I want to talk a little bit today about labor and work.
Saya ingin berbicara sedikit hari ini mengenai tenaga kerja dan pekerjaan.
When we think about how people work, the naive intuition we have is that people are like rats in a maze -- that all people care about is money, and the moment we give them money, we can direct them to work one way, we can direct them to work another way. This is why we give bonuses to bankers and pay in all kinds of ways. And we really have this incredibly simplistic view of why people work, and what the labor market looks like.
Ketika kita berpikir mengenai bagaimana orang bekerja, intuisi naif yang kita punya adalah orang seperti tikus di labirin -- orang hanya peduli pada uang, dan ketika memberi orang uang, kita bisa mengarahkan mereka bekerja dengan cara yang satu, kita bisa mengarahkan mereka bekerja dengan cara yang lain. Inilah sebabnya mengapa kita memberikan bonus untuk bankir dan membayar dengan segala macam cara. Dan kita benar-benar memiliki pandangan yang sangat sederhana ini tentang mengapa orang bekerja dan seperti apa tenaga kerja di bursa ketenagakerjaan.
At the same time, if you think about it, there's all kinds of strange behaviors in the world around us. Think about something like mountaineering and mountain climbing. If you read books of people who climb mountains, difficult mountains, do you think that those books are full of moments of joy and happiness? No, they are full of misery. In fact, it's all about frostbite and having difficulty walking, and difficulty breathing -- cold, challenging circumstances. And if people were just trying to be happy, the moment they would get to the top, they would say, "This was a terrible mistake. I'll never do it again."
Pada saat yang sama, jika Anda berpikir tentang hal itu, ada semua jenis perilaku aneh di dunia sekitar kita. Pikirkan tentang sesuatu yang seperti menaiki dan mendaki gunung. Jika Anda membaca buku-buku dari orang-orang yang mendaki gunung, gunung-gunung yang sulit, Apakah Anda berpikir bahwa buku-buku tersebut penuh dengan saat sukacita dan kebahagiaan? Tidak, mereka penuh kesengsaraan. Pada kenyataannya, isinya tentang frostbite (jari membeku) dan kesulitan berjalan dan kesulitan pernapasan-- dingin, keadaan menantang. Dan jika orang-orang hanya berusaha untuk menjadi bahagia, saat mereka sampai di atas, mereka aka mengatakan, "ini adalah kesalahan besar. Saya tidak akan pernah melakukannya lagi."
(Laughter)
(Tertawa)
"Instead, let me sit on a beach somewhere drinking mojitos." But instead, people go down, and after they recover, they go up again. And if you think about mountain climbing as an example, it suggests all kinds of things. It suggests that we care about reaching the end, a peak. It suggests that we care about the fight, about the challenge. It suggests that there's all kinds of other things that motivate us to work or behave in all kinds of ways.
"Sebaliknya, biarkan saya duduk di pantai di suatu tempat minum mojitos." Tetapi sebaliknya, orang pergi ke bawah, dan setelah mereka sembuh, mereka naik lagi. Dan jika Anda berpikir tentang mendaki gunung sebagai contoh, hal ini menunjukkan banyak hal. Hal ini menunjukkan bahwa kita peduli tentang mencapai akhir, puncak. Hal ini menunjukkan bahwa kita peduli tentang perjuangan, tentang tantangan. Hal ini menunjukkan bahwa ada hal-hal lain yang memotivasi kita untuk bekerja atau berperilaku dalam segala macam cara.
And for me personally, I started thinking about this after a student came to visit me. This was one of my students from a few years earlier, and he came one day back to campus. And he told me the following story: He said that for more than two weeks, he was working on a PowerPoint presentation. He was working in a big bank, and this was in preparation for a merger and acquisition. And he was working very hard on this presentation -- graphs, tables, information. He stayed late at night every day. And the day before it was due, he sent his PowerPoint presentation to his boss, and his boss wrote him back and said, "Nice presentation, but the merger is canceled." And the guy was deeply depressed. Now at the moment when he was working, he was actually quite happy. Every night he was enjoying his work, he was staying late, he was perfecting this PowerPoint presentation. But knowing that nobody would ever watch it made him quite depressed.
Dan bagi saya secara pribadi, saya mulai berpikir tentang hal ini setelah seorang mahasiswa datang mengunjungi saya. DIa adalah salah seorang mahasiswa saya beberapa tahun sebelumnya. Dan ia datang suatu hari kembali ke kampus. Dan dia mengatakan kepada saya kisah berikut: Dia mengatakan bahwa selama lebih dari dua minggu, ia mengerjakan presentasi PowerPoint. Ia bekerja di bank besar. Ini adalah masa persiapan untuk merger dan akuisisi. Dan dia bekerja sangat keras pada presentasi ini-- grafik, tabel, informasi. Ia bekerja sampai malam setiap hari. Dan sehari sebelum deadline, dia mengirim presentasi PowerPoint ke bosnya, dan bosnya menulis dia kembali dan berkata, "Presentasi bagus, tapi merger dibatalkan." Dan orang itu sangat tertekan. Ketika ia bekerja, dia sebenarnya cukup senang.. Setiap malam ia menikmati pekerjaannya, bekerja sampai larut, dia menyempurnakan presentasi PowerPoint. Tapi mengetahui bahwa tak seorang pun akan pernah melihat presentasinya membuat ia cukup tertekan.
