Cloe Sasha Brooks: Hello, TED Community. You are watching a TED interview series called How to Deal with Difficult Feelings. I’m your host, Cloe Shasha Brooks, and a curator at TED. In this four-episode series, we've been talking with psychologists, authors and other experts who have shared insights and research about difficult feelings and how we can handle them. So now I will be speaking with David Kessler, an author who has written six books on grief and loss. Two of those books were co-authored with Elisabeth Kübler-Ross, a Swiss American psychiatrist who was a pioneer in near-death studies. And his most recent book, published last year, is called "Finding Meaning: The Sixth Stage of Grief." So let's bring David on screen. Hey, David, thank you for joining us. Let's dive right in. So many people are struggling with grief right now and the five stages of grief are kind of typically known to be denial, anger, bargaining, depression and acceptance. But can you tell us about the sixth stage of grief?
Cloe Sasha Brooks: Halo, Komunitas TED. Anda sedang menonton seri wawancara TED berjudul “Cara Menghadapi Perasaan yang Sulit” Saya pembawa acara, Cloe Shasha Brooks, juga sebagai kurator TED. Di episode keempat serial ini, Kita telah berbicara dengan psikolog, penulis, dan para ahli yang telah berbagi wawasan dan riset soal perasaan yang sulit dan cara mengatasinya. Sekarang saya akan berbicara dengan David Kessler, penulis yang telah menulis enam buku tentang kesedihan dan kehilangan. Dua di antaranya ditulis bersama Elisabeth Kübler-Ross, seorang psikiater Swiss-Amerika, dan pelopor studi “menjelang kematian”. Judul buku terbarunya yang dirilis tahun lalu, “Mencari Makna: Tahap Keenam Kedukaan”. Selanjutnya, mari kita undang David. Halo, David! Terima kasih telah bergabung. Langsung ke topik. Jadi, banyak orang yang sedang berjuang melawan kedukaan dan lima tahap dari kedukaan tersebut biasa dikenal sebagai penyangkalan, marah, menawar, depresi, dan penerimaan. Bisa Anda jelaskan tentang tahap keenam dari kedukaan itu?
David Kessler: Absolutely. And I always like to point out I was honored to work with Kübler-Ross on her stages. They're not linear, they're not a map for grief, there's no one right way to do grief. And I think as people experience them, and also, as you know, and some people may know, I'm not only a grief specialist, but I'm a bereaved parent. I had a younger son, David, die a few years ago. Once I and so many people experience acceptance, we want more. Acceptance isn't enough for our generation. I think we want meaning. And I believe meaning is the sixth stage. And when we talk about meaning, I always like to point out there's no meaning in a horrible death or in a pandemic or in a wedding being canceled or a job being lost. The meaning isn't in the horrible event. The meaning is in us. It's what we find afterwards.
David Kessler: Tentu. Saya selalu ingin menunjukkan Saya merasa terhormat dapat bekerja dengan Kübler-Ross dalam tahapannya. Itu tidaklah linier, Itu bukanlah gambaran kesedihan, tidak ada ketentuan tepat untuk bersedih. Saya pikir sebagai seseorang yang pernah mengalaminya, juga sebagaimana Anda tahu, orang lain mungkin tahu, bukan hanya spesialis dukacita, saya juga ayah yang berduka. Saya punya putra yang meninggal beberapa tahun lalu, David. Saat saya dan banyak orang mengalami masa penerimaan, kami menginginkan lebih. Penerimaan tidaklah cukup bagi generasi kami. Kami ingin sebuah “makna”. Saya percaya makna adalah tahap keenam itu. Bila kita bicara makna, saya selalu tunjukkan bahwa tidak ada makna dalam sebuah kematian mengerikan, atau pada suatu pandemi, atau pada pernikahan yang dibatalkan, atau kehilangan pekerjaan. Makna tidak ada pada kejadian yang buruk. Makna ada pada diri kita. Itulah apa yang kita temukan selanjutnya.
