These days, I find it easy to look in the mirror. This used to be the case, too, because I learned to be a drag queen alone, Back then, in the early noughties, there was no cultural mirror for someone like me. There was no chance of switching on Netflix and finding someone who looks like you, and Lily Savage never quite made it to the Woolworths bargain bin if she ever made it to the dizzying heights of VHS at all. So there was me and a mirror, and that's the only place I saw myself for a long time.
Saat ini, rasanya mudah untuk bercermin. Dulu, ini masalah bagiku karena aku belajar menjadi penampil waria seorang diri. Dulu, di awal tahun 2000-an, tak ada cerminan budaya untuk seseorang sepertiku. Tak ada kesempatan menonton Netflix dan menemukan seseorang seperti dirimu, dan Lily Savage tak pernah ada di rak diskon di swalayan Woolworth, bahkan jika penampilannya berhasil diabadikan dalam bentuk kaset video. Jadi hanya ada aku dan cermin, satu-satunya tempat aku melihat siapa aku sebenarnya, untuk waktu yang lama.
It will be over a decade until this part of me became more than a mere reflection. And in that time, what happened would change my relationship with that mirror. In that decade, I came out as gay at a Catholic state comp in the working class North West, and I survived. But as with anything that unsmooths the edges of normal society, that coming out brought with it a daily dose of judgment and therein shame from almost everyone around me, shame that was heard and felt and internalized and often replicated by me.
Hampir sepuluh tahun lamanya sampai diriku itu menjadi lebih dari sekadar pantulan. Saat itu, apa yang terjadi mengubah hubunganku dengan cermin. Pada dekade tersebut, aku mengaku seorang gay di lingkungan Katolik kelas buruh di Barat Laut Inggris, dan aku bertahan hidup. Namun, seperti hal lain yang tak sejalan dengan kehidupan masyarakat pada umumnya, pengakuan itu disertai dengan penghakiman dan tentunya rasa malu dari hampir semua orang di sekitarku. Rasa malu yang terdengar, terasa, tertanam dan seringkali kutanggapi.
Commonly, when we think about shame, we imagine it at the extreme end of the spectrum, anything from years of intense dieting to keep up with extreme Western beauty standards, all the way to things like honor violence. But for me, my shame existed at the long end of the tail of the shame monster, as self-hatred. Now, this didn't really affect anyone else. On the surface, I was fat, feminine, gay, spotty, ginger. I didn't really have much going for me, by society's standards. But what I did have was a killer, if not overcompensatory, bitchy gay personality, and I was not afraid to use it. If you were going to throw a rock at me and call me a faggot, then I'll barb you back by telling you that one day when I'm famous, you'll be licking my boots clean and begging me for employment.
Umumnya, saat memikirkan rasa malu, kita membayangkannya sebagai sesuatu yang sangat ekstrem, mulai dari diet ketat bertahun-tahun agar sesuai dengan standar kecantikan ekstrem dunia Barat, sampai dengan hal-hal seperti mengagungkan kekerasan. Namun bagiku, rasa malu itu terwujud dalam bentuk lain, yaitu rasa benci pada diri sendiri. Hal ini tak memengaruhi orang lain. Dari luar, aku gendut, kemayu, gay, jerawatan, dan berambut merah. Tak banyak yang bisa dibanggakan, dilihat dari standar masyarakat. Namun, aku memiliki kepribadian yang galak dan aku tak ragu untuk menunjukkannya. Jika kau melempariku batu dan memanggilku banci, aku akan membalas dengan memberitahu bahwa suatu waktu saat aku sudah terkenal, kalian akan memohon untuk bisa bekerja padaku.
(Tsk)
[Berdecak]
We all reproduce shameful and shaming behaviors, because we're all trying to escape our own shame. And as the shame monster swallowed me whole, I couldn't find myself in the mirror.
Kita semua berperilaku memalukan karena mencoba lepas dari rasa malu pada diri sendiri. Ditelan bulat-bulat oleh perasaan malu, aku tak bisa menemukan diriku di cermin.
Eventually, I left my hometown and went to a rather posh university that my whole town had celebrated my acceptance at with glee. And when I arrived there, I started to tell lies about my upbringing. Not big ones. There's only so many vowels you can drop until someone realizes you're not landed gentry. But I started to say things like, "I'd read that book" when I hadn't, I started to tell people I'd grown up in Manchester, when really, it was two hours north of there. I spent time alone in the mirror, like I had with my drag persona all those years ago, trying to change the way I speak just a little. To the world, I was easy. I worked hard to fit myself into a neat storyline, the friendly gay Mancunian, when really I knew that the swathing complexities of my identity couldn't fit inside a storyline. And if I was found out, I was terrified that I'd be cast out. And so the self-hate ensued once again.
