I need to make a confession at the outset here. A little over 20 years ago, I did something that I regret, something that I'm not particularly proud of. Something that, in many ways, I wish no one would ever know, but here I feel kind of obliged to reveal.
Saya perlu membuat pengakuan selagi kita masih di awal Dua puluhan tahun lalu saya melakukan sesuatu yang saya sesali sesuatu yang tidak bisa dibanggakan sesuatu yang saya harap orang lain tak pernah tahu tapi di sini saya merasa berkewajiban untuk mengakuinya
(Laughter)
(Tawa)
In the late 1980s, in a moment of youthful indiscretion, I went to law school.
Di akhir tahun 80-an karena kesembronoan masa muda saya kuliah di fakultas hukum.
(Laughter)
(Tawa)
In America, law is a professional degree: after your university degree, you go on to law school. When I got to law school, I didn't do very well. To put it mildly, I didn't do very well. I, in fact, graduated in the part of my law school class that made the top 90% possible.
Kini, di Amerika, Sarjana Hukum adalah gelar profesional Anda ambil gelar sarjana dulu, baru kemudian masuk fakultas hukum Dan ketika saya kuliah di fakultas hukum, saya tidak begitu berprestasi. Secara halus, bisa dibilang saya tidak terlalu berprestasi. Saya bahkan masuk dalam kelompok lulusan di angkatan saya yang memungkinkan kelompok lainnya jadi 90% terbaik
(Laughter)
(Tawa)
Thank you. I never practiced law a day in my life; I pretty much wasn't allowed to.
Terima kasih. Saya tak pernah jadi praktisi hukum sehari pun seumur hidupku. Karena memang tak akan diijinkan.
(Laughter)
(Tawa)
But today, against my better judgment, against the advice of my own wife, I want to try to dust off some of those legal skills -- what's left of those legal skills. I don't want to tell you a story. I want to make a case. I want to make a hard-headed, evidence-based, dare I say lawyerly case, for rethinking how we run our businesses.
Tapi hari ini, meski ditentang oleh akal sehat saya, meski sudah dilarang oleh istri saya sendiri, Saya ingin coba mengasah kembali ketrampilan saya di bidang hukum, entah seberapa yang tersisa. Saya tak akan bercerita pada anda. Saya ingin membuat sebuah argumen hukum. Saya ingin membuat argumen pragmatis, berdasar bukti-bukti, bahkan bisa dibilang sebagai argumen ala pengacara, tentang perlunya memikirkan kembali cara kita menjalankan bisnis.
So, ladies and gentlemen of the jury, take a look at this. This is called the candle problem. Some of you might know it. It's created in 1945 by a psychologist named Karl Duncker. He created this experiment that is used in many other experiments in behavioral science. And here's how it works. Suppose I'm the experimenter. I bring you into a room. I give you a candle, some thumbtacks and some matches. And I say to you, "Your job is to attach the candle to the wall so the wax doesn't drip onto the table." Now what would you do?
Jadi, bapak-bapak dan ibu-ibu juri, lihatlah ini. Ini namanya teka-teki lilin. Beberapa dari anda mungkin sudah pernah melihatnya. Ini diciptakan tahun 1945 oleh seorang psikolog bernama Karl Duncker. Karl Duncker menciptakan eksperimen ini yang lalu dipakai di berbagai macam eksperimen di bidang ilmu perilaku. Begini cara kerjanya. Misalkan saya yang jadi ilmuwannya. Saya bawa anda ke sebuah ruangan. Saya beri anda sebuah lilin, beberapa paku payung, dan korek api. Dan saya katakan pada anda, "Tugas anda adalah menempelkan lilinnya ke tembok tapi tetesannya tak boleh jatuh ke meja. "Apa yang akan anda lakukan? Banyak orang mulai mencoba untuk memaku lilinnya ke tembok.
Many people begin trying to thumbtack the candle to the wall. Doesn't work. I saw somebody kind of make the motion over here -- some people have a great idea where they light the match, melt the side of the candle, try to adhere it to the wall. It's an awesome idea. Doesn't work. And eventually, after five or ten minutes, most people figure out the solution, which you can see here.
