When I was seven years old, some well-meaning adult asked me what I wanted to be when I grew up. Proudly, I said: "An artist." "No, you don't," he said, "You can't make a living being an artist!"
Saat saya berumur tujuh tahun, ada orang dewasa yang bertanya saya mau jadi apa saat besar nanti. Dengan bangga saya menjawab: "Seniman." "Oh, jangan," katanya, "Kamu nggak bisa mencari uang kalau jadi seniman."
My little seven-year-old Picasso dreams were crushed. But I gathered myself, went off in search of a new dream, eventually settling on being a scientist, perhaps something like the next Albert Einstein.
Impian saya menjadi seniman hancur di usia tujuh tahun. Namun, saya kembali bangkit, mencari impian baru, dan akhirnya memutuskan untuk menjadi ilmuwan, yah, kira-kira seperti Albert Einstein berikutnya.
(Laughter)
(Tawa)
I have always loved math and science, later, coding. And so I decided to study computer programming in college. In my junior year, my computer graphics professor showed us these wonderful short films. It was the first computer animation any of us had ever seen. I watched these films in wonder, transfixed, fireworks going off in my head, thinking, "That is what I want to do with my life." The idea that all the math, science and code I had been learning could come together to create these worlds and characters and stories I connected with, was pure magic for me.
Saya selalu menyukai matematika dan sains, belakangan saya juga suka coding. Jadi saya memutuskan untuk kuliah jurusan pemograman komputer. Di tahun ketiga kuliah, dosen komputer grafis saya menunjukkan film pendek yang memukau. Ini animasi komputer pertama yang pernah kami lihat. Saya terpukau menonton film ini, terpaku, kembang api bersahutan di benak saya, membatin, "Itulah yang ingin saya lakukan dalam hidup." Gagasan bahwa matematika, sains, dan kode yang saya pelajari dapat menyatu dan menciptakan dunia, karakter, dan cerita yang membuat saya merasa terhubung, sungguh ajaib bagi saya.
Just two years later, I started working at the place that made those films, Pixar Animation Studios. It was here I learned how we actually execute those films. To create our movies, we create a three-dimensional world inside the computer. We start with a point that makes a line that makes a face that creates characters, or trees and rocks that eventually become a forest. And because it's a three-dimensional world, we can move a camera around inside that world. I was fascinated by all of it. But then I got my first taste of lighting.
Dua tahun kemudian, saya mulai bekerja di tempat yang membuat film tersebut, Pixar Animation Studios. Di sinilah saya belajar bagaimana menggarap film-film itu. Untuk menciptakan film, kami menciptakan dunia tiga dimensi di dalam komputer. Kami mulai dari titik yang membentuk garis yang membentuk wajah yang menciptakan karakter, atau pohon dan batu yang akhirnya membentuk hutan. Dan karena ini adalah dunia tiga dimensi, kami bisa menggerakkan kamera di dalam dunia ini. Saya sungguh sangat terpukau dengan semua ini. Lalu saya bertemu dengan tata cahaya.
Lighting in practice is placing lights inside this three-dimensional world. I actually have icons of lights I move around in there. Here you can see I've added a light, I'm turning on the rough version of lighting in our software, turn on shadows and placing the light. As I place a light, I think about what it might look like in real life, but balance that out with what we need artistically and for the story. So it might look like this at first, but as we adjust this and move that in weeks of work, in rough form it might look like this, and in final form, like this.
Pada praktiknya, tata cahaya adalah penempatan cahaya di dunia tiga dimensi. Saya punya ikon-ikon cahaya yang saya gerakkan di situ. Di sini saya memberi cahaya, saya menyalakan versi awal pencahayaan di perangkat lunak, mengaktifkan bayangan, dan menempatkan cahaya. Saat menempatkan cahaya, saya memikirkan akan seperti apa kelihatannya di dunia nyata, tapi juga menyeimbangkannya dengan estetika dan keperluan cerita. Jadi mungkin awalnya tampak seperti ini, tapi setelah kami atur dan geser kesana-kemari, dalam beberapa minggu, secara kasar mungkin akan tampak seperti ini, dan bentuk finalnya, seperti ini.
