The story starts in Kenya in December of 2007, when there was a disputed presidential election, and in the immediate aftermath of that election, there was an outbreak of ethnic violence. And there was a lawyer in Nairobi, Ory Okolloh -- who some of you may know from her TEDTalk -- who began blogging about it on her site, Kenyan Pundit. And shortly after the election and the outbreak of violence, the government suddenly imposed a significant media blackout. And so weblogs went from being commentary as part of the media landscape to being a critical part of the media landscape in trying to understand where the violence was. And Okolloh solicited from her commenters more information about what was going on. The comments began pouring in, and Okolloh would collate them. She would post them. And she quickly said, "It's too much. I could do this all day every day and I can't keep up. There is more information about what's going on in Kenya right now than any one person can manage. If only there was a way to automate this."
Ceritanya berawal dr Kenya di bulan desember tahun 2007 waktu terjadi silang sengketa soal pemilu dan begitu pemilu selesai diadakan kekerasan rasialis meledak Ada seorang pengacara Nairobi, Ory Okolloh -- yang mungkin anda pernah dengan TEDtalk-nya -- yg mulai menulis semua itu di blog-nya. Kenyan Pundit Setelah pemilu yg diakhiri kekerasan rasialis berlalu, pemerintahannya tiba-tiba mengumumkan larangan terhadap aktifitas media massa Tahu-tahu blog berubah yg tadinya hanya sekedar mengomentari dunia media jadi bagian penting dr dunia media itu sendiri. ketika berusaha memahami asal muasal kekerasan itu Dan Okolloh menggali dr para pengunjung situsnya lebih banyak lagi informasi ttg apa yg tengah terjadi Alhasil komentarpun mengalir masuk. Okolloh merangkum dan menerbitkann komentar-komentar itu. Dan dengan cepat menyadari, "Ini kebanyakan Biar saya kerjakan seharian tiap hari tidak akan terkejar. Ada terlalu banyak informasi ttg apa yg terjadi di Kenya saat ini untuk dikelola satu orang. Kalau saja ini bisa diotomatisasi."
And two programmers who read her blog held their hands up and said, "We could do that," and in 72 hours, they launched Ushahidi. Ushahidi -- the name means "witness" or "testimony" in Swahili -- is a very simple way of taking reports from the field, whether it's from the web or, critically, via mobile phones and SMS, aggregating it and putting it on a map. That's all it is, but that's all that's needed because what it does is it takes the tacit information available to the whole population -- everybody knows where the violence is, but no one person knows what everyone knows -- and it takes that tacit information and it aggregates it, and it maps it and it makes it public. And that, that maneuver called "crisis mapping," was kicked off in Kenya in January of 2008.
Dua orang programmer yg kebetulan membaca blog-nya tampil dan menyatakan, "Kami bisa lakukan itu." Dalam 72 jam, mereka menerbitkan Ushahidi Ushahidi -- artinya adalah "saksi" atau "kesaksian" dlm bahasa swahili -- adalah cara mudah untuk mengumpulkan laporan pandangan mata, baik yg dari situs atau lebih genting lagi, dr telpon genggam dan sms Menyimpulkannya dan memunculkannya di peta Cuma itu, tapi memang cuma itu yg dibutuhkan. karena sistem ini menyampaikan informasi tersirat pada keseluruhan populasi -- semua orang tahu lokasi kerusuhannya, tapi tiap orang punya info yang berbeda-beda -- Informasi yg terserak itu dikumpulkan dan dirangkum dan dipetakan untuk konsumsi publik Dan kegiatan itu disebut "Pemetaan krisis" Sistem itu pertama kali dipakai di Kenya Pada bulan Januari 2008
And enough people looked at it and found it valuable enough that the programmers who created Ushahidi decided they were going to make it open source and turn it into a platform. It's since been deployed in Mexico to track electoral fraud. It's been deployed in Washington D.C. to track snow cleanup. And it's been used most famously in Haiti in the aftermath of the earthquake. And when you look at the map now posted on the Ushahidi front page, you can see that the number of deployments in Ushahidi has gone worldwide, all right? This went from a single idea and a single implementation in East Africa in the beginning of 2008 to a global deployment in less than three years.
