So, I've known a lot of fish in my life. I've loved only two. That first one, it was more like a passionate affair. It was a beautiful fish: flavorful, textured, meaty, a bestseller on the menu. What a fish. (Laughter) Even better, it was farm-raised to the supposed highest standards of sustainability. So you could feel good about selling it.
Jadi, saya sudah kenal banyak jenis ikan dalam hidup saya. Saya hanya suka dua. Yang pertama, mirip seperti hubungan yang penuh gairah. Ikan itu cantik, penuh citarasa, bertekstur, gurih, penjualannya paling tinggi di menu. Ikan yang luar biasa. (Tawa) Bahkan lebih baik lagi, ikan itu dibesarkan di peternakan dengan standar kelestarian yang tertinggi. Jadi Anda bisa merasa tenang menjualnya.
I was in a relationship with this beauty for several months. One day, the head of the company called and asked if I'd speak at an event about the farm's sustainability. "Absolutely," I said. Here was a company trying to solve what's become this unimaginable problem for us chefs: How do we keep fish on our menus?
Saya berhubungan dengan si cantik ini selama beberapa bulan. Suatu hari, pemimpin perusahaan menelpon dan bertanya apakah saya bisa berbicara di sebuah acara tentang kelestarian peternakan itu. “Tentu saja,” kata saya. Ini perusahaan yang berusaha memecahkan sesuatu yang jadi masalah tak terbayangkan bagi koki-koki kita. Bagaimana kita tetap menghidangkan ikan dalam menu kita?
For the past 50 years, we've been fishing the seas like we clear-cut forests. It's hard to overstate the destruction. Ninety percent of large fish, the ones we love -- the tunas, the halibuts, the salmons, swordfish -- they've collapsed. There's almost nothing left. So, for better or for worse, aquaculture, fish farming, is going to be a part of our future. A lot of arguments against it: Fish farms pollute -- most of them do anyway -- and they're inefficient. Take tuna, a major drawback. It's got a feed conversion ratio of 15 to one. That means it takes fifteen pounds of wild fish to get you one pound of farm tuna. Not very sustainable. It doesn't taste very good either.
Selama 50 tahun terakhir, kita telah mengambil ikan di laut seperti kita membalak hutan. Sulit untuk menekankan kehancuran yang terjadi. 90 persen ikan besar, jenis yang kita suka, tuna, halibut, salmon, ikan cucut, mereka telah habis. Hampir tak ada lagi yang tersisa. Jadi, entah lebih baik atau lebih buruk, aquakultur, peternakan ikan, akan jadi bagian masa depan kita. Banyak pendapat yang menentangnya. Peternakan ikan mencemari lingkungan, sebagian besar melakukannya, dan mereka tidak efisien, ambil contoh tuna. Sebuah kerugian besar. Rasio konversi pakannya 15 banding satu. Itu berarti butuh lima belas kilogram ikan liar untuk mendapat satu kilogram tuna ternakan. Tidak terlalu lestari. Juga rasanya tidak terlalu enak.
So here, finally, was a company trying to do it right. I wanted to support them. The day before the event, I called the head of P.R. for the company. Let's call him Don.
Jadi kini, akhirnya, ada perusahaan mencoba melakukannya dengan benar. Saya mau mendukung mereka. Sehari sebelum acara saya menelpon humas perusahaan tersebut. Kita panggil saja dia Don.
"Don," I said, "just to get the facts straight, you guys are famous for farming so far out to sea, you don't pollute."
“Don,” kata saya, “hanya ingin meluruskan beberapa hal, kalian terkenal karena beternak jauh ke tengah laut, jadi tidak mencemari lingkungan.”
"That's right," he said. "We're so far out, the waste from our fish gets distributed, not concentrated." And then he added, "We're basically a world unto ourselves. That feed conversion ratio? 2.5 to one," he said. "Best in the business."
“Itu benar,” katanya. “Kami jauh sekali ke tengah laut, kotoran ikan-ikan kami menyebar merata, tidak terkonsentrasi.” Lalu dia menambahkan, “Pada dasarnya kami memenuhi semua kebutuhan sendiri. Rasio konversi pakannya? 2,5 banding satu,” katanya. “Terbaik di bisnis ini.”
