I'm going to talk about the simple truth in leadership in the 21st century. In the 21st century, we need to actually look at -- and what I'm actually going to encourage you to consider today -- is to go back to our school days when we learned how to count. But I think it's time for us to think about what we count. Because what we actually count truly counts.
Saya akan berbicara mengenai kebenaran sederhana dalam kepemimpinan pada abad ke-21 ini. Di abad ke-21 ini, kita perlu melihat pada -- dan apa yang akan saya ajak anda untuk pertimbangkan, hari ini -- untuk mengingat hari-hari ketika kita sekolah dulu ketika kita belajar berhitung. Tapi saya berpikir kini saatnya bagi kita untuk memikirkan tentang apa yang kita anggap patut dihitung. Karena apa yang kita anggap patut dihitung adalah yang bermakna.
Let me start by telling you a little story. This is Van Quach. She came to this country in 1986 from Vietnam. She changed her name to Vivian because she wanted to fit in here in America. Her first job was at an inner-city motel in San Francisco as a maid. I happened to buy that motel about three months after Vivian started working there. So Vivian and I have been working together for 23 years.
Mari saya mulai dengan sebuah cerita pendek. Ini adalah Van Quach. Dia datang ke negeri ini pada 1986 dari Vietnam. Ia merubah namanya menjadi Vivian karena ia ingin membaur di sini di Amerika. Pekerjaan pertamanya adalah di motel dalam kota di San Fransisco sebagai pelayan. Saya kebetulan membeli motel tersebut sekitar tiga bulan setelah Vivian mulai bekerja di sana. Jadi, Vivian dan saya telah bekerja bersama selama 23 tahun.
With the youthful idealism of a 26-year-old, in 1987, I started my company and I called it Joie de Vivre, a very impractical name, because I actually was looking to create joy of life. And this first hotel that I bought, motel, was a pay-by-the-hour, no-tell motel in the inner-city of San Francisco. As I spent time with Vivian, I saw that she had sort of a joie de vivre in how she did her work. It made me question and curious: How could someone actually find joy in cleaning toilets for a living? So I spent time with Vivian, and I saw that she didn't find joy in cleaning toilets. Her job, her goal and her calling was not to become the world's greatest toilet scrubber. What counts for Vivian was the emotional connection she created with her fellow employees and our guests. And what gave her inspiration and meaning was the fact that she was taking care of people who were far away from home. Because Vivian knew what it was like to be far away from home.
Dengan idealisme anak muda berusia 26 tahun, pada 1987, Saya memulai perusahaan sendiri dan menamakannya Joie de Vivre, nama yang sangat tidak praktis, karena saya sebenarnya mencoba untuk menciptakan kebahagiaan hidup. Dan hotel pertama ini yang saya beli, motel, adalah motel yang tak tanya urusan, dan bayar per jam, di tengah kota San Fransisco. Semakin lama saya mengenal Vivian, Saya lihat dia memiliki semacam aura kebahagiaan hidup dalam menjalankan tugasnya. Ini membuat saya bertanya-tanya dan penasaran: Bagaimana seseorang bisa menemukan kebahagiaan dalam kerja yang hanyalah membersihkan toilet untuk mencari nafkah? Jadi saya menghabiskan waktu dengan Vivian, dan saya melihat bahwa ia tidak menjadi bahagia karena membersihkan toilet. Pekerjaannya, tujuannya, dan panggilan jiwanya bukanlah menjadi pembersih toilet terbaik di dunia. Apa yang penting bagi Vivian adalah hubungan emosional yang ia ciptakan dengan sesama karyawan dan tamu-tamu kami. Dan apa yang memberinya inspirasi dan makna hidup adalah kenyataan, bahwa, ia sedang mengurus orang lain yang jauh dari rumah mereka. Karena Vivian tahu rasanya bagaimana jauh dari rumah.
That very human lesson, more than 20 years ago, served me well during the last economic downturn we had. In the wake of the dotcom crash and 9/11, San Francisco Bay Area hotels went through the largest percentage revenue drop in the history of American hotels. We were the largest operator of hotels in the Bay Area, so we were particularly vulnerable. But also back then, remember we stopped eating French fries in this country. Well, not exactly, of course not. We started eating "freedom fries," and we started boycotting anything that was French. Well, my name of my company, Joie de Vivre -- so I started getting these letters from places like Alabama and Orange County saying to me that they were going to boycott my company because they thought we were a French company. And I'd write them back, and I'd say, "What a minute. We're not French. We're an American company. We're based in San Francisco." And I'd get a terse response: "Oh, that's worse."