So I started thinking about how do we experiment with this idea of the fruits of our labor. And to start with, we created a little experiment in which we gave people Legos, and we asked them to build with Legos. And for some people, we gave them Legos and we said, "Hey, would you like to build this Bionicle for three dollars? We'll pay you three dollars for it." And people said yes, and they built with these Legos. And when they finished, we took it, we put it under the table, and we said, "Would you like to build another one, this time for $2.70?" If they said yes, we gave them another one, and when they finished, we asked them, "Do you want to build another one?" for $2.40, $2.10, and so on, until at some point people said, "No more. It's not worth it for me." This was what we called the meaningful condition. People built one Bionicle after another. After they finished every one of them, we put them under the table. And we told them that at the end of the experiment, we will take all these Bionicles, we will disassemble them, we will put them back in the boxes, and we will use it for the next participant.
Jadi saya mulai berpikir tentang bagaimana kami melakukan eksperimen dengan ide mengenai hasil kerja. Dan untuk memulai, kami membuat eksperimen kecil di mana kami memberi orang-orang LEGO, dan kami meminta mereka untuk membangun sesuatu dengan LEGO. Bagi beberapa orang, kami memberi mereka LEGO dan kami berkata, "Apakah Anda mau membangun Bionicle ini dengan bayaran tiga dolar? Kami akan membayar Anda tiga dolar untuk itu." Dan orang-orang mengatakan ya, dan mereka membangun dengan LEGO. Dan ketika mereka selesai, kami mengambilnya, kami meletakkannya di bawah meja, dan kami berkata, "Apakah Anda ingin membangun satu lagi, kali ini untuk $2,70?" Jika mereka mengatakan ya, kami memberi mereka satu lagi. Dan ketika mereka selesai, kami bertanya kepada mereka, "Apakah Anda ingin membangun satu lagi?" untuk $2,40, $2.10, dan seterusnya, sampai pada titik tertentu orang berkata, "tidak lagi. Harganya tidak cocok untukku." Kondisi ini adalah apa yang kami sebut kondisi bermakna. Orang-orang membangun Bionicle satu demi satu. Setelah mereka menyelesaikan satu, kami menempatkannya di bawah meja. Dan kami katakan kepada mereka bahwa pada akhir percobaan, kami akan mengambil semua Bionicles ini, kami akan membongkarnya, kami akan menempatkan mereka kembali dalam kotak, dan kami akan menggunakannya untuk peserta berikutnya.
There was another condition. This other condition was inspired by David, my student. And this other condition we called the Sisyphic condition. And if you remember the story about Sisyphus, Sisyphus was punished by the gods to push the same rock up a hill, and when he almost got to the end, the rock would roll over, and he would have to start again. And you can think about this as the essence of doing futile work. You can imagine that if he pushed the rock on different hills, at least he would have some sense of progress. Also, if you look at prison movies, sometimes the way that the guards torture the prisoners is to get them to dig a hole, and when the prisoner is finished, they ask him to fill the hole back up and then dig again. There's something about this cyclical version of doing something over and over and over that seems to be particularly demotivating.
Ada kondisi lain. Kondisi ini terinspirasi oleh David, mahasiswa saya. Dan kondisi ini disebut kondisi Sisyphic. Dan jika Anda ingat cerita tentang Sisyphus, Sisyphus dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu yag sama menaiki bukit, dan ketika ia hampir sampai akhir, batu akan berguling, dan ia harus mulai lagi. Dan Anda dapat berpikir tentang hal ini sebagai inti dari melakukan pekerjaan yang sia-sia. Anda dapat membayangkan bahwa jika ia mendorong batu di perbukitan yang berbeda, setidaknya dia akan memiliki beberapa perasaan kemajuan. Juga, jika Anda melihat film mengenai penjara, kadang-kadang para penjaga menyiksa para tahanan degan menyuruh mereka untuk menggali lubang dan ketika tahanan selesai, mereka meminta dia untuk mengisi lubang kembali dan kemudian menggali lagi. Ada sesuatu tentang versi siklus ini melakukan sesuatu yang berulang-ulang yang tampaknya menjadi mendemotivasi.
So in the second condition of this experiment, that's exactly what we did. We asked people, "Would you like to build one Bionicle for three dollars?" And if they said yes, they built it. Then we asked them, "Do you want to build another one for $2.70?" And if they said yes, we gave them a new one, and as they were building it, we took apart the one that they just finished. And when they finished that, we said, "Would you like to build another one, this time for 30 cents less?" And if they said yes, we gave them the one that they built and we broke. So this was an endless cycle of them building, and us destroying in front of their eyes.