CSB: I mean, I just think that's such a helpful perspective for people to hold on to. And I also really appreciate, you know, you've written about these seven different factors that guide the concept of meaning when it comes to grief. Can you tell us about those seven factors?
CSB: Saya pikir itu adalah pandangan yang dapat membantu bagi orang bisa bertahan. Saya juga sangat mengapresiasi Anda, Anda telah menulis tujuh faktor berbeda yang menjadi patokan dari konsep makna daripada kedukaan. Dapatkah Anda jelaskan apa tujuh faktor tersebut?
DK: They are, first, meaning is relative and personal. Two, meaning takes time. You may not find it until months or even years after loss because you can't rush the meaning. You can't say someone died or a dream died or there's a pandemic, "What's the meaning?" right away, it often takes time. And three, meaning doesn't require understanding. You know, we may not understand why a relationship ends, why a divorce happens, why a pet died, why a pandemic happens. But we can still find meaning. And four, even when you do find meaning, you won't feel it was worth the cost. We'd always rather have the person we loved. And the fifth one -- and the fifth is a big one -- your loss is not a test, a lesson, something to handle, a gift or a blessing. Loss is simply what happens in life. And the meaning is in us afterwards. And six, only you can find your meaning. And seven, meaningful connections can replace those painful memories in time. The post-traumatic stress that's going on in the pandemic, I always remind people, one, we're not post, and two, we can also not just go through this, but grow through this. And there's the possibility of post-traumatic growth also that I think is so important during these tough times.
DK: Pertama, makna itu relatif dan personal. Kedua, makna membutuhkan waktu. Butuh waktu lama setelah kehilangan untuk dapat menemukannya, karena makna tidak dapat dipaksakan. Anda tidak bisa mengatakan orang yang telah meninggal, mimpi mati, atau ada pandemi, “Apa maknanya?” secara langsung, itu biasanya butuh waktu. Ketiga, makna tidak harus membutuhkan sebuah pemahaman. Kita bisa saja tidak paham mengapa sebuah hubungan berakhir, kenapa perpisahan terjadi, kenapa peliharaan mati, mengapa pandemi terjadi. Namun kita masih bisa menemukan makna. Keempat, bahkan walau Anda temukan makna, Anda merasa itu sia-sia. Kita selalu memilih bersama orang yang kita sayangi. Kelima, yang kelima adalah yang penting Kehilanganmu bukanlah ujian, pelajaran, sesuatu untuk dihadapi, hadiah ataupun anugerah. Kehilangan itu hanya sesuatu yang terjadi di kehidupan. Makna ada dalam diri kita selanjutnya. Keenam, hanya Anda yang dapat menemukan makna. Ketujuh, koneksi yang berarti bisa mengganti kenangan pedih itu pada waktunya. Stres pascatrauma yang terjadi saat pandemi, saya selalu mengingatkan, satu, itu bukan pasca, dua, kita bisa memilih untuk tidak hanya melewatinya, namun dewasa bersamanya. Ada kemungkinan pertumbuhan pascatrauma juga yang saya pikir sangat penting di masa sulit ini.
CSB: Yeah, yeah, yeah. Let's bring up a question from our audience. OK, so someone asked, "Having lost a daughter, how do I explain my grieving process to those who don't understand but want to?"
CSB: Ya, betul sekali. Mari kita baca pertanyaan dari para pemirsa. Baik, ada yang bertanya, “Kehilangan seorang putri, bagaimana saya menjelaskan proses berduka saya kepada mereka yang tak mengerti tapi ingin mengetahuinya?”
DK: You know, the reality is, people often, as hard as they try, may not understand our grief. You know, I don't know what it's like for you to lose your job, you don't know what it's like for me to have a child die. And I think one of the important things is for us not to compare griefs and to know the world is big enough for all our losses. So I think sometimes we have to let go of the expectation that they get it. And we have to go, "I know you can't get it. So let me tell you what this grief feels like to me." And share our grief.
