I'm an artist. Being an artist is the greatest job there is. And I really pity each and every one of you who has to spend your days discovering new galaxies or saving humanity from global warming.
Saya seorang seniman. Menjadi seniman adalah pekerjaan terhebat. Dan saya kasihan pada Anda semua yang harus menghabiskan waktu menemukan galaksi baru atau menyelamatkan umat manusia dari pemanasan global.
(Laughter)
(Tawa)
But being an artist is also a daunting job. I spend every day, from nine to six, doing this.
Tapi menjadi seorang seniman juga menakutkan. Saya menghabiskan waktu setiap hari, dari pukul 9 hingga 6, melakukan ini.
(Laughter)
(Tawa)
I even started a side career that consists entirely of complaining about the difficulty of the creative process.
Saya bahkan memulai karier sampingan yang intinya hanya mengeluhkan betapa sulitnya proses kreatif.
(Laughter)
(Tawa)
But today, I don't want to talk about what makes my life difficult. I want to talk about what makes it easy. And that is you -- and the fact that you are fluent in a language that you're probably not even aware of. You're fluent in the language of reading images. Deciphering an image like that takes quite a bit of an intellectual effort. But nobody ever taught you how this works, you just know it.
Tapi hari ini, saya tak ingin berbicara tentang hal yang mempersulit hidup saya. Saya ingin bercerita apa yang membuatnya mudah. Dan itu adalah Anda dan fakta bahwa Anda fasih dalam suatu bahasa yang mungkin tidak Anda sadari. Anda fasih dalam bahasa membaca gambar. Memahami gambar seperti itu membutuhkan sedikit usaha intelektual. Tapi tak seorang pun mengajari Anda caranya, Anda tahu begitu saja.
College, shopping, music. What makes a language powerful is that you can take a very complex idea and communicate it in a very simple, efficient form. These images represent exactly the same ideas. But when you look, for example, at the college hat, you know that this doesn't represent the accessory you wear on your head when you're being handed your diploma, but rather the whole idea of college. Now, what drawings can do is they cannot only communicate images, they can even evoke emotions. Let's say you get to an unfamiliar place and you see this. You feel happiness and relief.
Perguruan tinggi, perbelanjaan, musik. Yang membuat sebuah bahasa kuat adalah kemampuannya mengubah suatu ide kompleks dan menyampaikannya dalam bentuk sangat simpel dan efisien. Gambar-gambar ini menyiratkan ide-ide yang persis sama. Tapi saat Anda melihat, contohnya, topi toga itu, Anda paham bahwa benda itu tak mewakili aksesori yang Anda kenakan saat menerima gelar sarjana, melainkan konsep umum universitas. Lukisan tak hanya dapat menyampaikan pesan, tapi juga membangkitkan emosi Katakanlah Anda berada di tempat asing dan melihat ini. Anda merasa bahagia dan lega.
(Laughter)
(Tawa)
Or a slight sense of unease or maybe downright panic.
Atau sedikit rasa gelisah atau mungkin rasa panik.
(Laughter)
(Tawa)
Or blissful peace and quiet.
Atau damai dan tenang.
(Laughter)
(Tawa)
But visuals, they're of course more than just graphic icons. You know, if I want to tell the story of modern-day struggle, I would start with the armrest between two airplane seats and two sets of elbows fighting. What I love there is this universal law that, you know, you have 30 seconds to fight it out and once it's yours, you get to keep it for the rest of the flight.
Tapi visual lebih dari sekadar ikon grafis. Jika saya ingin menceritakan perjuangan zaman modern, Saya akan mulai dengan sandaran tangan di antara dua kursi pesawat dan dua siku yang bertarung. Yang saya sukai di sana adalah hukum universal ini, bahwa hanya ada 30 detik untuk bertarung siku jika menang, Anda berhak atas sandaran tangan itu saat penerbangan.
