So, I want to talk to you about the forgotten middle. To me, they are the students, coworkers and plain old regular folks who are often overlooked because they're seen as neither exceptional nor problematic. They're the kids we think we can ignore because their needs for support don't seem particularly urgent. They're the coworkers who actually keep the engines of our organizations running, but who aren't seen as the innovators who drive excellence. In many ways, we overlook the folks in the middle because they don't keep us up awake at night wondering what crazy thing they're going to come up with next.
Jadi, saya ingin berbicara kepada Anda mengenai kaum menengah yang terlupakan. Bagi saya, mereka adalah siswa, rekan kerja, dan orang-orang biasa yang sering terabaikan karena mereka dianggap tidak istimewa maupun bermasalah. Mereka adalah anak-anak yang kita anggap dapat kita biarkan karena kebutuhan mereka akan dukungan tidak terlalu terlihat mendesak. Mereka adalah rekan kerja yang sebenarnya menjaga roda-roda dalam organisasi kita tetap berjalan, tapi tidak dilihat sebagai inovator yang dapat memajukan organisasi. Dalam banyak hal, kita mengabaikan kaum menengah ini karena mereka tidak membuat kita terjaga pada malam hari memikirkan hal gila apa lagi yang akan mereka lakukan nanti.
(Laughter)
(Tawa)
And the truth is that we've come to rely on their complacency and sense of disconnection because it makes our work easier.
Dan kebenarannya adalah kita sudah mengandalkan rasa puas diri dan rasa keterpisahan mereka karena itu memudahkan pekerjaan kita.
You see, I know a little bit about the forgotten middle. As a junior high school student, I hung out in the middle. For a long time, I had been a good student. But seventh grade was a game changer. I spent my days gossiping, passing notes, generally goofing off with my friends. I spent my homework time on the phone, reviewing each day's events. And in many ways, although I was a typical 12-year-old girl, my ambivalence about my education led to pretty average grades.
Anda tahu, saya sedikit memahami kaum menengah yang terlupakan. Sebagai seorang murid SMP, pergaulan saya ada di golongan tengah. Untuk waktu yang lama, saya adalah seorang murid unggulan. Namun kelas tujuh adalah titik balik saya. Saya menghabiskan waktu untuk bergosip, bertukar pesan saat pelajaran, alias membuang-buang waktu bersama teman-teman saya. Saya menghabiskan waktu mengerjakan PR di telepon, mengulas kejadian per harinya. Dan dalam berbagai cara, sekalipun saya adalah gadis 12 tahun biasa, pembelajaran saya yang naik turun membuat nilai saya menjadi rata-rata.
Luckily for me, my mother understood something important, and that was that my location was not my destination. As a former research librarian and an educator, my mother knew that I was capable of accomplishing a lot more. But she also understood that because I was a young black woman in America, I might not have opportunities out of the middle if she wasn't intentional about creating them.
Untung bagi saya, ibu saya mengerti sesuatu yang penting, di mana saya saat ini bukan tujuan akhir saya. Sebagai mantan pustakawan peneliti dan pendidik, ibu saya tahu bahwa saya dapat melakukan pencapaian yang lebih besar. Tapi beliau juga mengerti bahwa karena saya adalah seorang wanita muda berkulit hitam di Amerika, saya mungkin tidak akan mendapat kesempatan keluar dari golongan tengah apabila beliau tidak dengan sengaja menciptakan kesempatan itu.
So she moved me to a different school. She signed me up for leadership activities in my neighborhood. And she began to talk to me more seriously about college and career options I could aspire to. My mother's formula for getting me out of the middle was pretty simple. She started with high expectations. She made it her business to figure out how to set me up for success. She held me accountable and, along the way, she convinced me that I had the power to create my own story. That formula didn't just help me get out of my seventh grade slump -- I used it later on in New York City, when I was working with kids who had a lot of potential, but not a lot of opportunities to go to and complete college.
Jadi beliau memindahkan saya ke sekolah lain. Beliau mendaftarkan saya ke kegiatan kepemimpinan di lingkungan saya. Dan beliau mulai berbicara lebih serius kepada saya tentang perguruan tinggi dan pilihan karier yang mungkin saya cita-citakan. Resep ibu saya untuk mengeluarkan saya dari golongan menengah sangat sederhana. Beliau memulai dengan harapan tinggi terhadap saya. Beliau bertanggungjawab untuk menemukan cara agar saya berhasil. Beliau juga meminta saya untuk bertanggungjawab dan, selama itu, beliau menyakinkan saya bahwa saya memiliki kekuatan untuk menuliskan cerita saya sendiri. Resep itu tidak hanya membantu saya keluar dari kemerosotan di kelas tujuh -- saya menggunakannya di kemudian hari di kota New York, saat saya bekerja dengan anak-anak dengan banyak potensi, tetapi tidak mempunyai banyak peluang untuk pergi dan menyelesaikan kuliah.
