Today, artificial intelligence helps doctors diagnose patients, pilots fly commercial aircraft, and city planners predict traffic. But no matter what these AIs are doing, the computer scientists who designed them likely don’t know exactly how they’re doing it. This is because artificial intelligence is often self-taught, working off a simple set of instructions to create a unique array of rules and strategies. So how exactly does a machine learn?
Saat ini kecerdasan buatan membantu dokter mendiagnosis pasien, pilot menerbangkan pesawat, dan perencana tata kota memprediksi kemacetan. Tetapi terlepas dari apa yang dilakukan AI ini, ilmuwan yang merancangnya cenderung tidak tahu bagaimana alat itu melakukannya. Hal ini dikarenakan kecerdasan buatan seringkali belajar secara otodidak, mempelajari sebuah set instruksi yang sederhana untuk menciptakan susunan peraturan dan strategi. Jadi bagaimana cara mesin belajar?
There are many different ways to build self-teaching programs. But they all rely on the three basic types of machine learning: unsupervised learning, supervised learning, and reinforcement learning. To see these in action, let’s imagine researchers are trying to pull information from a set of medical data containing thousands of patient profiles.
Ada banyak cara untuk membuat program yang belajar otodidak. Tetapi semuanya bergantung pada tiga tipe dasar pembelajaran mesin: pembelajaran tanpa pengawasan, dengan pengawasan, dan penguatan. Untuk melihat contohnya, bayangkan para peneliti mencoba menarik informasi dari kumpulan data medis berisi ribuan profil pasien.
First up, unsupervised learning. This approach would be ideal for analyzing all the profiles to find general similarities and useful patterns. Maybe certain patients have similar disease presentations, or perhaps a treatment produces specific sets of side effects. This broad pattern-seeking approach can be used to identify similarities between patient profiles and find emerging patterns, all without human guidance.
Pertama, pembelajaran tanpa pengawasan. Pendekatan ini cocok untuk menganalisis semua profil untuk menemukan persamaan umum dan pola yang berguna. Mungkin pasien tertentu memiliki penyakit yang mirip, atau mungkin sebuah pengobatan menghasilkan sejumlah efek samping. Pendekatan yang mencari pola umum ini bisa digunakan untuk menemukan persamaan antara profil pasien dan pola yang muncul, dan semua itu dilakukan tanpa bantuan manusia.
But let's imagine doctors are looking for something more specific. These physicians want to create an algorithm for diagnosing a particular condition. They begin by collecting two sets of data— medical images and test results from both healthy patients and those diagnosed with the condition. Then, they input this data into a program designed to identify features shared by the sick patients but not the healthy patients. Based on how frequently it sees certain features, the program will assign values to those features’ diagnostic significance, generating an algorithm for diagnosing future patients. However, unlike unsupervised learning, doctors and computer scientists have an active role in what happens next. Doctors will make the final diagnosis and check the accuracy of the algorithm’s prediction. Then computer scientists can use the updated datasets to adjust the program’s parameters and improve its accuracy. This hands-on approach is called supervised learning.
Namun, bayangkan jika dokter ingin mencari hal yang lebih spesifik. Mereka ingin menciptakan algoritma untuk mendiagnosa kondisi tertentu. Mereka memulai dengan mengumpulkan dua kumpulan data— gambar medis dan hasil tes baik dari pasien sehat dan dari pasien dengan kondisi tertentu. Lalu, mereka memasukkan data ini ke dalam program yang dirancang untuk mengidentifikasi fitur yang ada pada pasien sakit tetapi tidak ada pada pasien sehat. Berdasarkan seringnya ia melihat fitur tertentu, program itu akan memberikan nilai pada kepentingan diagnostik fitur itu, yang menghasilkan algoritma untuk mendiagnosis pasien di masa depan. Namun, tidak seperti pembelajaran tanpa pengawasan, dokter dan ilmuwan komputer berperan aktif pada proses selanjutnya. Dokter akan membuat diagnosis terakhir dan memeriksa ketepatan dari prediksi algoritma. Lalu, ilmuwan bisa menggunakan kumpulan data yang terbaru untuk menyesuaikan parameter program dan meningkatkan akurasinya. Pendekatan langsung ini disebut pembelajaran dengan pengawasan.
