Every summer, my family and I travel across the world, 3,000 miles away to the culturally diverse country of India. Now, India is a country infamous for its scorching heat and humidity. For me, the only relief from this heat is to drink plenty of water. Now, while in India, my parents always remind me to only drink boiled or bottled water, because unlike here in America, where I can just turn on a tap and easily get clean, potable water, in India, the water is often contaminated. So my parents have to make sure that the water we drink is safe.
Setiap musim panas, saya bersama keluarga pergi menyeberangi dunia, 3.000 mil jauhnya ke negara dengan beragam budaya yaitu India. India adalah negara yang dikenal karena panasnya yang membakar dan kelembapannya. Bagi saya, satu-satunya pelepas dahaga dari panas adalah dengan minum banyak air. Sewaktu di India, orang tua saya selalu mengingatkan untuk minum air rebusan atau kemasan botol, karena tidak seperti di Amerika ini, di mana saya langsung saja membuka keran dan mendapatkan air bersih layak minum, di India, air seringnya terkontaminasi. Jadi orang tua saya harus memastikan bahwa air yang kami minum, aman.
However, I soon realized that not everyone is fortunate enough to enjoy the clean water we did. Outside my grandparents' house in the busy streets of India, I saw people standing in long lines under the hot sun filling buckets with water from a tap. I even saw children, who looked the same age as me, filling up these clear plastic bottles with dirty water from streams on the roadside. Watching these kids forced to drink water that I felt was too dirty to touch changed my perspective on the world. This unacceptable social injustice compelled me to want to find a solution to our world's clean water problem. I wanted to know why these kids lacked water, a substance that is essential for life. And I learned that we are facing a global water crisis.
Namun, saya lalu sadar bahwa tidak semua orang cukup beruntung untuk menikmati air bersih seperti kami. Di depan rumah kakek nenek saya di jalanan yang ramai di India, saya melihat orang mengantri panjang di bawah terik matahari untuk mengisi ember dengan air dari keran. Saya bahkan melihat anak-anak, yang kelihatannya seusia dengan saya, mengisi botol plastik bening dengan air kotor dari genangan di pinggir jalan. Menyaksikan anak-anak ini terpaksa minum air yang saya rasa terlalu kotor bahkan untuk disentuh mengubah pandangan saya terhadap dunia. Ketidakadilan sosial yang tak dapat diterima ini membuat saya ingin mencari solusi atas masalah dunia akan air bersih. Saya ingin tahu mengapa anak-anak ini kekurangan air, suatu substansi yang penting untuk kehidupan. Dan saya kemudian tahu bahwa kita sedang menghadapi krisis air global
Now, this may seem surprising, as 75 percent of our planet is covered in water, but only 2.5 percent of that is freshwater, and less than one percent of Earth's freshwater supply is available for human consumption. With rising populations, industrial development and economic growth, our demand for clean water is increasing, yet our freshwater resources are rapidly depleting. According to the World Health Organization, 660 million people in our world lack access to a clean water source. Lack of access to clean water is a leading cause of death in children under the age of five in developing countries, and UNICEF estimates that 3,000 children die every day from a water-related disease.
Nah, ini tampak mengejutkan, karena 75% Bumi tertutup air, tapi hanya 2,5%-nya air bersih, dan kurang dari 1% persediaan air bersih di Bumi tersedia untuk dikonsumsi oleh manusia. Dengan meningkatnya populasi, perkembangan industri, dan pertumbuhan ekonomi, permintaan air bersih terus meningkat, tapi sumber air bersih menurun cepat. Menurut World Health Organization, 660 juta orang di dunia kekurangan akses ke sumber air bersih. Kurangnya akses ke air bersih ini adalah penyebab utama kematian pada anak balita di negara berkembang, dan UNICEF memperkirakan ada 3.000 anak mati setiap hari dari penyakit yang berhubungan dengan air.