You see, high-performing students tend to have access to additional resources, like summer enrichment activities, internships and an expansive curriculum that takes them out of the classroom and into the world in ways that look great on college applications. But we're not providing those kinds of opportunities for everyone. And the result isn't just that some kids miss out. I think we, as a society, miss out too.
Anda lihat, siswa dengan performa tinggi biasanya memiliki akses ke sumber daya tambahan, seperti kegiatan pengayaan di musim panas, program magang dan kurikulum pengembangan membuat mereka keluar kelas dan masuk ke lingkungan dengan cara-cara yang bisa membantu pendaftaran ke universitas. Tapi kita tidak menyediakan kesempatan seperti itu kepada setiap orang. Dan akibatnya bukan hanya sebagian anak melewatkan peluang mereka. Saya pikir kita, sebagai masyarakat, juga melewatkan peluang kita.
You see, I've got a crazy theory about the folks in the middle. I think there are some unclaimed winning lottery tickets in the middle. I think the cure for cancer and the path to world peace might very well reside there. Now, as a former middle school teacher, I'm not saying that magically everyone is suddenly going to become an A student. But I also believe that most folks in the middle are capable of a lot more. And I think people stay in the middle because that's where we relegated them to and, sometimes, that's just where they're kind of chilling while they figure things out.
Anda tahu, saya punya sebuah teori yang tidak biasa mengenai kaum menengah. Saya kira ada beberapa kemenangan lotere yang belum diklaim dalam kaum menengah. Saya pikir pengobatan untuk kanker dan jalan menuju perdamaian dunia sangat mungkin ada di sana. Sekarang, sebagai mantan guru sekolah menengah, saya tidak bilang semua orang tiba-tiba secara ajaib menjadi murid unggulan. Tapi saya pun percaya bahwa sebagian besar kaum menengah mampu untuk melakukan lebih banyak lagi. Saya pikir orang tetap berada di tengah karena di sanalah kita mengirim mereka dan, terkadang, mereka ketakutan untuk memecahkan masalah.
All of our journeys are made up of a series of rest stops, accelerations, losses and wins. We have a responsibility to make sure that one's racial, gender, cultural and socioeconomic identity is never the reason you didn't have access out of the middle.
Seluruh perjalanan kita terdiri dari peristirahatan, percepatan, kekalahan, dan kemenangan. Kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa ras, jenis kelamin, identitas budaya dan sosial ekonomi seseorang tidak akan menjadi alasan Anda tidak dapat keluar dari golongan tengah.
So, just as my mother did with me, I began with high expectations with my young people. And I started with a question. I stopped asking kids, "Hey, do you want to go to college?" I started asking them, "What college would you like to attend?" You see, the first question --
Jadi, sama seperti yang ibu saya lakukan kepada saya, saya memulai dengan memiliki ekspektasi tinggi terhadap para pemuda saya. Saya mulai dari satu pertanyaan. Saya berhenti menanyai anak-anak itu, "Hei, apakah kalian ingin kuliah?" Saya mulai bertanya pada mereka, "Universitas mana yang ingin kalian tuju?" Anda lihat, pertanyaan pertama --
(Applause)
(Tepuk tangan)
The first question leaves a lot of vague possibilities open. But the second question says something about what I thought my young people were capable of. On a basic level, it assumes that they're going to graduate from high school successfully. It also assumed that they would have the kinds of academic records that could get them college and university admissions. And I'm proud to say that the high expectations worked. While black and Latinx students nationally tend to graduate from college in six years or less, at a percent of 38, we were recognized by the College Board for our ability not to just get kids into college but to get them through college.
Pertanyaan pertama menyisakan banyak kemungkinan yang samar-samar. Tapi pertanyaan kedua menyatakan sesuatu yang saya yakin dapat dilakukan oleh para pemuda saya. Pada dasarnya, pertanyaan itu mengasumsikan bahwa mereka akan berhasil lulus dari sekolah menengah. Pertanyaan itu juga mengasumsikan bahwa mereka akan mempunyai catatan akademik yang akan membawa mereka masuk universitas. Dan saya dengan bangga menyatakan bahwa ekspektasi tinggi itu berhasil. Sementara siswa kulit hitam dan keturunan Latin yang secara nasional butuh enam tahun atau kurang, untuk lulus kuliah, pada angka 38 persen, kami diakui oleh Jajaran Perguruan Tinggi bukan hanya atas kemampuan kami mengirim anak-anak ke perguruan tinggi namun juga dapat mengawal mereka sampai lulus kuliah.