Pelajaran kemanusiaan yang sangat mendasar itu, lebih dari 20 tahun yang lalu, berguna sekali bagi saya ketika melalui krisis ekonomi yang baru saja terjadi. Di ambang krisis dotcom dan 9/11, hotel-hotel di wilayah semenanjung San Fransisco mengalami persentase kejatuhan pendapatan terbesar sepanjang sejarah hotel-hotel Amerika. Kami adalah operator hotel terbesar di Bay Area, jadi kami khususnya memang rentan. Namun juga pada saat itu, ingatkah kalau kita berhenti makan French fries (kentang goreng) di negeri ini. Yah, tidak juga. Tentu saja tidak. Kita sebenarnya mulai memakan "freedom fries." (kentang goreng) Dan kami mulai memboikot semua yang mengandung unsur Perancis. Nah, nama perusahaan saya, Joie de Vivre (kebahagiaan hidup). Jadi saya mulai menerima banyak surat-surat dari tempat seperti Alabama dan Orange County mengatakan mereka akan memboikot perusahaan saya karena mereka pikir kami perusahaan Perancis. Dan saya membalas surat dan berkata, "Tunggu dulu. Kami bukan dari Perancis. Kami adalah perusahaan Amerika, kantor kami ada di San Fransisco." Dan saya mendapat balasan, "Oh, itu lebih parah lagi."
(Laughter)
(Tawa)
So one particular day when I was feeling a little depressed and not a lot of joie de vivre, I ended up in the local bookstore around the corner from our offices. And I initially ended up in the business section of the bookstore looking for a business solution. But given my befuddled state of mind, I ended up in the self-help section very quickly. That's where I got reacquainted with Abraham Maslow's "hierarchy of needs." I took one psychology class in college, and I learned about this guy, Abraham Maslow, as many of us are familiar with his hierarchy of needs. But as I sat there for four hours, the full afternoon, reading Maslow, I recognized something that is true of most leaders. One of the simplest facts in business is something that we often neglect, and that is that we're all human. Each of us, no matter what our role is in business, has some hierarchy of needs in the workplace.
Jadi pada suatu hari ketika saya merasa sedikit depresi dan tidak merasa bahagia, Saya sampai di sebuah toko buku lokal di pojok jalan dari kantor kami. Dan saya pada awalnya masuk ke bagian bisnis toko buku tersebut mencari solusi bisnis. Namun karena pikiran saya sedang labil, saya jadi terdampar dengan cepatnya di bagian buku pengembangan diri. Dan disanalah saya bertemu kembali dengan hirarki kebutuhannya Abraham Maslow. Saya pernah mengambil satu kelas psikologi saat kuliah, dan apa yang saya pelajari dari orang ini, Abraham Maslow, banyak dari kita yang pernah dengar istilah "hirarki kebutuhan." Namun ketika saya duduk selama empat jam, sepanjang sore, membaca Maslow, Saya menyadari sesuatu yang tampak dari semua pemimpin. Dan satu fakta tersederhana di bisnis adalah yang paling sering kita abaikan. Yaitu kita semua hanyalah manusia. Dan masing-masing dari kita, apapun peranannya dalam bisnis, ternyata mempunyai hirarki kebutuhan di tempat kerja.
So as I started reading more Maslow, what I started to realize is that Maslow, later in his life, wanted to take this hierarchy for the individual and apply it to the collective, to organizations and specifically to business. But unfortunately, he died prematurely in 1970, and so he wasn't really able to live that dream completely. So I realized in that dotcom crash that my role in life was to channel Abe Maslow. And that's what I did a few years ago when I took that five-level hierarchy of needs pyramid and turned it into what I call the transformation pyramid, which is survival, success and transformation. It's not just fundamental in business, it's fundamental in life. And we started asking ourselves the questions about how we were actually addressing the higher needs, these transformational needs for our key employees in the company. These three levels of the hierarchy needs relate to the five levels of Maslow's hierarchy of needs.