2.5 to one, great. "2.5 what? What are you feeding?"
2,5 banding satu, hebat. “2,5 banding satu apa? Apa yang Anda berikan?”
"Sustainable proteins," he said.
“Protein yang lestari,” katanya.
"Great," I said. Got off the phone. And that night, I was lying in bed, and I thought: What the hell is a sustainable protein? (Laughter)
“Hebat,” kata saya. Pembicaraannya berakhir. Malam itu, ketika saya berbaring di tempat tidur saya berpikir: Maksudnya protein yang lestari itu apa ya? (Tawa)
So the next day, just before the event, I called Don. I said, "Don, what are some examples of sustainable proteins?"
Lalu esoknya, sesaat sebelum acara, saya memanggil Don. Saya bilang, “Don, apa contohnya protein yang lestari?”
He said he didn't know. He would ask around. Well, I got on the phone with a few people in the company; no one could give me a straight answer until finally, I got on the phone with the head biologist. Let's call him Don too. (Laughter)
Dia bilang dia tidak tahu. Dia akan bertanya ke orang lain. Saya akhirnya berbicara dengan beberapa orang di perusahaan itu. Tak seorangpun dapat memberi saya jawaban lugas. Sampai akhirnya, saya berbicara dengan ahli biologi kepala. Mari kita panggil dia Don juga. (Tawa)
"Don," I said, "what are some examples of sustainable proteins?"
“Don,” kata saya, “apa contoh dari protein yang lestari?”
Well, he mentioned some algaes and some fish meals, and then he said chicken pellets. I said, "Chicken pellets?"
Lalu, dia menyinggung beberapa ganggang dan beberapa makanan ikan, lalu dia bilang pelet ayam. Tanya saya, “Pelet ayam?”
He said, "Yeah, feathers, skin, bone meal, scraps, dried and processed into feed."
Dia jawab, “Ya, bulu, kulit, tulang, dan lain-lain, dikeringkan, dan diproses jadi pakan.”
I said, "What percentage of your feed is chicken?" Thinking, you know, two percent.
Saya tanya, “Berapa persen pakan ikanmu terbuat dari ayam?” berpikir, anda tahu, dua persen.
"Well, it's about 30 percent," he said.
“Hmm, sekitar 30 persen,” katanya.
I said, "Don, what's sustainable about feeding chicken to fish?" (Laughter)
Saya berkata, “Don, apa yang lestari dalam memberikan ayam sebagai pakan ikan?” (Tawa)
There was a long pause on the line, and he said, "There's just too much chicken in the world." (Laughter)
Ada jeda panjang di telepon, dan dia berkata, “ada terlalu banyak ayam di dunia ini.” (Tawa)
I fell out of love with this fish. (Laughter) No, not because I'm some self-righteous, goody-two shoes foodie. I actually am. (Laughter) No, I actually fell out of love with this fish because, I swear to God, after that conversation, the fish tasted like chicken. (Laughter)
Saya jadi tidak suka pada ikan ini. (Tawa) Bukan, bukan karena saya pecinta makanan yang berlebihan. Walau sebenarnya saya begitu. (Tawa) Tidak, saya sebenarnya tidak suka ikan ini karena, sumpah pada Tuhan, setelah pembicaraan itu, ikannya terasa seperti ayam. (Tawa)
This second fish, it's a different kind of love story. It's the romantic kind, the kind where the more you get to know your fish, you love the fish. I first ate it at a restaurant in southern Spain. A journalist friend had been talking about this fish for a long time. She kind of set us up. (Laughter) It came to the table a bright, almost shimmering, white color. The chef had overcooked it. Like twice over. Amazingly, it was still delicious.
Ikan kedua ini, punya kisah cinta yang berbeda. Ini cinta yang romantis, semakin Anda mengenali ikan itu, Anda jatuh cinta pada ikan itu. Saya pertama kali makan ikan itu di restoran di Spanyol selatan. Seorang teman jurnalis sudah lama membicarakan ikan ini. Dia sepertinya sengaja mempertemukan kami. (Tawa) Ikan itu datang ke meja berwarna putih terang dan hampir berkilauan. Koki telah memasaknya terlalu matang. Seperti dua kali terlalu matang. Menakjubkan, ikan itu masih lezat.