Akhirnya aku pergi dari kampung halamanku untuk kuliah di universitas bergengsi dan seluruh kota bangga merayakan kelulusanku dengan gembira. Setibanya aku di universitas, aku mulai berbohong tentang latar belakangku. Hal-hal kecil. Tak butuh waktu lama bagi seseorang untuk menyadari bahwa kau bukan kaum ningrat. Namun, aku mengatakan hal-hal seperti “Aku sudah baca buku itu”, padahal belum. Aku mengaku dibesarkan di Manchester, padahal aku tinggal di tempat yang berjarak dua jam dari sana. Aku menghabiskan waktu bercermin, seperti yang dilakukan karakter waria yang kuperankan dahulu, mencoba mengubah sedikit caraku berbicara. Bagi dunia, aku itu tak rumit. Aku berusaha keras untuk mendapat tempat dalam tatanan sosial si pria gay ramah dari Manchester, padahal aku sadar bahwa lapisan rumit identitasku tak memiliki tempat di masyarakat. Dan jika orang tahu, aku takut dikucilkan. Sehingga kebencianku pada diri sendiri terus berlanjut.
Now, what does self-hate look like? What does it feel like? It sounds pretty intense, but it's actually way more boring and way less dramatic than vile gouts of hatred towards who you are. For me, self-hatred was about not believing things that were objectively true. It was about looking in the mirror and seeing something monstrous. It was about looking in the mirror and seeing something not deserving of love or respect from myself and others. It was about looking in the mirror and wanting to change parts of myself: my weight, my gender, my sexuality, my class -- so extremely that you commit acts of self-harm and self-denial. I lied, I judged, I bitched. I changed the way I spoke. And I had so much extreme sex that I would find myself, years later, recalling all the times my consent had been breached because it's what I thought I deserved. Sidebar, to say that extreme sex, when practiced safely and consensually, can be some of the best sex. But as my grandma would have said, I was in a pickle. I looked in the mirror and I saw something monstrous. But I managed to persuade those around me that I was fabulous.
Apa wujud dari kebencian diri itu? Apa rasanya? Terdengar mengkhawatirkan, tetapi sebenarnya agak menjemukan dan tak sedramatis kebencian dari orang lain saat tahu siapa dirimu. Bagiku, kebencian diri adalah tentang tidak memercayai sesuatu yang secara objektif benar. Tentang bercermin, dan melihat sesuatu yang buruk rupa. Tentang bercermin, dan melihat seseorang yang tak pantas dicintai atau dihargai oleh orang lain. Tentang bercermin, dan ingin mengubah diriku: berat badan, jenis kelamin, seksualitas, derajat -- dengan sangat ekstrem sampai kau melukai diri sendiri atau penyangkalan. Aku berbohong, menghakimi, mengeluh. Aku mengubah caraku berbicara. Dan banyak seks di luar batas, sampai aku menyadari bertahun-tahun kemudian berapa kali persetujuanku dilanggar karena kupikir itulah yang pantas kudapat. Omong-omong, seks ekstrem, selama aman dan atas dasar suka sama suka, bisa menjadi salah satu pengalaman hubungan terbaik. Namun, seperti gaya bicara nenekku, aku dalam posisi yang sulit. Aku bercermin dan melihat seseorang yang sangat buruk. Namun, aku berhasil meyakinkan orang-orang di sekitarku bahwa aku menakjubkan.
The first time I performed in drag, I was 19, and to put it lightly, I was not fabulous. But so was everyone. And the standard back then, in 2011, was much lower than it is now. And, you know, the people of my repressed generation were just pretty happy to see something different. But ... As bad as I might have been, this experience was such a liberatory process, something that Oprah might have called an aha moment, because for the first time, this thing I'd only ever really seen in a mirror was real. She was tangible. And what's more, she was adored by a crowd of people.
Usiaku 19 tahun saat pertama kali tampil dalam pertunjukan waria. Halusnya, aku tak menakjubkan. Namun, semua orang juga sama. Dan standar saat itu, tahun 2011, lebih rendah dari saat ini. Selain itu, orang-orang dari generasiku yang ‘tertindas’ sudah cukup puas melihat sesuatu yang berbeda. Namun begitu... Betapa pun jeleknya penampilanku, pengalaman ini adalah proses yang membebaskan, sesuatu yang disebut momen ‘aha’ oleh Oprah, karena untuk pertama kalinya, bayangan yang kulihat di cermin itu menjadi nyata. Dia berwujud. Terlebih lagi, orang-orang menyukainya.