DK: Anda tahu, kenyataannya, orang sering, mereka mungkin tak bisa mengerti walaupun mereka sudah berusaha keras. Saya tak tahu bagaimana perasaanmu saat kehilangan perkerjaan, Anda juga tak tahu bagaimana perasaan saya saat kehilangan anak. Yang paling penting menurut saya adalah untuk tidak membandingkan rasa duka itu dan perlu tahu bahwa dunia cukup luas untuk semua kehilangan kita. Jadi terkadang kita haruslah mengerti jika mereka tak akan paham. Kita beri penjelasan, “Aku tahu kau tak akan mengerti. Jadi, kuberitahu bagaimana rasanya berduka bagiku.” Lalu berbagi cerita duka kita.
CSB: Yeah. And you, kind of, have talked a lot about that, how there's big losses and little losses, but they're all valid, right? And they all get to coexist.
CSB: Baik. Anda mungkin banyak membicarakannya bahwa bisa ada kehilangan besar dan kecil, itu memang ada, benar? dan itu berdampingan.
DK: I remember that I was walking back in April, in front of my house with a friend, six feet apart with our masks on. And a young woman walked up to me and said, "Oh, my gosh," you know, "I heard you do something in grief. My wedding's just been postponed." And she burst into tears. And I talked to her, we -- You know, she shared her experience and everything, and I consoled her. And after she walked away, my friend said, "Oh, my gosh, I can't believe she was going on and on about her wedding, when your child has died. She's going to get to have another wedding." And I said, "No, no, no, we don't compare in grief. We don't have a broken head, we have a broken heart." And everyone gets to have their own unique grief. And, you know, she's been dreaming about her wedding since she was five. It doesn't take away from my grief. All these losses live in the world together.
DK: Saya ingat waktu bulan April, di depan rumah saya bersama seorang teman, kami berjarak enam kaki, bermasker. Seorang wanita muda menghampiri saya dan berkata, “Oh, Tuhan”, “Saya dengar Anda sedang berduka. Pernikahanku baru saja diundur.” Lalu dia menangis. Kemudian saya berbicara padanya, lalu ia berbagi pengalamannya, saya menghiburnya. Setelah dia pergi, teman saya berkata, “Oh, Tuhan, aku tak percaya dia terus membahas tentang pernikahannya, saat kau kehilangan anakmu. Dia tetap akan menikah akhirnya.” Saya katakan, “Tidak, tidak, kita tak boleh membadingan kedukaan. Bukan kepala kita yang hancur, tapi hati kita.” Setiap orang punya rasa duka yang unik Tahukah Anda, dia mendambakan pernikahannya sejak berumur lima tahun. Hal itu tidak akan mengurangi rasa berduka saya. Semua kehilangan ini hidup bersama di dunia.
CSB: Let's bring another question from the audience. Someone is asking, "Can you tell us more about post-traumatic growth? How can I start to grow from a loss?"
CSB: Mari ke pertanyaan lain dari pemirsa. Pertanyaannya, “Bisakah Anda jelaskan tentang pertumbuhan pascatrauma?” Bagaimana saya bisa mulai bertumbuh setelah kehilangan?
DK: It’s such a great question, because we always hear about post-traumatic stress, But post-traumatic growth actually occurs more. And that is the finding meaning. Here's one of the myths: We think we make our grief get smaller, that that's the goal. The goal isn't to make our grief smaller. The goal is for us to become bigger, to grow around this grief. It's not "what are we going to do after this pandemic," but "who are we going to be?" It's not, "what are we going to do after this loss?" But "Who are we going to be?" How can we honor the person who died? How can we make a life and a world that's more meaningful, where maybe the bad thing that happened to you doesn't happen to other people in the future. Or you shape someone's legacy. Or we keep talking about them. As long as we talk about our loved ones who are no longer physically with us, they don't really die fully. So just allowing ourselves to continue in life is a bit of post-traumatic growth and not shutting down. And we need support. You know, it's interesting, if something's going on with our car, we get support. If something's going on with our apartment, we get support. Sometimes we think we just have to fight our way through grief and it's OK to ask for support and for help.