Jadi, sembari melanjutkan membaca Maslow, apa yang saya sadari adalah, ternyata Maslow, dalam hidupnya kemudian, ingin membawa hirarki ini dari level individual dan menerapkannya pada kelompok, pada organisasi dan terutama pada bisnis. Namun sayangnya, ia meninggal terlalu cepat pada tahun 1970. Sehingga ia tidak bisa menjalankan mimpi itu seutuhnya. Jadi saya sadar dalam krisis dotcom peran saya dalam hidup adalah menghubungkan Abe Maslow. Dan itu yang saya lakukan beberapa tahun yang lalu ketika saya ambil lima tingkat dalam piramid hirarki kebutuhan dan mengubahnya menjadi piramida transformasi, yaitu kelangsungan hidup, sukses dan transformasi. Ini bukan saja penting bagi bisnis, namun juga penting bagi kehidupan. Dan kami mulai dengan bertanya pada diri kami sendiri tentang bagaimana kami akan menangani kebutuhan tingkat tinggi, kebutuhan transformasional ini bagi karyawan pokok kami di perusahaan. Ketiga tingkatan hirarki kebutuhan ini berkaitan dengan lima tingkatan hirarki kebutuhannya Maslow.
But as we started asking ourselves about how we were addressing the higher needs of our employees and our customers, I realized we had no metrics. We had nothing that actually could tell us whether we were actually getting it right. So we started asking ourselves: What kind of less obvious metrics could we use to actually evaluate our employees' sense of meaning, or our customers' sense of emotional connection with us? For example, we actually started asking our employees, do they understand the mission of our company, and do they feel like they believe in it, can they actually influence it, and do they feel that their work actually has an impact on it? We started asking our customers, did they feel an emotional connection with us, in one of seven different kinds of ways. Miraculously, as we asked these questions and started giving attention higher up the pyramid, what we found is we created more loyalty. Our customer loyalty skyrocketed. Our employee turnover dropped to one-third of the industry average, and during that five year dotcom bust, we tripled in size.
Namun ketika kami mulai bertanya pada diri sendiri tentang cara menangani kebutuhan tingat tinggi dari karyawan dan pelanggan kami, saya sadar kami tidak punya matriks ukuran. Kami tidak punya apapun yang bisa memberitahu kami bila kami mencapainya dengan benar. Jadi kami mulai bertanya sendiri Ukuran apa yang sangat nyata dan bisa kita gunakan untuk mengevaluasi perasaan karyawaan kami, atau menilai hubungan emosional pelanggan dengan kami? Misalnya, kami bertanya kepada karyawan kami, apakah mereka paham misi dari perusahaan kita, dan apakah mereka percaya dengannya, bisakah mereka mempengaruhinya, dan apakah mereka merasa pekerjaan mereka bisa memiliki dampak padanya. Dan kami mulai bertanya pada para pelanggan, apakah mereka memiliki hubungan emosional dengan kami, dengan satu dari tujuh cara yang berbeda. Ajaibnya, sembari kami menanyakan pertanyaan ini. dan mulai memberikan perhatian lebih ke bagian atas piramida, Ternyata kami menciptakan lebih banyak loyalitas. Loyalitas pelanggan kami meroket tajam. Tingkat keluar masuk pegawai kami turun drastis hingga sepertiga dari rata-rata industri. Dan selama lima tahun krisis dotcom, perusahaan kami membesar tiga kali lipat.
As I went out and started spending time with other leaders out there and asking them how they were getting through that time, what they told me over and over again was that they just manage what they can measure. What we can measure is that tangible stuff at the bottom of the pyramid. They didn't even see the intangible stuff higher up the pyramid. So I started asking myself the question: How can we get leaders to start valuing the intangible? If we're taught as leaders to just manage what we can measure, and all we can measure is the tangible in life, we're missing a whole lot of things at the top of the pyramid.
Ketika saya keluar dan bertemu dengan pemimpin lain di luar sana dan bertanya bagaimana mereka bisa melalui krisis tersebut, mereka memberitahu saya berulang-ulang bahwa mereka hanya mengelola apa yang mereka bisa ukur. Dan apa yang bisa kita ukur adalah hal-hal yang terlihat di dasar piramida. Mereka tidak melihat hal-hal yang sulit diukur di bagian atas piramida. Jadi saya mulai bertanya pada diri sendiri: Bagaimana agar para pemimpin mulai menghargai hal-hal yang sulit diukur ini? Jika kita diajarkan sebagai pemimpin untuk hanya mengelola apa yang bisa kita ukur, dan jika yang bisa kita ukur di kehidupan adalah hanya yang tampak saja, kita akan kehilangan banyak hal di bagian atas piramida.