Tidak berhasil. Seseorang, beberapa orang, dan saya melihat seseorang sepertinya memperagakannya di sini. Beberapa orang memiliki ide bagus dimana mereka menyalakan korek apinya, melelehkan sisi samping lilinnya, mencoba menempelkannya ke tembok. Ide yang mengagumkan. Tapi tidak berhasil. Dan akhirnya, setelah 5 atau 10 menit, kebanyakan orang menemukan jawabannya, yang dapat anda lihat di sini.
The key is to overcome what's called functional fixedness. You look at that box and you see it only as a receptacle for the tacks. But it can also have this other function, as a platform for the candle. The candle problem.
Kuncinya adalah dengan mengatasi apa yang dinamakan 'ketetapan fungsi' Anda melihat kotak itu dan hanya melihatnya sebagai wadah untuk paku-paku. Tapi kotak itu juga dapat memiliki fungsi lain, sebagai penyangga lilin. Teka-teki lilin.
I want to tell you about an experiment using the candle problem, done by a scientist named Sam Glucksberg, who is now at Princeton University, US, This shows the power of incentives.
Sekarang saya ingin bercerita tentang sebuah eksperimen yang memakai teka-teki lilin, dilakukan oleh ilmuwan bernama Sam Glucksberg, yang kini di Universitas Princeton di AS. Eksperimen ini menunjukkan kekuatan insentif.
He gathered his participants and said: "I'm going to time you, how quickly you can solve this problem." To one group he said, "I'm going to time you to establish norms, averages for how long it typically takes someone to solve this sort of problem."
Begini eksperimennya. Ia mengumpulkan para peserta. Lalu berkata, "saya akan ukur seberapa cepat anda bisa pecahkan teka-teki ini." Pada satu grup ia berkata, Saya akan ukur kecepatan anda untuk menentukan standar, berapa rata-rata waktu yang biasa diperlukan untuk menyelesaikan teka-teki semacam ini.
To the second group he offered rewards. He said, "If you're in the top 25% of the fastest times, you get five dollars. If you're the fastest of everyone we're testing here today, you get 20 dollars." Now this is several years ago, adjusted for inflation, it's a decent sum of money for a few minutes of work. It's a nice motivator.
Pada grup kedua ia menawarkan hadiah. Katanya, "Jika anda berada di 25 persen waktu tercepat anda akan mendapat lima dollar. Jika anda menjadi yang tercepat dari semua peserta hari ini anda mendapat 20 dollar." Eksperimen ini dilakukan beberapa tahun lalu. Jika kita perhitungkan inflasi, jumlah uang itu cukup besar untuk tugas yang hanya perlu beberapa menit saja. Penambah motivasi yang bagus.
Question: How much faster did this group solve the problem?
Pertanyaannya: Seberapa cepat grup kedua ini memecahkan teka-teki itu?
Answer: It took them, on average, three and a half minutes longer. 3.5 min longer. This makes no sense, right? I mean, I'm an American. I believe in free markets. That's not how it's supposed to work, right?
Jawabannya: Rata-rata mereka memerlukan tiga setengah menit lebih lama. Tiga setengah menit lebih lama. Ini tak masuk akal bukan? Maksud saya, saya ini orang Amerika. Saya menganut pasar bebas. Jadi bukan itu yang seharusnya terjadi, bukan?
(Laughter)
(Tawa)
If you want people to perform better, you reward them. Right? Bonuses, commissions, their own reality show. Incentivize them. That's how business works. But that's not happening here. You've got an incentive designed to sharpen thinking and accelerate creativity, and it does just the opposite. It dulls thinking and blocks creativity.
Kalau anda ingin orang bekerja lebih baik, anda beri mereka imbalan, bukan? Bonus, komisi, reality show mereka sendiri. Beri mereka insentif. Begitu cara bisnis bekerja. Tapi itu tidak terjadi di sini. Anda memberi insentif yang dibuat untuk mempertajam pikiran dan mempercepat kreativitas. Yang terjadi malah kebalikannya. Insentif menumpulkan pikiran dan menghambat kreativitas.
What's interesting about this experiment is that it's not an aberration. This has been replicated over and over again for nearly 40 years. These contingent motivators -- if you do this, then you get that -- work in some circumstances. But for a lot of tasks, they actually either don't work or, often, they do harm. This is one of the most robust findings in social science, and also one of the most ignored.