Dan karena semua orang menganggap sistem ini sangat berguna programmer-programmer yang menciptakan Ushahidi memutuskan untuk menerbitkannya sebagai produk open source dan menjadikannya sebuah platform. Sejak itu sistem ini sudah digunakan di Meksiko untuk melacak kecurangan dlm pemilu di Washington DC untuk memetakan pembersihan salju dan yg paling terkenal, digunakan di Haiti setelah mengalami gempa bumi. Dan kalau anda lihat petanya yg sekarang terpampang di laman depan situsnya anda akan dapati, pengimplementasian Ushahidi sudah mendunia, ya tidak ? Ini berawal dari ide tunggal dan penerapan tunggal di Afrika Timur pada awal 2008 sekarang jadi gerakan global dalam kurun waktu kurang dr tiga tahun
Now what Okolloh did would not have been possible without digital technology. What Okolloh did would not have been possible without human generosity. And the interesting moment now, the number of environments where the social design challenge relies on both of those things being true. That is the resource that I'm talking about. I call it cognitive surplus. And it represents the ability of the world's population to volunteer and to contribute and collaborate on large, sometimes global, projects. Cognitive surplus is made up of two things. The first, obviously, is the world's free time and talents. The world has over a trillion hours a year of free time to commit to shared projects. Now, that free time existed in the 20th century, but we didn't get Ushahidi in the 20th century.
Apa yang Okolloh lakukan tidak akan pernah terwujud tanpa teknologi digital Apa yang dilakukan Okolloh tidak akan terwujud tanpa kemurahan hati manusia Dan yang paling menarik sekarang, adalah jumlah lingkungan yang problem sosialnya menuntut adanya kedua hal tersebut. Sumber daya itulah yang mau saya bicarakan. Saya sebut itu Limpahan kognitif Yang menunjukkan kemampuan populasi dunia untuk berkontribusi dan bekerjasama secara sukarela dalam projek berskala yg besar, kadang sampai level global. Limpahan kognitif terdiri dr dua hal Yang pertama, tentu saja, waktu luang dan bakat orang banyak Dunia punya lebih dr satu trilliun jam waktu luang per tahun yg biasanya terpakai buat projek keroyokan Waktu luang itu sudah ada sejak abad ke-20 tapi kita tidak punya Ushahidi di abad ke-20
That's the second half of cognitive surplus. The media landscape in the 20th century was very good at helping people consume, and we got, as a result, very good at consuming. But now that we've been given media tools -- the Internet, mobile phones -- that let us do more than consume, what we're seeing is that people weren't couch potatoes because we liked to be. We were couch potatoes because that was the only opportunity given to us. We still like to consume, of course. But it turns out we also like to create, and we like to share. And it's those two things together -- ancient human motivation and the modern tools to allow that motivation to be joined up in large-scale efforts -- that are the new design resource. And using cognitive surplus, we're starting to see truly incredible experiments in scientific, literary, artistic, political efforts. Designing.
Itulah hal ke dua dr limpahan kognitif Situasi media di abad ke-20 sangat baik dlm membantu orang beraktifitas Akibatnya, makin lama kita makin jago beraktifitas Tapi sekarang ketika kita punya piranti media -- seperti internet, telpon genggam -- yg memungkinkan kita berbuat lebih faktanya adalah orang jadi penonton yg baik bukan karena mereka suka jadi penonton Kita jadi penonton yg baik karena waktu itu hanya itu pilihan yg ada Kita masih suka beraktifitas tentu saja tapi ternyata kita juga suka berkarya dan kita suka berbagi Kedua hal itulah -- motivasi tertua manusia dan piranti modern yg memungkinkan motivasi itu bergabung dalam kegiatan berskala besar -- sebagai gaya rancangan termuktahir. Dan dengan limpahan kognitif eksperimen-eksperimen yg luar biasa mulai bermunculan di bidang iptek, sastra, seni, dan politik Dalam perancangan
We're also getting, of course, a lot of LOLcats. LOLcats are cute pictures of cats made cuter with the addition of cute captions. And they are also part of the abundant media landscape we're getting now. This is one of the participatory -- one of the participatory models we see coming out of that, along with Ushahidi. Now I want to stipulate, as the lawyers say, that LOLcats are the stupidest possible creative act. There are other candidates of course, but LOLcats will do as a general case. But here's the thing: The stupidest possible creative act is still a creative act. Someone who has done something like this, however mediocre and throwaway, has tried something, has put something forward in public. And once they've done it, they can do it again, and they could work on getting it better.