So I went out and studied a bunch of things, and I found a survey that showed that 94 percent of business leaders worldwide believe that the intangibles are important in their business, things like intellectual property, their corporate culture, their brand loyalty, and yet, only five percent of those same leaders actually had a means of measuring the intangibles in their business. So as leaders, we understand that intangibles are important, but we don't have a clue how to measure them. So here's another Einstein quote: "Not everything that can be counted counts, and not everything that counts can be counted." I hate to argue with Einstein, but if that which is most valuable in our life and our business actually can't be counted or valued, aren't we going to spend our lives just mired in measuring the mundane?
Jadi saya keluar dan mempelajari banyak hal. Dan saya menemukan survey yang menunjukkan bahwa 94 persen dari pemimpin bisnis di seluruh dunia percaya bahwa hal-hal yang sulit diukur juga penting dalam bisnis mereka, hal-hal seperti hak atas kekayaan intelektual, budaya perusahaan, loyalitas merek. Dan ternyata, hanya lima persen dari pemimpin tersebut yang memiliki sarana untuk menghitung hal-hal yang sulit diukur dari bisnis mereka. Jadi sebagai pemimpin, kami paham hal-hal yang sulit diukur sangatlah penting, namun kami tidak mengerti cara mengukurnya. Jadi ini ada kutipan dari Einstein: "Tidak semua yang bisa dihitung itu penting, dan tidak semua yang penting bisa dihitung." Saya tidak suka berdebat dengan Einstein, namun jika itu yang sangat berharga dalam hidup dan bisnis kita ternyata tidak bisa dihitung atau dinilai, bukankah kita akan menghabiskan hidup kita untuk mengukur hal-hal yang tidak penting?
It was that sort of heady question about what counts that led me to take my CEO hat off for a week and fly off to the Himalayan peaks. I flew off to a place that's been shrouded in mystery for centuries, a place some folks call Shangri-La. It's actually moved from the survival base of the pyramid to becoming a transformational role model for the world. I went to Bhutan. The teenage king of Bhutan was also a curious man, but this was back in 1972, when he ascended to the throne two days after his father passed away. At age 17, he started asking the kinds of questions that you'd expect of someone with a beginner's mind.
Pertanyaan berat mengenai apa yang pentinglah yang membuat saya melepas topi CEO saya selama seminggu dan terbang ke atas pegunungan Himalaya. Saya terbang ke tempat yang diselubungi misteri selama berabad-abad, sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan Shangri La. Ia berubah dari dasar piramida yaitu kelangsungan hidup menjadi sebuah model transformasional bagi seluruh dunia. Saya pergi ke Bhutan. Seorang Raja Bhutan yang masih remaja juga sangat penasaran, tapi ini terjadi pada tahun 1972, Ia diwariskan takhta dua hari setelah ayahandanya meninggal dunia. Pada usia 17, ia mulai mempertanyakan hal-hal yang umumnya diharapkan dari seorang dengan pemikiran lugu.
On a trip through India, early in his reign as king, he was asked by an Indian journalist about the Bhutanese GDP, the size of the Bhutanese GDP. The king responded in a fashion that actually has transformed us four decades later. He said the following, he said: "Why are we so obsessed and focused with gross domestic product? Why don't we care more about gross national happiness?" Now, in essence, the king was asking us to consider an alternative definition of success, what has come to be known as GNH, or gross national happiness. Most world leaders didn't take notice, and those that did thought this was just "Buddhist economics." But the king was serious. This was a notable moment, because this was the first time a world leader in almost 200 years had suggested that intangible of happiness -- that leader 200 years ago, Thomas Jefferson with the Declaration of Independence -- 200 years later, this king was suggesting that intangible of happiness is something that we should measure, and it's something we should actually value as government officials.