So after returning home one summer in eighth grade, I decided that I wanted to combine my passion for solving the global water crisis with my interest in science. So I decided that the best thing to do would be to convert my garage into a laboratory.
Jadi setelah kembali ke rumah di suatu musim panas kelas 2 SMP, saya memutuskan bahwa saya ingin menggabungkan kecintaan saya mengatasi krisis air global dengan ketertarikan saya pada ilmiah. Jadi saya memutuskan bahwa yang terbaik adalah mengubah garasi saya menjadi laboratorium.
(Laughter)
(Tawa)
Actually, at first I converted my kitchen into a laboratory, but my parents didn't really approve and kicked me out.
Sebenarnya, tadinya saya mengubah dapur menjadi laboratorium, tapi orang tua saya tidak begitu setuju lalu mengusir saya.
I also read a lot of journal papers on water-related research, and I learned that currently in developing countries, something called solar disinfection, or SODIS, is used to purify water. In SODIS, clear plastic bottles are filled with contaminated water and then exposed to sunlight for six to eight hours. The UV radiation from the sun destroys the DNA of these harmful pathogens and decontaminates the water. Now, while SODIS is really easy to use and energy-efficient, as it only uses solar energy, it's really slow, as it can take up to two days when it's cloudy. So in order to make the SODIS process faster, this new method called photocatalysis has recently been used.
Saya juga banyak membaca karya ilmiah tentang penelitian terkait air, dan saya kemudian tahu bahwa saat ini di negara berkembang, sesuatu yang bernama desinfeksi surya atau SODIS digunakan untuk memurnikan air. Pada SODIS, botol plastik bening diisi dengan air kotor lalu dipaparkan pada sinar matahari selama 6-8 jam. Radiasi UV dari matahari menghancurkan DNA patogen yang berbahaya dan membersihkan airnya. Nah, walaupun SODIS mudah digunakan dan efisien energi, karena hanya menggunakan energi surya prosesnya sangat lambat, karena bisa memakan waktu sampai 2 hari ketika mendung. Jadi, agar proses SODIS bisa lebih cepat, metode baru ini yang disebut fotokatalis akhir-akhir ini telah digunakan.
So what exactly is this photocatalysis? Let's break it down: "photo" means from the sun, and a catalyst is something that speeds up a reaction. So what photocatalysis is doing is it's just speeding up this solar disinfection process. When sunlight comes in and strikes a photocatalyst, like TiO2, or titanium dioxide, it creates these really reactive oxygen species, like superoxides, hydrogen peroxide and hydroxyl radicals. These reactive oxygen species are able to remove bacteria and organics and a whole lot of contaminants from drinking water.
Jadi apa sebenarnya fotokatalis ini? Mari kita jabarkan: "foto" artinya berasal dari matahari, dan katalis adalah sesuatu yang mempercepat reaksi. Jadi yang dilakukan fotokatalis hanyalah mempercepat proses desinfeksi surya. Ketika sinar matahari masuk dan bersentuhan dengan fotokatalis, seperti TiO2 atau titanium dioksida, jenis oksigen yang amat reaktif tercipta, seperti radikal-radikal superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil. Jenis-jenis oksigen reaktif seperti ini mampu memusnahkan bakteri, organik, dan berbagai macam kotoran pada air minum.
But unfortunately, there are several disadvantages to the way photocatalytic SODIS is currently deployed. See, what they do is they take the clear plastic bottles and they coat the inside with this photocatalytic coating. But photocatalysts like titanium dioxide are actually commonly used in sunscreens to block UV radiation. So when they're coated on the inside of these bottles, they're actually blocking some of the UV radiation and diminishing the efficiency of the process. Also, these photocatalytic coatings are not tightly bound to the plastic bottle, which means they wash off, and people end up drinking the catalyst. While TiO2 is safe and inert, it's really inefficient if you keep drinking the catalyst, because then you have to continue to replenish it, even after a few uses.