(Laughter)
(Tawa)
Now, commercial flight is full of these images. If I want to illustrate the idea of discomfort, nothing better than these neck pillows. They're designed to make you more comfortable --
Saat ini, iklan penerbangan penuh dengan gambar-gambar ini. Jika saya ingin menggambarkan rasa tidak nyaman, bantal leher ini contohnya. Mereka didesain untuk kenyamanan Anda--
(Laughter)
(Tawa)
except they don't.
tapi tidak.
(Laughter)
(Tawa)
So I never sleep on airplanes. What I do occasionally is I fall into a sort of painful coma. And when I wake up from that, I have the most terrible taste in my mouth. It's a taste that's so bad, it cannot be described with words, but it can be drawn.
Saya tidak tidur di pesawat. Yang biasa saya lakukan adalah jatuh dalam semacam koma menyakitkan. Dan ketika terbangun, ada rasa menjijikan di mulut saya. Rasanya sangat buruk sampai tak bisa dideskripsikan, tapi masih bisa digambarkan.
(Laughter)
(Tawa)
The thing is, you know, I love sleeping. And when I sleep, I really prefer to do it while spooning. I've been spooning on almost a pro level for close to 20 years, but in all this time, I've never figured out what to do with that bottom arm.
Sebenarnya, saya suka tidur. Dan saya suka tidur sambil berpelukan. Saya sampai jago berpelukan setelah mendekati 20 tahun lamanya, tapi selama ini, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan lengan bawah saya.
(Laughter)
(Tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
And the only thing -- the only thing that makes sleeping even more complicated than trying to do it on an airplane is when you have small children. They show up at your bed at around 4am with some bogus excuse of, "I had a bad dream."
Dan satu-satunya hal -- satu-satunya hal yang membuat tidur jadi lebih rumit daripada melakukannya dalam pesawat adalah memiliki anak-anak kecil. Mereka ada di kasur Anda sekitar jam 4 pagi dengan keluhan bohong seperti, "Aku bermimpi buruk."
(Laughter)
(Tawa)
And then, of course you feel sorry for them, they're your kids, so you let them into your bed. And I have to admit, at the beginning, they're really cute and warm and snugly. The minute you fall back asleep, they inexplicably --
Anda merasa tak enak pada mereka; mereka anak Anda, sehingga mereka pun tidur dengan Anda. Harus diakui, awalnya mereka menggemaskan, hangat, dan enak dipeluk. Detik Anda kembali tidur, mereka mulai --
(Laughter)
(Tawa)
start rotating.
tak bisa diam.
(Laughter)
(Tawa)
We like to call this the helicopter mode.
Kami suka menyebutnya mode helikopter.
(Laughter)
(Tawa)
Now, the deeper something is etched into your consciousness, the fewer details we need to have an emotional reaction.
Kini, semakin dalam sesuatu terukir di kesadaran Anda, semakin sedikit detail dibutuhkan untuk memperoleh reaksi emosional.
(Laughter)
(Tawa)
So why does an image like this work? It works, because we as readers are incredibly good at filling in the blanks. Now, when you draw, there's this concept of negative space. And the idea is, that instead of drawing the actual object, you draw the space around it. So the bowls in this drawing are empty. But the black ink prompts your brain to project food into a void. What we see here is not a owl flying. What we actually see is a pair of AA batteries standing on a nonsensical drawing, and I animate the scene by moving my desk lamp up and down.
Jadi kenapa gambar seperti ini berhasil? Karena kita sebagai pembaca sangat baik dalam mengisi kekosongan. Sekarang, saat Anda menggambar, ada konsep ruang negatif ini. Dan idenya, ketimbang menggambar objek sesungguhnya, Anda justru menggambar ruang di sekitarnya. Jadi mangkuk-mangkuk di gambar ini kosong. Tapi tinta hitam ini mendorong otak Anda memproyeksikan makanan ke kehampaan. Yang kita lihat bukanlah burung hantu terbang. Kita sebenarnya melihat sepasang baterai AA berdiri di atas gambar tak masuk akal. dan saya hidupkan adegan dengan menggerakkan lampu meja naik turun.