Pada sebuah perjalanan melalui India, pada masa awal jabatannya sebagai raja, ia ditanya oleh seorang jurnalis India mengenai GDP (Pendapatan Domestik Bruto) Bhutan, ukuran dari GDP Bhutan. Dan sang raja menjawab dengan elegan yang mengubah kita empat dekade setelahnya. Ia menjawab sebagai berikut: Ia berkata, "Kenapa kita sangat terobsesi dan fokus tentang Pendapatan Domestik Bruto (PDB)? Kenapa kita tidak lebih peduli kepada Kebahagian Nasional Bruto?" Nah, pada dasarnya, sang raja meminta kita untuk mempertimbangkan definisi alternatif kesuksesan, apa yang lebih dikenal sebagai GNH (KNB), atau Kebahagiaan Nasional Bruto. Kebanyakan pemimpin dunia tidak sadar, dan yang menyadari ini hanyalah "Ekonomi Buddhis." Namun sang raja sangat serius. Dan ini adalah masa yang sangat penting, karena untuk pertama kalinya seorang pemimpin dunia dalam hampir 200 tahun mengusulkan kebahagiaan yang tidak dapat diukur -- lagi, seorang pemimpin 200 tahun lalu, Thomas Jefferson dengan Deklarasi Kemerdekaannya -- 200 tahun kemudian, seorang raja mengusulkan bahwa kebahagiaan yang tidak dapat diukur adalah sesuatu yang harus kita ukur, dan ini adalah yang seharusnya kita ukur sebagai pejabat pemerintah.
For the next three dozen years as king, this king actually started measuring and managing around happiness in Bhutan -- including, just recently, taking his country from being an absolute monarchy to a constitutional monarchy with no bloodshed, no coup. Bhutan, for those of you who don't know it, is the newest democracy in the world, just two years ago.
Untuk tiga lusin tahun kemudian sebagai raja, Ia benar-benar mulai mengukur dan mengelola kebahagiaan di Bhutan. Dan termasuk, baru-baru saja, membawa negaranya dari monarki absolut ke monarki konstitusionil tanpa pertumpahan darah, tanpa kudeta. Dan Bhutan, bagi mereka yang belum tahu, adalah demokrasi terbaru di dunia, baru dua tahun lalu.
So as I spent time with leaders in the GNH movement, I got to really understand what they're doing. And I got to spend some time with the prime minister. Over dinner, I asked him an impertinent question. I asked him, "How can you create and measure something which evaporates -- in other words, happiness?" And he's a very wise man, and he said, "Listen, Bhutan's goal is not to create happiness. We create the conditions for happiness to occur. In other words, we create a habitat of happiness." Wow, that's interesting. He said that they have a science behind that art, and they've actually created four essential pillars, nine key indicators and 72 different metrics that help them to measure their GNH. One of those key indicators is: How do the Bhutanese feel about how they spend their time each day? It's a good question. How do you feel about how you spend your time each day? Time is one of the scarcest resources in the modern world. And yet, of course, that little intangible piece of data doesn't factor into our GDP calculations.
Jadi ketika saya menghabiskan waktu dengan pemimpin dalam gerakan GNH, Saya jadi benar benar paham apa yang mereka lakukan. Dan saya berkesempatan untuk meluangkan waktu dengan perdana menteri. Pada saat makan malam, saya tanyakan ia sebuah pertanyaan. Saya bertanya, "Bagaimana anda bisa menciptakan dan mengukur sesuatu yang menguap, dengan kata lain, kebahagiaan?" Dan ia orang yang sangat bijak, ia berkata, "Dengar, tujuan Bhutan bukan menciptakan kebahagiaan. Kami menciptakan kondisi agar kebahagiaan bisa terjadi. dengan kata lain, kami menciptakan habitat untuk kebahagiaan." Wow. Itu sangat menarik. Dan mereka berkata mereka memiliki ilmu di belakang seni itu. Dan mereka menciptakan empat pilar pokok, sembilan indikator kunci dan 72 matrik ukuran yang berbeda untuk benar-benar mengukur GNH mereka. Bahkan, salah satu indikator kunci ini adalah: Bagaimana perasaan warga Bhutan mengenai bagaimana mereka menghabiskan waktu mereka sepanjang hari? Ini pertanyaan yang bagus. Bagaimana perasaan anda tentang cara anda menghabiskan waktu sepanjang hari? Waktu adalah salah satu sumber daya yang langka di dunia modern. Dan tentu saja, data kecil mengenai hal yang tidak kelihatan itu tidak dimasukkan dalam perhitungan GDP kita.
As I spent my week up in the Himalayas, I started to imagine what I call an emotional equation. And it focuses on something I read long ago from a guy named Rabbi Hyman Schachtel. How many know him? Anybody? 1954, he wrote a book called "The Real Enjoyment of Living," and he suggested that happiness is not about having what you want; instead, it's about wanting what you have. Or in other words, I think the Bhutanese believe happiness equals wanting what you have -- imagine gratitude -- divided by having what you want -- gratification. The Bhutanese aren't on some aspirational treadmill, constantly focused on what they don't have. Their religion, their isolation, their deep respect for their culture and now the principles of their GNH movement all have fostered a sense of gratitude about what they do have. How many of us here, as TEDsters in the audience, spend more of our time in the bottom half of this equation, in the denominator? We are a bottom-heavy culture in more ways than one.