Jadi dalam kondisi kedua eksperimen ini, itulah yang kami lakukan. Kami meminta orang-orang, "Apakah Anda mau membangun satu Bionicle dengan bayaran tiga dolar?" Dan jika mereka mengatakan ya, mereka membangunnya. Kemudian kami bertanya kepada mereka, "Apakah Anda ingin membangun satu lagi untuk $2,70?" Dan jika mereka mengatakan ya, kami memberi mereka yang baru, dan ketika mereka membangunnya, kami membongkar Bionicle yang baru saja mereka selesaikan. Dan ketika mereka selesai kita berkata, "Apakah Anda ingin membangun satu lagi, kali ini kurang 30 sen dari yang tadi?" Dan jika mereka mengatakan ya, kami memberi mereka salah satu yang mereka bangun dan kami hancurkan. Jadi ini adalah siklus tak berujung mereka bangun dan kami hancurkan di depan mata mereka.
Now what happens when you compare these two conditions? The first thing that happened was that people built many more Bionicles -- eleven in the meaningful condition, versus seven in the Sisyphus condition. And by the way, we should point out that this was not big meaning. People were not curing cancer or building bridges. People were building Bionicles for a few cents. And not only that, everybody knew that the Bionicles would be destroyed quite soon. So there was not a real opportunity for big meaning. But even the small meaning made a difference.
Sekarang apa yang terjadi ketika Anda membandingkan kedua kondisi ini? Hal pertama yang terjadi adalah orang-orang membangun lebih banyak Bionicles--mereka bangun 11 lawan 7-- dalam kondisi bermakna lawan kondisi Sisyphus. Dan omong-omong, kami harus tunjukkan bahwa ini bukanlah makna yang besar. Orang-orang tidak menyembuhkan kanker atau membangun jembatan. Orang hanya membangun Bionicles untuk beberapa sen. Dan tidak hanya itu, semua orang tahu bahwa Bionicles akan dihancurkan segera. Jadi tidak ada kesempatan nyata untuk makna besar. Tetapi bahkan makna kecil membuat perbedaan.
Now we had another version of this experiment. In this other version of the experiment, we didn't put people in this situation, we just described to them the situation, much as I am describing to you now, and we asked them to predict what the result would be. What happened? People predicted the right direction but not the right magnitude. People who were just given the description of the experiment said that in the meaningful condition, people would probably build one more Bionicle. So people understand that meaning is important, they just don't understand the magnitude of the importance, the extent to which it's important.
Sekarang kami punya versi lain dari eksperimen ini. Dalam versi ini, kami tidak menempatkan orang-orang dalam situasi ini, kami hanya jelaskan kepada mereka dengan situasi, seperti yang saya jelaskan kepada Anda sekarang, dan kami meminta mereka untuk memprediksi apa hasilnya akan. Apa yang terjadi? Orang meramalkan arah yang benar tetapi tidak tepat besarannya. Orang-orang yang hanya diberi deskripsi eksperimen mengatakan bahwa dalam kondisi bermakna orang mungkin akan membangun satu Bionicle lebih. Jadi orang-orang memahami bahwa makna itu penting, mereka hanya tidak mengerti seberapa besar pentingnya, sejauh yang sangat penting.
There was one other piece of data we looked at. If you think about it, there are some people who love Legos, and some people who don't. And you would speculate that the people who love Legos would build more Legos, even for less money, because after all, they get more internal joy from it. And the people who love Legos less would build less Legos because the enjoyment that they derive from it is lower. And that's actually what we found in the meaningful condition. There was a very nice correlation between the love of Legos and the amount of Legos people built.
Ada satu bagian lain dari data yang kami amati. Jika Anda pikir, ada beberapa orang yang suka LEGO dan beberapa orang yang tidak. Dan Anda akan berspekulasi bahwa orang-orang yang suka LEGO akan membangun lebih LEGO, bahkan untuk sedikit uang, karena mereka mendapatkan kesenangan internal dari itu. Dan orang-orang yang kurang suka LEGO akan membangun sedikit LEGO karena kesenangan yang mereka berasal dari kegiatan itu lebih rendah. Dan itu apa yang kami temukan dalam kondisi bermakna. Ada korelasi yang sangat apik antara kesenangan akan Lego dan jumlah LEGO yang dibangun.
What happened in the Sisyphic condition? In that condition, the correlation was zero -- there was no relationship between the love of Legos, and how much people built, which suggests to me that with this manipulation of breaking things in front of people's eyes, we basically crushed any joy that they could get out of this activity. We basically eliminated it.
Apa yang terjadi dalam kondisi Sisyphic? Dalam kondisi itu korelasinya nol. Ada tidak ada hubungan antara senang akan Lego dan berapa banyak yang dibangun, yang menunjukkan kepada saya bahwa dengan manipulasi ini menghancurkan sesuatu di depan mata, kita pada dasarnya menghancurkan kesenangan yang bisa didapatkan dari suatu kegiatan. Kita pada dasarnya menghilangkan itu.