(Laughter)
(Tawa)
The image really only exists in your mind. So, how much information do we need to trigger such an image? My goal as an artist is to use the smallest amount possible. I try to achieve a level of simplicity where, if you were to take away one more element, the whole concept would just collapse. And that's why my personal favorite tool as an artist is abstraction. I've come up with this system which I call the abstract-o-meter, and this is how it works. So you take a symbol, any symbol, for example the heart and the arrow, which most of us would read as the symbol for love, and I'm an artist, so I can draw this in any given degree of realism or abstraction. Now, if I go too realistic on it, it just grosses everybody out.
Gambar ini hanya ada dalam pikiran Anda. Jadi, berapa informasi yang diperlukan untuk memicu gambar itu? Tujuan saya sebagai seniman adalah menggunakan jumlah sekecil mungkin. Saya berusaha mencapai level kesederhanaan dalam artian, jika Anda ambil satu elemen lagi, seluruh konsep akan hancur. Karena itulah alat favorit saya sebagai seniman adalah abstraksi. Saya menunjukkan sistem yang saya sebut "abstract-o-meter", dan begini cara kerjanya. Anda mengambil satu simbol, yang mana pun, misalnya hati dan panah, yang kebanyakan kita baca sebagai simbol cinta, dan sebagai seniman, saya bisa gambar itu dalam derajat realisme atau abstraksi berapa pun. Jika saya menggambarnya terlalu realistik, orang-orang takkan suka.
(Laughter)
(Tawa)
If I go too far on the other side and do very abstract, nobody has any idea what they're looking at. So I have to find the perfect place on that scale, in this case it's somewhere in the middle. Now, once we have reduced an image to a more simple form, all sorts of new connections become possible. And that allows for totally new angles in storytelling.
Tapi jika gambarnya terlalu abstrak, orang-orang takkan tahu apa yang mereka lihat. Jadi saya harus mencari titik sempurna di skala, yaitu suatu tempat di tengah. Setelah mengurangi gambar agar jadi lebih sederhana, semua koneksi barulah memungkinkan. Dan itu menciptakan sudut baru bagi penceritaan.
(Laughter)
(Tawa)
And so, what I like to do is, I like to take images from really remote cultural areas and bring them together. Now, with more daring references --
Yang saya suka lakukan adalah, Saya suka mengambil gambar dari daerah budaya terpencil dan menyatukannya Sekarang, dengan referensi yang lebih berani --
(Laughter)
(Tawa)
I can have more fun. But of course, I know that eventually things become so obscure that I start losing some of you. So as a designer, it's absolutely key to have a good understanding of the visual and cultural vocabulary of your audience. With this image here, a comment on the Olympics in Athens, I assumed that the reader of the "New Yorker" would have some rudimentary idea of Greek art. If you don't, the image doesn't work. But if you do, you might even appreciate the small detail, like the beer-can pattern here on the bottom of the vase.
Saya bisa lebih bersenang-senang. Tapi tentu, saya tahu segalanya jadi kabur sampai kehilangan beberapa dari kalian. Jadi sebagai desainer, inilah kunci mendapat pemahaman yang benar atas bahasa visual dan kultural pangsa pasar Anda. Dengan gambar ini, sebuah komentar di Olimpiade Athena, saya percaya pembaca majalah "New Yorker" setidaknya paham sedikit tentang seni Yunani. Jika tidak, berarti gambar ini gagal. Tapi jika Anda paham, detail kecil mungkin Anda apresiasi, seperti pola botol bir di bawah vas ini.
(Laughter)
(Tawa)
A recurring discussion I have with magazine editors, who are usually word people, is that their audience, you, are much better at making radical leaps with images than they're being given credit for. And the only thing I find frustrating is that they often seem to push me towards a small set of really tired visual clichés that are considered safe. You know, it's the businessman climbing up a ladder, and then the ladder moves, morphs into a stock market graph, and anything with dollar signs; that's always good.