Jadi ketika saya menghabiskan waktu seminggu di Himalaya, sebenarnya saya mulai membayangkan apa yang saya sebut persamaan emosional. Dan fokusnya ke sesuatu yang pernah saya baca dahulu kala dari seorang bernama Rabbi Hyman Schachtel. Ada yang pernah dengar namanya? Adakah? 1954, ia menulis buku berjudul "Kenikmatan sejati dari hidup." Dan ia mengatakan bahwa kebahagiaan bukan mengenai mendapatkan apa yang anda inginkan. Melainkan, menginginkan apa yang anda miliki. Dengan kata lain, saya pikir warga Bhutan percaya kebahagiaan sama dengan menginginkan apa yang kau miliki -- bayangkan rasa syukur -- dibagi dengan memiliki apa yang kau inginkan -- kepuasan. Warga Bhutan tidak berada dalam jalur aspirasional, yang terus-menurus fokus kepada apa yang mereka tidak miliki. Agama mereka, keterisolasian mereka, dan penghormatan mendalam atas budaya mereka sendiri serta sekarang, prinsip-prinsip gerakan GNH telah menempa rasa kepuasan dan syukur atas apa yang mereka miliki. Berapa banyak dari kita, sebagai TEDsters di para pengunjung, menghabiskan waktu di bagian bawah persamaan ini, di pembaginya? Kita berada dalam budaya yang condong di bawah dengan berbagai cara yang berlainan.
(Laughter)
(Tawa)
The reality is, in Western countries, quite often we do focus on the pursuit of happiness as if happiness is something that we have to go out -- an object that we're supposed to get, or maybe many objects. Actually, in fact, if you look in the dictionary, many dictionaries define pursuit as to "chase with hostility." Do we pursue happiness with hostility? Good question. But back to Bhutan.
Kenyataannya adalah, di negara-negara barat, cukup sering kita fokus untuk mengejar kebahagiaan selayaknya kebahagiaan adalah sesuatu yang kita harus cari -- sebuah objek yang harus dimiliki, atau bahkan banyak objek. Faktanya, jika anda lihat di kamus, banyak kamus mendefinisikan "pursuit" (pengejaran) sebagai "mengejar dengan kebencian." Apakah kita mengejar kebahagiaan dengan kebencian? Pertanyaan bagus. Kembali ke Bhutan.
Bhutan's bordered on its north and south by 38 percent of the world's population. Could this little country, like a startup in a mature industry, be the spark plug that influences a 21st century of middle-class in China and India? Bhutan's created the ultimate export, a new global currency of well-being, and there are 40 countries around the world today that are studying their own GNH. You may have heard, this last fall Nicolas Sarkozy in France announcing the results of an 18-month study by two Nobel economists, focusing on happiness and wellness in France. Sarkozy suggested that world leaders should stop myopically focusing on GDP and consider a new index, what some French are calling a "joie de vivre index." I like it. Co-branding opportunities.
Bhutan sebenarnya berbatasan pada bagian utara dan selatan dengan 38 persen penduduk dunia. Mampukah negara kecil ini, seperti pembuka dari industri yang maju, menjadi pancaran sinaran yang mempengaruhi warga abad ke-21 dari golongan kelas menengah di Cina dan India? Bhutan menciptakan ekspor yang penting, mata uang global baru dari kesejahteraan hidup. Dan ada 40 negara di seluruh dunia sekarang yang mempelajari GNH mereka sendiri. Mungkin anda pernah dengar, musim gugur lalu, Nicolas Sarkozy di Perancis, mengumumkan hasil 18 bulan riset dari dua penerima nobel ekonomi, memfokuskan pada kebahagiaan dan kesejahteraan di Perancis. Sarkozy mengusulkan bahwa pemimpin dunia agar berhenti secara rabun dekat menggunakan GDP dan mempertimbangkan indeks baru, yang beberapa orang Perancis sebut sebagai "Indeks Joie de Vivre." Saya suka itu. Kesempatan pasang iklan.
Just three days ago, three days ago here at TED, we had a simulcast of David Cameron, potentially the next prime minister of the UK, quoting one of my favorite speeches of all-time, Robert Kennedy's poetic speech from 1968 when he suggested that we're myopically focused on the wrong thing and that GDP is a misplaced metric. So it suggests that the momentum is shifting.