Soon after I finished running this experiment, I went to talk to a big software company in Seattle. I can't tell you who they were, but they were a big company in Seattle. This was a group within the software company that was put in a different building, and they asked them to innovate, and create the next big product for this company. And the week before I showed up, the CEO of this big software company went to that group, 200 engineers, and canceled the project. And I stood there in front of 200 of the most depressed people I've ever talked to. And I described to them some of these Lego experiments, and they said they felt like they had just been through that experiment. And I asked them, I said, "How many of you now show up to work later than you used to?" And everybody raised their hand. I said, "How many of you now go home earlier than you used to?" Everybody raised their hand. I asked them, "How many of you now add not-so-kosher things to your expense reports?" And they didn't raise their hands, but they took me out to dinner and showed me what they could do with expense reports. And then I asked them, I said, "What could the CEO have done to make you not as depressed?" And they came up with all kinds of ideas.
Segera setelah saya selesai menjalankan eksperimen ini, Saya pergi untuk berbicara dengan sebuah perusahaan perangkat lunak besar di Seattle. Saya tidak dapat memberitahu Anda siapa mereka, tetapi mereka perusahaan besar di Seattle. Dan ini adalah sekelompok orang dalam perusahaan yang dimasukkan ke dalam sebuah bangunan yang beda. Dan mereka diminta untuk berinovasi dan menciptakan produk besar berikutnya untuk perusahaan ini. Dan seminggu sebelum saya muncul, CEO perusahaan perangkat lunak besar ini pergi ke kelompok tersebut, 200 insinyur, dan membatalkan proyek. Dan saya berdiri di sana di depan 200 orang paling tertekan yang pernah saya temui. Dan saya jelaskan kepada mereka tentang eksperimen Lego ini, dan mereka mengatakan bahwa mereka merasa seperti baru saja melalui eksperimen. Dan saya bertanya kepada mereka, saya berkata, "Berapa banyak dari Anda sekarang lebih terlambat dibandingkan biasanya?" Dan semua orang mengangkat tangan mereka. Saya berkata, "Berapa banyak dari Anda sekarang pulang lebih awal dari Anda dulu?" Dan semua orang mengangkat tangan mereka. Saya bertanya, "berapa banyak dari Anda sekarang menambahkan hal-hal yang tidak semestinya ke laporan pengeluaran Anda?" Dan mereka tidak benar-benar mengangkat tangan mereka, tetapi mereka membawa saya untuk makan malam dan menunjukkan apa yang bisa mereka lakukan dengan laporan pengeluaran. Dan kemudian saya bertanya kepada mereka, saya berkata, "Apa yang bisa CEO Ada lakukan untuk membuat Anda tidak tertekan?" Dan mereka datang dengan semua jenis ide.
They said the CEO could have asked them to present to the whole company about their journey over the last two years and what they decided to do. He could have asked them to think about which aspect of their technology could fit with other parts of the organization. He could have asked them to build some next-generation prototypes, and see how they would work. But the thing is that any one of those would require some effort and motivation. And I think the CEO basically did not understand the importance of meaning. If the CEO, just like our participants, thought the essence of meaning is unimportant, then he [wouldn't] care. And he would say, "At the moment I directed you in this way, and now that I'm directing you in this way, everything will be okay." But if you understood how important meaning is, then you would figure out that it's actually important to spend some time, energy and effort in getting people to care more about what they're doing.
Mereka mengatakan CEO bisa meminta mereka untuk presentasi untuk seluruh perusahaan tentang perjalanan mereka selama dua tahun terakhir dan apa yang mereka putuskan untuk lakukan. Dia bisa meminta mereka untuk berpikir tentang mana aspek dari teknologi mereka yang bisa sesuai dengan bagian lain dari organisasi. Dia bisa meminta mereka untuk membangun beberapa prototipe, prototipe beberapa generasi berikutnya, dan melihat bagaimana mereka bekerja. Tapi masalahnya adalah bahwa salah satu dari ide-ide itu akan memerlukan beberapa usaha dan motivasi. Dan saya pikir CEO tadi pada dasarnya tidak memahami pentingnya makna. Jika CEO tadi, hanya seperti peserta kami, berpikir bahwa inti dari makna tidak penting, maka dia tidak akan peduli. Dan dia akan memberitahu mereka, "pada saat saya mengarahkan Anda dengan cara ini, dan sekarang bahwa saya mengarahkan Anda dengan cara ini, semuanya akan baik-baik saja." Tetapi jika Anda memahami betapa pentingnya makna, Anda akan mengetahui bahwa benar-benar penting untuk menghabiskan beberapa waktu, energi, dan usaha dalam membuat orang untuk lebih peduli tentang apa yang mereka lakukan.
The next experiment was slightly different. We took a sheet of paper with random letters, and we asked people to find pairs of letters that were identical next to each other. That was the task. People did the first sheet, then we asked if they wanted to do another for a little less money, the next sheet for a little bit less, and so on and so forth. And we had three conditions. In the first condition, people wrote their name on the sheet, found all the pairs of letters, gave it to the experimenter, the experimenter would look at it, scan it from top to bottom, say "Uh huh," and put it on the pile next to them. In the second condition, people did not write their name on it. The experimenter looked at it, took the sheet of paper, did not look at it, did not scan it, and simply put it on the pile of pages. So you take a piece, you just put it on the side. In the third condition, the experimenter got the sheet of paper, and put it directly into a shredder.