There's this moment in lighting that made me fall utterly in love with it. It's where we go from this to this. It's the moment where all the pieces come together, and suddenly the world comes to life as if it's an actual place that exists. This moment never gets old, especially for that little seven-year-old girl that wanted to be an artist.
Ada satu momen yang membuat saya jatuh cinta pada pencahayaan. Yaitu saat kami beranjak dari sini ke sini. Inilah momen saat semua bagian menyatu, dan tiba-tiba dunia itu menjadi hidup seakan benar-benar nyata. Momen ini tidak pernah membosankan, terutama di mata gadis kecil usia 7 tahun yang ingin jadi seniman.
As I learned to light, I learned about using light to help tell story, to set the time of day, to create the mood, to guide the audience's eye, how to make a character look appealing or stand out in a busy set.
Saat belajar menata cahaya, saya belajar bagaimana menggunakannya untuk menyampaikan cerita, menunjukkan waktu, menciptakan mood, mengarahkan pandangan penonton, membuat karakter tampak menarik atau menonjol di latar yang ramai.
Did you see WALL-E?
Anda lihat WALL-E?
(Laughter)
(Tawa)
There he is.
Itu dia.
As you can see, we can create any world that we want inside the computer. We can make a world with monsters, with robots that fall in love, we can even make pigs fly.
Bisa Anda lihat, kami dapat menciptakan segala macam dunia di dalam komputer. Kami dapat membuat dunia penuh monster, robot yang jatuh cinta, bahkan membuat babi terbang.
(Laughter)
(Tawa)
While this is an incredible thing, this untethered artistic freedom, it can create chaos. It can create unbelievable worlds, unbelievable movement, things that are jarring to the audience.
Meskipun keren, kebebasan artistik yang tak terbendung ini bisa menimbulkan keruwetan. Bisa menciptakan dunia yang tak mungkin, gerakan yang mustahil, hal-hal yang sungguh ganjil bagi penonton.
So to combat this, we tether ourselves with science. We use science and the world we know as a backbone, to ground ourselves in something relatable and recognizable. "Finding Nemo" is an excellent example of this. A major portion of the movie takes place underwater. But how do you make it look underwater?
Untuk mengantisipasinya, kami membekali diri dengan sains. Kami menggunakan sains dan dunia yang kami kenal sebagai pedoman yang menjadi acuan untuk menciptakan dunia yang masuk akal dan familiar. "Finding Nemo" adalah satu contoh bagus. Sebagian besar ceritanya terjadi di bawah laut. Tapi bagaimana supaya tampak seperti bawah laut?
In early research and development, we took a clip of underwater footage and recreated it in the computer. Then we broke it back down to see which elements make up that underwater look. One of the most critical elements was how the light travels through the water. So we coded up a light that mimics this physics -- first, the visibility of the water, and then what happens with the color. Objects close to the eye have their full, rich colors. As light travels deeper into the water, we lose the red wavelengths, then the green wavelengths, leaving us with blue at the far depths.
Di awal penelitian dan pengembangan, kami merekam cuplikan video bawah laut lalu menjiplaknya di komputer. Lalu kami mengurainya untuk melihat unsur mana yang menimbulkan kesan bawah laut. Salah satu unsur terpenting adalah cara cahaya menembus air. Maka kami membuat algoritma cahaya yang meniru prinsip fisika ini -- pertama, penampakan air, kemudian pengaruhnya terhadap warna. Objek yang dekat tampak berwarna cerah. Semakin jauh sumber cahaya di dalam air, unsur warna merah mulai pudar, disusul unsur warna hijau, hingga tersisa warna biru di kedalaman.
In this clip you can see two other important elements. The first is the surge and swell, or the invisible underwater current that pushes the bits of particulate around in the water. The second is the caustics. These are the ribbons of light, like you might see on the bottom of a pool, that are created when the sun bends through the crests of the ripples and waves on the ocean's surface. Here we have the fog beams. These give us color depth cues, but also tells which direction is up in shots where we don't see the water surface. The other really cool thing you can see here is that we lit that particulate only with the caustics, so that as it goes in and out of those ribbons of light, it appears and disappears, lending a subtle, magical sparkle to the underwater.
