I am a conductor, and I'm here today to talk to you about trust. My job depends upon it. There has to be, between me and the orchestra, an unshakable bond of trust, born out of mutual respect, through which we can spin a musical narrative that we all believe in.
Saya seorang konduktor dan saya berada di sini untuk berbicara tentang kepercayaan. Pekerjaan saya bergantung pada hal itu. Suatu keharusan, antara saya dan orkestra ada ikatan kepercayaan yang tidak tergoyahkan, yang lahir dari saling menghormati sehingga kami dapat memutar kisah musik yang kami semua percayai.
Now in the old days, conducting, music making, was less about trust and more, frankly, about coercion. Up to and around about the Second World War, conductors were invariably dictators -- these tyrannical figures who would rehearse, not just the orchestra as a whole, but individuals within it, within an inch of their lives. But I'm happy to say now that the world has moved on, music has moved on with it. We now have a more democratic view and way of making music -- a two-way street. I, as the conductor, have to come to the rehearsal with a cast-iron sense of the outer architecture of that music, within which there is then immense personal freedom for the members of the orchestra to shine.
Di masa lalu, memimpin orkestra, bermain musik lebih mengenai paksaan ketimbang kepercayaan. Hingga masa sekitar perang dunia kedua, semua konduktor adalah diktator -- tokoh-tokoh kejam ini yang bukan hanya melatih seluruh orkestra, namun setiap orang di dalamnya, dalam setiap inci hidup mereka. Namun kini dunia telah berubah, dan musik juga telah berubah bersamanya. Kini kita memiliki pandangan dan cara bermain musik yang lebih demokratis -- musik dua arah. Sebagai konduktor, saya harus berlatih dengan sangat keras mengenai arsitektur luar dari musik itu yang kemudian tenggelam ke dalam kebebasan pribadi bagi para anggota orkestra agar dapat bersinar.
For myself, of course, I have to completely trust my body language. That's all I have at the point of sale. It's silent gesture. I can hardly bark out instructions while we're playing.
Sudah pasti bagi saya, saya harus mempercayai bahasa tubuh saya sepenuhnya. Itulah yang saya miliki untuk dijual. Sikap tenang. Saya hampir tidak bisa meneriakkan perintah saat kami bermain.
(Music)
(Musik)
Ladies and gentlemen, the Scottish Ensemble.
Para hadirin sekalian, "Ansambel Skotlandia."
(Applause)
(Tepuk tangan)
So in order for all this to work, obviously I have got to be in a position of trust. I have to trust the orchestra, and, even more crucially, I have to trust myself. Think about it: when you're in a position of not trusting, what do you do? You overcompensate. And in my game, that means you overgesticulate. You end up like some kind of rabid windmill. And the bigger your gesture gets, the more ill-defined, blurry and, frankly, useless it is to the orchestra. You become a figure of fun. There's no trust anymore, only ridicule.
Jadi agar semua bisa berhasil sudah jelas saya harus ada dalam posisi percaya. Saya harus mempercayai orkestra, dan lebih penting lagi saya harus mempercayai diri sendiri. Pikirkanlah: saat Anda ada dalam posisi tidak percaya, apa yang Anda lakukan? Anda terlalu berlebihan. Dalam permainan ini, itu berarti terlalu banyak menggerakkan tangan dan akhirnya menjadi seperti kincir angin ganas. Dan semakin besar gerak tubuh Anda, semakin kabur, tidak jelas dan tidak berguna bagi orkestra itu. Anda menjadi tokoh untuk diolok-olok. Tidak ada kepercayaan lagi.
And I remember at the beginning of my career, again and again, on these dismal outings with orchestras, I would be going completely insane on the podium, trying to engender a small scale crescendo really, just a little upsurge in volume. Bugger me, they wouldn't give it to me. I spent a lot of time in those early years weeping silently in dressing rooms. And how futile seemed the words of advice to me from great British veteran conductor Sir Colin Davis who said, "Conducting, Charles, is like holding a small bird in your hand. If you hold it too tightly, you crush it. If you hold it too loosely, it flies away." I have to say, in those days, I couldn't really even find the bird.