Who can make a fish taste good after it's been overcooked? I can't, but this guy can. Let's call him Miguel -- actually his name is Miguel. (Laughter) And no, he didn't cook the fish, and he's not a chef, at least in the way that you and I understand it. He's a biologist at Veta La Palma. It's a fish farm in the southwestern corner of Spain. It's at the tip of the Guadalquivir river.
Siapa yang bisa membuat ikan tetap lezat setelah dimasak terlalu matang? Saya tidak bisa, tapi orang ini bisa. Kita panggil saja dia Miguel. Sebenarnya namanya memang Miguel. (Tawa) Tidak, dia tidak memasak ikannya, dia bukan koki. Setidaknya dalam pengertian yang kita pahami. Dia adalah seorang ahli biologi di Veta La Palma. Itu adalah peternakan ikan di ujung barat daya Spanyol. Tempatnya ada di ujung sungai Guadalquivir.
Until the 1980s, the farm was in the hands of the Argentinians. They raised beef cattle on what was essentially wetlands. They did it by draining the land. They built this intricate series of canals, and they pushed water off the land and out into the river. Well, they couldn't make it work, not economically. And ecologically, it was a disaster. It killed like 90 percent of the birds, which, for this place, is a lot of birds. And so in 1982, a Spanish company with an environmental conscience purchased the land.
Sampai tahun 1980an, peternakan itu ada di tangan orang Argentina. Mereka memelihara sapi pedaging di tempat yang pada intinya adalah rawa. Mereka mengeringkan tanah itu. Mereka membangun seri kanal yang rumit, dan mereka memaksa air keluar dari lahan menuju ke sungai. Lalu, mereka tak bisa membuatnya berhasil, tidak secara ekonomi. Dan secara ekologis, itu adalah bencana. Proyek itu membunuh 90 persen burung, di mana, untuk tempat ini, ada banyak burung. Dan lalu tahun 1982, sebuah perusahaan Spanyol yang sadar lingkungan membeli tanah itu.
What did they do? They reversed the flow of water. They literally flipped the switch. Instead of pushing water out, they used the channels to pull water back in. They flooded the canals. They created a 27,000-acre fish farm -- bass, mullet, shrimp, eel -- and in the process, Miguel and this company completely reversed the ecological destruction. The farm's incredible. I mean, you've never seen anything like this. You stare out at a horizon that is a million miles away, and all you see are flooded canals and this thick, rich marshland.
Apa yang mereka lakukan? Mereka membalik arah aliran air. Mereka secara harafiah membalik arahnya. Daripada mendorong air keluar, mereka gunakan saluran-saluran itu untuk menarik air masuk. Mereka membanjiri kanal-kanal. Mereka membuat peternakan ikan seluas 10.800 hektar -- ikan bass, mullet, udang, belut -- dan dalam proses itu, Miguel, dan perusahaan ini, dengan sempurna membalik laju kehancuran ekologi. Peternakan itu mengagumkan. Maksud saya, anda tak pernah lihat apapun yang seperti ini. Anda memandang ke cakrawala yang berjarak jutaan mil jauhnya, semua yang bisa Anda lihat adalah kanal penuh air dan tanah rawa yang tebal dan kaya.
I was there not long ago with Miguel. He's an amazing guy, like three parts Charles Darwin and one part Crocodile Dundee. (Laughter) Okay? There we are slogging through the wetlands, and I'm panting and sweating, got mud up to my knees, and Miguel's calmly conducting a biology lecture. Here, he's pointing out a rare Black-shouldered Kite. Now, he's mentioning the mineral needs of phytoplankton. And here, here he sees a grouping pattern that reminds him of the Tanzanian Giraffe.
Saya berada di sana beberapa waktu yang lalu bersama Miguel. Dia lelaki yang luar biasa, tiga-perempat Charles Darwin dan satu-perempat Crocodile Dundee. (Tawa) Oke? Lalu kami berjalan lambat melewati tanah rawa itu, saya terengah-engah dan berkeringat, lumpur sampai setinggi lutut, dan Miguel memberi pelajaran biologi dengan tenang. Itu, dia menunjuk alap-alap bahu hitam yang langka. Sekarang, dia menyinggung kebutuhan mineral fitoplankton. Dan di sini, dia melihat pola gerombolan yang mengingatkannya pada jerapah Tanzania.