Di klip ini Anda dapat melihat dua unsur penting lainnya. Yang pertama yaitu gelombang air, atau arus bawah laut yang kasat mata yang menggerakkan segala macam partikel kesana kemari di dalam air. Yang kedua adalah selengkung bias, yaitu pita-pita cahaya seperti yang ada di dasar kolam, yang terbentuk akibat pembiasan cahaya matahari oleh riak dan ombak di permukaan laut. Ini adalah kelambu cahaya. Ini menunjukkan kedalaman warna, dan juga arah atas dan bawah pada latar yang tidak menampakkan permukaan laut. Hal keren lain yang bisa dilihat di sini adalah kami hanya menyinari partikulat dengan selengkung bias, sehingga partikulat itu hilang timbul seiring ia keluar masuk pita cahaya, menciptakan kerlap-kerlip di bawah laut.
You can see how we're using the science -- the physics of water, light and movement -- to tether that artistic freedom. But we are not beholden to it. We considered each of these elements and which ones had to be scientifically accurate and which ones we could push and pull to suit the story and the mood.
Anda bisa lihat bagaimana kami menggunakan sains -- sifat fisis air, cahaya dan pergerakan -- untuk membatasi kebebasan artistik. Tetapi kami tidak terikat penuh padanya. Kami mempertimbangkan setiap elemen, mana yang harus akurat secara ilmiah, dan mana yang bisa kami sesuaikan dengan cerita dan mood yang ingin disampaikan.
We realized early on that color was one we had some leeway with. So here's a traditionally colored underwater scene. But here, we can take Sydney Harbor and push it fairly green to suit the sad mood of what's happening. In this scene, it's really important we see deep into the underwater, so we understand what the East Australian Current is, that the turtles are diving into and going on this roller coaster ride. So we pushed the visibility of the water well past anything you would ever see in real life. Because in the end, we are not trying to recreate the scientifically correct real world, we're trying to create a believable world, one the audience can immerse themselves in to experience the story.
Sejak awal kami menyadari bahwa warna adalah elemen yang bisa kami mainkan. Ini adalah adegan bawah laut dengan pewarnaan wajar. Tapi di sini, kami bisa membuat Pelabuhan Sydney lebih hijau sesuai mood cerita yang sedih. Di adegan ini, penting untuk melihat jauh ke kedalaman laut, agar kita paham apa itu Arus Australia Timur yang membawa para kura-kura dalam perjalanan bak roller coaster ini. Maka kami meningkatkan penampakan air jauh melampaui yang bisa Anda lihat di dunia nyata. Karena pada akhirnya, kami bukan sedang mencoba menciptakan kembali dunia nyata yang akurat secara ilmiah, melainkan dunia yang meyakinkan, yang dapat diselami penonton untuk merasakan ceritanya.
We use science to create something wonderful. We use story and artistic touch to get us to a place of wonder. This guy, WALL-E, is a great example of that. He finds beauty in the simplest things. But when he came in to lighting, we knew we had a big problem. We got so geeked-out on making WALL-E this convincing robot, that we made his binoculars practically optically perfect.
Kami menggunakan sains untuk menciptakan keindahan. Sedangkan cerita serta sentuhan artistik membawa kami ke tempat penuh keajaiban. Robot ini, WALL-E, adalah contoh yang pas. Dia melihat keindahan dalam kesederhanaan. Tapi ketika melakukan pencahayaan, kami tahu ada masalah besar. Kami sibuk membuat WALL-E menjadi robot yang meyakinkan, sampai kami membuat mata teropongnya sempurna dari sudut pandang optik.
(Laughter)
(Tawa)
His binoculars are one of the most critical acting devices he has. He doesn't have a face or even traditional dialogue, for that matter. So the animators were heavily dependent on the binoculars to sell his acting and emotions.
Mata teropongnya adalah salah satu alat terpenting dalam perannya. Dia tidak punya wajah, atau bahkan tidak punya dialog yang wajar. Jadi para animator sangat bergantung pada mata teropongnya untuk menunjukkan acting dan perasaan WALL-E.
We started lighting and we realized the triple lenses inside his binoculars were a mess of reflections. He was starting to look glassy-eyed.
Kami mulai menata cahaya dan menyadari bahwa lensa rangkap tiga di dalam teropongnya membuat pantulan bayangan yang kacau. WALL-E tampak punya tatapan kosong.