Dan yang menarik dari eksperimen ini adalah bahwa ini bukanlah perkecualian. Eksperimennya telah diulang berkali-kali berulang kali, selama hampir 40 tahun. Motivator bersyarat ini, kalau anda lakukan ini, anda akan dapat itu, efektif pada kondisi tertentu. Tapi untuk banyak jenis pekerjaan, motivator itu sebenarnya tidak berguna, atau seringkali malah merugikan. Ini adalah salah satu penemuan yang paling meyakinkan dalam ilmu sosial. Dan juga salah satu yang paling diabaikan.
I spent the last couple of years looking at the science of human motivation, particularly the dynamics of extrinsic motivators and intrinsic motivators. And I'm telling you, it's not even close. If you look at the science, there is a mismatch between what science knows and what business does.
Saya telah menghabiskan dua tahun terakhir mempelajari ilmu motivasi manusia. Terutama dinamika motivator dari luar dan motivator dari dalam. Dan percayalah, keduanya sangat berbeda. Jika anda mengamati ilmu di bidang ini, ada kesenjangan antara apa yang diketahui secara ilmiah dan apa yang dilakukan pelaku usaha. Dan yang mengkhawatirkan di sini adalah sistem kerja bisnis kita –
What's alarming here is that our business operating system -- think of the set of assumptions and protocols beneath our businesses, how we motivate people, how we apply our human resources-- it's built entirely around these extrinsic motivators, around carrots and sticks. That's actually fine for many kinds of 20th century tasks. But for 21st century tasks, that mechanistic, reward-and-punishment approach doesn't work, often doesn't work, and often does harm. Let me show you.
yaitu kumpulan asumsi dan protokol yang mendasari bisnis kita, bagaimana kita memotivasi orang, bagaimana kita memanfaatkan SDM kita – semuanya dibangun berdasarkan motivator dari luar, berdasarkan permen dan cambuk. Itu tak jadi masalah untuk berbagai macam pekerjaan abad ke 20. Tapi untuk pekerjaan di abad ke 21, pendekatan seperti mesin, dengan hadiah dan hukuman macam itu tak berfungsi, lebih sering gagal, dan seringkali merugikan. Akan saya tunjukkan apa yang saya maksud.
Glucksberg did another similar experiment, he presented the problem in a slightly different way, like this up here. Attach the candle to the wall so the wax doesn't drip onto the table. Same deal. You: we're timing for norms. You: we're incentivizing.
Jadi Glucksberg melakukan eksperimen lain yang mirip, di mana ia menyajikan teka-tekinya dengan sedikit berbeda, seperti di gambar ini. Oke? Pasang lilinnya ke tembok tapi tetesannya tak boleh jatuh ke meja. Aturannya sama. Kamu: kecepatanmu diukur untuk standar. Kamu: kami beri insentif.
What happened this time? This time, the incentivized group kicked the other group's butt. Why? Because when the tacks are out of the box, it's pretty easy isn't it?
Apa yang terjadi kali ini? Kali ini, grup yang diberi insentif menang telak atas grup lainnya. Kenapa? Karena kalau paku payungnya di luar kotak memang lebih gampang kan?
(Laughter)
(Tawa)
If-then rewards work really well for those sorts of tasks, where there is a simple set of rules and a clear destination to go to. Rewards, by their very nature, narrow our focus, concentrate the mind; that's why they work in so many cases. So, for tasks like this, a narrow focus, where you just see the goal right there, zoom straight ahead to it, they work really well.
Jadi hadiah memang sangat efektif untuk tugas-tugas macam itu, yang memiliki aturan yang sederhana dan tujuan yang jelas. yang harus dicapai. Hadiah, berdasarkan sifatnya mempersempit fokus kita, mengkonsentrasikan pikiran. Itu sebabnya hadiah efektif di banyak kondisi. Jadi, untuk tugas-tugas macam ini, dengan fokus yang sempit, di mana tujuannya jelas terlihat dan kita bisa melesat ke arahnya, hadiah sangatlah efektif.
But for the real candle problem, you don't want to be looking like this. The solution is on the periphery. You want to be looking around. That reward actually narrows our focus and restricts our possibility.
Tapi untuk teka-teki lilin yang asli, anda tak ingin melihatnya begini. Jawabannya bukan di sini. Jawabannya ada di sekeliling kita. Anda ingin mengamati sekitar anda. Hadiah sebenarnya mempersempit fokus kita dan membatasi peluang yang dapat diraih.
