice but to send me to the city to live with an aunt I had never met before. So at the age of 10, I found myself in school for the very first time. And there, at the city school, I would experience what it was to be unequal. You see, in the village, we were all equal. But in the eyes and the minds of the other kids, I was not their equal. I couldn't speak English, and I was way behind in terms of reading and writing. But this feeling of inequality would get even more complex. Every school holiday spent back in the village with my grandmother made me consciously aware of the inequalities this incredible opportunity had created within my own family. Suddenly, I had much more than the rest of my village. And in their eyes, I was no longer their equal.
Dua tahun kemudian, kelaparan melanda negara saya untuk kedua kalinya. Nenek saya tak punya pilihan selain mengirim saya ke kota untuk tinggal bersama bibi yang tak pernah saya temui. Sehingga di usia 10 tahun, saya bersekolah untuk pertama kalinya. Dan di sana, di sekolah kota, saya mengalami apa artinya tidak setara. Anda tahu, di desa, kami semua setara. Tetapi di mata dan pikiran anak-anak lainnya, saya tak setara dengan mereka. Saya tak bisa berbahasa Inggris, dan saya tertinggal jauh dalam baca tulis. Namun perasaan tidak setara ini menjadi lebih rumit lagi. Setiap liburan sekolah yang saya habiskan di desa bersama nenek saya membuka mata saya akan ketidak-setaraan yang tercipta dari kesempatan yang luar biasa ini di dalam keluarga saya sendiri. Tiba-tiba, saya memiliki sesuatu yang lebih daripada orang lain di desa. Dan di mata mereka, saya tak lagi setara.
I felt guilty. But I thought about the girl in the blue uniform, and I remember thinking, "That's who I want to be -- someone like her, someone who uplifts other people." This childhood experience led me to the United Nations, and to my current role with UN Women, where we are addressing one of the greatest inequalities that affects more than half of the world's population -- women and girls.
Saya merasa bersalah. Namun saya teringat akan gadis berseragam biru, dan saya ingat berpikir, "Saya ingin menjadi dia -- seseorang seperti dia, seseorang yang mengangkat harkat orang lain." Pengalaman masa kecil ini menuntun saya ke PBB, dan pada peran saya saat ini di UN Women, di mana kami menangani salah satu masalah ketidak-setaraan terbesar yang mempengaruhi lebih dari separuh populasi dunia -- wanita dan anak-anak perempuan.
Today, I want to share with you a simple idea that seeks to uplift all of us together. Eight months ago, under the visionary leadership of Phumzile Mlambo-Ngcuka, head of UN Women, we launched a groundbreaking initiative called HeForShe, inviting men and boys from around the world to stand in solidarity with each other and with women, to create a shared vision for gender equality. This is an invitation for those who believe in equality for women and men, and those who don't yet know that they believe.
Hari ini, saya ingin berbagi sebuah ide sederhana untuk mengangkat harkat kita bersama. Delapan bulan yang lalu, di bawah kepemimpinan visioner Phumzile Mlambo-Ngcuka, kepala UN Women, kami meluncurkan sebuah inisiatif baru bernama HeForShe, mengundang para pria dan anak laki-laki di seluruh dunia untuk membangun solidaritas dengan sesama dan juga dengan perempuan, menciptakan visi bersama untuk kesetaraan gender. Ini adalah ajakan bagi mereka yang percaya akan kesetaraan antara wanita dan pria, dan juga bagi yang belum tahu bahwa mereka juga meyakininya.
The initiative is based on a simple idea: that what we share is much more powerful than what divides us. We all feel the same things. We all want the same things, even when those things sometimes remain unspoken. HeForShe is about uplifting all of us, women and men together. It's moving us towards an inflection point for gender equality.
Inisiatif itu didasarkan pada ide sederhana: bahwa yang kita miliki bersama jauh lebih kuat daripada yang memisahkan kita. Kita semua merasakan hal yang sama. Kita semua menginginkan hal yang sama, bahkan ketika hal itu kadang tak diucapkan. HeForShe bekerja untuk mengangkat harkat kita semua, wanita dan pria bersama-sama. Ia mengarahkan kita pada titik balik kesetaraan gender.
Imagine a blank page with one horizontal line splitting it in half. Now imagine that women are represented here, and men are represented here. In our current population, HeForShe is about moving the 3.2 billion men, one man at a time, across that line, so that ultimately, men can stand alongside women and be on the right side of history, making gender equality a reality in the 21st century.
Bayangkan selembar kertas kosong dengan sebuah garis horizontal yang membagi kertas menjadi dua. Sekarang bayangkan wanita digambarkan di sini, dan pria digambarkan di sini. Dalam populasi kita saat ini, HeForShe bertujuan menggerakkan 3,2 milyar pria, satu per satu, melintasi garis tersebut, sehingga pada akhirnya, pria dapat berdiri di samping wanita, dan berada pada sisi yang benar dalam sejarah, menjadikan kesetaraan gender sebuah kenyataan di abad ke-21.