Saya ingat pada awal karir saya, orkestra yang terasa suram itu terus menerus terulang, saya benar-benar menjadi gila di atas panggung hanya sekedar ketika mencoba membuat crescendo kecil, mengeraskan volumenya sedikit. Benar-benar kacau, mereka tidak mau melakukannya. Saya banyak menghabiskan waktu saat itu dengan menangis di kamar ganti. Dan bagaimana nasihat yang terasa sia-sia dari konduktor veteran Inggris Sir Colin Davis yang mengatakan "Charles, menjadi konduktor seperti memegang burung kecil di tanganmu. Jika terlalu erat, burung itu akan remuk. Jika terlalu longgar, burung itu terbang." Saya harus berkata, saat itu, saya bahkan tidak menemukan burungnya.
Now a fundamental and really viscerally important experience for me, in terms of music, has been my adventures in South Africa, the most dizzyingly musical country on the planet in my view, but a country which, through its musical culture, has taught me one fundamental lesson: that through music making can come deep levels of fundamental life-giving trust. Back in 2000, I had the opportunity to go to South Africa to form a new opera company. So I went out there, and I auditioned, mainly in rural township locations, right around the country. I heard about 2,000 singers and pulled together a company of 40 of the most jaw-droppingly amazing young performers, the majority of whom were black, but there were a handful of white performers.
Kini pengalaman dasar yang benar-benar sangat penting bagi saya, dalam hal musik adalah petualangan saya di Afrika Selatan, negara paling memusingkan dalam hal musik menurut saya, namun negara ini, melalui budaya musiknya telah mengajarkan saya satu pelajaran dasar bahwa bermain musik dapat memunculkan kepercayaan mendasar yang benar-benar mendalam. Pada tahun 2000, saya mendapat kesempatan pergi ke Afrika Selatan untuk mendirikan perusahaan opera baru. Jadi saya ke sana dan menyeleksi kebanyakan di kota-kota kecil, di seluruh negara itu. Saya mendengar 2.000 penyanyi dan membuat perusahaan opera dari 40 orang muda yang paling mengagumkan, kebanyakan berkulit hitam, namun masih ada sekelompok orang berkulit putih.
Now it emerged early on in the first rehearsal period that one of those white performers had, in his previous incarnation, been a member of the South African police force. And in the last years of the old regime, he would routinely be detailed to go into the township to aggress the community. Now you can imagine what this knowledge did to the temperature in the room, the general atmosphere. Let's be under no illusions. In South Africa, the relationship most devoid of trust is that between a white policeman and the black community. So how do we recover from that, ladies and gentlemen? Simply through singing. We sang, we sang, we sang, and amazingly new trust grew, and indeed friendship blossomed. And that showed me such a fundamental truth, that music making and other forms of creativity can so often go to places where mere words cannot.
Lalu pada awal masa latihan, ada peristiwa di mana salah satu pemain berkulit putih dalam masa hidup sebelumnya adalah anggota polisi Afrika Selatan. Dan pada tahun terakhir dari rezim lama, dia akan pergi meneliti ke desa-desa secara berkala untuk menyerang masyarakat. Kini Anda dapat bayangkan apa dampaknya bagi suasana di ruangan itu, bagi atmosfer yang ada di sana. Mari lihat pada kenyataan. Di Afrika Selatan, hubungan yang paling tidak memiliki kepercayaan adalah antara polisi berkulit putih dan masyarakat berkulit hitam. Jadi bagaimana kita memulihkannya? Melalui nyanyian. Kami bernyanyi, bernyanyi, dan bernyanyi, dan kepercayaan baru mulai tumbuh, persahabatan juga mulai tumbuh. Dan hal itu menunjukkan kebenaran yang mendasar bahwa bermain musik dan bentuk kreativitas lainnya sering dapat mencapai tempat yang tidak bisa dicapai kata-kata.
So we got some shows off the ground. We started touring them internationally. One of them was "Carmen." We then thought we'd make a movie of "Carmen," which we recorded and shot outside on location in the township outside Cape Town called Khayelitsha. The piece was sung entirely in Xhosa, which is a beautifully musical language, if you don't know it. It's called "U-Carmen e-Khayelitsha" -- literally "Carmen of Khayelitsha." I want to play you a tiny clip of it now for no other reason than to give you proof positive that there is nothing tiny about South African music making.