Diskusi berulang saya dengan editor-editor majalah, yang biasanya orang-orang tipe 'kata', adalah pembaca mereka, yaitu Anda semua, jauh lebih pandai dalam membuat lompatan radikal dengan gambar, dibanding mereka sendiri. Satu-satunya hal yang membuat frustasi adalah mereka sering mendorong saya pada seperangkat kecil klise visual melelahkan yang dianggap aman. Anda tahu, para pebisnislah yang menaiki tangga, dan ketika tangganya bergerak, berubah menjadi grafik pasar saham dengan simbol-simbol dolar; itu pertanda baik.
(Laughter)
(Tawa)
If there are editorial decision makers here in the audience, I want to give you a piece of advice. Every time a drawing like this is published, a baby panda will die.
Jika ada pembuat keputusan editorial di antara hadirin semua, saya ingin memberi saran. Setiap kali gambar seperti ini diterbitkan, seekor bayi panda akan mati.
(Laughter)
(Tawa)
Literally.
Secara harfiah.
(Laughter)
(Tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
When is a visual cliché good or bad? It's a fine line. And it really depends on the story. In 2011, during the earthquake and the tsunami in Japan, I was thinking of a cover. And I went through the classic symbols: the Japanese flag, "The Great Wave" by Hokusai, one of the greatest drawings ever. And then the story changed when the situation at the power plant in Fukushima got out of hand. And I remember these TV images of the workers in hazmat suits, just walking through the site, and what struck me was how quiet and serene it was. And so I wanted to create an image of a silent catastrophe. And that's the image I came up with.
Kapan klise visual jadi baik atau buruk? Ini garis yang bagus. Dan sangat bergantung pada cerita. Pada 2011, saat gempa bumi dan tsunami terjadi di Jepang, saya memikirkan sebuah sampul. Jadi saya mendalami simbol klasik: bendera Jepang. "Gelombang Besar" oleh Hokusai, salah satu gambar terbaik. Kemudian cerita berubah saat situasi di pembangkit listrik di Fukushima tak terkendali. Saya ingat TV menayangkan gambar para pekerja dalam jas hazmat, berjalan melewati situs itu, dan saya terguncang akan ketenangan dan keheningan di sana. Karena itu saya ingin menciptakan gambar malapetaka yang bisu. Dan seperti inilah jadinya.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
What I want to do is create an aha moment, for you, for the reader. And unfortunately, that does not mean that I have an aha moment when I create these images. I never sit at my desk with the proverbial light bulb going off in my head. What it takes is actually a very slow, unsexy process of minimal design decisions that then, when I'm lucky, lead to a good idea.
Saya ingin menciptakan momen "Aha!" bagi Anda, pembaca sekalian. Dan sayangnya, saya tidak lantas punya momen "Aha!" itu saat menciptakan gambar ini. Saya tak pernah berdiam di kursi saya dengan bohlam menyala di kepala saya. Yang dibutuhkan justru proses pengambilan keputusan desain minimal yang sangat lambat yang memberi ide cerdas, jika saya beruntung.
So one day, I'm on a train, and I'm trying to decode the graphic rules for drops on a window. And eventually I realize, "Oh, it's the background blurry upside-down, contained in a sharp image." And I thought, wow, that's really cool, and I have absolutely no idea what to do with that. A while later, I'm back in New York, and I draw this image of being stuck on the Brooklyn bridge in a traffic jam. It's really annoying, but also kind of poetic. And only later I realized, I can take both of these ideas and put them together in this idea. And what I want to do is not show a realistic scene.
Jadi suatu hari, saat berkereta, saya coba menguraikan aturan grafis untuk tetesan di jendela. Dan kemudian saya sadar, "Oh, latar belakangnya kabur dari arah terbalik, terus terbingkai dalam gambar tajam." Dan saya berpikir, wow, keren sekali, dan saya tak tahu harus berbuat apa. Kemudian, saya kembali ke New York, dan saya membuat gambar terjebak macet di jembatan Brooklyn. Sungguh menjengkelkan, tapi juga puitis. Lalu saya tersadar, saya bisa mengambil kedua ide itu dan menyatukannya dalam ide ini. Yang ingin saya lakukan bukanlah memperlihatkan adegan realistik.