However, engaging men in the movement would prove quite controversial. Why invite men? They are the problem.
Bagaimana pun, melibatkan pria pada per- gerakan ini ternyata cukup kontroversial. Mengapa harus melibatkan pria? Merekalah masalahnya.
(Laughter)
(Tawa)
In fact, men don't care, we were told.
Kenyataannya, pria tidak peduli, katanya.
But something incredible happened when we launched HeForShe. In just three days, more than 100,000 men had signed up and committed to be agents of change for equality. Within that first week, at least one man in every single country in the world stood up to be counted, and within that same week, HeForShe created more than 1.2 billion conversations on social media. And that's when the emails started pouring in, sometimes as many as a thousand a day. We heard from a man out of Zimbabwe, who, after hearing about HeForShe, created a "husband school."
Namun sesuatu yang luar biasa terjadi ketika kami meluncurkan HeForShe. Hanya dalam tiga hari, lebih dari 100.000 pria mendaftarkan diri dan berkomitmen menjadi agen perubahan untuk kesetaraan. Dalam seminggu pertama, sedikitnya ada satu pria di setiap negara di dunia yang mengajukan diri untuk bergabung, dan dalam minggu yang sama, HeForShe menumbuhkan lebih dari 1,2 milyar percakapan di media sosial. Ketika itulah, kami mulai kebanjiran e-mail, kadang sampai seribu e-mail sehari. Kami mendengar dari seorang pria di luar Zimbabwe, yang setelah mendengar tentang HeForShe, mendirikan "sekolah suami."
(Laughter)
(Tawa)
He literally went around his village, hand-picking all of the men that were abusive to their partners, and committed to turn them into better husbands and fathers. In Pune, India, a youth advocate organized an innovative bicycle rally, mobilizing 700 cyclists to share the HeForShe messages within their own community.
Ia benar-benar berkeliling desa, memilih semua pria yang kasar terhadap pasangannya, dan berkomitmen untuk mengubah mereka menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Di Pune, India, seorang advokat muda mengadakan perlombaan sepeda inovatif, mengerahkan 700 pengendara sepeda untuk menyebarkan pesan HeForShe di komunitas mereka.
In another impact story, a man sent a very personal note of something that had happened in his own community. He wrote, "Dear Madam, I have lived all of my life next door to a man who continuously beats up his wife. Two weeks ago, I was listening to my radio, and your voice came on, and you spoke about something called the HeForShe, and the need for men to play their role. Within a few hours, I heard the woman cry again next door, but for the first time, I didn't just sit there. I felt compelled to do something, so I went over and I confronted the husband. Madam, it has been two weeks, and the woman has not cried since. Thank you for giving me a voice."
Kisah lainnya, seorang pria mengirim sebuah pesan pribadi tentang sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Ia menulis, "Ibu yang terhormat, saya menjalani seumur hidup saya di sebelah rumah seorang pria yang selalu memukili istrinya. Dua minggu yang lalu, saya sedang mendengarkan radio, dan suara Anda muncul, dan Anda bicara tentang sesuatu yang disebut HeForShe, dan perlunya pria untuk melakukan peran kami. Beberapa jam setelah itu, saya mendengar wanita di sebelah rumah menangis lagi, namun untuk pertama kalinya, saya tidak hanya duduk diam. Saya merasa terdorong untuk melakukan sesuatu, jadi saya datang dan menantang suaminya. Sudah dua minggu berlalu, dan wanita itu tak lagi menangis. Terima kasih telah memberiku dorongan.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Personal impact stories such as these show that we are tapping into something within men, but getting to a world where women and men are equal is not just a matter of bringing men to the cause. We want concrete, systematic, structural change that can equalize the political, economic and social realities for women and men. We are asking men to make concrete actions, calling them to intervene at a personal level, to change their behavior. We are calling upon governments, businesses, universities, to change their policies. We want male leaders to become role models and change agents within their own institutions.
Cerita pribadi yang berdampak seperti ini menunjukkan bahwa kami mengetuk nurani pria, namun mewujudkan sebuah dunia di mana wanita dan pria adalah setara bukan hanya soal mengajak pria kepada akar permasalahannya. Kami ingin perubahan konkret, sistematis, dan terstruktur, yang mampu menyetarakan realitas politik, ekonomi, dan sosial antara wanita dan pria. Kami meminta pria untuk mengambil tindakan konkret, menghimbau mereka untuk campur tangan hingga ke taraf personal, untuk mengubah perilaku mereka, Kami menghimbau pemerintah, bisnis, dan universitas, untuk mengubah kebijakan mereka. Kami ingin pemimpin pria menjadi panutan dan agen perubahan dalam institusi mereka.