Tapi sayangnya, ada beberapa kelemahan dari proses SODIS fotokatalis saat ini. Ini dilakukan dengan mengambil botol plastik bening dan melapisi bagian dalamnya dengan lapisan fotokatalis. Tapi fotokatalis seperti titanium dioksida sebenarnya lazim digunakan pada tabir surya untuk menahan radiasi UV. Jadi saat dilapisi di bagian dalam botol, titanium dioksida akan menahan beberapa radiasi UV dan menghilangkan efisiensi prosesnya. Juga, lapiran fotokatalis ini tidak melekat kuat pada botol plastik, yang berarti zat-zat itu akan luntur dan terminum. Walaupun TiO2 aman dan lembam, sangat tidak efisien jika katalis terus terminum, karena akhirnya Anda harus terus mengoleskannya, bahkan setelah beberapa kali penggunaan.
So my goal was to overcome the disadvantages of these current treatment methods and create a safe, sustainable, cost-effective and eco-friendly method of purifying water. What started off as an eighth grade science fair project is now my photocatalytic composite for water purification. The composite combines titanium dioxide with cement. The cement-like composite can be formed into several different shapes, which results in an extremely versatile range of deployment methods. For example, you could create a rod that can easily be placed inside water bottles for individual use or you could create a porous filter that can filter water for families. You can even coat the inside of an existing water tank to purify larger amounts of water for communities over a longer period of time.
Jadi tujuan saya adalah mengatasi kekurangan metode perlakuan yang saat ini digunakan dan menciptakan metode pemurnian air yang aman, berlanjut, hemat, dan ramah lingkungan. Yang tadinya proyek pameran ilmiah kelas 2 SMP terciptalah komposit fotokatalis untuk pemurnian air. Komposit tersebut adalah gabungan titanium dioksida dengan semen. Komposit yang seperti semen dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk yang berbeda, yang akhirnya dapat diaplikasikan dalam berbagai hal dan bentuk. Contohnya, Anda bisa membuat suatu batang yang dengan mudah dapat diletakkan dalam botol air untuk penggunakan pribadi atau Anda dapat membuat saringan berpori yang bisa menyaring air untuk rumah tangga Anda bahkan dapat melapisi bagian dalam tangki air yang sudah ada untuk memurnikan air dalam jumlah besar bagi masyarakat untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.
Now, over the course of this, my journey hasn't really been easy. You know, I didn't have access to a sophisticated laboratory. I was 14 years old when I started, but I didn't let my age deter me in my interest in pursuing scientific research and wanting to solve the global water crisis.
Nah, selama masa percobaan ini, perjalanan saya tidak mudah. Saya tidak punya akses ke laboratorium yang canggih. Saya berusia 14 tahun ketika memulainya, tapi saya tak membiarkan usia mencegah saya dari ketertarikan untuk melakukan penelitian ilmiah dan keinginan untuk memecahkan krisis air global.
See, water isn't just the universal solvent. Water is a universal human right. And for that reason, I'm continuing to work on this science fair project from 2012 to bring it from the laboratory into the real world. And this summer, I founded Catalyst for World Water, a social enterprise aimed at catalyzing solutions to the global water crisis.
Anda lihat, air bukan hanya larutan universal. Air adalah hak asasi universal. Dan kerena itu, saya terus melakukan proyek pameran ilmiah ini sejak 2012 untuk membawanya dari laboratorium ke dunia nyata. Dan di musim panas ini, saya mendirikan <i>Catalyst for World Water,</i> suatu organisasi sosial yang bertujuan menyatukan solusi akan krisis air global.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Alone, a single drop of water can't do much, but when many drops come together, they can sustain life on our planet. Just as water drops come together to form oceans, I believe that we all must come together when tackling this global problem.
Satu tetes air saja tak dapat melakukan hal yang besar, tapi ketika sejumlah besar tetesan itu menyatu, mereka dapat menyokong kehidupan di Bumi. Seperti tetesan air yang menyatu membentuk lautan, saya yakin kita semua harus bersatu untuk mengatasi masalah global ini.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)