It turns out, Miguel spent the better part of his career in the Mikumi National Park in Africa. I asked him how he became such an expert on fish.
Ternyata, Miguel menghabiskan sebagian besar waktu karirnya di Taman Nasional Mikumi di Afrika. Saya bertanya padanya bagaimana dia menjadi seorang ahli ikan.
He said, "Fish? I didn't know anything about fish. I'm an expert in relationships." And then he's off, launching into more talk about rare birds and algaes and strange aquatic plants.
Dia berkata, “Ikan? Saya tak tahu apapun tentang ikan. Saya seorang ahli hubungan timbal-balik.” Lalu dia melanjutkan pembicaraan lagi tentang burung langka dan ganggang dan tanaman-tanaman air yang aneh.
And don't get me wrong, that was really fascinating, you know, the biotic community unplugged, kind of thing. It's great, but I was in love. And my head was swooning over that overcooked piece of delicious fish I had the night before. So I interrupted him. I said, "Miguel, what makes your fish taste so good?"
Jangan salah paham, itu sungguh menarik, anda tahu, mempelajari komunitas biologi dengan begitu jelas. Sungguh hebat, tapi saya memang jatuh cinta. Dan kepala saya dibayangi oleh sepotong ikan terlalu masak yang saya makan kemarin malam. Lalu saya memotong pembicaraannya. Saya bertanya, “Miguel, apa yang membuat rasa ikanmu begitu enak?”
He pointed at the algae.
Dia menunjuk pada ganggang.
"I know, dude, the algae, the phytoplankton, the relationships: It's amazing. But what are your fish eating? What's the feed conversion ratio?"
“Saya tahu, Bung, ganggang, fitoplankton, hubungan timbal balik, itu mengagumkan. Tapi apa yang dimakan ikanmu? Berapa rasio konversi pakannya?”
Well, he goes on to tell me it's such a rich system that the fish are eating what they'd be eating in the wild. The plant biomass, the phytoplankton, the zooplankton, it's what feeds the fish. The system is so healthy, it's totally self-renewing. There is no feed. Ever heard of a farm that doesn't feed its animals?
Lalu dia memberitahu saya bahwa sistem itu sungguh kaya, hingga ikan-ikan itu makan yang mereka makan di alam liar. Biomassa tanaman, fitoplankton, zooplankton, itulah makanan ikan-ikan itu. Sistem ini sangat sehat, sehingga memperbarui diri sendiri sepenuhnya. Tidak ada pakan. Pernah dengar peternakan yang tidak memberi makan hewannya?
Later that day, I was driving around this property with Miguel, and I asked him, I said, "For a place that seems so natural, unlike like any farm I'd ever been at, how do you measure success?"
Hari itu juga, saya berkendara mengelilingi tempat itu dengan Miguel, dan saya bertanya, “Untuk sebuah tempat yang terlihat sangat alami,” tidak seperti peternakan lain yang pernah saya kunjungi, “bagaimana Anda mengukur sukses?”
At that moment, it was as if a film director called for a set change. And we rounded the corner and saw the most amazing sight: thousands and thousands of pink flamingos, a literal pink carpet for as far as you could see.
Pada saat itu, seakan-akan seperti saat seorang sutradara film menyuruh penggantian latar. Kami ada di berputar di ujung dan melihat pemandangan yang paling mengagumkan, ribuan dan ribuan flamingo merah muda, karpet merah muda sungguhan sejauh mata memandang.
"That's success," he said. "Look at their bellies, pink. They're feasting." Feasting? I was totally confused.
“Itulah sukses”, katanya. “Lihat perut mereka, merah muda. Mereka berpesta.” Berpesta? Saya sungguh bingung.
I said, "Miguel, aren't they feasting on your fish?" (Laughter)
Saya bertanya, “Miguel, bukannya mereka berpesta makan ikanmu?” (Tawa)
"Yes," he said. (Laughter) "We lose 20 percent of our fish and fish eggs to birds. Well, last year, this property had 600,000 birds on it, more than 250 different species. It's become, today, the largest and one of the most important private bird sanctuaries in all of Europe."