Let me tell you why this is so important. In western Europe, in many parts of Asia, in North America, in Australia, white-collar workers are doing less of this kind of work, and more of this kind of work. That routine, rule-based, left-brain work -- certain kinds of accounting, financial analysis, computer programming -- has become fairly easy to outsource, fairly easy to automate. Software can do it faster. Low-cost providers can do it cheaper. So what really matters are the more right-brained creative, conceptual kinds of abilities.
Akan saya ungkapkan mengapa ini begitu penting. Di Eropa barat, di banyak bagian dari Asia, di Amerika utara, di Australia, para pekerja kerah putih makin sedikit melakukan pekerjaan macam ini, dan lebih banyak pekerjaan macam ini. Pekerjaan rutin yang berdasar aturan dan menggunakan otak kiri, beberapa jenis akuntansi, beberapa jenis analisis keuangan, beberapa jenis pemrograman komputer, jadi makin mudah untuk di-outsource, relatif mudah dibuat otomatis. Software bisa melakukannya lebih cepat. Penyedia layanan dari seluruh dunia bisa melakukannya dengan lebih murah. Jadi lebih penting jenis ketrampilan yang menggunakan otak kanan ketrampilan kreatif dan konseptual.
Think about your own work. Think about your own work. Are the problems that you face, or even the problems we've been talking about here, do they have a clear set of rules, and a single solution? No. The rules are mystifying. The solution, if it exists at all, is surprising and not obvious. Everybody in this room is dealing with their own version of the candle problem. And for candle problems of any kind, in any field, those if-then rewards, the things around which we've built so many of our businesses, don't work!
Bayangkan pekerjaan anda sendiri. Bayangkan pekerjaan anda sendiri. Apakah masalah yang anda hadapi, atau bahkan masalah yang sedang kita perbincangkan di sini, adalah masalah macam itu -- apa masalah itu memiliki aturan yang jelas, dan satu jawaban saja? Tidak. Aturan-aturannya misterius. Jawabannya, kalau pun ada, mengejutkan dan tidak gamblang. Semua orang di ruangan ini berhadapan dengan versi masing-masing dari teka-teki lilin. Dan untuk teka-teki lilin jenis apa pun di bidang apa pun, hadiah 'jika..-maka..' tersebut, prinsip-prinsip yang mendasari begitu banyak dari bisnis-bisnis kita, tidak efektif.
It makes me crazy. And here's the thing. This is not a feeling. Okay? I'm a lawyer; I don't believe in feelings. This is not a philosophy. I'm an American; I don't believe in philosophy.
Nah, maksudku, ini membuatku gemas. Dan ini bukan -- begini.. Ini bukan cuma perasaan. Oke? Saya ini pengacara. Saya tidak percaya pada perasaan. Ini juga bukan filosofi. Saya ini orang Amerika. Saya tidak percaya pada filosofi.
(Laughter)
(Tawa)
This is a fact -- or, as we say in my hometown of Washington, D.C., a true fact.
Ini adalah fakta. Atau, seperti yang biasa dikatakan di kota saya Washington D.C., sebuah fakta yang benar.
(Laughter)
(Tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
Let me give you an example. Let me marshal the evidence here. I'm not telling a story, I'm making a case. Ladies and gentlemen of the jury, some evidence: Dan Ariely, one of the great economists of our time, he and three colleagues did a study of some MIT students. They gave these MIT students a bunch of games, games that involved creativity, and motor skills, and concentration. And the offered them, for performance, three levels of rewards: small reward, medium reward, large reward. If you do really well you get the large reward, on down.
Ijinkan saya memberikan sebuah contoh. Ijinkan saya mengajukan sebuah bukti di sini. Karena saya tidak sedang bercerita. Saya membuat argumen hukum. Bapak dan ibu juri, ini bukti-buktinya: Dan Ariely, salah satu ekonom besar di masa ini, beliau dan tiga rekannya, melakukan studi pada beberapa mahasiswa MIT. Mereka memberi mahasiswa MIT itu beberapa permainan. Permainan yang melibatkan kreativitas, dan kemampuan motorik, dan konsentrasi. dan ia menawari mereka, kalau berprestasi, tiga tingkatan hadiah. Hadiah kecil, hadiah sedang, hadiah besar. Oke? Kalau prestasinya besar, hadiahnya besar, begitu seterusnya.