(Applause)
(Tepuk tangan)
But I also understand that high expectations are great, but it takes a little bit more than that. You wouldn't ask a pastry chef to bake a cake without an oven. And we should not be asking the folks in the middle to make the leap without providing them with the tools, strategies and support they deserve to make progress in their lives.
Tapi saya pun paham, bahwa selain ekspektasi tinggi, harus ada yang lebih, untuk berhasil. Anda tidak akan meminta pembuat kue untuk memanggang kue tanpa oven. Dan kita pun tidak seharusnya meminta kaum menengah untuk membuat lompatan tanpa menyediakan peralatan, strategi, dan dukungan layak mereka dapatkan supaya mereka maju dalam hidup mereka.
A young woman I had been mentoring for a long time, Nicole, came to my office one day, after her guidance counselor looked at her pretty strong transcript and expressed utter shock and amazement that she was even interested in going to college. What the guidance counselor didn't know was that through her community, Nicole had had access to college prep work, SAT prep and international travel programs. Not only was college in her future, but I'm proud to say that Nicole went on to earn two master's degrees after graduating from Purdue University.
Seorang wanita muda yang saya bimbing dalam waktu yang lama, Nicole, datang ke kantor saya pada suatu hari, setelah konselor pembimbingnya melihat transkripnya yang sangat bagus dan menyampaikan keterkejutan dan kekaguman bahwa dia bahkan tertarik untuk masuk perguruan tinggi. Yang tidak konselor pembimbingnya ketahui adalah bahwa melalui komunitasnya, Nicole mempunyai akses ke kelas persiapan kuliah, persiapan tes masuk, dan program perjalanan internasional. Bukan hanya perguruan tinggi yang ada di masa depannya, tapi saya pun dengan bangga mengatakan bahwa Nicole meraih dua gelar master setelah lulus dari Universitas Purdue.
(Applause)
(Tepuk tangan)
We also made it our business to hold our young people accountable, but also to instill a sense of accountability in those young people to themselves, to each other, to their families and their communities. We doubled down on asset-based youth development. We went on leadership retreats and did high ropes courses and low ropes courses and tackled life's biggest questions together. The result was that the kids really bought into the notion that they were accountable for achieving these college degrees. It was so gratifying to see the kids calling each other and texting each other to say, "Hey, why are you late for SAT prep?" And, "What are you packing for the college tour tomorrow?"
Kami bertanggungjawab mendidik pemuda kami untuk bertanggungjawab dengan menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri mereka terhadap diri mereka sendiri, orang lain, keluarga, dan komunitas mereka. Kami menggandakan pengembangan orang muda berbasis aset. Kami berangkat ke pelatihan kepemimpinan dan melakukan pelatihan kerja tim dan memecahkan banyak pertanyaan dalam kehidupan bersama-sama. Hasilnya adalah anak-anak ini benar-benar dibawa masuk ke dalam gagasan bahwa mereka bertanggungjawab untuk meraih setiap gelar perguruan tinggi ini. Sungguh puas, saya melihat anak-anak itu saling menelepon dan berkirim pesan bertanya, "Hei, kenapa kamu terlambat datang ke persiapan tes masuk?" dan "Apa yang kamu bawa untuk tur perguruan tinggi besok?"
We really worked to kind of make college the thing to do. We began to create programs on college campuses and events that allow young people to really visualize themselves as college students and college graduates. Me and my staff rocked our own college gear and had lots of fun, healthy competition about whose school was better than whose. The kids really bought into it, and they began to see that something more was possible for their lives. Not only that -- they could look around at that college-going community and see kids who came from the same backgrounds and the same neighborhoods and who were aspiring to the same things.
Kami berjuang keras untuk menanamkan bahwa kuliah adalah hal yang harus dilakukan. Kami mulai membuat program di kampus dan perguruan tinggi dan acara di mana orang muda benar-benar dapat melihat diri mereka sebagai mahasiswa dan lulusan universitas. Saya dan staf saya membuat perlengkapan kuliah kami sendiri dan kami bersenang-senang, berkompetisi sekolah siapa yang lebih bagus. Anak-anak benar-benar mempercayainya, dan mereka mulai sadar bahwa hidup mereka dapat menjadi lebih baik. Tidak hanya itu -- mereka dapat memandang ke komunitas kuliah mereka dan melihat anak-anak yang datang dari latar belakang yang sama dan lingkungan yang sama dan mendambakan hal yang sama.