Banyak juga, tentu saja, yang mirip LOLcats LOLcats adalah foto-foto kucing yg lucu yg dibikin menggemaskan dengan berbagai komentar LOLcats juga merupakan bagian dari hiruk pikuk dunia media dimana kita hidup sekarang LOLcats adalah salah satu - salah satu model partisipatif yang lahir bersamaan dengan Ushahidi. Saya akan berasumsi, seperti seoarang pengacara, bahwa LOLcats adalah kegiatan kreatif paling konyol yang pernah ada Pilihan lain tentu saja ada dan banyak tapi LOLcats cukup baik sebagai contoh umum Tapi ini yang menarik Aksi kreatif paling konyol tetap adalah aksi yg kreatif Orang yang melakukan hal ini, betapa konnyol dan sia-sianya, telah berusaha, telah menerbitkan sesuatu. Dan sekali berhasil, mereka bisa lakukan lagi dan mereka akan lakukan lebih baik dr sebelumnya
There is a spectrum between mediocre work and good work, and as anybody who's worked as an artist or a creator knows, it's a spectrum you're constantly struggling to get on top of. The gap is between doing anything and doing nothing. And someone who makes a LOLcat has already crossed over that gap. Now it's tempting to want to get the Ushahidis without the LOLcats, right, to get the serious stuff without the throwaway stuff. But media abundance never works that way. Freedom to experiment means freedom to experiment with anything. Even with the sacred printing press, we got erotic novels 150 years before we got scientific journals.
Ada jarak antara hasil kerja yang konyol dan yang bagus dan setiap seniman atau penemu kawakan tahu mereka senantiasa bergulat untuk memperpendek jarak antara melakukan sesuatu dan berpangku tangan Dan orang yang menciptakan LOLcat telah melampaui jarak itu Semua orang berusaha menciptakan Ushahidis tanpa LOLcats menciptakan sesuatu yg berarti tanpa kekonyolan Tapi dunia media tidak bisa diatur-atur Kebebasan bereksperimen artinya kebebasan bereksperimen apa saja Bahkan di ranah media massa, selama 150 tahun orang mencetak novel porno sebelum menerbitkan jurnal ilmiah
So before I talk about what is, I think, the critical difference between LOLcats and Ushahidi, I want to talk about their shared source. And that source is design for generosity. It is one of the curiosities of our historical era that even as cognitive surplus is becoming a resource we can design around, social sciences are also starting to explain how important our intrinsic motivations are to us, how much we do things because we like to do them rather than because our boss told us to do them, or because we're being paid to do them.
Jadi sebelum saya sampaikan apa yang, menurut saya, perbedaan utama antara LOLcats dan Ushahidi Saya mau tunjukkan kesamaannya keduanya berasal dr rancangan berbasis kerelaan Hal ini merupakan salah satu misteri dalam sejarah kita yang bahkan ketika limpahan kognitif jadi sumber inspirasi kita dalam merancang, ilmu sosial juga mulai mampu menjelaskan betapa pentingnya motivasi alami kita bagi diri kita berapa banyak kita lakukan sesuatu hanya karena kita suka bukan karena diperintah atasan atau karena kita dibayar
This is a graph from a paper by Uri Gneezy and Aldo Rustichini, who set out to test, at the beginning of this decade, what they called "deterrence theory." And deterrence theory is a very simple theory of human behavior: If you want somebody to do less of something, add a punishment and they'll do less of it. Simple, straightforward, commonsensical -- also, largely untested. And so they went and studied 10 daycare centers in Haifa, Israel. They studied those daycare centers at the time of highest tension, which is pick-up time. At pick-up time the teachers, who have been with your children all day, would like you to be there at the appointed hour to take your children back. Meanwhile, the parents -- perhaps a little busy at work, running late, running errands -- want a little slack to pick the kids up late.
Ini grafik dr kertas oleh Uri Gneezy dan Aldo Rustichini yang di awal dekade ini bertekad menguji apa yang mereka sebut "Teori Ancaman" dan teori ini adalah teori yg sangat sederhana ttg perilaku manusia Kalau anda mau orang lebih jarang melakukan sesuatu kenakan hukuman dan mereka akan enggan melakukannya sederhana, langsung dan masuk akal tapi juga belum pernah teruji Dan karenanya mereka menelitinya di 10 panti penitipan anak di Haifa, Israel Dan mereka lakukan pengamata di jam-jam paling kritis yaitu waktu penjemputan anak Pada jam-jam itu para guru yg sudah menjaga anak-anak itu sepanjang hari ingin orang tuanya datang tepat waktu dan menjemput anak mereka sementara itu, para orang tua -- mungkin setelah kesibukan di kantor, lembur, dinas -- ingin sedikit kelonggaran dalam waktu menjemput anak
So Gneezy and Rustichini said, "How many instances of late pick-ups are there at these 10 daycare centers?" Now they saw -- and this is what the graph is, these are the number of weeks and these are the number of late arrivals -- that there were between six and 10 instances of late pick-ups on average in these 10 daycare centers. So they divided the daycare centers into two groups. The white group there is the control group; they change nothing. But the group of daycare centers represented by the black line, they said, "We are changing this bargain as of right now. If you pick your kid up more than 10 minutes late, we're going to add a 10 shekel fine to your bill. Boom. No ifs, ands or buts."