(Laughter)
(Tawa)
Now, glassy-eyed is a fundamentally awful thing when you are trying to convince an audience that a robot has a personality and he's capable of falling in love. So we went to work on these optically perfect binoculars, trying to find a solution that would maintain his true robot materials but solve this reflection problem.
Tatapan kosong adalah hal yang sangat tidak kita inginkan ketika kita berusaha meyakinkan penonton bahwa sebuah robot punya kepribadian dan bisa jatuh cinta. Jadi kami mengutak-atik teropong yang optiknya sempurna ini, mencari solusi yang dapat mempertahankan kerangka robot WALL-E tetapi memecahkan masalah pantulan ini.
So we started with the lenses. Here's the flat-front lens, we have a concave lens and a convex lens. And here you see all three together, showing us all these reflections. We tried turning them down, we tried blocking them, nothing was working. You can see here, sometimes we needed something specific reflected in his eyes -- usually Eve. So we couldn't just use some faked abstract image on the lenses. So here we have Eve on the first lens, we put Eve on the second lens, it's not working. We turn it down, it's still not working.
Kami mulai dari lensanya. Ini lensa depan yang datar, lalu lensa cekung, dan lensa cembung. Lalu di sini ketiganya digabungkan, yang menimbulkan bayangan ini. Kami coba meredupkannya, kami coba menutupnya, tidak ada yang berhasil. Bisa Anda lihat di sini, kadang kami ingin bayangan tertentu tercermin di mata WALL-E -- biasanya Eve. Karena itu kami tidak bisa sekadar membuat gambar abstrak pada lensanya. Jadi di sini kami taruh Eve di lensa pertama, dan di lensa kedua, tidak berhasil. Kami meredupkannya, masih belum berhasil.
And then we have our eureka moment. We add a light to WALL-E that accidentally leaks into his eyes. You can see it light up these gray aperture blades. Suddenly, those aperture blades are poking through that reflection the way nothing else has. Now we recognize WALL-E as having an eye. As humans we have the white of our eye, the colored iris and the black pupil. Now WALL-E has the black of an eye, the gray aperture blades and the black pupil. Suddenly, WALL-E feels like he has a soul, like there's a character with emotion inside. Later in the movie towards the end, WALL-E loses his personality, essentially going dead. This is the perfect time to bring back that glassy-eyed look. In the next scene, WALL-E comes back to life. We bring that light back to bring the aperture blades back, and he returns to that sweet, soulful robot we've come to love.
Kemudian kami menemukan momen eureka kami. Kami menambah cahaya yang tak sengaja masuk ke mata WALL-E. Cahaya itu menyinari bilah <i>aperture</i> abu-abu ini. Seketika bilah-bilah <i>aperture</i> ini muncul di antara bayangan itu dengan cara yang sama sekali berbeda. Sekarang WALL-E benar-benar punya mata. Manusia punya bagian putih mata, iris yang berwarna, dan pupil yang hitam. Sekarang WALL-E punya bagian hitam mata, bilah aperture abu-abu, dan pupil yang hitam. Seketika WALL-E terasa seperti mempunyai jiwa, seperti ada karakter yang punya perasaan. Mendekati akhir film, WALL-E kehilangan kepribadiannya, bisa dibilang hampir mati. Ini saat yang pas untuk memperlihatkan tatapan kosong tadi. Di adegan berikutnya, WALL-E hidup kembali. Kami mengembalikan cahaya yang menyinari bilah aperture tadi, dan ia kembali menjadi robot manis penuh jiwa yang kita cintai.
(Video) WALL-E: Eva?
(Video) WALL-E: Eva?
Danielle Feinberg: There's a beauty in these unexpected moments -- when you find the key to unlocking a robot's soul, the moment when you discover what you want to do with your life. The jellyfish in "Finding Nemo" was one of those moments for me.
Danielle Feinberg: Ada keindahan dalam momen tak terduga seperti itu -- ketika menemukan kunci untuk menghidupkan jiwa sebuah robot, ketika menemukan apa yang ingin dilakukan dalam hidup. Bagi saya, ubur-ubur di film "Finding Nemo" adalah salah satunya.
