So, a few years ago I was at JFK Airport about to get on a flight, when I was approached by two women who I do not think would be insulted to hear themselves described as tiny old tough-talking Italian-American broads.
Beberapa tahun yang lalu, saya berada di Bandara JFK menunggu keberangkatan pesawat saya ketika saya disapa oleh dua wanita yang saya rasa tidak akan tersinggung kalau saya menggambarkan mereka sebagai perempuan tua Italia-Amerika yang nyaring.
The taller one, who is like up here, she comes marching up to me, and she goes, "Honey, I gotta ask you something. You got something to do with that whole 'Eat, Pray, Love' thing that's been going on lately?"
Wanita yang lebih tinggi, kira-kira setinggi ini, mendatangi saya dan berkata, "Manis, aku ingin bertanya. Apa kamu ada hubungannya dengan 'Eat, Pray, Love' yang sedang terkenal itu?"
And I said, "Yes, I did."
Saya jawab, "Ya."
And she smacks her friend and she goes, "See, I told you, I said, that's that girl. That's that girl who wrote that book based on that movie." (Laughter)
Dia menepuk temannya dan berkata, "Tuh kan, aku sudah bilang, dia perempuan itu. Dia perempuan yang menulis buku berdasarkan film itu." (Tertawa)
So that's who I am. And believe me, I'm extremely grateful to be that person, because that whole "Eat, Pray, Love" thing was a huge break for me. But it also left me in a really tricky position moving forward as an author trying to figure out how in the world I was ever going to write a book again that would ever please anybody, because I knew well in advance that all of those people who had adored "Eat, Pray, Love" were going to be incredibly disappointed in whatever I wrote next because it wasn't going to be "Eat, Pray, Love," and all of those people who had hated "Eat, Pray, Love" were going to be incredibly disappointed in whatever I wrote next because it would provide evidence that I still lived. So I knew that I had no way to win, and knowing that I had no way to win made me seriously consider for a while just quitting the game and moving to the country to raise corgis. But if I had done that, if I had given up writing, I would have lost my beloved vocation, so I knew that the task was that I had to find some way to gin up the inspiration to write the next book regardless of its inevitable negative outcome. In other words, I had to find a way to make sure that my creativity survived its own success. And I did, in the end, find that inspiration, but I found it in the most unlikely and unexpected place. I found it in lessons that I had learned earlier in life about how creativity can survive its own failure.
Jadi itulah siapa saya. Dan percayalah, saya sangat bersyukur menjadi orang itu, karena "Eat, Pray, Love" sungguh-sungguh satu keberhasilan besar bagi saya. Tapi ia juga menempatkan saya pada posisi yang sulit untuk terus maju sebagai penulis, mencari tahu entah bagaimana saya akan bisa menulis buku lagi yang bisa memuaskan semua orang, karena dari awal saya sudah tahu bahwa semua orang yang menyukai "Eat, Pray, Love" akan sangat kecewa dengan apapun yang saya tulis berikutnya, karena bukan "Eat, Pray, Love," dan semua orang yang membenci "Eat, Pray, Love" akan sangat kecewa dengan apapun yang saya tulis berikutnya karena itu artinya saya masih hidup. Jadi saya tahu bahwa saya tidak bisa menang, dan mengetahui bahwa saya tidak bisa menang sejenak membuat saya benar-benar mempertimbangkan untuk berhenti menulis sama sekali dan pindah ke pedesaan untuk memelihara anjing. Tapi seandainya saya berhenti menulis, saya akan kehilangan pekerjaan kesayangan saya, jadi saya tahu saya harus menemukan suatu cara untuk menemukan inspirasi untuk menulis buku berikutnya meskipun hasil buruk yang tak bisa dihindari. Dengan kata lain, saya harus memastikan kreativitas saya bertahan dari kesuksesannya sendiri. Dan akhirnya saya menemukan inspirasi itu, tapi saya menemukannya di tempat yang paling tak terduga. Saya menemukannya dalam pelajaran hidup saya sebelumnya tentang bagaimana kreativitas bisa bertahan dari kegagalannya sendiri.
So just to back up and explain, the only thing I have ever wanted to be for my whole life was a writer. I wrote all through childhood, all through adolescence, by the time I was a teenager I was sending my very bad stories to The New Yorker, hoping to be discovered. After college, I got a job as a diner waitress, kept working, kept writing, kept trying really hard to get published, and failing at it. I failed at getting published for almost six years. So for almost six years, every single day, I had nothing but rejection letters waiting for me in my mailbox. And it was devastating every single time, and every single time, I had to ask myself if I should just quit while I was behind and give up and spare myself this pain. But then I would find my resolve, and always in the same way, by saying, "I'm not going to quit, I'm going home."