Jadi Gneezy dan Rustichini ingin tahu, "Berapa banyak orang tua yang telat diantara ke-10 panti penitipan anak ini ?" Mereka temui -- grafik ini adalah ttg hal ini, Ini jumlah minggu dan ini adalah angka keterlambatan penjemputan -- ternyata rata-rata ada 6 hingga 10 kejadian telat jemput. diantara 10 panti titip anak ini. Lalu mereka bagi panti-panti ini jadi dua kelompok Kelompok putih ini adalah kelompok kendali, yang dibiarkan tanpa perubahan Tapi panti-panti yang dikelompokkan ke dalam garis hitam ini mereka bilang, " kami ubah kesepakatannya mulai sekarang kalau anda telat 10 menit waktu menjemput anak anda kami denda 10 shekel (mata usang israel) Dor. Tidak pakai "kalau" atau "tapi"
And the minute they did that, the behavior in those daycare centers changed. Late pick-ups went up every week for the next four weeks until they topped out at triple the pre-fine average, and then they fluctuated at between double and triple the pre-fine average for the life of the fine. And you can see immediately what happened, right? The fine broke the culture of the daycare center. By adding a fine, what they did was communicate to the parents that their entire debt to the teachers had been discharged with the payment of 10 shekels, and that there was no residue of guilt or social concern that the parents owed the teachers. And so the parents, quite sensibly, said, "10 shekels to pick my kid up late? What could be bad?" (Laughter)
Dan begitu itu mulai diberlakukan perilaku di panti-panti itu langsung berubah Angka keterlambatan penjemputan naik Tiap minggu selama empat minggu berikutnya hingga tiga kali nilai rata-rata sebelum diberlakukan denda kemudian berfluktuasi antara dua kali dan tiga kali. sepanjang diberlakukannya denda Jadi semuanya jelas , bukan Denda yg diterapkan merusak budaya pada panti-panti penitipan anak itu Dengan menerapkan denda seperti menyampaikan pada para orang tua bahwa "hutang" mereka pada para guru bisa dibayar. dengan 10 shekels jadi rasa bersalah dan tekanan sosial hutang budi orang tua pada guru, hilang. Jadi para orang tua malah berpikir "10 shekels buat keterlembatan menjemput anak ? Apa salahnya ?" (Tertawa)
The explanation of human behavior that we inherited in the 20th century was that we are all rational, self-maximizing actors, and in that explanation -- the daycare center had no contract -- should have been operating without any constraints. But that's not right. They were operating with social constraints rather than contractual ones. And critically, the social constraints created a culture that was more generous than the contractual constraints did. So Gneezy and Rustichini run this experiment for a dozen weeks -- run the fine for a dozen weeks -- and then they say, "Okay, that's it. All done; fine." And then a really interesting thing happens: Nothing changes. The culture that got broken by the fine stayed broken when the fine was removed. Not only are economic motivations and intrinsic motivations incompatible, that incompatibility can persist over long periods. So the trick in designing these kinds of situations is to understand where you're relying on the economic part of the bargain -- as with the parents paying the teachers -- and when you're relying on the social part of the bargain, when you're really designing for generosity.
Penjelasan ttg perilaku manusia yang kita warisi dr abad ke-20 adalah bahwa kita ini pelaku yg rasional dan cenderung memaksimalkan apa-apa Dan dalam penjelasan itu -- panti penjemputan tidak punya kesepakatan -- mestinya beroperasi tanpa batasan-batasan Tapi itu tidak benar. Mereka beroperasi dengan batasan sosial alih-alih dengan kontrak Dan batasa sosial ini menciptakan budaya yg lebih toleran daripada batasan kontraktual Gneezy dan Rustichini melakukan eksperimen ini selama dua minggu menerapkan denda selama dua minggu dan mereka pikir, "Ok, Sudah jelas. Kita hentikan saja." Tapi lalu sesuatu yg menarik terjadi. Semuanya tidak kembali normal Budaya yang telah di "rusak" dengan denda Tetap "rusak" meski dendanya dihentikan Motivasi berbasis ekonomi dan motivasi alamiah bukan saja tidak cocok tapi ketidakcocokan itu bisa bertahan lama Jadi kiat untuk mengatasi situasi ini adalah dengan memahami apa yg kita andalkan sisi ekonomi -- seperti kasus orang tua membayar guru -- atau kita mengandalkan sisi sosialnya, ketika kita merancang sesuatu yg berbasis ke-rela-an
This brings me back to the LOLcats and to Ushahidi. This is, I think, the range that matters. Both of these rely on cognitive surplus. Both of these design for the assumption that people like to create and we want to share. Here is the critical difference between these: LOLcats is communal value. It's value created by the participants for each other. Communal value on the networks we have is everywhere -- every time you see a large aggregate of shared, publicly available data, whether it's photos on Flickr or videos on Youtube or whatever. This is good. I like LOLcats as much as the next guy, maybe a little more even, but this is also a largely solved problem. I have a hard time envisioning a future in which someone is saying, "Where, oh where, can I find a picture of a cute cat?"