Drag continued this way for a while, until the barrier between the mirror and the real world faded away. I had admitted my most shameful desires to the world, and somewhere in some pockets of some worlds that I never knew existed, she was adored. So I started to drop my vowels more. I started to talk about Lancaster more. I started to wear ball gowns in the street, and I started to fall back in love with what I saw in the mirror. Eventually, everyone around me followed suit -- my friends, my family, my lovers. She became a place of value, and of power, and of uplift. She became what she'd been in the mirror all those years ago -- a savior.
Aku terus tampil dalam pertunjukan waria, hingga pembatas antara cermin dengan kehidupan nyata mulai memudar. Aku telah menyampaikan keinginanku yang paling memalukan ke dunia, dan di suatu tempat di dunia, dia dikagumi. Jaid aku mulai berbicara seperti biasa. Bercerita tentang Lancaster. Aku mulai mengenakan gaun pesta di depan umum, dan aku mulai mencintai lagi bayangan yang ada di cermin. Akhirnya, orang-orang di sekelilingku mengikuti-- teman-teman, keluarga, para kekasih. Dia menjadi seorang yang bernilai, berkuasa, dan mengangkat derajat. Dia menjadi seseorang di dalam cermin bertahun-tahun sebelumnya-- seorang penyelamat.
So I did what anyone who found their power source would do, and I leaned in as archcapitalist Sheryl Sandberg would say, and I journeyed to the heart of the queer motherland, East London. There, I had queer sex, I made queer friends, I wore queer clothes, and I built myself a job where I could dress like this every day, worshiping at the feet of the Northern women who raised me, and be celebrated for it. It's kind of a wild thing to get your head around, the idea of being celebrated for something you were so painfully derided for before.
Jadi aku melakukan apa yang biasanya dilakukan orang yang memiliki pengaruh, dan aku berbuat sebagaimana yang dianjurkan oleh Sheryl Sandberg, dan aku sampai ke pusat kampung halaman para waria, London Timur. Di sana, aku memperoleh seks waria dan sahabat waria, mengenakan pakaian waria, mendapat pekerjaan yang mendukung untuk berpakaian seperti ini tiap hari, mengagungkan wanita dari Utara yang membesarkanku, dan tetap dihargai. Sulit dipercaya, dipuja karena suatu hal yang sebelumnya dihujat.
But my journey to shamelessness was not over. Funny how years of deep embedded circuitry takes a little while to untangle. See, I'd made this bubble, this shame-free bubble where everything about me was celebrated. And one night on the way home from a gig in drag, I was beat so badly that I was hospitalized, by a homophobic passer by. The shame flooded out of my internal boxes and filled me up. I went to so many dark places in my head. I'm loathe to repeat them, but I asked myself questions like "What if everyone who's ever said anything bad about me was right? What if I deserve all of this shame?"
Namun, perjalananku untuk lepas dari rasa malu belum selesai. Hal yang telah tertanam bertahun-tahun butuh lebih banyak waktu untuk terurai. Aku membentuk semacam balon, balon yang bebas dari rasa malu dan diriku ini harus dirayakan. Suatu malam, sepulang dari pertunjukan waria, aku dipukuli sampai harus dirawat di rumah sakit oleh seorang homofobik. Rasa malu itu keluar tak terbendung dan membanjiriku. Pikiranku gelap. Aku benci mengingatnya, tetapi aku jadi bertanya-tanya: “Apa jadinya jika semua yang orang bilang tentangku itu benar? Jangan-jangan aku memang pantas mendapatkannya?”
I had some work to do, and I was a bit too shaken to stay around in London, so I took a train from Euston back home to Lancaster, and I spent some time healing. And I worked hard to fall in love with the things I thought I'd left behind, the things I'd loved about Lancaster, growing up. The people there, the way we connect, Jan down the SPAR shop, who sells fags, the boys who give you a bit of a look but respect you nonetheless. And I came back to London with more of an awareness of my value, of my history. I had been dressing differently since the attack. I was wearing all black, plain clothes, trying to blend in, because when I was at home in Lancaster, I realized that safety was more important to me than curing myself of shame, and I can't do the latter if I don't have the former.
