Concrete is the most widely used construction material in the world. It can be found in swathes of city pavements, bridges that span vast rivers, and the tallest skyscrapers on earth. But this sturdy substance does have a weakness: it’s prone to catastrophic cracking that costs tens of billions of dollars to repair each year. But what if we could avoid that problem, by creating concrete that heals itself?
Beton adalah bahan bangunan yang paling banyak digunakan di dunia. Beton digunakan pada tepian trotoar, jembatan yang melintasi sungai besar, serta gedung-gedung pencakar langit. Akan tetapi, bahan yang kokoh ini juga memiliki kelemahan. Beton rentan terhadap retakan berbahaya sehingga biaya perawatan tahunannya sangat mahal. Bisakah kita menghindari masalah tersebut dengan menciptakan beton yang bisa memperbaiki diri? Ide ini tidak semustahil sebagaimana kelihatannya.
This idea isn’t as far-fetched as it may seem. It boils down to an understanding of how concrete forms, and how to exploit that process to our benefit. Concrete is a combination of coarse stone and sand particles, called aggregates, that mix with cement, a powdered blend of clay and limestone. When water gets added to this mix, the cement forms a paste and coats the aggregates, quickly hardening through a chemical reaction called hydration. Eventually, the resulting material grows strong enough to prop up buildings that climb hundreds of meters into the sky.
Gagasan ini berawal dari pemahaman mengenai proses pembuatan beton dan bagaimana kita merekayasa proses itu agar menguntungkan kita. Beton adalah campuran dari batuan kasar dan partikel pasir, bagian yang disebut agregat, lalu dicampur dengan semen, bubuk campuran tanah liat dan batu kapur. Saat air ditambahkan pada campuran ini, semen berubah menjadi adonan dan menyelubungi agregat yang akan mengeras dengan cepat melalui proses kimia yang disebut hidrasi. Nantinya, materi akhir yang dihasilkan akan menjadi cukup kuat untuk menopang bangunan yang menjulang ratusan meter ke langit. Meskipun orang sudah mengembangkan berbagai macam komposisi semen
While people have been using a variety of recipes to produce cement for over 4,000 years, concrete itself has a surprisingly short lifespan. After 20 to 30 years, natural processes like concrete shrinkage, excessive freezing and thawing, and heavy loads can trigger cracking. And it’s not just big breaks that count: tiny cracks can be just as dangerous. Concrete is often used as a secondary support around steel reinforcements. In this concrete, even small cracks can channel water, oxygen, and carbon dioxide that corrode the steel and lead to disastrous collapse. On structures like bridges and highways that are constantly in use, detecting these problems before they lead to catastrophe becomes a huge and costly challenge. But not doing so would also endanger thousands of lives.
selama lebih dari 4.000 tahun, beton ternyata tidak bisa bertahan lama. Setelah 20 sampai 30 tahun, proses alami seperti penyusutan, siklus beku-mencair berkali-kali, serta beban berlebih, dapat menyebabkan keretakan. Tidak hanya retakan besar yang berbahaya, retakan kecilpun sama bahayanya. Beton sering digunakan sebagai penyokong tambahan di sekitar rangka baja. Retakan pada beton, sekecil apapun itu bisa menjadi jalan bagi air, oksigen, dan karbon dioksida yang akan mengkorosi baja dan memicu runtuhnya bangunan. Pada bagunan seperti jembatan dan jalan tol yang digunakan setiap saat, mendeteksi retakan-retakan ini sebelum menjadi bencana adalah tantangan besar dan perlu banyak biaya. Tetapi jika tidak dilakukan, akan membahayakan ribuan nyawa. Untungnya, kita telah menguji coba berbagai macam cara
Fortunately, we’re already experimenting with ways this material could start fixing itself. And some of these solutions are inspired by concrete’s natural self-healing mechanism. When water enters these tiny cracks, it hydrates the concrete’s calcium oxide. The resulting calcium hydroxide reacts with carbon dioxide in the air, starting a process called autogenous healing, where microscopic calcium carbonate crystals form and gradually fill the gap. Unfortunately, these crystals can only do so much, healing cracks that are less than 0.3mm wide.