Yang membawa diskusi ini kembali ke LOLcats dan Ushahidi Hal ini, menurut saya, adalah rentang yang penting. Keduanya mengandalkan limpahan kognitif Keduanya dirancang dengan asumsi orang suka berkarya dan suka berbagi Tapi ini perbedaan utama keduanya LOLcats punya nilai komunal Nilainya dibuat oleh anggota untuk anggota Nilai komunal dalam jaringan ada banyak sekali Setiap kali kita temukan simpulan dr data yg sangat besar yg dibagi-bagi dan tersedia secara publik. Entah apa itu foto di Flickr atau video di Youtube atau apapun Ini bagus. Saya seperti banyak orang, suka dengan LOLcats mungkin sudah rada fanatik. Tapi ini juga merupakan solusi dr sebuah problem besar Di masa depan akan aneh kalau ada orang yg masih bingung "Dimana ya bisa menemukan gambar kucing yang lucu-lucu ?"
Ushahidi, by contrast, is civic value. It's value created by the participants but enjoyed by society as a whole. The goals set out by Ushahidi are not just to make life better for the participants, but to make life better for everyone in the society in which Ushahidi is operating. And that kind of civic value is not just a side effect of opening up to human motivation. It really is going to be a side effect of what we, collectively, make of these kinds of efforts. There are a trillion hours a year of participatory value up for grabs. That will be true year-in and year-out. The number of people who are going to be able to participate in these kinds of projects is going to grow, and we can see that organizations designed around a culture of generosity can achieve incredible effects without an enormous amount of contractual overhead -- a very different model than our default model for large-scale group action in the 20th century.
Ushahidi, secara kontras punya nilai sipil Nilainya dibuat oleh anggota tapi dinikmati masyarakat secara umum Tujuan digunakannya Ushahidi tidak sekedar membuat hidup lebih baik bagi anggotanya tapi membuat hidup lebih baik buat seluruh masyarakat dimana Ushahidi beroperasi Dan nilai sipil seperti itu bukan hanya jadi efek samping dari penerapan motivasi dlm diri manusia Tapi akan jadi efek samping dr apa yang kita, secara kolektif, hasilkan dari kegiatan seperti ini Ada sekitar 3 trilliun jam dlm setahun potensi partisipatif untuk diperebutkan Ini akan tetap begitu setiap tahun Jumlah orang yg mampu berpartisipasi dlm projek seperti ini akan tumbuh dan kita akan saksikan organisasi-organisasi yg mengandalkan budaya ke-rela-an bisa menghasilkan dampak yg dahsyat tanpa perlu punya macam-macam kontrak. Ini jauh berbeda dari model umum kegiatan kelompok berskala besar di abad ke-20
What's going to make the difference here is what Dean Kamen said, the inventor and entrepreneur. Kamen said, "Free cultures get what they celebrate." We've got a choice before us. We've got this trillion hours a year. We can use it to crack each other up, and we're going to do that. That, we get for free. But we can also celebrate and support and reward the people trying to use cognitive surplus to create civic value. And to the degree we're going to do that, to the degree we're able to do that, we'll be able to change society.
Apa yang akan memberikan perubahan adalah seperti yg dikatakan Dean Kamen sang penemu dan sang wiraswastawan Kamen bilang, "Budaya bebas akan mendapatkan apa yg mereka nikmati" Jadi kita punya pilihan sekarang Kita punya 3 triliun jam setahun Kita bisa gunakan untuk saling menghibur, dan kita pasti akan lakukan itu dan tetap gratis Tapi kita juga bisa merayakan mendukung dan mengapresiasi orang-orang yang mencoba menggunakan limpahan kognitif untuk menciptakan nilai sipil Dan sejauh mana kita bertekad melakukan itu, sejauh mana kita bisa melakukan itu sejauh itulah perubahan yg kita bawa ke masyarakat
Thank you very much.
Terima kasih banyak