What happened? As long as the task involved only mechanical skill bonuses worked as they would be expected: the higher the pay, the better the performance. Okay? But once the task called for even rudimentary cognitive skill, a larger reward led to poorer performance.
Apa yang terjadi? Selama permainannya memerlukan ketrampilan mekanis saja bonus memiliki efek seperti yang diharapkan: makin besar bayarannya, makin baik prestasinya. Oke? Tapi begitu permainannya membutuhkan sedikit saja kemampuan nalar, hadiah yang lebih besar menyebabkan makin turunnya prestasi.
Then they said, "Let's see if there's any cultural bias here. Let's go to Madurai, India and test it." Standard of living is lower. In Madurai, a reward that is modest in North American standards, is more meaningful there. Same deal. A bunch of games, three levels of rewards.
Lalu mereka berkata, "Baiklah, mari kita lihat kalau ada bias budaya di sini. Ayo kita ke Madurai, India, dan kita uji asumsi ini." Standar hidup di sana lebih rendah. Di Madurai, hadiah yang sedang-sedang saja di Amerika utara, lebih terasa bermakna di sana. Aturannya sama. Beberapa permainan, tiga tingkatan hadiah.
What happens? People offered the medium level of rewards did no better than people offered the small rewards. But this time, people offered the highest rewards, they did the worst of all. In eight of the nine tasks we examined across three experiments, higher incentives led to worse performance.
Apa yang terjadi? Mereka yang ditawari hadiah tingkat sedang tidak lebih berprestasi dibanding yang ditawari hadiah kecil. Tapi kali ini, peserta yang ditawari hadiah terbesar, menghasilkan prestasi yang paling buruk. Pada delapan dari sembilan tugas yang diteliti di tiga eksperimen, Hadiah yang makin besar menyebabkan prestasi yang memburuk.
Is this some kind of touchy-feely socialist conspiracy going on here? No, these are economists from MIT, from Carnegie Mellon, from the University of Chicago. Do you know who sponsored this research? The Federal Reserve Bank of the United States. That's the American experience.
Jangan-jangan ini semacam konspirasi sosialis untuk mengaduk emosi kita? Bukan. Mereka itu ekonom dari MIT, dari Carnegie Mellon, dari Universitas Chicago. Dan tahukah anda siapa yang membiayai penelitian ini? Bank Sentral Amerika Serikat. Itu pengamatan dari orang Amerika.
Let's go across the pond to the London School of Economics, LSE, London School of Economics, alma mater of eleven Nobel Laureates in economics. Training ground for great economic thinkers like George Soros, and Friedrich Hayek, and Mick Jagger.
Mari kita menyeberang samudera ke Fakultas Ekonomi Universitas London. LSE, London School of Economics. Sekolah yang menelurkan 11 penerima hadiah Nobel bidang ekonomi. Tempat belajar para pemikir ekonomi besar seperti George Soros, dan Friedrich Hayek, dan Mick Jagger. (Tawa)
(Laughter)
Bulan lalu, baru bulan lalu,
Last month, just last month, economists at LSE looked at 51 studies of pay-for-performance plans, inside of companies. Here's what they said: "We find that financial incentives can result in a negative impact on overall performance."
ekonom di LSE mempelajari 51 penelitian tentang sistem bonus atas prestasi, dalam perusahaan-perusahaan. Dan ini kesimpulan ilmuwan LSE itu, "Kami menemukan bahwa insentif keuangan dapat memberi dampak negatif pada kinerja secara umum."
There is a mismatch between what science knows and what business does. And what worries me, as we stand here in the rubble of the economic collapse, is that too many organizations are making their decisions, their policies about talent and people, based on assumptions that are outdated, unexamined, and rooted more in folklore than in science. And if we really want to get out of this economic mess, if we really want high performance on those definitional tasks of the 21st century, the solution is not to do more of the wrong things, to entice people with a sweeter carrot, or threaten them with a sharper stick. We need a whole new approach.
Ada kesenjangan antara apa yang diketahui secara ilmiah dan apa yang dilakukan pelaku usaha. Dan yang mengkhawatirkan, saat kita berdiri di sini di antara puing puing dari keruntuhan ekonomi, ada terlalu banyak organisasi yang membuat keputusan mereka aturan mereka tentang bakat dan manusia, yang didasarkan pada asumsi yang ketinggalan jaman, tidak cermat, dan berakar lebih pada legenda daripada ilmu. Dan jika kita benar-benar ingin keluar dari kekacauan ekonomi ini, dan jika kita sungguh menginginkan kinerja yang tinggi untuk pekerjaan-pekerjaan abad ke 21, solusinya bukanlah dengan melakukan lebih banyak kesalahan. Memikat orang dengan permen yang lebih manis. atau mengancam dengan cambuk yang lebih besar. Kita perlu pendekatan yang sama sekali baru.