Kami mengadakan beberapa pertunjukan di sana dan mulai bepergian ke luar negeri. Salah satunya adalah, "Carmen." Kami berpikir untuk membuat film berjudul "Carmen," yang kami rekam dan ambil gambarnya di pedesaan di luar Capetown bernama Khayelitsha. Lagu itu seluruhnya dinyanyikan dalam bahsa Xhosa, jika Anda tidak tahu, itu adalah sebuah bahasa musik yang indah. Lagu ini berjudul "U-Carmen e-Khayelitsha" -- yang berarti "Carmen dari Khayelitsha." Saya ingin memainkan cuplikan kecilnya hanya untuk memberikan Anda bukti positif bahwa tidak ada yang remeh mengenai permainan musik di Afrika Selatan.
(Music)
(Musik)
(Applause)
(Tepuk tangan)
Something which I find utterly enchanting about South African music making is that it's so free. South Africans just make music really freely. And I think, in no small way, that's due to one fundamental fact: they're not bound to a system of notation. They don't read music. They trust their ears. You can teach a bunch of South Africans a tune in about five seconds flat. And then, as if by magic, they will spontaneously improvise a load of harmony around that tune because they can. Now those of us that live in the West, if I can use that term, I think have a much more hidebound attitude or sense of music -- that somehow it's all about skill and systems. Therefore it's the exclusive preserve of an elite, talented body. And yet, ladies and gentlemen, every single one of us on this planet probably engages with music on a daily basis.
Satu hal yang bagi saya sangat memikat tentang permainan musik Afrika Selatan adalah musik itu sangat bebas. Orang Afrika Selatan menggubah musik dengan sangat bebas. Dan saya rasa, bukan dalam artian sempit yaitu karena satu fakta utama mereka tidak terikat pada sistem tangga nada. Mereka tidak membaca musik. Mereka mempercayai telinganya. Anda dapat mengajarkan lagu pada orang Afrika Selatan selama 5 detik. Lalu, seperti sebuah sihir mereka akan langsung mengimprovisasikan banyak harmoni dengan lagu itu karena mereka bisa. Lalu kita yang tinggal di Barat, jika saya dapat berkata seperti itu, saya rasa lebih berpandangan sempit dalam hal musik -- seperti musik hanyalah tentang kemampuan dan sistem. Sehingga musik hanya milik eksklusif dari orang yang berbakat dan elit. Namun, para hadirin sekalian, kita semua di planet ini mungkin terlibat dengan musik setiap hari.
And if I can broaden this out for a second, I'm willing to bet that every single one of you sitting in this room would be happy to speak with acuity, with total confidence, about movies, probably about literature. But how many of you would be able to make a confident assertion about a piece of classical music? Why is this? And what I'm going to say to you now is I'm just urging you to get over this supreme lack of self-confidence, to take the plunge, to believe that you can trust your ears, you can hear some of the fundamental muscle tissue, fiber, DNA, what makes a great piece of music great. I've got a little experiment I want to try with you.
Dan jika saya dapat memperluasnya sebentar, saya bersedia bertaruh bahwa semua orang yang ada di ruangan ini akan senang untuk berbicara dengan tajam, dengan percaya diri, tentang film, mungkin tentang literatur. Namun berapa banyak dari Anda yang dapat berbicara dengan yakin tentang musik klasik? Mengapa ini terjadi? Dan apa yang ingin saya katakan adalah saya mengajak Anda untuk mengenyahkan rasa kurang percaya diri yang besar ini untuk terjun, untuk percaya bahwa Anda bisa mempercayai telinga Anda, Anda dapat mendengar beberapa jaringan otot dasar, serat, DNA, apa yang membuat lagu menjadi luar biasa. Ada percobaan kecil yang ingin saya coba lakukan.