But, maybe like poetry, make you aware that you already had this image with you, but only now I've unearthed it and made you realize that you were carrying it with you all along. But like poetry, this is a very delicate process that is neither efficient nor scalable, I think. And maybe the most important skill for an artist is really empathy. You need craft and you need --
Tapi, mungkin seperti puisi, yang menyadarkan Anda bahwa Anda sudah memiliki gambaran ini, tapi saya baru menguaknya sekarang dan membuat Anda sadar selama ini, Anda selalu membawanya. Tapi seperti puisi, ini proses yang sangat lembut yang tidak efisien maupun terukur, saya kira. Dan mungkin keterampilan terpenting bagi seniman adalah empati. Anda memerlukan keahlian dan Anda memerlukan --
(Laughter)
(Tawa)
you need creativity --
memerlukan kreativitas --
(Laughter)
(Tawa)
thank you -- to come up with an image like that. But then you need to step back and look at what you've done from the perspective of the reader.
Terima kasih -- untuk membuat gambar seperti itu. Tapi Anda perlu mundur dan melihat apa yang Anda lakukan dari perspektif para pembaca.
I've tried to become a better artist by becoming a better observer of images. And for that, I started an exercise for myself which I call Sunday sketching, which meant, on a Sunday, I would take a random object I found around the house and try to see if that object could trigger an idea that had nothing to do with the original purpose of that item. And it usually just means I'm blank for a long while. And the only trick that eventually works is if I open my mind and run through every image I have stored up there, and see if something clicks. And if it does, just add a few lines of ink to connect -- to preserve this very short moment of inspiration.
Saya berusaha menjadi seniman yang baik dengan menjadi pengamat gambar yang baik. Karenanya, saya mulai berlatih, saya menyebutnya sketsa Minggu, yang artinya setiap Minggu, saya akan mengambil barang acak di sekitar rumah saya dan berusaha melihat apakah objek itu mampu memicu sebuah ide yang tak ada hubungannya dengan tujuan awal barang itu dibuat. Dan biasanya pikiran saya justru kosong untuk waktu lama. Dan satu-satunya trik yang berhasil ialah saat saya membuka pikiran dan memandangi setiap gambar yang saya letakkan di sana, dan mencari objek berhubungan. Kalau ada, cukup tambahkan beberapa garis tinta untuk menghubungkan -- untuk mempertahankan momen inspirasi pendek ini.
And the great lesson there was that the real magic doesn't happen on paper. It happens in the mind of the viewer. When your expectations and your knowledge clash with my artistic intentions. Your interaction with an image, your ability to read, question, be bothered or bored or inspired by an image is as important as my artistic contribution. Because that's what turns an artistic statement really, into a creative dialogue. And so, your skill at reading images is not only amazing, it is what makes my art possible. And for that, I thank you very much.
Dan pelajaran besar di sana adalah bahwa sihir yang nyata tak terjadi di atas kertas. Ia ada di dalam pikiran para pembaca. Ketika ekspektasi dan pengetahuan Anda berselisih dengan niatan artistik saya. Interaksi Anda dengan sebuah gambar, kemampuan Anda membaca, mempertanyakan, terganggu, tergali, atau terinspirasi oleh sebuah gambar sama pentingnya dengan kontribusi artistik saya. Karena itu yang benar-benar membelokkan penyataan artistik ke dalam dialog kreatif. Jadi, keterampilan Anda membaca gambar tak hanya mengagumkan, itulah yang memungkinkan seni saya. Karenanya, saya berterima kasih pada Anda semua.
(Applause)
(Tepuk tangan)
(Cheers)
(Sorakan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)