DK: Pertanyaan bagus, karena kita sering dengar tentang stres pascatrauma, tapi pertumbuhan pascatrauma nyatanya lebih banyak terjadi. Inilah pencarian makna. Ada salah satu mitos: Kita berpikir, membuat duka jadi lebih kecil adalah sebuah tujuan. Sasarannya bukan membuat duka jadi lebih kecil. Sasaran utamanya adalah jadikan diri kita besar, tumbuh di sekitar duka ini. Bukan tentang “apa yang kita lakukan setelah pandemi?”, tapi “kita akan jadi siapa?” Bukan tentang, “apa yang akan dilakukan setelah kehilangan?” tapi “kita akan jadi siapa?” Bagaimana kita menghormati orang yang sudah meninggal? Bagaimana kita membuat kehidupan dan dunia lebih berarti, di mana hal yang buruk terjadi pada Anda tidak terjadi pada orang lain di masa yang akan datang. Atau Anda membentuk warisan seseorang. Atau tetap membicarakan mereka. Selama membicarakan orang yang dicintai, yang fisiknya sudah tidak bersama kita, mereka tidak benar-benar meninggal seutuhnya. Jadi, membiarkan diri kita melanjutkan hidup adalah sebuah pertumbuhan pascatrauma dan tidak menutup. Kita perlu dukungan. Ini menarik, jika sesuatu terjadi dengan mobil kita, kita dapat dukungan. Jika sesuatu terjadi pada apartemen kita, kita dapat dukungan. Terkadang berpikir, kita hanya harus memperjuangkan jalan melewati duka, tidak apa-apa meminta dukungan dan bantuan.
CSB: It's so important to remember that. When it's not tangible we forget how to ask for help. Along those lines, do you believe there's a time line for grief?
CSB: Sangat penting untuk diingat. Ketika itu tidak nyata, kita lupa bagaimana meminta bantuan. Terkait hal itu, apakah Anda percaya ada lini masa kedukaan?
DK: Absolutely not. You know, when people ask me, "How long is my wife, my husband, my best friend going to grieve," I always say, "How long is the person going to be dead? Because if they're going to be dead for a long time, you're going to grieve for a long time." It doesn't mean you will always grieve with pain. Hopefully in time you can grieve with more love than pain. But there is no time line, and I always say we don't get over loss. We don't recover from loss. Our loved one was not a cold or a flu. We learn to live with it.
DK: Tentu saja tidak. Ketika orang-orang bertanya pada saya, “Berapa lama istri, suami, kerabat saya berduka,” Saya selalu jawab, “Berapa lama seseorang itu menjadi mati? Karena jika mereka mati dalam waktu yang lama Anda akan berduka dalam waktu yang lama.” Ini bukan berarti Anda akan selalu berduka dengan pedih. Semoga suatu saat Anda bisa berduka dengan lebih banyak kasih ketimbang pedih. Tapi tidak ada linimasa. Saya selalu bilang, kita jangan kehilangan secara berlebihan. Kita tidak bisa memulihkan kehilangan. Orang yang kita cintai tidak sedang pilek atau flu. Belajarlah untuk hidup dengan itu.
CSB: And for those who are maybe ready to start on the path of meaning as they move through their grief, how does one start that process?
CSB: Bagi mereka yang mungkin siap untuk memulai di jalan makna, bergerak melewati kesedihannya, Bagaimana seseorang memulai proses tersebut?
DK: It's actually a decision. Are you willing to find meaning in time? Are you willing to let yourself just live a little more? Are you willing to try to think of a way that might honor what's happened in our world or what's happened in the loss in your life? It's a small decision. Am I willing to grow? Am I willing to live past this in a way that honors what I've lost?