Saya akan mundur sedikit untuk menjelaskan. Satu-satunya yang saya ingin saya lakukan sepanjang hidup saya adalah menjadi penulis. Saya menulis sejak kecil hingga remaja, waktu remaja saya mengirim cerita-cerita jelek saya ke The New Yorker dan berharap untuk ditemukan. Setelah lulus kuliah, saya bekerja sebagai pelayan restoran, bekerja dan menulis, terus berusaha agar tulisan saya bisa diterbitkan, dan gagal mencapainya. Tulisan saya tidak diterbitkan sampai hampir enam tahun lamanya. Dan selama hampir enam tahun, setiap hari, saya hanya mendapat surat penolakan di kotak surat saya. Dan setiap kali selalu terasa menyakitkan, dan setiap kali, saya bertanya-tanya apakah sebaiknya saya berhenti saat masih tertinggal, menyerah dan menghindari rasa sakit ini. Tapi saya lalu menemukan ketetapan hati selalu dengan cara yang sama, dengan berkata, "Saya tidak akan berhenti, saya akan pulang."
And you have to understand that for me, going home did not mean returning to my family's farm. For me, going home meant returning to the work of writing because writing was my home, because I loved writing more than I hated failing at writing, which is to say that I loved writing more than I loved my own ego, which is ultimately to say that I loved writing more than I loved myself. And that's how I pushed through it.
Anda perlu tahu, bahwa bagi saya, pulang bukan berarti kembali ke peternakan keluarga saya. Bagi saya, pulang berarti kembali ke kegiatan menulis karena menulis adalah rumah saya karena saya mencintai menulis lebih daripada saya membenci kegagalan menulis yang berarti saya mencintai menulis lebih daripada ego saya sendiri, yang berarti saya mencintai menulis lebih daripada diri saya sendiri. Dan begitulah cara saya melewatinya.
But the weird thing is that 20 years later, during the crazy ride of "Eat, Pray, Love," I found myself identifying all over again with that unpublished young diner waitress who I used to be, thinking about her constantly, and feeling like I was her again, which made no rational sense whatsoever because our lives could not have been more different. She had failed constantly. I had succeeded beyond my wildest expectation. We had nothing in common. Why did I suddenly feel like I was her all over again?
Tapi anehnya, 20 tahun kemudian, dalam eforia "Eat, Pray, Love," saya menemukan diri saya kembali menjadi pelayan restoran yang tulisannya belum diterbitkan, diri saya yang dulu, saya terus memikirkannya dan merasa seperti saya kembali menjadi orang itu, yang sama sekali tidak masuk akal karena kehidupan saya saat ini sangat berbeda. Dia terus menerus gagal. sedangkan saya mencapai sukses melebihi harapan. Kami tidak punya kesamaan. Tapi kenapa saya tiba-tiba merasa seperti kembali menjadi orang itu?
And it was only when I was trying to unthread that that I finally began to comprehend the strange and unlikely psychological connection in our lives between the way we experience great failure and the way we experience great success. So think of it like this: For most of your life, you live out your existence here in the middle of the chain of human experience where everything is normal and reassuring and regular, but failure catapults you abruptly way out over here into the blinding darkness of disappointment. Success catapults you just as abruptly but just as far way out over here into the equally blinding glare of fame and recognition and praise. And one of these fates is objectively seen by the world as bad, and the other one is objectively seen by the world as good, but your subconscious is completely incapable of discerning the difference between bad and good. The only thing that it is capable of feeling is the absolute value of this emotional equation, the exact distance that you have been flung from yourself. And there's a real equal danger in both cases of getting lost out there in the hinterlands of the psyche.
Dan saat saya berusaha memahami semua ini akhirnya saya mengerti hubungan psikologis yang aneh dan mungkin dalam cara kita menghadapi kegagalan besar dan cara kita menghadapi sukses besar. Kira-kira seperti ini: Dalam sebagian besar hidup kita, kita berada di tengah-tengah pada rantai pengalaman manusia di mana semuanya normal dan teratur, tapi kegagalan melempar kita sangat jauh sampai ke sini ke dalam kegelapan dan kekecewaan yang membutakan. Kesuksesan juga melempar kita sama jauhnya ke arah sebaliknya kedalam cahaya terang yang juga membutakan dalam bentuk ketenaran dan pujian. Kedua kondisi tersebut dilihat dunia secara objektif sebagai kondisi yang buruk dan kondisi yang baik, tapi alam bawah sadar kita sama sekali tidak mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Satu-satunya yang bisa dirasakannya adalah nilai mutlak dari persamaan emosi ini, yaitu jarak riil emosi kita terlempar dari kondisi normal. Dan keduanya sama-sama berbahaya dan dapat menyesatkan kita di kedalaman psikis kita.