“Ya,” katanya. (Tawa) “Kami kehilangan 20 persen ikan kami dan telur ikan karena burung-burung. Hmm, tempat ini, tahun lalu dikunjungi 600.000 ekor burung, lebih dari 250 spesies yang berbeda. Sekarang, tempat ini telah jadi suaka perlindungan burung milik swasta yang terbesar dan salah satu yang terpenting di seluruh Eropa.”
I said, "Miguel, isn't a thriving bird population like the last thing you want on a fish farm?" (Laughter) He shook his head, no.
Saya bertanya, “Miguel, bukankah populasi burung adalah hal terakhir yang anda mau di peternakan ikan?” (Tawa) Dia menggelengkan kepala, tidak.
He said, "We farm extensively, not intensively. This is an ecological network. The flamingos eat the shrimp. The shrimp eat the phytoplankton. So the pinker the belly, the better the system."
Dia bilang, “Kami beternak secara ekstensif, tidak intensif. Ini adalah jaringan ekologis. Flamingo itu makan udang. Udang makan fitoplankton. Jadi semakin merah warna perutnya, semakin baik sistemnya.”
Okay, so let's review: a farm that doesn't feed its animals, and a farm that measures its success on the health of its predators. A fish farm, but also a bird sanctuary. Oh, and by the way, those flamingos, they shouldn't even be there in the first place. They brood in a town 150 miles away, where the soil conditions are better for building nests. Every morning, they fly 150 miles into the farm. And every evening, they fly 150 miles back. (Laughter) They do that because they're able to follow the broken white line of highway A92. (Laughter) No kidding.
Oke, mari kita ulangi. Peternakan yang tidak memberi makan hewannya, dan peternakan yang mengukur sukses dari kesehatan predatornya. Sebuah peternakan ikan, tapi juga suaka burung. Oh, omong-omong, flamingo itu, sesungguhnya mereka seharusnya tidak berada di sana. Mereka berkembang biak di kota 150 mil jauhnya, di mana keadaan tanahnya lebih baik untuk membangun sarang. Tiap pagi, mereka terbang 150 mil ke peternakan. Dan tiap sore, mereka terbang kembali 150 mil. (Tawa) Mereka melakukannya karena mereka bisa mengikuti garis putih yang putus dari jalan tol A92. (Tawa) Beneran.
I was imagining a "March of the Penguins" thing, so I looked at Miguel. I said, "Miguel, do they fly 150 miles to the farm, and then do they fly 150 miles back at night? Do they do that for the children?"
Saya jadi membayangkan barisan penguin, lalu saya melihat Miguel. Saya bertanya, “Miguel, apa mereka terbang 150 mil ke peternakan, dan lalu apa mereka terbang 150 mil lagi saat malam? Apa mereka melakukan itu untuk anak-anak mereka?”
He looked at me like I had just quoted a Whitney Houston song. (Laughter) He said, "No; they do it because the food's better." (Laughter)
Dia melihat seakan saya baru mengutip lagu Whitney Houston. (Tawa) Dia jawab, “Tidak. Mereka datang karena makanannya lebih baik.” (Tawa)
I didn't mention the skin of my beloved fish, which was delicious -- and I don't like fish skin; I don't like it seared, I don't like it crispy. It's that acrid, tar-like flavor. I almost never cook with it. Yet, when I tasted it at that restaurant in southern Spain, it tasted not at all like fish skin. It tasted sweet and clean, like you were taking a bite of the ocean. I mentioned that to Miguel, and he nodded. He said, "The skin acts like a sponge. It's the last defense before anything enters the body. It evolved to soak up impurities." And then he added, "But our water has no impurities."
Saya tidak menyinggung kulit ikan kesayangan saya, kulit itu enak, padahal saya tidak suka kulit ikan. Saya tak suka kalau digoreng. Saya tak suka kalau renyah. Ada rasa pahit aneh, rasa seperti tar. Saya hampir tak pernah memasaknya. Tapi, ketika saya merasakannya di restoran di Spanyol selatan, rasanya sama sekali tak seperti kulit ikan. Rasanya manis dan bersih seakan-akan anda mencicipi rasa lautan. Saya menyampaikannya pada Miguel, dan dia mengangguk. Dia berkata, “Kulit bekerja seperti spons. Kulit adalah pertahanan terakhir sebelum sesuatu masuk tubuh. Kulit berevolusi untuk menyerap cemaran.” Lalu dia menambahkan, “Tapi air kami tidak mengandung cemaran.”