Did you know that TED is a tune? A very simple tune based on three notes -- T, E, D. Now hang on a minute. I know you're going to say to me, "T doesn't exist in music." Well ladies and gentlemen, there's a time-honored system, which composers have been using for hundreds of years, which proves actually that it does. If I sing you a musical scale: A, B, C, D, E, F, G -- and I just carry on with the next set of letters in the alphabet, same scale: H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T -- there you go. T, see it's the same as F in music. So T is F. So T, E, D is the same as F, E, D. Now that piece of music that we played at the start of this session had enshrined in its heart the theme, which is TED. Have a listen.
Tahukah Anda bahwa TED adalah lagu? Nada sederhana dari tiga nada -- T, E, D. Tunggu sebentar. Saya tahu Anda akan mengatakan, "T tidak ada dalam musik." Begini, ada sistem berbasis waktu yang telah digunakan para penggubah lagu selama ratusan tahun, yang membuktikan sebenarnya T ada. Jika saya menyanyikan nada musik, A, B, C, D, E, F, G -- dan saya meneruskannya dengan abjad berikutnya, nada yang sama: H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T -- ini dia. T, sama dengan nada F dalam musik. Jadi T adalah F. T, E, D sama dengan F, E, D. Lalu cuplikan musik yang kita mainkan pada awal sesi ini telah terabadikan dalam hati lagu temanya, yaitu TED. Dengarlah.
(Music)
(Musik)
Do you hear it? Or do I smell some doubt in the room? Okay, we'll play it for you again now, and we're going to highlight, we're going to poke out the T, E, D. If you'll pardon the expression.
Apa Anda mendengarnya? Ataukah saya mencium keraguan di ruangan ini? Baiklah, kita akan mainkan lagi sekarang kita akan menyoroti, menyodok kata-kata TED. Maaf atas ekspresi saya.
(Music)
(Musik)
Oh my goodness me, there it was loud and clear, surely. I think we should make this even more explicit. Ladies and gentlemen, it's nearly time for tea. Would you reckon you need to sing for your tea, I think? I think we need to sing for our tea. We're going to sing those three wonderful notes: T, E, D. Will you have a go for me?
Astaga, sungguh sangat keras dan jelas, benar. Saya rasa kita harus membuatnya lebih eksplisit lagi. Para hadirin sekalian, sudah hampir saatnya istirahat. Kita anggap saja Anda harus bernyanyi agar dapat minum teh saat istirahat. Bagaimana? Saya rasa kita harus bernyanyi sebelum istirahat. Kita akan menyanyikan ketiga nada mengagumkan ini: T, E, D. Anda bersedia?
Audience: T, E, D.
Penonton: T, E, D.
Charles Hazlewood: Yeah, you sound a bit more like cows really than human beings. Shall we try that one again? And look, if you're adventurous, you go up the octave. T, E, D.
Charles Hazlewood: Ya, Itu lebih terdengar seperti suara sapi ketimbang suara manusia. Maukah kita mencobanya lagi? Dan jika Anda berjiwa petualang, nyanyikanlah 1 oktaf lebih tinggi, T, E, D.
Audience: T, E, D.
Penonton: T, E, D.
CH: Once more with vim. (Audience: T, E, D.)
CH: Sekali lagi dengan semangat. (Penonton: T, E, D.)
There I am like a bloody windmill again, you see. Now we're going to put that in the context of the music. The music will start, and then at a signal from me, you will sing that. (Music) One more time, with feeling, ladies and gentlemen. You won't make the key otherwise. Well done, ladies and gentlemen. It wasn't a bad debut for the TED choir, not a bad debut at all.
Yah, saya seperti kincir angin ganas lagi. Baik, kita akan menggabungkannya dengan musik. Musiknya akan dimulai lalu saat saya memberi tanda Anda akan bernyanyi. (Musik) Sekali lagi, dengan perasaan. Jika tidak, Anda tidak akan menemukan kuncinya. Anda mendapat tepuk tangan meriah. Bukan permulaan yang buruk bagi paduan suara TED, sama sekali bukan permulaan yang buruk.