Already, a number of prominent men and leaders have stepped up and made some concrete HeForShe commitments. In a few early success stories, a leading French hospitality company, Accor, has committed to eliminate the pay gap for all of its 180,000 employees by 2020.
Sudah ada beberapa pemimpin pria dan orang terkemuka yang maju dan membuat komitmen HeForShe yang konkret. Dalam beberapa kisah awal yang berhasil sebuah perusahaan perhotelan terdepan di Perancis, Accord, berkomitmen untuk menghapus perbedaan upah bagi keseluruhan 180.000 pegawainya hingga tahun 2020.
(Applause)
(Tepuk tangan)
The government of Sweden, under its current feminist government, has committed to close both the employment and the pay gap for all of its citizens within the current electoral term. In Japan, the University of Nagoya is building, as part of their HeForShe commitments, what will become one of Japan's leading gender-research centers.
Pemerintah Swedia, di bawah pemerintahan feminis saat ini, telah berkomitmen untuk menghapus perbedaan kepegawaian dan perbedaan upah bagi seluruh rakyat Swedia, dalam masa pemerintahan saat ini. Di Jepang, sebagai bentuk komitmen HeForShe Universitas Nagoya sedang membangun yang nantinya akan menjadi salah satu pusat riset gender terdepan di Jepang.
Now, eight months later, a movement is building. We are seeing men sign up from every single walk of life, and from every single corner in the world, from the United Nations' own Secretary-General Ban Ki-moon to the Secretary-Generals of NATO and the EU Council, from the prime minister of Bhutan to the president of Sierra Leone.
Kini, delapan bulan kemudian, pergerakan sedang terjadi. Kita melihat pria bergerak di segala bidang kehidupan, dan dari seluruh penjuru dunia, dari Sekjen PBB Ban Ki-moon sampai Sekjen NATO dan Dewan Uni Eropa, dari Perdana Menteri Bhutan sampai Presiden Sierra Leone.
In Europe alone, all the male EU Commissioners and the members of Parliament of the Swedish and Iceland governments have signed up to be HeForShe. In fact, one in 20 men in Iceland has joined the movement. The rallying call of our passionate goodwill ambassador, Emma Watson, has garnered more than five billion media impressions, mobilizing hundreds and thousands of students around the world to create more than a hundred HeForShe student associations.
Di Eropa saja, seluruh Komisaris pria Uni Eropa dan anggota Parlemen Swedia dan Islandia telah mendaftar menjadi anggota HeForShe. Bahkan, satu dari 20 pria di Islandia telah bergabung dalam pergerakan ini. Ajakan tanpa lelah dari Duta Persahabatan kami yang penuh pengabdian, Emma Watson, telah menghasilkan lebih dari lima milyar tayangan media, menggerakan ratusan dan ribuan pelajar di seluruh dunia untuk mendirikan lebih dari seratus asosiasi pelajar HeForShe.
Now this is the beginning of the vision that HeForShe has for the world that we want to see. Einstein once said, "A human being is part of the whole ... but he experiences himself, his thoughts and feelings, as something separate from the rest ... This delusion is a kind of prison for us ... Our task must be to free ourselves from this prison by widening our circle of compassion."
Inilah awal dari visi HeForShe bagi dunia yang ingin kita lihat. Einstein pernah mengatakan, "Seorang manusia adalah bagian dari keseluruhan ... tapi pengalamannya sendiri, juga pemikiran dan perasaannya, adalah sesuatu yang terpisah dari yang lainnya .. Ilusi ini seperti penjara bagi kita ... Tugas kita harusnya adalah untuk membebaskan diri dari penjara ini dengan memperluas rasa belas kasih."
If women and men are part of a greater whole, as Einstein suggests, it is my hope that HeForShe can help free us to realize that it is not our gender that defines us, but ultimately, our shared humanity. HeForShe is tapping into women's and men's dreams, the dreams that we have for ourselves, and the dreams that we have for our families, our children, friends, communities.
Jika wanita dan pria adalah bagian dari kesatuan yang lebih besar, seperti yang dikatakan Einstein, adalah harapan saya bahwa HeForShe dapat membebaskan kita agar dapat menyadari bahwa bukan gender yang membentuk diri kita, melainkan rasa kemanusiaan kita bersama. HeForShe mengetuk ke dalam mimpi wanita dan pria, mimpi kita untuk diri kita sendiri, dan mimpi kita untuk keluarga kita, anak-anak kita, teman, dan masyarakat kita.
So that's what it is about. HeForShe is about uplifting all of us together.
Jadi itulah HeForShe, untuk mengangkat martabat kita semua bersama-sama.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)