Dan baru tiga hari lalu, hanya tiga hari lalu di TED ini, kita mendengarkan simulcast dari David Cameron, calon kuat perdana menteri Inggris, yang mengutip salah satu pidato favorit saya sepanjang masa, Pidato puitis Robert Kennedy pada 1968 ketika ia mengusulkan agar kita telah secara sempit fokus pada hal yang salah dan GDP adalah ukuran yang salah tempat. Jadi ini menujukkan bahwa momentumnya sedang bergeser.
I've taken that Robert Kennedy quote, and I've turned it into a new balance sheet for just a moment here. This is a collection of things that Robert Kennedy said in that quote. GDP counts everything from air pollution to the destruction of our redwoods. But it doesn't count the health of our children or the integrity of our public officials. As you look at these two columns here, doesn't it make you feel like it's time for us to start figuring out a new way to count, a new way to imagine what's important to us in life?
Saya mengambil kutipan Robert Kennedy, dan merubahnya dalam bentuk neraca baru sebentar lagi di sini. Ini adalah kumpulan hal-hal yang Robert Kennedy katakan dalam kutipan itu. GDP menghitung semuanya dari polusi udara hingga kerusakan hutan kita. Namun tidak menghitung kesehatan anak-anak kita atau integritas pejabat publik. Sebagaimana anda lihat dalam kolom ini. tidakkah anda merasa kini saatnya bagi kita untuk mencari cara baru untuk menghitung, sebuah cara baru untuk memikirkan apa yang benar-benar penting bagi hidup kita?
(Applause)
(Tepuk tangan)
Certainly Robert Kennedy suggested at the end of the speech exactly that. He said GDP "measures everything in short, except that which makes life worthwhile." Wow. So how do we do that? Let me say one thing we can just start doing ten years from now, at least in this country. Why in the heck in America are we doing a census in 2010? We're spending 10 billion dollars on the census. We're asking 10 simple questions -- it is simplicity. But all of those questions are tangible. They're about demographics. They're about where you live, how many people you live with, and whether you own your home or not. That's about it. We're not asking meaningful metrics. We're not asking important questions. We're not asking anything that's intangible.
Tentunya Robert Kennedy pada akhir pidato mengatakan itu. Ia berkata GDP "mengukur semuanya secara singkat, kecuali apa yang membuat hidup bermakna." Wow Jadi bagaimana kita lakukan itu? Pertama ijinkan saya satu hal yang bisa kita mulai sepuluh tahun dari sekarang, setidaknya di negara ini. Kenapa pula di Amerika kita melakukan sensus pada 2010. Kita menghabiskan 10 milyar dolar untuk sensus. Dan menanyakan 10 pertanyaan sederhana -- semuanya sederhana. Namun semuanya dapat diukur dengan mudah. Mereka mengenai demografi. Yaity tentang dimana anda tinggal, berapa banyak orang di rumah anda, dan apakah anda punya rumah atau tidak. Itu saja. Mereka tidak bertanya mengenai ukuran yang bermakna. Kita tidak mempertanyakan pertanyaan penting. Kita tidak mempertanyakan hal-hal yang tidak kasat mata.
Abe Maslow said long ago something you've heard before, but you didn't realize it was him. He said, "If the only tool you have is a hammer, everything starts to look like a nail." We've been fooled by our tool. Excuse that expression. (Laughter) We've been fooled by our tool. GDP has been our hammer. And our nail has been a 19th- and 20th-century industrial-era model of success. And yet, 64 percent of the world's GDP today is in that intangible industry we call service, the service industry, the industry I'm in. And only 36 percent is in the tangible industries of manufacturing and agriculture. So maybe it's time that we get a bigger toolbox, right? Maybe it's time we get a toolbox that doesn't just count what's easily counted, the tangible in life, but actually counts what we most value, the things that are intangible.