Now there's a project that I'm initiating at the moment that I'm very excited about and wanted to share with you, because it is all about changing perceptions, and, indeed, building a new level of trust. The youngest of my children was born with cerebral palsy, which as you can imagine, if you don't have an experience of it yourself, is quite a big thing to take on board. But the gift that my gorgeous daughter has given me, aside from her very existence, is that it's opened my eyes to a whole stretch of the community that was hitherto hidden, the community of disabled people. And I found myself looking at the Paralympics and thinking how incredible how technology's been harnessed to prove beyond doubt that disability is no barrier to the highest levels of sporting achievement. Of course there's a grimmer side to that truth, which is that it's actually taken decades for the world at large to come to a position of trust, to really believe that disability and sports can go together in a convincing and interesting fashion.
Kini ada proyek yang sedang saya rintis proyek yang sangat menarik dan ingin saya bagikan karena hal ini berhubungan tentang mengubah persepsi, dan membangun kepercayaan dalam tingkatan yang baru. Anak bungsu saya terlahir dengan celebral palsy, di mana seperti yang Anda bayangkan, jika Anda tidak berpengalaman dalam hal ini cukup sulit untuk membawanya. Namun karunia yang diberikan putri saya itu selain dari kehadirannya itu sendiri adalah dia membuka mata saya pada seluruh ragam masyarakat yang sebelumnya tersembunyi, komunitas orang-orang cacat. Saya menyaksikan Paralympic (olimpiade para penyandang cacat) dan berpikir betapa menakjubkannya teknologi telah menjinakkan tanpa keraguan bahwa kelumpuhan bukanlah halangan untuk mencapai tingkatan olahraga tertinggi. Tentu saja ada sisi yang lebih suram dari kenyataan itu yaitu bahwa dunia memerlukan puluhan tahun untuk dapat percaya, untuk benar-benar yakin bahwa kelumpuhan dan olahraga dapat bersama dalam cara yang meyakinkan dan menarik.
So I find myself asking: where is music in all of this? You can't tell me that there aren't millions of disabled people, in the U.K. alone, with massive musical potential. So I decided to create a platform for that potential. It's going to be Britain's first ever national disabled orchestra. It's called Paraorchestra.
Sehingga saya bertanya: di mana musik? Anda tidak bisa berkata tidak ada jutaan orang lumpuh di Inggris saja dengan potensi musik yang luar biasa. Jadi saya memutuskan untuk membuat tempat untuk itu. Ini akan menjadi orkestra penyandang cacat nasional pertama di Inggris. Sesuatu yang disebut "ParaOrkestra."
I'm going to show you a clip now of the very first improvisation session that we had. It was a really extraordinary moment. Just me and four astonishingly gifted disabled musicians. Normally when you improvise -- and I do it all the time around the world -- there's this initial period of horror, like everyone's too frightened to throw the hat into the ring, an awful pregnant silence. Then suddenly, as if by magic, bang! We're all in there and it's complete bedlam. You can't hear anything. No one's listening. No one's trusting. No one's responding to each other. Now in this room with these four disabled musicians, within five minutes a rapt listening, a rapt response and some really insanely beautiful music.
Saya akan menunjukkan sebuah klip tentang sesi improvisasi pertama kami. Ini benar-benar saat-saat luar biasa. Saya bersama 4 musisi penyandang cacat yang sangat berbakat. Biasanya saat Anda berimprovisasi -- dan saya melakukannya setiap saat di seluruh dunia -- pada awalnya ada rasa takut, seperti semuanya terlalu takut untuk menyerah, kesunyian yang mengerikan. Lalu tiba-tiba, seperti sihir, bang! Kita semua ada di sana, benar-benar hiruk pikuk. Anda tidak dapat mendengar apapun. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang percaya. Tidak ada yang saling menanggapi. Dalam ruangan ini dengan empat musisi penyandang cacat ini dalam 5 menit, penuh pendengaran, penuh tanggapan, dan musik yang benar-benar indah.
(Video) (Music)
(Video) (Musik)
Nicholas:: My name's Nicholas McCarthy. I'm 22, and I'm a left-handed pianist. And I was born without my left hand -- right hand. Can I do that one again?
Nicholas: Nama saya Nicholas McCarthy. Usia saya 22 tahun, seorang pianis kidal. Dan saya lahir tanpa tangan kiri -- tangan kanan. Apa saya bisa melakukannya lagi?
(Music)
(Musik)
Lyn: When I'm making music, I feel like a pilot in the cockpit flying an airplane. I become alive.