Eksperimen berikutnya sedikit berbeda. Kami mengambil selembar kertas dengan huruf acak, dan kami meminta orang untuk menemukan pasang huruf yang identik satu sama lain. Itu adalah tugasnya. Dan orang-orang mengerjakan lembar pertama. Dan kemudian kami meminta mereka jika mereka ingin mengerjakan lembar berikutnya untuk uang yang lebih sedikit dan lembar berikutnya lebih sedikit uang, dan seterusnya dan sebagainya. Dan kami memiliki tiga kondisi. Dalam kondisi pertama, orang-orang menulis nama mereka pada lembar tugas, setelah mereka menemukan semua pasang huruf, mereka memberikannya kepada eksperimenter. Eksperimenter akan melihatnya, dari atas ke bawah, mengatakan "ah ha" dan meletakkannya di tumpukan di samping mereka. Dalam kondisi kedua, orang tidak menulis nama mereka di atasnya. Eksperimenter memandangnya, mengambil lembar kertas, tidak melihatnya, dan cukup meletakkannya di tumpukan halaman. Jadi Anda mengambil kertas, Anda hanya menaruhnya di samping. Dan dalam kondisi ketiga, eksperimenter mendapat lembar kertas dan langsung memasukkannya ke dalam sebuah mesin penghancur kertas.
(Laughter)
What happened in those three conditions?
Apa yang terjadi dengan tiga kondisi tersebut?
In this plot I'm showing you at what pay rate people stopped. So low numbers mean that people worked harder. They worked for much longer. In the acknowledged condition, people worked all the way down to 15 cents. At 15 cents per page, they basically stopped these efforts. In the shredder condition, it was twice as much -- 30 cents per sheet.
Dalam skenario ini saya menunjukkan kepada Anda pada bayaran berapa mereka berhenti. Jadi angka renfah berarti mereka bekerja lebih keras. Mereka bekerja lebih lama. Dalam kondisi diakui, orang bekerja ampai 15 sen. Pada 15 sen per halaman, mereka pada dasarnya berhenti. Dalam kondisi dihancurkan di penghancur kertas, hasilnya adalah dua kali lipat--30 sen per lembar.
And this is basically the result we had before. You shred people's efforts, output -- you get them not to be as happy with what they're doing. But I should point out, by the way, that in the shredder condition, people could have cheated. They could have done not so good work, because they realized people were just shredding it. So maybe the first sheet you'd do good work, but then you see nobody is really testing it, so you would do more and more and more. So in fact, in the shredder condition, people could have submitted more work and gotten more money, and put less effort into it. But what about the ignored condition? Would the ignored condition be more like the acknowledged or more like the shredder, or somewhere in the middle? It turns out it was almost like the shredder.
Dan ini pada dasarnya adalah hasil yang kami punyai sebelumnya. Anda menghancurkan usaha orang, Anda mendapatkan mereka tidak akan bahagia dengan apa yang mereka lakukan. Tetapi saya harus menunjukkan, omong-omong, bahwa dalam kondisi dihancurkan oleh mesin pengancur, orang bisa menipu. Mereka bisa melakukan pekerjaan yang tidak begitu baik, karena mereka menyadari bahwa orang akan langsung meghancurkannya. Jadi mungkin pada lembar pertama Anda akan melakukan pekerjaan yang baik, tapi kemudian Anda melihat tidak ada yang benar-benar mengecek, jadi Anda bisa melakukan lagi dan lagi dan lagi. Jadi, kenyataannya, dalam kondisi dihancurkan di mesin penghancur, orang bisa melakukan lebih banyak pekerjaan dan mendapatkan lebih banyak uang dan menaruh sedikit usaha ke dalamnya. Tapi bagaimana degan kondisi diabaikan? Kondisi diabaikan akan lebih seperti yang diakui atau lebih seperti yang dihancurkan, atau di tengah? Ternyata hampir sama seperti dihancurkan.
Now there's good news and bad news here. The bad news is that ignoring the performance of people is almost as bad as shredding their effort in front of their eyes. Ignoring gets you a whole way out there. The good news is that by simply looking at something that somebody has done, scanning it and saying "Uh huh," that seems to be quite sufficient to dramatically improve people's motivations. So the good news is that adding motivation doesn't seem to be so difficult. The bad news is that eliminating motivations seems to be incredibly easy, and if we don't think about it carefully, we might overdo it. So this is all in terms of negative motivation, or eliminating negative motivation.
Sekarang ada kabar baik dan kabar buruk di sini. Kabar buruknya adalah bahwa mengabaikan kinerja orang hampir sama buruknya dengan menghancurkan upaya mereka di depan mata mereka. Mengabaikan membuatnya memiliki efek sama. Kabar baiknya adalah bahwa hanya dengan melihat pada sesuatu yang seseorang lakukan, mengamatinya dan berkata "ah ha," tampaknya sudah cukup, secara dramatis meningkatkan motivasi orang. Jadi kabar baiknya adalah menambahkan motivasi tampaknya tidak begitu sulit. Kabar buruknya adalah menghilangkan motivasi tampaknya sangat mudah, dan jika kita tidak berpikir tentang hal itu dengan hati-hati, kita mungkin berlebihan. Jadi ini adalah dalam konteks mengenai motivasi negatif atau menghilangkan motivasi negatif.