DK: Ini sebenarnya sebuah keputusan. Apakah Anda bersedia mencari makna dalam satu waktu? Apakah Anda bersedia untuk membiarkan diri hidup secara bertahap? Apakah Anda bersedia mencoba memikirkan jalan yang mungkin menghargai apa yang terjadi di dunia kita atau kehilangan yang terjadi dalam kehidupan Anda? Ini sebuah keputusan kecil. Apakah saya bersedia untuk bertumbuh? Bersediakah saya menghargai sesuatu yang telah hilang?
CSB: Let's bring up another question from the audience. "How can we help our children when they experience grief?"
CSB: Pertanyaan lain dari pemirsa. “Bagaimana cara membantu anak kita saat mereka mengalami duka?”
DK: Such a good question. You know, our children are often the forgotten grievers, And it's so important -- Here's one of the things: Mourning is what we do on the outside. Grief is what's inside of us. I can't make you grieve. I can't make my kids grieve. All we can do is model healthy grief. And how do we model healthy grief for our children? We tell them part of our work is to grieve fully. It's OK to be sad. It's OK to miss that person. And to live fully. Life also has to go on. I've still got to go to work, you still got to go to school. So it's the grieving and the living is what we model for them.
Pertanyaan bagus. Tahukah Anda, anak-anak kita sering menjadi penduka terlupakan, itu sangat penting, berikut salah satunya: Meratap adalah hal yang dilakukan di luar diri kita. Kesedihan adalah hal yang ada di dalam diri kita. Saya tidak bisa membuat Anda berduka. Saya tidak bisa membuat anak-anak saya berduka. Semua yang bisa dilakukan adalah model kesedihan yang sehat. Lalu bagaimana kita melakukan kesedihan yang sehat untuk anak-anak? Katakan, sebagian pekerjaan kita adalah berduka sepenuhnya. Tidak apa-apa bersedih. Tidak apa-apa kehilangan seseorang. Serta hidup sepenuhnya. Kehidupan juga harus berjalan. Saya tetap pergi bekerja, kamu tetap pergi ke sekolah Jadi itulah kesedihan dan kehidupan yang kita contohkan pada mereka.
CSB: And it's so hard to with kids because it seems like, in some ways, they may not even know what they're feeling, right? So, like, how much of grief with children involves helping them understand definitions or even identifying feelings and all that?
CSB: Tentu ini sulit bagi anak-anak karena terlihat seperti, di beberapa cara mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka rasa, kan? Jadi, seberapa banyak kesedihan anak-anak libatkan bantuan agar mereka memahami definisi atau mengetahui perasaan, seperti itu?
DK: Yeah, and to just name it and open the conversation and just to let them know, you know, you can always talk about it with me. You know, kids actually understand more than we give them credit for.
DK: Ya, menamainya, membuka obrolan, dan biarkan mereka tahu, Anda bisa selalu berbincang hal itu dengan saya. Anak-anak biasanya lebih paham dari kita yang beri mereka penghargaan.
CSB: That is true.
CSB: Benar.
DK: And euphemisms don't work. Don't tell them Grandpa's gone to sleep or Grandpa's on a long trip. You want to be honest.
DK: Eufemisme tidak bekerja baik. Jangan katakan, “Kakek sudah tidur” atau “Kakek sedang perjalanan jauh”. Anda harus jujur.
CSB: So, OK, here we are in a new time. We're starting to come out of this pandemic, at least in some countries in the world. How do you think our collective grief might shift in the next few months to years from here?
CSB: Baiklah, kita dalam zaman baru. Kita mulai keluar dari zona pandemi, setidaknya di beberapa negara di dunia. Menurut Anda, bagaimana kesedihan kolektif kita bisa berubah? dalam beberapa bulan sampai tahun dari sekarang?
DK: Well, the one thing I hope we don't do is I hope we don't lose this ability to have these conversations, because that's been one of the pieces of meaning that's been important, is for the first time we're naming these feelings we're having. We're understanding grief, we're talking more about grief. And I hope we don't lose that after this. I hope we understand grief is such a natural part of life, that everyone you've ever admired, every amazing person in the world, has gone through tough grief. And there's nothing wrong with you when it happens to you. It is part of our lives.