OK. A farm that doesn't feed its fish, a farm that measures its success by the success of its predators. And then I realized when he says, "A farm that has no impurities," he made a big understatement, because the water that flows through that farm comes in from the Guadalquivir River. It's a river that carries with it all the things that rivers tend to carry these days: chemical contaminants, pesticide runoff. And when it works its way through the system and leaves, the water is cleaner than when it entered. The system is so healthy, it purifies the water. So, not just a farm that doesn't feed its animals, not just a farm that measures its success by the health of its predators, but a farm that's literally a water purification plant -- and not just for those fish, but for you and me as well. Because when that water leaves, it dumps out into the Atlantic. A drop in the ocean, I know, but I'll take it, and so should you, because this love story, however romantic, is also instructive. You might say it's a recipe for the future of good food, whether we're talking about bass or beef cattle.
Oke. Peternakan yang tidak memberi makan hewannya. Peternakan yang mengukur kesuksesannya lewat kesuksesan predatornya. Dan saya menyadari ketika dia berkata, peternakan yang tak mengandung cemaran, dia telah membuat pernyataan meremehkan, karena air yang masuk ke peternakan itu berasal dari sungai Guadalquivir. Itu adalah sungai yang membawa semua hal yang umum dibawa sungai akhir-akhir ini, kontaminan kimia, residu pestisida. Dan ketika air itu melewati sistem tersebut dan keluar, airnya lebih bersih daripada ketika masuk. Sistemnya sangat sehat, dia memurnikan air. Jadi, bukan hanya peternakan yang tak memberi makan hewannya, bukan hanya peternakan yang mengukur sukses dengan kesehatan predatornya, tapi sebuah peternakan yang secara harafiah memurnikan air, dan tidak hanya untuk ikan-ikan itu, untuk Anda dan untuk saya juga. Karena ketika air itu keluar, perginya ke Atlantik. Setetes saja dibandingkan samudra, saya tahu, tapi saya menganggapnya, Anda sebaiknya juga, karena kisah cinta ini, betapapun romantisnya, juga memberi petunjuk. Anda boleh bilang itu adalah resep untuk masa depan makanan yang baik, entah kita bicara tentang ikan bass atau sapi pedaging.
What we need now is a radically new conception of agriculture, one in which the food actually tastes good. (Laughter) (Applause) But for a lot people, that's a bit too radical. We're not realists, us foodies; we're lovers. We love farmers' markets, we love small family farms, we talk about local food, we eat organic. And when you suggest these are the things that will ensure the future of good food, someone, somewhere stands up and says, "Hey guy, I love pink flamingos, but how are you going to feed the world?" How are you going to feed the world?
Apa yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah konsep radikal baru tentang pertanian dan peternakan, yang rasa produk makanannya terbukti enak. (Tawa) (Tepuk tangan) Tapi untuk banyak orang, itu mungkin terlalu radikal. Kami bukan realis, kami para pecinta makanan. Kami para pecinta. Kami cinta pasar tradisional oleh petani. Kami cinta pertanian kecil milik keluarga. Kami berbicara tentang makanan lokal. Kami makan produk organik. Dan ketika Anda menyarankan bahwa hal-hal ini akan menjamin masa depan pangan yang baik, seseorang di suatu tempat akan berdiri dan berkata, “Hai bung, saya suka flamingo merah muda, tapi bagaimana anda akan memberi makan dunia?” Bagaimana anda akan memberi makan dunia?
Can I be honest? I don't love that question. No, not because we already produce enough calories to more than feed the world. One billion people will go hungry today. One billion -- that's more than ever before -- because of gross inequalities in distribution, not tonnage. Now, I don't love this question because it's determined the logic of our food system for the last 50 years.