The next part I want to show you is something about positive motivation. So there is a store in the U.S. called IKEA. And IKEA is a store with kind of okay furniture that takes a long time to assemble.
Bagian selanjutnya yang ingin saya tunjukkan pada Anda adalah sesuatu tentang motivasi positif. Jadi ada sebuah toko di Amerika Serikat disebut IKEA. Dan IKEA adalah sebuah toko dengan jenis mebel yang memakan waktu lama untuk dibangun.
(Laughter)
(Tawa)
I don't know about you, but every time I assemble one of those, it takes me much longer, it's much more effortful, it's much more confusing, I put things in the wrong way -- I can't say I enjoy those pieces. I can't say I enjoy the process. But when I finish it, I seem to like those IKEA pieces of furniture more than I like other ones.
Saya tidak tahu degan Anda, tapi setiap kali saya meyusun salah satu mebel, saya butuh waktu lebih lama, lebih keras berusaha, lebih memusingkan. Saya menyusun dengan cara yang salah. Saya tidak bisa bilang saya menikmati potongan-potongan mebel tersebut. Saya tidak bisa mengatakan saya menikmati prosesnya. Tapi ketika ketika menyelesaikannya, saya tampaknya menyukai mebel IKEA itu lebih dari mebel yang lain.
(Laughter)
Dan ada sebuah cerita lama tentang adonan kue instan.
And there's an old story about cake mixes. So when they started cake mixes in the '40s, they would take this powder and they would put it in a box, and they would ask housewives to basically pour it in, stir some water in it, mix it, put it in the oven, and -- voila -- you had cake. But it turns out they were very unpopular. People did not want them, and they thought about all kinds of reasons for that. Maybe the taste was not good? No, the taste was great. What they figured out was that there was not enough effort involved. It was so easy that nobody could serve cake to their guests and say, "Here is my cake." No, it was somebody else's cake, as if you bought it in the store. It didn't really feel like your own. So what did they do? They took the eggs and the milk out of the powder.
Jadi ketika mereka mulai menciptakan adonan kue instan di ' 40s, mereka akan mengambil bubuk ini dan mereka akan meletakkannya di sebuah kotak, dan mereka akan meminta ibu rumah tangga untuk menuangnya, mengaduk dengan air, mencampurnya, meletakkannya di oven, dan--voila! --Anda memiliki kue. Tapi ternyata adonan kue instan tadi sangat tidak populer. Orang tidak menginginkannya. Dan mereka berpikir tentang segala macam alasan untuk itu. Mungkin rasa yang tidak enak. Tidak, rasanya enak. Apa yang mereka temukan adalah bahwa tidak ada usaha yang dilibatkan. Sangat mudah sehingga tidak ada orang yang bisa meyajikan ke tamunya dan mengatakan, "Ini kue buatan saya." Tidak, tidak, tidak, itu adalah kue buatan orang lain. Itu seolah-olah Anda membelinya di toko. Benar-benar tidak merasa seperti buatan Anda sendiri. Jadi apa yang mereka lakukan? Mereka mengeluarkan elemen telur dan susu dari bubuk kue instan.
(Laughter)
(Tawa)
Now you had to break the eggs and add them, you had to measure the milk and add it, mixing it. Now it was your cake. Now everything was fine.
Sekarang Anda harus memecahkan telur dan menambahkannya. Anda harus menakar susu, menambahkan, dan mencampurnya. Sekarang itu kue buatan Anda. Sekarang semuanya beres.
(Laughter)
(Tepuk tangan)
(Applause)
Now, I think a little bit like the IKEA effect, by getting people to work harder, they actually got them to love what they're doing to a higher degree.
Saya pikir itu mirip seperti efek IKEA, dengan membuat orang untuk bekerja lebih keras, mereka sebetulnya lebih mencintai apa yang mereka lakukan. Jadi bagaimana kita melihat pertanyaan ini secara eksperimental?
So how do we look at this question experimentally? We asked people to build some origami. We gave them instructions on how to create origami, and we gave them a sheet of paper. And these were all novices, and they built something that was really quite ugly -- nothing like a frog or a crane. But then we told them, "Look, this origami really belongs to us. You worked for us, but I'll tell you what, we'll sell it to you. How much do you want to pay for it?" And we measured how much they were willing to pay for it. And we had two types of people: We had the people who built it, and the people who did not build it, and just looked at it as external observers. And what we found was that the builders thought that these were beautiful pieces of origami --
Kami meminta orang untuk membangun beberapa origami. Kami memberi mereka petunjuk tentang cara membuat origami, dan kami memberi mereka selembar kertas. Semua adalah pemula, dan mereka membangun sesuatu yang benar-benar jelek-- tidak seperti katak atau angsa. Tapi kemudian kami katakan kepada mereka, "Lihat, ini origami ini milik kami. Anda bekerja untuk kami, tapi saya beritahu, kami akan menjualnya kepada Anda. Berapa banyak yang ingin Anda bayar?" Dan kami mengukur berapa banyak mereka bersedia untuk membayarnya. Dan kami memiliki dua jenis orang. Kami memiliki orang-orang yang membuatnya, dan kami memiliki orang-orang yang tidak membuatnya dan hanya memandangnya sebagai pengamat eksternal. Dan apa yang kami temukan adalah bahwa para pembuat berpikir bahwa ini adalah origami yang indah,
(Laughter)
dan mereka bersedia membayar lima kali lebih banyak
and they were willing to pay five times more for them than the people who just evaluated them externally. Now you could say -- if you were a builder, do you think [you'd say], "Oh, I love this origami, but I know that nobody else would love it?" Or "I love this origami, and everybody else will love it as well?" Which one of those two is correct? Turns out the builders not only loved the origami more, they thought that everybody would see the world in their view. They thought everybody else would love it more as well.