There are scenes in every movie that struggle to come together. This was one of those scenes. The director had a vision for this scene based on some wonderful footage of jellyfish in the South Pacific. As we went along, we were floundering. The reviews with the director turned from the normal look-and-feel conversation into more and more questions about numbers and percentages. Maybe because unlike normal, we were basing it on something in real life, or maybe just because we had lost our way. But it had become about using our brain without our eyes, the science without the art. That scientific tether was strangling the scene.
Setiap film punya adegan yang sulit menyatu. Ini adalah salah satu adegan itu. Sutradara punya bayangan tentang adegan ini berdasarkan video ubur-ubur yang indah di Pasifik Selatan. Seiring waktu, kami kesulitan. Peninjauan bersama sutradara beralih dari percakapan normal tentang tampilan menjadi daftar pertanyaan tentang angka dan persentase. Mungkin karena tak seperti biasanya, kami membuatnya berdasarkan dunia nyata, atau karena kami memang sudah kehilangan arah. Saat itu kami sudah memakai otak saja, tanpa mata, sains tanpa seni. Adegan ini tercekik batasan ilmiah itu.
But even through all the frustrations, I still believed it could be beautiful. So when it came in to lighting, I dug in. As I worked to balance the blues and the pinks, the caustics dancing on the jellyfish bells, the undulating fog beams, something promising began to appear. I came in one morning and checked the previous night's work. And I got excited. And then I showed it to the lighting director and she got excited. Soon, I was showing to the director in a dark room full of 50 people.
Tapi terlepas dari semua kendala itu, saya masih yakin adegan ini bisa dibuat indah. Maka ketika sampai di pencahayaan, saya berusaha keras. Saat saya menyeimbangkan warna biru dan merah jambu, lenggak-lenggok selengkung bias di payung ubur-ubur, dan kelambu cahaya yang bergelombang, muncullah sesuatu yang menjanjikan. Suatu pagi saya memeriksa pekerjaan malam sebelumnya. Dan saya gembira. Saya tunjukkan pada direktur pencahayaan, dia juga sangat senang. Tak lama, saya menunjukkannya pada sutradara di ruang gelap berisi 50 orang.
In director review, you hope you might get some nice words, then you get some notes and fixes, generally. And then, hopefully, you get a final, signaling to move on to the next stage. I gave my intro, and I played the jellyfish scene. And the director was silent for an uncomfortably long amount of time. Just long enough for me to think, "Oh no, this is doomed." And then he started clapping. And then the production designer started clapping. And then the whole room was clapping. This is the moment that I live for in lighting. The moment where it all comes together and we get a world that we can believe in.
Pada peninjauan sutradara, umumnya Anda mengharapkan kata-kata manis, lalu beberapa catatan dan perbaikan. Kemudian, harapannya, mendapat persetujuan akhir, tanda untuk maju ke tahap berikutnya. Saya memberi intro, lalu saya putar adegan ubur-ubur itu. Dan sutradara terdiam lama sampai terasa tak nyaman. Cukup lama untuk membuat saya berpikir, "Oh tidak, ini kiamat." Kemudian ia mulai bertepuk tangan. Lalu desainer produksi bertepuk tangan. Lalu seisi ruangan bertepuk tangan. Inilah momen yang saya dambakan dalam mengerjakan pencahayaan. Momen ketika segalanya menyatu dan kami mendapatkan dunia yang dapat kita yakini.
We use math, science and code to create these amazing worlds. We use storytelling and art to bring them to life. It's this interweaving of art and science that elevates the world to a place of wonder, a place with soul, a place we can believe in, a place where the things you imagine can become real -- and a world where a girl suddenly realizes not only is she a scientist, but also an artist.
Kami menggunakan matematika, sains, dan kode untuk menciptakan dunia yang menakjubkan. Kami menggunakan dongeng dan seni untuk menghidupkan dunia itu. Keterkaitan seni dan sainslah yang mengangkat dunia ini menjadi tempat yang ajaib, tempat yang punya jiwa, tempat yang dapat kita yakini, tempat yang membuat imajinasi menjadi nyata -- dan dunia di mana seorang anak perempuan menyadari bahwa dia bukan hanya seorang ilmuwan, tetapi juga seorang seniman.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)