The good news is that the scientists who've been studying motivation have given us this new approach. It's built much more around intrinsic motivation. Around the desire to do things because they matter, because we like it, they're interesting, or part of something important. And to my mind, that new operating system for our businesses revolves around three elements: autonomy, mastery and purpose. Autonomy: the urge to direct our own lives. Mastery: the desire to get better and better at something that matters. Purpose: the yearning to do what we do in the service of something larger than ourselves. These are the building blocks of an entirely new operating system for our businesses.
Dan kabar baiknya adalah bahwa para ilmuwan yang selama ini mempelajari motivasi, telah memberi kita pendekatan baru. Pendekatan ini dibangun berdasar motivasi dari dalam. Berdasar keinginan untuk melakukan sesuatu karena memang penting, karena kita menyukainya, karena memang menarik, karena hal itu adalah bagian dari sesuatu yang penting. Dan menurut saya, sistem operasi baru untuk bisnis itu digerakkan oleh tiga unsur: kemandirian, kepakaran, dan tujuan. Kemandirian, keinginan untuk menakhodai hidup kita sendiri. Kepakaran, hasrat untuk menjadi semakin ahli di bidang yang penting. Tujuan, kerinduan untuk melakukan apa yang kita lakukan demi kepentingan sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Itu adalah batu penyusun dari sistem operasi yang sama sekali baru untuk dunia usaha kita.
I want to talk today only about autonomy. In the 20th century, we came up with this idea of management. Management did not emanate from nature. Management is not a tree, it's a television set. Somebody invented it. It doesn't mean it's going to work forever. Management is great. Traditional notions of management are great if you want compliance. But if you want engagement, self-direction works better.
Hari ini saya hanya ingin membahas kemandirian. Pada abad ke-20, kita menemukan ide tentang manajemen. Manajemen tidak timbul dari alam. Manajemen itu seperti -- yang jelas bukan pohon. Lebih mirip pesawat televisi. Oke? Jadi ada yang menemukannya. Dan bukan berarti bahwa itu akan berfungsi selamanya. Manajemen itu bagus. Pengertian tradisional tentang manajemen itu bagus kalau yang anda inginkan adalah kepatuhan. Tapi kalau anda ingin keterlibatan, maka kemandirian akan lebih efektif.
Some examples of some kind of radical notions of self-direction. You don't see a lot of it, but you see the first stirrings of something really interesting going on, what it means is paying people adequately and fairly, absolutely -- getting the issue of money off the table, and then giving people lots of autonomy.
Ijinkan saya memberi beberapa contoh gagasan radikal tentang kemandirian Arti gagasan ini adalah -- anda mungkin jarang melihatnya tapi anda tengah melihat geliat awal dari sesuatu yang sangat menarik. Karena artinya adalah menggaji orang secara layak dan adil, tentunya. Supaya uang tak lagi jadi masalah. Lalu memberi karyawan otonomi seluas-luasnya.
Some examples. How many of you have heard of the company Atlassian? It looks like less than half.
Ijinkan saya memberi beberapa contoh. Berapa orang pernah mendengar tentang perusahaan Atlassian? Sepertinya kurang dari setengah.
(Laughter)
(Tawa)
Atlassian is an Australian software company. And they do something incredibly cool. A few times a year they tell their engineers, "Go for the next 24 hours and work on anything you want, as long as it's not part of your regular job. Work on anything you want." Engineers use this time to come up with a cool patch for code, come up with an elegant hack. Then they present all of the stuff that they've developed to their teammates, to the rest of the company, in this wild and woolly all-hands meeting at the end of the day. Being Australians, everybody has a beer.