daripada orang-orang yang hanya mengevaluasi secara eksternal. Anda dapat mengatakan, jika Anda seorang pembuat origami, apakah Anda berpikir bahwa, "Oh, saya suka origami ini, tapi saya tahu bahwa tidak ada orang lain akan menyukainya?" Atau apakah Anda berpikir, "Aku suka origami ini, dan orang lain tentu akan menyukainya juga?" Mana yang benar dari kedua pernyataan itu? Ternyata pembuat tidak hanya menyukai origami, mereka berpikir bahwa semua orang akan melihat dunia dengan perspektif mereka. Mereka berpikir orang lain akan suka juga.
In the next version, we tried to do the IKEA effect. We tried to make it more difficult. So for some people, we gave the same task. For some people, we made it harder by hiding the instructions. At the top of the sheet, we had little diagrams of how you fold origami. For some people, we just eliminated that. So now this was tougher. What happened? Well in an objective way, the origami now was uglier, it was more difficult. Now when we looked at the easy origami, we saw the same thing -- builders loved it more, evaluators loved it less. When you looked at the hard instructions, the effect was larger. Why? Because now the builders loved it even more.
Dalam versi berikutnya kami mencoba untuk melakukan efek IKEA. Kami mencoba untuk membuatnya lebih sulit. Jadi untuk beberapa orang kami berikan tugas yang sama. Untuk beberapa orang kami membuatnya lebih sulit dengan menyembunyikan petunjuk. Di bagian atas lembaran, kami memiliki sedikit petunjuk bagaimana Anda melipat origami. Untuk beberapa orang kami menghilangkannya. Jadi sekarang yang ini lebih sulit. Apa yang terjadi? Secara obyektif, origaminya sekarang lebih jelek, lebih sulit. Sekarang ketika kami melihat origami yang mudah, kami melihat hal yang sama: pembuat lebih menyukainya, evaluator kurang menyukainya. Ketika Anda melihat petunjuk yang sulit, efeknya lebih besar. Mengapa? Karena sekarang pembuat origami menyukainya lebih lagi.
(Laughter)
Mereka menaruh semua usaha tambahan ini ke dalamnya.
They put all this extra effort into it. And evaluators? They loved it even less. Because in reality, it was even uglier than the first version.
Dan evaluator? Mereka bahkan kurang menyukainya. Karena pada kenyataannya itu bahkan lebih jelek daripada versi pertama.
(Laughter)
Tentu saja, hal ini memberitahu Anda megenai bagaimana kita mengevaluasi.
Of course, this tells you something about how we evaluate things.
Now think about kids. Imagine I asked you, "How much would you sell your kids for?" Your memories and associations and so on. Most people would say for a lot, a lot of money.
Sekarang pikir tentang anak-anak. Bayangkan saya bertanya, "berapa harganya jika Anda jual anak Anda?" Kenangan dan ikatan dan sebagainya. Kebanyakan orang akan mengatakan untuk banyak, banyak uang--
(Laughter)
pada hari-hari yang baik.
On good days.
(Laughter)
(Tawa)
But imagine this was slightly different. Imagine if you did not have your kids. And one day you went to the park and you met some kids. They were just like your kids, and you played with them for a few hours, and when you were about to leave, the parents said, "Hey, by the way, just before you leave, if you're interested, they're for sale."
Tapi bayangkan sedikit berbeda. Bayangkan jika Anda tidak memiliki anak-anak Anda, dan suatu hari Anda pergi ke taman dan Anda bertemu beberapa anak-anak, dan mereka seperti anak-anak Anda. Dan Anda bermain dengan mereka selama beberapa jam. Dan ketika Anda akan pergi, orang tuanya berkata, "Hei, omong-omong, sebelum Anda pergi, jika Anda tertarik, mereka sedang dijual."
(Laughter)
(Tawa)
How much would you pay for them now? Most people say not that much. And this is because our kids are so valuable, not just because of who they are, but because of us, because they are so connected to us, and because of the time and connection. By the way, if you think IKEA instructions are not good, what about the instructions that come with kids, those are really tough.