That sense of belonging was really key, and it showed up in a remarkable, beautiful way one day when we were in the Johannesburg airport, waiting to go through customs on our way to Botswana for a service learning trip. I saw a group of kids kind of huddled in a circle. Usually, with teens, that means something's going on.
Kuncinya ada di rasa memiliki, dan hal itu nyata dengan cara yang indah di satu hari saat kami berada di bandara Johannesburg, menunggu untuk melewati bea cukai dalam perjalanan kami menuju Botswana untuk trip pembelajaran pelayanan. Saya melihat sekelompok anak berkerumun membentuk lingkaran. Biasanya, untuk remaja, itu tandanya ada sesuatu terjadi.
(Laughter)
(Tawa)
So I kind of walked up behind the kids to figure out what they were talking about. They were comparing passport stamps.
Jadi saya berjalan ke arah anak-anak itu untuk mencari tahu yang sedang mereka bicarakan. Mereka sedang membandingkan cap paspor.
(Laughter)
(Tawa)
And they were dreaming out loud about all the other countries they planned to visit in the future. And seeing these young people from New York City go on to not just become college students but to participate in study abroad programs and to then take jobs around the world was incredibly gratifying.
Dan mereka menyuarakan keinginan mereka tentang negara-negara lain yang ingin mereka kunjungi di masa yang akan datang. Dan melihat anak-anak muda dari kota New York yang tidak hanya menjadi mahasiswa tapi juga berpartisipasi dalam program belajar ke luar negeri dan kemudian mendapatkan pekerjaan di seluruh dunia sungguh sangat memuaskan.
When I think of my kids and all the doctors, lawyers, teachers, social workers, journalists and artists who came from our little nook in New York City, I hate to think of what would have happened if we hadn't invested in the middle. Just think about all that their communities and the world would have missed out on.
Ketika saya memikirkan anak saya dan para dokter, pengacara, guru, pekerja sosial, jurnalis dan seniman yang datang dari ceruk kecil kami di kota New York, saya tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi apabila kami tidak berinvestasi pada golongan tengah. Pikirkan saja kesempatan apa yang komunitas mereka dan dunia ini akan lewatkan.
This formula for the middle doesn't just work with young people. It can transform our organizations as well. We can be more bold in coming up and articulating a mission that inspires everyone. We can authentically invite our colleagues to the table to come up with a strategy to meet the mission. We can give meaningful feedback to folks along the way, and -- and sometimes most importantly -- make sure that you're sharing credit for everyone's contributions.
Resep untuk kaum menengah bukan hanya untuk kaum muda. Resep ini juga dapat mengubah organisasi kita. Kita dapat menjadi lebih berani dalam menghadirkan dan menyuarakan misi yang menginspirasi orang-orang. Kita dapat mengajak rekan kita berdiskusi untuk bersama memikirkan strategi yang akan mewujudkan misi itu. Kita dapat memberikan respons yang berarti bagi teman sekerja ktia, dan -- dan terkadang yang paling penting -- pastikan bahwa Anda memberikan penghargaan atas kontribusi semua yang terlibat.
What happened when my staff aimed high for themselves is that what they were able to do for young people was pretty transformational. And it's been so wonderful to look back and see all of my former colleagues who've gone on to get doctorates and assume leadership roles in other organizations.
Yang terjadi ketika staf saya berekspektasi tinggi terhadap diri mereka adalah apa yang mereka dapat lakukan bagi orang-orang muda sangat mengubah hidup. Terasa luar biasa untuk menoleh kembali dan melihat mantan rekan-rekan saya yang telah meraih gelar doktor dan memikul peranan sebagai pemimpin di organisasi lainnya.
We have what it takes to inspire and uplift the folks in the middle. We can extend love to the people in the middle. We can challenge our own biases about who deserves a hand-up, and how. We can structure our organizations, communities and institutions in ways that are inclusive and that uphold principles of equity. Because, in the final analysis, what is often mistaken for a period is really just a comma.
Kita punya sesuatu untuk menginspirasi dan mengangkat kaum menengah. Kita dapat mengembangkan cinta kasih bagi orang-orang di golongan tengah. Kita bisa menantang prasangka tentang siapa yang layak dibantu, dan caranya. Kita dapat membangun organisasi, komunitas, dan institusi kita dengan cara yang inklusif dan memegang teguh prinsip kesetaraan. Karena, pada akhirnya, apa yang sering dianggap sebagai titik sebenarnya hanyalah sebuah koma.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)