Atlassian adalah sebuah perusahaan software Australia. Dan mereka melakukan sesuatu yang sangat keren. Beberapa kali dalam setahun mereka menyuruh insinyur-insinyur mereka, "Pergilah dan kerjakan apa yang kamu mau untuk 24 jam ke depan, asal itu bukan bagian dari pekerjaan rutinmu. Kerjakan apa saja yang kalian mau." Jadi para insinyur memanfaatkan waktu itu untuk menghasilkan revisi kode yang keren, atau hack yang elegan. Lalu mereka presentasikan semua hal yang telah dihasilkan pada rekan-rekan mereka, pada seluruh perusahaan, dalam sebuah pertemuan santai yang dihadiri semua orang di sore hari. Lalu, seperti layaknya orang Australia, semua orang minum bir.
They call them FedEx Days. Why? Because you have to deliver something overnight. It's pretty; not bad. It's a huge trademark violation, but it's pretty clever.
Mereka menamainya hari-hari FedEx. Kenapa? Karena anda harus mendatangkan sesuatu dalam semalam. Itu bagus. Tidak buruk. Meski sangat melanggar merk dagang. Tapi lumayan kreatif.
(Laughter)
(Tawa)
That one day of intense autonomy has produced a whole array of software fixes that might never have existed.
Satu hari yang penuh kemandirian itu telah menghasilkan begitu banyak perbaikan software yang tanpa itu mungkin tak pernah ada.
It's worked so well that Atlassian has taken it to the next level with 20% time -- done, famously, at Google -- where engineers can spend 20% of their time working on anything they want. They have autonomy over their time, their task, their team, their technique. Radical amounts of autonomy. And at Google, as many of you know, about half of the new products in a typical year are birthed during that 20% time: things like Gmail, Orkut, Google News.
Dan sistem ini begitu efektifnya sehingga Atlassian meningkatkannya menjadi 20 Persen Waktu. Seperti sistem terkenal yang dipakai di Google. Di mana para insinyur dapat bekerja, menghabiskan 20 persen waktu mereka mengerjakan apa pun yang mereka mau. Mereka memiliki otonomi terhadap waktu mereka, tugas-tugas mereka, tim mereka, teknik mereka. Tingkat otonomi yang radikal. Dan di Google, mungkin banyak yang sudah tahu, sekitar setengah dari produk-produk baru setiap tahunnya dilahirkan dalam 20 Persen Waktu itu. Produk seperti Gmail, Orkut, Google News.
Let me give you an even more radical example of it: something called the Results Only Work Environment (the ROWE), created by two American consultants, in place at a dozen companies around North America. In a ROWE people don't have schedules. They show up when they want. They don't have to be in the office at a certain time, or any time. They just have to get their work done. How they do it, when they do it, where they do it, is totally up to them. Meetings in these kinds of environments are optional.
Ijinkan saya memberi contoh yang lebih radikal lagi. Yang dinamakan Lingkungan Kerja Berbasis Keluaran Alias LKBK. Diciptakan oleh dua konsultan Amerika, diterapkan di sekitar selusin perusahaan di Amerika Utara. Dalam LKBK, karyawan tak punya jadwal. Mereka datang kapan saja mereka mau. Mereka tak harus ada di kantor pada jam-jam tertentu, atau jam berapa pun. Mereka hanya diharuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bagaimana melakukannya, kapan dilakukan, di mana melakukannya, semua terserah mereka. Rapat di lingkungan kerja ini tidak wajib.
What happens? Almost across the board, productivity goes up, worker engagement goes up, worker satisfaction goes up, turnover goes down. Autonomy, mastery and purpose, the building blocks of a new way of doing things.
Apa dampaknya? Hampir di seluruh perusahaan, produktivitas meningkat, karyawan jadi lebih melibatkan diri, kepuasan karyawan meningkat, yang pindah makin sedikit. Kemandirian, kepakaran, dan tujuan, Ini adalah batu penyusun dari sebuah cara baru untuk bekerja.
Some of you might look at this and say, "Hmm, that sounds nice, but it's Utopian." And I say, "Nope. I have proof." The mid-1990s, Microsoft started an encyclopedia called Encarta. They had deployed all the right incentives, They paid professionals to write and edit thousands of articles. Well-compensated managers oversaw the whole thing to make sure it came in on budget and on time. A few years later, another encyclopedia got started. Different model, right? Do it for fun. No one gets paid a cent, or a euro or a yen. Do it because you like to do it.