Abe Maslow mengatakan ini dahulu kala suatu kalimat yang mungkin pernah anda dengar, tapi tidak sadar berasal darinya. Ia berkata, "Jika alat yang kau punya hanya palu, maka semua akan terlihat seperti paku." Kita telah terperdaya oleh perkakas kita. Maafkan ekspresi itu. (Tawa) Kita telah tertipu oleh alat kita. GDP merupakan palu kita. Dan paku kita adalah abad ke 19 dan 20 model kesuksesan era industri. Dan ternyata 64 persen dari GDP dunia hari ini berada dalam industri yang sulit untuk diukur, yang kita sebut sektor jasa, industri jasa, industri di mana saya berada. Dan hanya 36 persen adalah industri nyata terukur seperti manufaktur dan pertanian. Jadi sudah saatnya kita ambil tas perkakas yang lebih besar, benar? Mungkin sudah saatnya kita ambil tas perkakas yang, bukan saja menghitung yang mudah dihitung, hal yang bisa diukur dengan mudah dari kehidupan, namun juga menghitung apa yang kita anggap penting, yaitu hal-hal yang tidak dapat dihitung.
I guess I'm sort of a curious CEO. I was also a curious economics major as an undergrad. I learned that economists measure everything in tangible units of production and consumption as if each of those tangible units is exactly the same. They aren't the same. In fact, as leaders, what we need to learn is that we can influence the quality of that unit of production by creating the conditions for our employees to live their calling. In Vivian's case, her unit of production isn't the tangible hours she works, it's the intangible difference she makes during that one hour of work.
Saya rasa saya adalah CEO yang penasaran. Saya juga mahasiswa ekonomi yang penasaran waktu S1. Dan saya pelajari ekonomi menghitung segalanya pada unit yang dapat diukur dari produksi dan konsumsi selayaknya unit yang dapat diukur tersebut persis sama satu dengan yang lainnya. Mereka tidaklah sama. Bahkan, sebagai pemimpin, apa yang perlu kita pelajari bahwa kita bisa mempengaruhi kualitas unit produksi tersebut dengan menciptakan kondisi bagi karyawan agar hidup sesuai dengan panggilan masing-masing. Dan bahkan, dalam kasus Vivian, unit produksinya bukanlah jam kerja yang terukur. Melainkan perbedaan yang tidak terukur yang telah ia perbuat selama satu jam kerja.
This is Dave Arringdale who's actually been a longtime guest at Vivian's motel. He stayed there a hundred times in the last 20 years, and he's loyal to the property because of the relationship that Vivian and her fellow employees have created with him. They've created a habitat of happiness for Dave. He tells me that he can always count on Vivian and the staff there to make him feel at home. Why is it that business leaders and investors quite often don't see the connection between creating the intangible of employee happiness with creating the tangible of financial profits in their business? We don't have to choose between inspired employees and sizable profits, we can have both. In fact, inspired employees quite often help make sizable profits, right?
Ini adalah Dave Arringdale yang merupakan tamu tetap di motelnya Vivian. Ia menginap disana sebanyak ratusan kali pada 20 tahun terakhir. Dan dia loyal pada motel karena hubungannya yang erat yang telah terjalin dengan Vivian dan karyawan lainnya. Mereka menciptakan habitat kebahagiaan bagi Dave. Dan ia menceritakan bahwa ia bisa mengandalkan Vivian dan staffnya untuk membuatnya serasa di rumah. Mengapa pemimpin bisnis dan investor, sering kali, tidak melihat hubungan antara menciptakan hal yang tidak dapat diukur, seperti kebahagiaan karyawan dengan menciptakan, yang terukur, seperti keuntungan finansial bisnis mereka. Kita tidak perlu memilih antara menginspirasi karyawan dan untung yang lumayan. Kita bisa dapatkan keduanya. Bahkan, karyawan yang terinspirasi, sering kali, membantu meraih untung yang lumayan, benar.
So what the world needs now, in my opinion, is business leaders and political leaders who know what to count. We count numbers. We count on people. What really counts is when we actually use our numbers to truly take into account our people. I learned that from a maid in a motel and a king of a country. What can you start counting today? What one thing can you start counting today that actually would be meaningful in your life, whether it's your work life or your business life?
Jadi apa yang dibutuhkan dunia sekarang, menurut saya, adalah pemimpin bisnis dan politisi yang tahu apa yang harus dan patut dihitung. Kita menghitung angka. Kita menghitung orang. Apa yang benar benar penting adalah kita menggunakan angka-angka untuk memperhitungkan orang-orang kita. Saya mempelajari hal ini dari seorang pelayan di sebuah motel dan seorang raja sebuah negara. Apa yang bisa anda mulai hitung hari ini? Apa satu hal yang bisa anda mulai hitung hari ini yang benar-benar memiliki arti bagi kehidupan anda, apakah itu pekerjaan anda atau kehidupan bisnis?
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)