Pekerjaan menanti, dan aku terlalu takut untuk tetap tinggal di London, jadi aku naik kereta dari Euston ke Lancaster, memberi waktu untuk penyembuhan. Aku sedaya upaya mencoba jatuh cinta dengan hal-hal yang dulu aku tinggalkan, hal-hal tentang Lancaster yang aku cintai selama ini. Orang-orangnya, hubungannya. Jan di toko SPAR, yang menjual rokok, anak laki-laki yang menatapku aneh, tetapi tetap menghargai. Aku kembali ke London dengan kewaspadaan atas nilaiku, dan riwayatku. Caraku berpakaian berubah sejak peristiwa itu. Aku mengenakan pakaian serba hitam, tak mencolok, mencoba berbaur. Karena saat aku berada di Lancaster, aku sadar bahwa keselamatan lebih penting daripada menyembuhkan rasa malu, dan aku tak bisa menyembuhkan rasa malu jika aku tak selamat.
But while I was up in Lancaster, I'd also had another realization. I realized that everybody suffers with shame. Even my attacker. This was another aha moment, a moment so liberatory that it confused me for a while. The fact that I wasn't alone in this, that everyone suffers from shame. Normality is God and everyone's a sinner, I realized. I got obsessed with that. I started looking everywhere and seeing shame in people's behaviors, from their silence to their violence, from their gender-reveal parties to their big white weddings. Even my attacker. He was so filled with shame because of what masculinity had done to him that upon seeing my difference, he lashed out at me with his fists. Rather than curing my shame, I had to work hard to reimagine it as something that we all carry around with us, like little pebbles attached to our back in a rucksack. It's something that affects us all, that causes harm in us all and causes us to perpetuate harm outwards to others too. I also realized I was existing in a complicated interplay of narcissism, self-hate and shame too, where I wanted everyone to accept everything about me. And until then, until that moment, I would see something monstrous in the mirror. But I realized that I don't need everyone to accept everything about me. Jan down the SPAR shop who sells fags has way bigger problems than my gender, my class, my sexuality. She's got her own shame to deal with. But what we do need -- well, I need -- is the ability to live safely. The ability to walk down the street in drag and not have some homophobic passerby do what he did to me. And the way we do that is by doing some shame-work. It's about looking inside and realizing that all the boxes that had been put there by the world are a lie. All the things that you've had to shave off to make yourself smooth, bring them back. There's power there, there's value there. There's beauty there. Shame-work is social work -- it's time we all did a bit. These days, I find it easy to look in the mirror.
Namun, saat di Lancaster aku menyadari hal lain, yaitu semua orang menderita karena rasa malu. Bahkan orang yang menyerangku. Ini salah satu momen ‘aha’ lainnya. Momen yang sangat membebaskan hingga membuatku bingung sejenak. Bahwa aku tak sendirian menghadapi ini, semua orang menderita karena rasa malu. Normal adalah milik Tuhan, dan semua orang berdosa. Itu yang kusadari. Aku terobsesi olehnya. Aku mengamati dan menemukan wujud rasa malu dalam sikap tiap orang, mulai dari kebungkaman atas kekerasan, perayaan identitas kelamin bayi, hingga pernikahan nan megah. Bahkan dari penyerangku. Dia dipenuhi oleh rasa malu akibat doktrin maskulinitas, hingga saat melihat perbedaan, dia melampiaskannya dengan memukuliku. Alih-alih menyembuhkan rasa malu, aku berusaha mereka ulang rasa malu sebagai sesuatu yang kita bawa ke mana pun. Kerikil yang melekat di punggung layaknya sebuah ransel. Sesuatu yang memengaruhi kita semua, merusak diri kita, dan menyebabkan kita berbuat jahat terhadap orang lain. Aku juga menyadari bahwa aku sendiri berada dalam belitan narsisme, kebencian diri, dan rasa malu, karena aku ingin orang lain menerima semua yang ada dalam diriku. Hingga saat itu, aku melihat bayangan buruk rupa di cermin. Namun aku sadar, semua orang tak harus menerimaku apa adanya. Jan yang menjual rokok di toko SPAR punya masalah yang lebih penting daripada jenis kelamin, kelas sosial, atau seksualitasku. Dia harus berkutat dengan rasa malunya sendiri. Yang kita butuhkan-- yang aku butuhkan-- adalah kemampuan untuk hidup aman. Kemampuan tampil di depan umum dengan kostum waria dan tak dipukuli seperti yang pernah kualami. Cara melakukannya adalah dengan mengenali rasa malu. Melihat ke dalam diri, dan menyadari bahwa dunia yang terkotak-kotak adalah sebuah kebohongan. Semua hal yang kau hilangkan supaya bisa diterima di lingkunganmu, munculkan kembali. Ada kekuatan dan nilai di sana. Juga keindahan. Mengenali rasa malu adalah pekerjaan sosial. Sudah saatnya kita semua melakukannya. Sekarang, bercermin terasa lebih mudah.
Thank you for coming to my TED talk.
Terima kasih sudah mendengarkanku berbicara di TED Talk.