Apa saya boleh jujur? Saya tidak suka pertanyaan itu. Bukan, bukan karena kita sudah menghasilkan kalori yang lebih dari cukup untuk memberi makan dunia. Satu milyar orang kelaparan hari ini. Satu milyar -- lebih banyak dari yang pernah ada -- karena distribusi yang sangat tidak merata, bukan jumlah. Tidak, saya tidak suka pertanyaan ini karena itu menentukan logika sistem pangan kita 50 tahun terakhir.
Feed grain to herbivores, pesticides to monocultures, chemicals to soil, chicken to fish, and all along agribusiness has simply asked, "If we're feeding more people more cheaply, how terrible could that be?" That's been the motivation, it's been the justification: it's been the business plan of American agriculture. We should call it what it is: a business in liquidation, a business that's quickly eroding ecological capital that makes that very production possible. That's not a business, and it isn't agriculture.
Biji-bijian diberikan pada herbivora, pestisida pada pertanian monokultur, bahan kimia ke tanah, ayam ke ikan, dan di semua agribisnis ada pertanyaan sederhana, “Bila kita memberi orang makan dengan lebih murah, bagaimana mungkin itu buruk?” Itu adalah motivasinya, itu telah menjadi pembelaannya, itu telah jadi rencana bisnisnya dari pertanian Amerika. Kita harus jujur menyebut yang sebenarnya, sebuah bisnis pemerasan, sebuah bisnis yang mengikis cepat modal lingkungan yang memungkinkan semua produksi. Itu bukanlah bisnis, dan juga bukan pertanian.
Our breadbasket is threatened today, not because of diminishing supply, but because of diminishing resources. Not by the latest combine and tractor invention, but by fertile land; not by pumps, but by fresh water; not by chainsaws, but by forests; and not by fishing boats and nets, but by fish in the sea.
Keranjang roti kita sekarang terancam, bukan karena pasokan yang menipis, tapi oleh sumber daya yang makin habis. Bukan karena penemuan traktor dan alat pertanian terbaru, tapi oleh tanah subur; bukan karena pompa, tapi oleh air tawar; bukan karena gergaji mesin, tapi oleh hutan; dan bukan karena perahu nelayan dan jaring, tapi oleh ikan di laut.
Want to feed the world? Let's start by asking: How are we going to feed ourselves? Or better: How can we create conditions that enable every community to feed itself? (Applause) To do that, don't look at the agribusiness model for the future. It's really old, and it's tired. It's high on capital, chemistry and machines, and it's never produced anything really good to eat. Instead, let's look to the ecological model. That's the one that relies on two billion years of on-the-job experience.
Mau memberi makan dunia? Mari mulai dengan bertanya: Bagaimana kita memberi makan kita sendiri? Atau lebih baik, Bagaimana kita bisa membuat keadaan yang memungkinkan tiap komunitas menghasilkan makanannya sendiri? (Tepuk tangan) Untuk melakukannya, jangan lihat model agribisnis untuk masa depan. Model itu sudah tua, sudah lelah. Padat modal, bahan kimia, dan mesin-mesin, dan tak pernah menghasilkan sesuatu yang sungguh enak dimakan. Tapi, mari lihat model ekologis. Suatu model yang bergantung pada pengalaman langsung selama dua milyar tahun.
Look to Miguel, farmers like Miguel. Farms that aren't worlds unto themselves; farms that restore instead of deplete; farms that farm extensively instead of just intensively; farmers that are not just producers, but experts in relationships. Because they're the ones that are experts in flavor, too. And if I'm going to be really honest, they're a better chef than I'll ever be. You know, I'm okay with that, because if that's the future of good food, it's going to be delicious.
Lihatlah Miguel -- peternak seperti Miguel. Peternakan yang tidak berkonsentrasi pada diri sendiri; peternakan yang memulihkan, bukan menghabiskan; peternakan yang ekstensif tidak hanya intensif; peternak yang tidak hanya menghasilkan, tapi ahli dalam hubungan timbal-balik. Karena mereka juga adalah ahli dalam citarasa juga. Dan bila saya harus jujur, mereka koki yang lebih baik daripada yang dapat saya capai. Anda lihat, saya baik-baik saja dengan itu, sebab, bila itulah masa depan makanan yang baik, pastinya akan lezat.
Thank you. (Applause)
Terima kasih. (Tepuk tangan)