DK: Saya harap satu hal, kita jangan kita jangan kehilangan kemampuan untuk membahas percakapan ini, karena ini menjadi satu dari kepingan-kepingan makna. Ini penting. Untuk pertama kalinya kita menamai perasaan yang kita miliki. Kita pahami kesedihan, kita bicara banyak tentang kesedihan. Saya harap tidak kehilangan itu setelahnya. Saya harap, kita paham kesedihan itu seperti bagian alami kehidupan. semua orang pernah kagum, setiap orang hebat di dunia, pernah menempuh jalan kesedihan. Tidak ada yang salah dengan diri Anda ketika itu terjadi. Itu adalah bagian dari hidup kita.
CSB: Yeah. We're coming close to the end, so just as a final question for you, you know, if someone is really struggling through the depths of their grief right now, what's just the most important thing for them to remember?
CSB: Ya. Kita mendekati akhir acara, pertanyaan terakhir, tahukah Anda apabila ada seseorang benar-benar berjuang melewati duka yang dalam, apa hal penting yang harus mereka ingat?
DK: Reach out and get support, talk to someone, maybe someone who's been in grief themselves that can share that with you. It can be the family member, the coworker and get support from an organization, grief.com, as well as so many other sites, have lots of free resources that people can find. And I also want to remind people, we get so afraid of our feelings, like if I start crying, I'll never stop. I remind people no feeling is final, no feeling is forever. You do stop crying eventually, but release those feelings in a healthy way.
DK: Raih dan dapatkan dukungan, bicara dengan seseorang, mungkin seseorang yang pernah dalam kesedihan mereka yang bisa berbagi bersama Anda. Bisa dengan keluarga, rekan kerja, dan dapatkan dukungan dari sebuah organisasi, grief.com, begitu banyak situs lainnya yang memiliki banyak sumber yang bisa orang-orang dapatkan. Saya juga ingin mengingatkan pada pemirsa, kita takut dengan perasaan kita, seperti jika saya mulai menangis, sulit untuk berhenti. Saya ingatkan, tidak ada perasaan final, tidak ada perasaan yang abadi. Anda bisa tiba-tiba berhenti menangis, tapi lepaskan perasaan-perasaan itu dengan cara yang sehat.
CSB: Yeah, that's really helpful. I think that's one of the things that growing up has shown me the most, is you know, any emotion is not permanent. And so that's a source of relief, right?
CSB: Ya, ini sangat membantu. Satu hal bahwa tumbuh dewasa telah menunjukkan banyak pada saya, emosi apapun tidak permanen. Juga sumber bantuan, kan?
DK: And we get so stuck in thinking "This is it forever." But we don't know what tomorrow is going to look like. I always say take the word -- always -- I say take the word "always" and "never" out of our vocabulary. When we go, "I'm always going to be sad," or "I'm never going to be happy again." No, you don't know what tomorrow is like, but today you're feeling sad. Just name your feelings for today.
DK: Kita akan terjebak dalam pikiran, “Apakah ini selamanya?“. Tapi kita tidak tahu apa yang terlihat esok hari. Saya selalu katakan, Saya katakan, buang kata “selalu” dan “tidak pernah” dari kamus kita. Ketika kita sedih, “Aku akan selalu sedih,” atau “Aku akan bahagia kembali”. Tidak, Anda tidak tahu esok seperti apa, tapi hari ini Anda merasa sedih. Beri nama perasaan Anda hari ini.
CSB: Yeah. Thank you, David, this has been really, really meaningful, and we've learned so much from you. So thanks for joining us.
CSB: Ya. Terima kasih, David, ini benar-benar sangat bermakna, kami telah belajar banyak dari Anda. Terima kasih sudah bergabung.
DK: Thank you.
DK: Terima kasih.
CSB: Have a great day.
CSB: Semoga harimu baik.