I first tried online dating my freshman year of college, which was in 2001, in case you can't see my wrinkle. Now, as you may have noticed, I'm six-feet tall, and when I arrived at my chosen university and realized our men's Division III basketball team averaged five-foot-eight, I abandoned the on-campus scene and went online. Now, back then, online dating was pretty close to the plot of "You've Got Mail." You'd write long emails back and forth for weeks, before you finally met up in real life. Except, in my case, you'd realize you have no chemistry and so now, you're back to square one.
Saya mencoba kencan daring pertama kali di tahun pertama saya kuliah, yaitu tahun 2001; saya memang sudah tua. Seperti yang Anda lihat, tinggi saya 1,8 m, dan begitu tiba di kampus pilihan saya dan ternyata tinggi rata-rata mahasiswa di tim basket Divisi III adalah 178 cm, saya tinggalkan kehidupan nyata kampus dan masuk ke dunia maya. Dulu, kencan daring terbatas pada skenario ini: "Ada Pesan Masuk." Anda akan menulis surel panjang berkali-kali selama beberapa minggu sebelum akhirnya bertemu di dunia nyata. Kecuali, yang saya alami, Anda sadar ada ketidakcocokan, sehingga Anda harus memulai lagi dari awal.
So, while online dating has changed a lot in the last 17 years, many of the frustrations remain the same. Because here's what it does well. It broadens your pool of potential dates beyond your existing social and professional circles. And here's what it doesn't do well. Literally everything else.
Meski kencan daring telah mengalami banyak perubahan dalam 17 tahun, kekecewaan yang dirasa tetap sama. Karena inilah keunggulan kencan daring: Jangkauan teman kencan potensial Anda diperluas melampaui lingkaran profesional dan sosial Anda sekarang. Dan inilah kelemahannya: keunggulannya hanya itu saja.
(Laughter)
(tertawa)
A few things you should know about me: I'm an action-oriented overachieving math and theater nerd, who ended up with an MBA. So, when things aren't working out, I tend to take a step back, apply my business toolkit to figure out why, and to fix it. My love life was no exception.
Berikut hal yang perlu Anda tahu tentang saya: Saya tidak banyak omong, penggila teater dan matematika, dan bergelar MBA. Maka saat semuanya tidak berjalan baik, saya cenderung mundur, lalu saya memakai panduan bisnis untuk tahu apa penyebab dan solusinya. Kehidupan cinta saya pun serupa.
The summer before I turned 30, I took myself on a relationship off-site. Which means I went camping solo in Maine for a week, to do a retro on my track record of mediocre relationships. Because the thing was, I knew what I wanted in a partner. Kindness, curiosity, empathy, a sense of purpose. And yet, here's what I chose for online: Ivy League degree, six feet or taller, lives within 12 subway stops of me. It's not that I intentionally prioritized those things, it's just the easiest to vet for online. It kind of is like a résumé review, which is why these guys looked great on paper and never quite fit me.
Di musim panas sebelum usia saya 30, saya mendalami diri saya sendiri. Selama seminggu, saya berkemah sendirian di Maine, untuk melihat kembali rekam jejak hubungan-hubungan saya yang standar. Karena meski saya tahu apa yang saya inginkan dari pasangan: Kebaikan, keingintahuan, empati, dan hidup dengan tujuan. Namun, inilah yang saya cari di dunia maya: gelar dari kampus ternama, tinggi badan 1,8 m atau lebih, tinggal dalam jarak 12 stasiun kereta. Bukannya saya sengaja memprioritaskan hal itu, tapi itu cara termudah dalam melakukan seleksi daring. Semacam melihat lamaran kerja, yang nampaknya baik di atas kertas namun tidak cocok dengan saya.
So when I went back online in the spring of 2016, I decided to reengineer the process through some classic business tools. First, I went to OkCupid, because I wanted to avoid the gamification of swipe-based apps. And also, because I wanted a writing sample. Next, I set up a sales funnel, throwing out any sense of my type, and instead defining the criteria that would qualify a lead. An inbound message had to do three things: had to be written in complete sentences and with good grammar; it had to reference something in my profile, so I know it's not a copy-and-paste situation; and it had to avoid all sexual content. I figured this was a pretty low bar, but it turns out, of my 210 inbound messages, only 14 percent cleared that hurdle.
Lalu di musim semi 2016, saya kembali ke dunia maya, untuk melakukan perbaikan proses menggunakan perangkat bisnis klasik. Pertama, saya mencoba OkCupid, karena ingin menghindari aplikasi geser yang cenderung jadi permainan. Selain itu, saya ingin sebuah contoh tulisan. Lalu, saya mulai melakukan penjualan, tanpa memedulikan preferensi pribadi saya, tetapi menentukan kriteria sebagai kualifikasi. Pesan yang masuk harus mencakup 3 hal: harus tertulis dengan lengkap dan dengan tata bahasa yang baik; harus merujuk pada sesuatu dari profil saya supaya saya tahu itu bukan sekadar salin-tempel; serta tidak mengandung unsur seksual. Rasanya standar ini cukup rendah, tapi ternyata, dari 210 pesan yang masuk, hanya 14% yang berhasil lolos.