Berapa banyak Anda akan membayar untuk mereka sekarang? Kebanyakan orang mengatakan tidak banyak. Dan hal ini karena anak-anak kita sangat berharga, bukan hanya karena siapa mereka, tetapi karena kita, karena mereka begitu terhubung ke kita dan karena waktu dan koneksi. Dan omong-omong, jika Anda berpikir bahwa petunjuk IKEA tidak baik, pikirkan tentang petunjuk yang datang dengan anak-anak. Mereka benar-benar sulit.
(Laughter)
(Tawa)
By the way, these are my kids, which, of course, are wonderful and so on. Which comes to tell you one more thing, which is, much like our builders, when they look at the creature of their creation, we don't see that other people don't see things our way.
Omong-omong, ini adalah anak-anak saya, yang, tentu saja, hebat dan sebagainya. Yang datang untuk memberitahu Anda satu hal lagi, yaitu, seperti pembuat origami, ketika mereka melihat makhluk ciptaan mereka, kami tidak melihat bahwa orang lain tidak melihat seperti cara kami.
Let me say one last comment. If you think about Adam Smith versus Karl Marx, Adam Smith had a very important notion of efficiency. He gave an example of a pin factory. He said pins have 12 different steps, and if one person does all 12 steps, production is very low. But if you get one person to do step one, and one person to do step two and step three and so on, production can increase tremendously. And indeed, this is a great example, and the reason for the Industrial Revolution and efficiency. Karl Marx, on the other hand, said that the alienation of labor is incredibly important in how people think about the connection to what they are doing. And if you do all 12 steps, you care about the pin. But if you do one step every time, maybe you don't care as much.
Biarkan saya mengatakan satu komentar terakhir. Jika Anda berpikir tentang Adam Smith versus Karl Marx, Adam Smith memiliki gagasan sangat penting mengenai efisiensi. Ia memberikan contoh pabrik pin. Katanya pin memiliki 12 langkah yang berbeda, dan jika seseorang melakukan 12 langkah tersebut, produksi sangat rendah. Tetapi jika Anda membuat seorang melakukan langkah pertama dan satu orang untuk melakukan langkah kedua dan langkah ketiga dan seterusnya, produksi dapat meningkatkan sangat dramatis. Dan memang, ini adalah contoh yang bagus dan alasan untuk revolusi industri dan efisiensi. Karl Marx, di sisi lain, mengatakan pemindahtanganan tenaga kerja sangat penting pada bagaimana orang berpikir tentang koneksi ke apa yang mereka lakukan. Dan jika Anda membuat semua 12 langkah, Anda peduli tentang pin. Tetapi jika Anda membuat satu langkah setiap kali, mungkin Anda tidak peduli sebanyak itu.
I think that in the Industrial Revolution, Adam Smith was more correct than Karl Marx. But the reality is that we've switched, and now we're in the knowledge economy. You can ask yourself, what happens in a knowledge economy? Is efficiency still more important than meaning? I think the answer is no. I think that as we move to situations in which people have to decide on their own about how much effort, attention, caring, how connected they feel to it, are they thinking about labor on the way to work, and in the shower and so on, all of a sudden Marx has more things to say to us. So when we think about labor, we usually think about motivation and payment as the same thing, but the reality is that we should probably add all kinds of things to it -- meaning, creation, challenges, ownership, identity, pride, etc.
Dan saya berpikir bahwa dalam revolusi industri, Adam Smith lebih benar daripada Karl Marx, tetapi kenyataannya adalah kita telah beralih dan sekarang kita dalam ekonomi pengetahuan. Dan Anda dapat bertanya pada diri sendiri, apa yang terjadi dalam ekonomi pengetahuan? Apakah efisiensi masih lebih penting daripada makna? Saya pikir jawabannya adalah tidak. Saya berpikir bahwa ketika kita bergerak ke situasi di mana orang harus memutuskan sendiri tentang berapa banyak usaha, perhatian, kepedulian, seberapa terhubung perasaannya terhadap itu, mereka berpikir tentang kerja di perjalanan ke tempat kerja dan di kamar mandi dan sebagainya, seketika Marx memiliki lebih banyak hal untuk dikatakan kepada kita. Jadi ketika kita berpikir tentang tenaga kerja, kita biasanya berpikir tentang motivasi dan pembayaran sebagai hal yang sama, tetapi kenyataannya adalah bahwa kita mungkin harus menambahkan segala macam hal untuk itu-- Artinya, penciptaan, tantangan, kepemilikan, identitas, kebanggaan, dll.
The good news is that if we added all of those components and thought about them -- how do we create our own meaning, pride, motivation, and how do we do it in our workplace, and for the employees -- I think we could get people to be both more productive and happier.
Dan kabar baiknya adalah bahwa jika kita menambahkan semua komponen-komponen dan berpikir tentang mereka, bagaimana kita membuat makna kita sendiri, kebanggaan, motivasi, dan bagaimana kita melakukannya di tempat kerja kami dan untuk para karyawan, saya pikir kita bisa mendapatkan orang-orang menjadi lebih produktif dan bahagia bersamaan. Terima kasih banyak.
Thank you very much.
(Applause)
(Tepuk tangan)