agar beton bisa memperbaiki dirinya sendiri. Beberapa solusi itu terinspirasi oleh mekanisme penyembuhan diri alami beton. Ketika air masuk ke dalam retakan kecil, kalsium oksida pada beton terhidrasi. Terbentuklah kalsium hidroksida yang akan bereaksi dengan karbon dioksida di udara, dan memulai sebuah proses yang disebut penyembuhan autogenous, oleh kristal kalsium karbonat mikroskopis yang terbentuk dan mulai mengisi celah yang ada. Sayangnya, kristal ini hanya dapat menutup retakan yang lebarnya kurang dari 0.3 mm. Peneliti teknik material telah menemukan cara menutup retakan selebar dua kalinya
Material scientists have figured out how to heal cracks up to twice that size by adding hidden glue into the concrete mix. If we put adhesive-filled fibers and tubes into the mixture, they’ll snap open when a crack forms, releasing their sticky contents and sealing the gap. But adhesive chemicals often behave very differently from concrete, and over time, these adhesives can lead to even worse cracks.
dengan menambahkan perekat ke dalam adonan beton. Jika kita memasukkan serat dan pembuluh berisi perekat ke adonan, mereka akan pecah ketika timbul retakan, melepaskan bahan perekat dan menambal retakan. Tetapi, sifat kimia bahan perekat sering kali sangat berbeda dari beton, dan seiring waktu, perekat ini bisa menyebabkan retakan yang lebih parah. Mungkin cara terbaik untuk mengatasi retakan besar
So perhaps the best way to heal large cracks is to give concrete the tools to help itself. Scientists have discovered that some bacteria and fungi can produce minerals, including the calcium carbonate found in autogenous healing. Experimental blends of concrete include these bacterial or fungal spores alongside nutrients in their concrete mix, where they could lie dormant for hundreds of years. When cracks finally appear and water trickles into the concrete, the spores germinate, grow, and consume the nutrient soup that surrounds them, modifying their local environment to create the perfect conditions for calcium carbonate to grow. These crystals gradually fill the gaps, and after roughly three weeks, the hard-working microbes can completely repair cracks up to almost 1mm wide. When the cracks seal, the bacteria or fungi will make spores and go dormant once more— ready to start a new cycle of self-healing when cracks form again.
adalah dengan memberi beton alat untuk membantu diri sendiri. Ilmuwan telah menemukan bahwa beberapa bakteri dan jamur dapat menghasilkan mineral, termasuk kalsium karbonat yang berperan dalam penyembuhan autogenous. Sebagai percobaan, ditambahkanlah spora dari bakteri atau jamur tadi beserta nutrisinya ke dalam adonan beton, di mana spora akan dorman, nonaktif selama ratusan tahun. Ketika retakan muncul dan air meresap ke dalam beton, spora tersebut berkecambah, tumbuh dan mengkonsumsi nutrisi di sekitar mereka, memodifikasi lingkungan sekitar guna menciptakan kondisi yang sempurna bagi pembentukan kristal kalsium karbonat. Kristal ini perlahan-lahan mengisi retakan, dan setelah sekitar 3 minggu, mikroba pekerja keras ini bisa sepenuhnya menambal retakan sampai hampir selebar 1 mm. Saat retakannya sudah tertambal, bakteri atau jamur itu akan membuat spora lagi dan dorman kembali- siap untuk memulai siklus penyembuhan diri yang baru ketika retakan terjadi lagi.
Although this technique has been studied extensively, we still have a ways to go before incorporating it in the global production of concrete. But, these spores have huge potential to make concrete more resilient and long-lasting— which could drastically reduce the financial and environmental cost of concrete production. Eventually, these microorganisms may force us to reconsider the way we think about our cities, bringing our inanimate concrete jungles to life.
Walaupun teknik ini telah dipelajari secara mendalam, masih ada proses panjang sebelum menerapkannya dalam produksi beton secara global. Tetapi, spora ini memiliki potensi besar untuk membuat beton menjadi lebih tahan kerusakan dan awet- sehingga bisa mengurangi beban keuangan dan dampak lingkungan dalam produksi beton. Pada akhirnya, mikroorganisme ini akan memaksa kita untuk merumuskan ulang cara pandang kita terhadap kota, mengubah hutan beton yang mati itu menjadi hidup.