Lyn: Saat saya bermain musik, saya merasa seperti pilot yang menerbangkan pesawat. Saya menjadi hidup.
(Music)
(Musik)
Clarence: I would rather be able to play an instrument again than walk. There's so much joy and things I could get from playing an instrument and performing. It's removed some of my paralysis.
Clarence: Saya lebih memilih dapat bermain alat musik lagi daripada dapat berjalan lagi. Ada begitu banyak hal dan kebahagiaan yang saya dapat dari bermain alat musik. Hal itu melenyapkan sebagian kelumpuhan saya.
(Music)
(Musik)
(Applause)
(Tepuk tangan)
CH: I only wish that some of those musicians were here with us today, so you could see at firsthand how utterly extraordinary they are. Paraorchestra is the name of that project. If any of you thinks you want to help me in any way to achieve what is a fairly impossible and implausible dream still at this point, please let me know. Now my parting shot comes courtesy of the great Joseph Haydn, wonderful Austrian composer in the second half of the 18th century -- spent the bulk of his life in the employ of Prince Nikolaus Esterhazy, along with his orchestra. Now this prince loved his music, but he also loved the country castle that he tended to reside in most of the time, which is just on the Austro-Hungarian border, a place called Esterhazy -- a long way from the big city of Vienna.
CH: Saya hanya berharap beberapa musisi ini ada di sini sekarang sehingga Anda dapat melihat betapa luar biasanya mereka. Nama proyek ini adalah ParaOrkestra. Jika ada di antara Anda yang ingin menolong saya untuk mewujudkan impian yang masih cukup tidak mungkin dan tidak masuk akal saat ini, tolong beri tahu saya. Lalu cuplikan ini adalah berkat Joseph Hadydn, seorang penggubah lagu Austria luar biasa dari paruh kedua abad ke-18 -- yang menghabiskan banyak waktu hidupnya bekerja untuk Pangeran Nikolaus Esterhazy bersama orkestranya. Pangeran itu menyukai musik namun juga menyukai istana di desa di perbatasan Austria dan Hungaria di mana dia menghabiskan sebagian besar waktunya, sebuah tempat bernama Esterhazy -- cukup jauh dari kota Vienna.
Now one day in 1772, the prince decreed that the musicians' families, the orchestral musicians' families, were no longer welcome in the castle. They weren't allowed to stay there anymore; they had to be returned to Vienna -- as I say, an unfeasibly long way away in those days. You can imagine, the musicians were disconsolate. Haydn remonstrated with the prince, but to no avail. So given the prince loved his music, Haydn thought he'd write a symphony to make the point.
Lalu suatu hari di tahun 1772, pangeran itu menetapkan bahwa keluarga musisi, keluarga musisi orkestra, tidak lagi diterima di istana itu. Mereka tidak diijinkan tinggal di sana lagi, mereka harus kembali ke Vienna -- seperti yang saya katakan, benar-bena perjalanan jauh saat itu. Anda dapat membayangkan, para musisi itu putus asa, Hadyn memprotes keputusan itu, namun tidak ada hasilnya. Jadi karena pangeran menyukai musik, Hadyn berpikir untuk menulis simfoni untuk memprotes.
And we're going to play just the very tail end of this symphony now. And you'll see the orchestra in a kind of sullen revolt. I'm pleased to say, the prince did take the tip from the orchestral performance, and the musicians were reunited with their families. But I think it sums up my talk rather well, this, that where there is trust, there is music -- by extension life. Where there is no trust, the music quite simply withers away.
Dan kami akan memutar bagian terakhir dari simfoni itu sekarang. Dan Anda akan melihat orkestra yang bagaikan pemberontakan buruk. Namun pangeran itu menangkap petunjuk dari pertunjukan orkestra itu dan para musisi itu bersatu kembali dengan keluarga mereka. Namun saya rasa hal itu menyimpulkan presentasi ini cukup baik yaitu saat tidak ada kepercayaan, tidak ada musik -- dan lebih jauh lagi, tidak ada kehidupan. Saat tidak ada kepercayaan musik itu hanya akan menjadi layu.
(Music)
(Musik)
(Applause)
(Tepuk tangan)