Mungkin di antara anda ada yang melihat ini dan berkata, "Hmm, kedengarannya bagus. Tapi terlalu muluk." Dan saya katakan, "Nggak. Saya punya bukti." Pertengahan 1990-an, Microsoft memulai sebuah ensiklopedi bernama Encarta. Mereka sudah memberi semua insentif yang tepat. Semua insentif yang tepat. Mereka membayar para profesional untuk menulis dan mengedit ribuan artikel. Manajer yang dibayar tinggi mengawasi seluruh proyek ini untuk memastikan agar penyelesaian sesuai anggaran dan jadwal. Beberapa tahun kemudian sebuah ensiklopedi lain mulai dibuat. Dengan model lain, iya kan? Lakukan demi kesenangan. Tak ada yang dibayar satu sen, satu Euro, atau satu Yen. Lakukan karena kamu suka melakukannya. Nah jika anda telah, 10 tahun lalu saja,
Just 10 years ago, if you had gone to an economist, anywhere, "Hey, I've got these two different models for creating an encyclopedia. If they went head to head, who would win?" 10 years ago you could not have found a single sober economist anywhere on planet Earth who would have predicted the Wikipedia model.
telah menemui seorang ekonom, di mana pun, dan bilang, "Hey, saya punya dua model berbeda untuk membuat ensiklopedi. Kalau kita adu kedua model ini, mana yang menang?" 10 tahun lalu anda tak akan menemukan satu ekonom waras di mana pun di planet Bumi, yang akan menjagokan model Wikipedia.
This is the titanic battle between these two approaches. This is the Ali-Frazier of motivation, right? This is the Thrilla in Manila. Intrinsic motivators versus extrinsic motivators. Autonomy, mastery and purpose, versus carrot and sticks, and who wins? Intrinsic motivation, autonomy, mastery and purpose, in a knockout.
Ini adalah pertempuran terbesar kedua pendekatan tadi. Setara dengan laga Ali-Frazier di dunia motivasi. Iya kan? Inilah Thrilla' in Manila (judul laga Ali-Frazier di Filipina). Oke? Motivasi dari dalam lawan motivasi dari luar. Kemandirian, kepakaran dan tujuan, lawan permen dan cambuk. Dan siapa yang menang? Motivasi dari dalam, kemandirian, kepakaran, dan tujuan
Let me wrap up. There is a mismatch between what science knows and what business does. Here is what science knows. One: Those 20th century rewards, those motivators we think are a natural part of business, do work, but only in a surprisingly narrow band of circumstances. Two: Those if-then rewards often destroy creativity. Three: The secret to high performance isn't rewards and punishments, but that unseen intrinsic drive-- the drive to do things for their own sake. The drive to do things cause they matter.
menang KO. Ijinkan saya menyelesaikan. Ada kesenjangan antara yang pengetahuan ilmiah dan perilaku dunia usaha. Dan inilah yang diketahui secara ilmiah. Satu: Hadiah-hadiah dari abad ke 20, Motivator yang kita kira adalah bagian alami dari bisnis, memang efektif, tapi ternyata hanya untuk sedikit kasus saja. Dua: Hadiah-hadiah 'jika..-maka..' seringkali menghancurkan kreativitas. Tiga: Rahasia dari prestasi tinggi bukanlah hadiah dan hukuman, tapi motivasi dari dalam yang tidak terlihat. Motivasi untuk bertindak karena kita menginginkannya. Motivasi untuk melakukan sesuatu karena itu penting.
And here's the best part. We already know this. The science confirms what we know in our hearts. So, if we repair this mismatch between science and business, if we bring our motivation, notions of motivation into the 21st century, if we get past this lazy, dangerous, ideology of carrots and sticks, we can strengthen our businesses, we can solve a lot of those candle problems, and maybe, maybe -- we can change the world.
Dan inilah bagian terbaiknya. Inilah bagian terbaiknya. Kita sudah tahu sekarang. Ilmu telah membenarkan apa yang kita ketahui dalam hati kita. Jadi, kalau kita perbaiki kesenjangan ini antara apa yang diketahui secara ilmiah dan yang dilakukan dunia usaha, jika kita membawa motivasi, pengertian tentang motivasi ke abad 21, jika kita melewati ideologi malas dan berbahaya ini ideologi permen dan cambuk kita bisa menguatkan dunia usaha kita, kita bisa memecahkan banyak macam teka-teki lilin, dan barangkali, barangkali, barangkali kita bisa mengubah dunia.
I rest my case.
Sekian pledoi saya.
(Applause)
(Tepuk tangan)