(Laughter)
(tertawa)
Next, I wanted to meet in real life as quickly as possible, because the things I cared about, I couldn't see online. But the research, and my experience, shows you only need about 30 seconds with someone to tell if you click.
Selanjutnya, saya ingin secepatnya melakukan tatap muka langsung, karena hal yang penting bagi saya tidak terlihat di dunia maya. Tapi dari riset dan pengalaman saya, hanya butuh 30 detik untuk tahu apakah Anda cocok dengan seseorang.
So I invented the zero date. The zero date is one drink, one hour. With the goal of answering one question: Would I like to have dinner with this person? Not "are they the one"? Literally, "Would I like to spend three hours across the table from this person?" You tell them you have a hard stop -- drinks with girlfriends, a conference call with China -- it doesn't matter, they don't know you. The point is one hour. If it's awesome, you schedule a first date. And if it's not awesome, you downshift into entertainer mode and you workshop a few new stories for your next networking event.
Jadi saya menciptakan kencan nol. Kencan nol adalah kencan satu jam, satu minuman. Tujuannya untuk menjawab satu pertanyaan: Apakah saya mau makan malam dengan orang ini? Bukan "dia-kah yang tepat?" Namun, "Apa saya mau menghabiskan tiga jam semeja dengannya?" Cari alasan untuk selesai satu jam -- janji dengan teman, atau harus telepon ke China -- alasan apapun, mereka tidak kenal Anda. Yang penting adalah satu jam. Kalau menyenangkan, jadwalkan kencan pertama. Kalau tidak, anggap itu sebagai hiburan saja, dan siapkan beberapa cerita baru untuk pertemuan yang lain.
Plus, because it's just an hour, you can squeeze up to three in one evening and then you only have to do your hair and pick out one great outfit a week.
Selain itu, karena hanya satu jam, bisa ada tiga pertemuan dalam satu malam dan dalam seminggu hanya butuh satu kali menata rambut dan satu baju bagus.
The zero date also gave me a chance to see how they responded to me asking them out. I figured not everyone would dig my moxie, and I was right. Of my 29 qualified leads, only 15 replied to my message, and of those, six scheduled a zero date.
Karena kencan nol pula saya bisa melihat respons mereka ketika saya mengajak kencan. Saya sadar tidak semua orang suka dengan karakter saya, dan benar. Dari 29 yang lolos, hanya 15 yang menjawab pesan saya, dan dari 15 itu, terjadwal 6 kencan nol.
My first zero date was with a set designer. And we were both into yoga and preferred our bagels with peanut butter, so it looked pretty promising. But two minutes in, I could tell it wasn't going to be a thing and I was relieved not to be spending dinner with him. After that, I was a little nervous about going to my next zero date. But we had agreed to meet on the Brooklyn Heights Promenade with a flask of whiskey to watch the sunset, and honestly, it was two blocks from my apartment. Plus, this guy had a podcast, I have a podcast, worst case scenario, we can talk about our podcasts.
Kencan nol pertama saya adalah penata set. Dan kami berdua suka yoga dan lebih suka bagel dengan selai kacang, jadi peluangnya cukup besar. Tapi dalam 2 menit saya langsung tahu ini tidak akan berlanjut dan saya lega tidak harus makan malam dengannya. Setelahnya, saya agak cemas dengan kencan nol berikutnya. Tapi kami sudah janji bertemu di Brooklyn Heights Promenade dengan sebotol wiski sambil melihat sunset, dan sejujurnya, hanya 2 blok dari apartemen saya. Nah, pria ini punya siniar, saya juga, skenario terburuk, kami bisa ngobrol tentang siniar kami.
Then, Chas set down next to me. And this kind and empathetic man told great jokes and asked even better questions. He was a lawyer and a writer, and his eyes twinkled when he laughed and they squeezed tight when I kissed him and at some point in the evening, our zero date became a first date. And two years later, we have a washer, dryer and two house plants together.
Chas lalu duduk di samping saya. Pria baik dan empatik ini melontarkan lelucon yang lucu, pertanyaan-pertanyaannya bagus. Dia seorang pengacara dan penulis, matanya bersinar ketika tertawa dan tertutup rapat saat saya menciumnya dan akhirnya di sore itu, kencan nol kami menjadi kencan pertama. 2 tahun kemudian, kami punya mesin cuci, pengering, dan 2 tanaman rumah bersama.
Now, I can't promise you're going to end up with house plants. But the point of this story is that online dating doesn't have to suck. Don't treat it like a game, and don't treat it like a resume review. Instead, use it to source and qualify leads and then get offline as quickly as possible with the zero date. Because the point of this isn't swiping. It's finding your person.
Saya tidak bisa memastikan akhir kisah Anda seperti kisah saya. Tapi intinya, kencang daring tidak selalu menyebalkan. Jangan anggap itu permainan, dan jangan seperti melihat lamaran kerja. Namun gunakan itu sebagai sarana untuk melakukan seleksi dan segeralah melakukan kencan nol dengan bertemu secara langsung. Yang terpenting bukanlah soal pilah-pilih. Tetapi menemukan yang tepat.
Good luck.
Semoga berhasil.
(Applause)
(tepuk tangan)