Now, let’s say these doctors want to design another algorithm to recommend treatment plans. Since these plans will be implemented in stages, and they may change depending on each individual's response to treatments, the doctors decide to use reinforcement learning. This program uses an iterative approach to gather feedback about which medications, dosages and treatments are most effective. Then, it compares that data against each patient’s profile to create their unique, optimal treatment plan. As the treatments progress and the program receives more feedback, it can constantly update the plan for each patient. None of these three techniques are inherently smarter than any other. While some require more or less human intervention, they all have their own strengths and weaknesses which makes them best suited for certain tasks. However, by using them together, researchers can build complex AI systems, where individual programs can supervise and teach each other. For example, when our unsupervised learning program finds groups of patients that are similar, it could send that data to a connected supervised learning program. That program could then incorporate this information into its predictions. Or perhaps dozens of reinforcement learning programs might simulate potential patient outcomes to collect feedback about different treatment plans.
Sekarang, misalnya para dokter ini ingin mendesain algoritma lain untuk merekomendasikan pengobatan. Karena pengobatan itu akan dilaksanakan secara bertahap, dan mungkin akan berubah tergantung pada respon individu terhadap pengobatan itu, dokter memutuskan untuk menggunakan pembelajaran penguatan. Program ini memakai pendekatan berulang untuk mengumpulkan masukan mengenai medikasi, dosis, dan pengobatan apa yang paling efektif. Lalu, membandingkan data dengan profil setiap pasien untuk membuat pengobatan mereka secara unik dan optimal. Selagi progres pengobatan dan program itu menerima lebih banyak masukan, program itu bisa terus memperbarui rencana untuk setiap pasien. Tidak satupun dari ketiga teknik itu yang lebih cerdas dari lainnya. Meskipun beberapa memerlukan campur tangan manusia, mereka memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri, membuat mereka sangat cocok pada tugas tertentu. Namun, dengan menggunakan mereka semua, para ilmuwan bisa membuat sistem program AI yang kompleks, di mana program individu dapat mengawasi dan mengajar satu sama lain. Sebagai contoh, ketika program pembelajaran tanpa pengawasan menemukan sekelompok pasien yang serupa, program itu bisa mengirim data ke pembelajaran dengan pengawasan. Program itu bisa menggabungkan informasi ini menjadi sebuah prediksi. Atau mungkin sejumlah program pembelajaran penguatan dapat mensimulasikan hasil pasien yang muncul untuk mengumpulkan masukan pengobatan yang berbeda.
There are numerous ways to create these machine-learning systems, and perhaps the most promising models are those that mimic the relationship between neurons in the brain. These artificial neural networks can use millions of connections to tackle difficult tasks like image recognition, speech recognition, and even language translation. However, the more self-directed these models become, the harder it is for computer scientists to determine how these self-taught algorithms arrive at their solution. Researchers are already looking at ways to make machine learning more transparent. But as AI becomes more involved in our everyday lives, these enigmatic decisions have increasingly large impacts on our work, health, and safety. So as machines continue learning to investigate, negotiate and communicate, we must also consider how to teach them to teach each other to operate ethically.
Ada sejumlah cara untuk membuat sistem pembelajaran mesin ini, dan model yang paling menjanjikan adalah yang bisa meniru hubungan antara neuron di dalam otak. Jaringan saraf buatan ini dapat menggunakan jutaan koneksi untuk mengatasi tugas yang sulit seperti pengenalan gambar, pengenalan suara, dan bahkan penerjemahan bahasa. Namun, semakin model ini menjadi mandiri, semakin sulit bagi ilmuwan komputer untuk menentukan bagaimana algoritma otodidak ini sampai pada solusi mereka. Peneliti sudah mencari cara untuk membuat pembelajaran mesin lebih transparan. Tetapi karena AI menjadi lebih terlibat dalam keseharian kita, keputusan ini memiliki dampak yang semakin besar dalam pekerjaan, kesehatan, dan keamanan kita. Selagi mesin terus belajar menyelidiki, bernegosiasi, dan berkomunikasi, kita juga harus memikirkan cara untuk mengajarkan mereka beroperasi secara etis.