But in both cases, it turns out that there is also the same remedy for self-restoration, and that is that you have got to find your way back home again as swiftly and smoothly as you can, and if you're wondering what your home is, here's a hint: Your home is whatever in this world you love more than you love yourself. So that might be creativity, it might be family, it might be invention, adventure, faith, service, it might be raising corgis, I don't know, your home is that thing to which you can dedicate your energies with such singular devotion that the ultimate results become inconsequential.
Tapi pada kedua kondisi tersebut, ada cara pemulihan diri yang sama yaitu dengan menemukan jalan pulang secepat dan semulus mungkin, dan jika Anda bertanya-tanya dimana "rumah" Anda, ini petunjuknya: Rumah Anda adalah apapun itu yang Anda cintai lebih dari diri Anda sendiri di dunia ini. Bisa jadi kreativitas, bisa jadi keluarga, bisa jadi penemuan, petualangan, kepercayaan, pelayanan, bisa jadi memelihara anjing, intinya, rumah Anda adalah sesuatu kemana Anda bisa mencurahkan semua energi dengan kesetiaan tunggal yang hasil akhirnya tidak jadi masalah.
For me, that home has always been writing. So after the weird, disorienting success that I went through with "Eat, Pray, Love," I realized that all I had to do was exactly the same thing that I used to have to do all the time when I was an equally disoriented failure. I had to get my ass back to work, and that's what I did, and that's how, in 2010, I was able to publish the dreaded follow-up to "Eat, Pray, Love." And you know what happened with that book? It bombed, and I was fine. Actually, I kind of felt bulletproof, because I knew that I had broken the spell and I had found my way back home to writing for the sheer devotion of it. And I stayed in my home of writing after that, and I wrote another book that just came out last year and that one was really beautifully received, which is very nice, but not my point. My point is that I'm writing another one now, and I'll write another book after that and another and another and another and many of them will fail, and some of them might succeed, but I will always be safe from the random hurricanes of outcome as long as I never forget where I rightfully live.
Untuk saya, rumah saya adalah menulis. Jadi setelah kesuksesan yang aneh dan membingungkan melalui "Eat, Pray, Love," saya menyadari yang perlu saya lakukan adalah yang sudah selalu saya lakukan saat menghadapi kegagalan yang sama membingungkannya. Saya harus kembali bekerja, dan itulah yang saya lakukan, sehingga tahun 2010 saya bisa menerbitkan lanjutan dari "Eat, Pray, Love." Dan Anda tahu apa yang terjadi? Bukunya gagal, dan saya baik-baik saja. Malah, saya merasa lebih kuat, karena saya sudah mematahkan kutukan dan saya menemukan jalan kembali pulang untuk menulis hanya karena kecintaan saya akan menulis. Dan saya terus menulis setelah itu, dan saya menulis buku yang baru terbit tahun lalu yang diterima publik dengan baik, -- bagus, tapi bukan itu maksud saya. Intinya, saya sedang menulis buku lain sekarang, dan saya akan menulis buku lain lagi setelahnya, dan seterusnya, dan kebanyakan akan gagal, dan mungkin ada yang berhasil tapi saya akan selalu aman dari badai pencapaian apapun yang akan melanda selama saya tidak lupa akan rumah saya.
Look, I don't know where you rightfully live, but I know that there's something in this world that you love more than you love yourself. Something worthy, by the way, so addiction and infatuation don't count, because we all know that those are not safe places to live. Right? The only trick is that you've got to identify the best, worthiest thing that you love most, and then build your house right on top of it and don't budge from it. And if you should someday, somehow get vaulted out of your home by either great failure or great success, then your job is to fight your way back to that home the only way that it has ever been done, by putting your head down and performing with diligence and devotion and respect and reverence whatever the task is that love is calling forth from you next. You just do that, and keep doing that again and again and again, and I can absolutely promise you, from long personal experience in every direction, I can assure you that it's all going to be okay. Thank you. (Applause)
Saya tidak tahu dimana rumah Anda, tapi saya tahu ada sesuatu di dunia ini yang Anda cintai lebih dari diri Anda sendiri. Sesuatu yang berharga, bukan kecanduan atau kegilaan, karena itu bukan tempat yang aman untuk ditinggali, kan? Anda hanya harus menyadari hal paling berharga yang paling Anda cintai dan membangun rumah Anda di atasnya, dan jangan beranjak dari situ. Dan jika suatu hari nanti Anda terlempar keluar dari rumah Anda, baik karena kegagalan atau kesuksesan besar, maka Anda harus berjuang untuk kembali pulang dengan satu-satunya cara yang paling ampuh yaitu berkonsentrasi dan bekerja dengan rajin dan penuh pengabdian dan penuh rasa hormat dan khidmat apapun pekerjaan yang didorong dari rasa cinta itu. Anda harus tetap melakukannya, terus dan terus dan terus dan saya berjanji, berdasarkan pengalaman saya di setiap aspek kehidupan, saya jamin semuanya akan baik-baik saja. Terima kasih. (Tepuk tangan)