My mom has always reminded me that I have the same proportions as a LEGO man.
Ibu saya selalu mengingatkan bahwa proporsi badan saya sama dengan manusia LEGO.
(Laughter)
(Suara tawa)
And she does actually have a point. LEGO is a company that has succeeded in making everybody believe that LEGO is from their home country. But it's not, it's from my home country. So you can imagine my excitement when the LEGO family called me and asked us to work with them to design the Home of the Brick. This is the architectural model -- we built it out of LEGO, obviously.
Sejujurnya, ibu saya benar. LEGO adalah perusahaan yang telah berhasil membuat semua orang percaya bahwa LEGO berasal dari negara mereka sendiri. Itu salah, LEGO berasal dari negara saya. Jadi bayangkan betapa gembiranya saya saat dihubungi oleh pihak LEGO dan diminta untuk bekerja sama merancang <i>Home of the Brick.</i> Ini adalah maketnya -- tentu saja kami membuatnya dari LEGO.
This is the final result. And what we tried to do was to design a building that would be as interactive and as engaging and as playful as LEGO is itself, with these kind of interconnected playgrounds on the roofscape. You can enter a square on the ground where the citizens of Billund can roam around freely without a ticket. And it's probably one of the only museums in the world where you're allowed to touch all the artifacts.
Ini adalah hasil akhirnya. Kami berusaha merancang sebuah bangunan yang interaktif, menarik dan menyenangkan seperti LEGO itu sendiri, dengan arena bermain yang saling terhubung di bagian atap. Anda bisa ke area di lantai dasar tempat warga Billund bebas menjelajah tanpa tiket. Mungkin ini adalah satu-satunya museum di dunia yang mengizinkan Anda menyentuh semua artefak.
But the Danish word for design is "formgivning," which literally means to give form to that which has not yet been given form. In other words, to give form to the future. And what I love about LEGO is that LEGO is not a toy. It's a tool that empowers the child to build his or her own world, and then to inhabit that world through play and to invite her friends to join her in cohabiting and cocreating that world. And that is exactly what formgivning is. As human beings, we have the power to give form to our future.
Dalam bahasa Denmark, ada istilah <i>"formgivning",</i> yang secara harfiah berarti memberi bentuk pada hal yang belum terbentuk. Dengan kata lain, memberi bentuk bagi masa depan. Saya suka dengan fakta bahwa LEGO bukan sekadar mainan. Melainkan alat yang membantu anak-anak membangun dunia mereka sendiri, kemudian berpura-pura menempati dunia itu dan mengajak temannya untuk ikut tinggal dan membentuk dunia itu. Itu adalah perwujudan <i>formgivning</i>. Sebagai manusia, kita punya kuasa untuk membentuk masa depan kita.
Inspired by LEGO, we've built a social housing project in Copenhagen, where we stacked blocks of wood next to each other. Between them, they leave spaces with extra ceiling heights and balconies. And by gently wiggling the blocks, we can actually create curves or any organic form, adapting to any urban context. Because adaptability is probably one of the strongest drivers of architecture.
Terinspirasi oleh LEGO, kami membangun perumahan umum di Kopenhagen, dengan cara menumpuk balok kayu. Di sela tumpukan, ada ruang untuk plafon dan balkon tambahan. Dengan menggeser balok kayunya, kita dapat membuat lengkungan atau bentuk apa saja, sesuai dengan beragam konsep perkotaan. Kemampuan beradaptasi adalah faktor penting dalam arsitektur.
Another example is here in Vancouver. We were asked to look at the site where Granville bridge triforks as it touches downtown. And we started, like, mapping the different constraints. There's like a 100-foot setback from the bridge because the city want to make sure that no one looks into the traffic on the bridge. There's a park where we can't cast any shadows. So finally, we're left with a tiny triangular footprint, almost too small to build. But then we thought, like, what if the 100-foot minimum distance is really about minimum distance -- once we get 100 feet up in the air, we can grow the building back out. And so we did.
Contoh lain ada di Vancouver. Kami diminta melihat ujung jembatan Granville yang bercabang tiga saat memasuki pusat kota. Kami mulai dengan memetakan beragam hambatan. Ada sempadan 100 kaki dari posisi asli jembatan karena kota tersebut ingin agar lalu lintas di jembatan tidak terlihat. Lalu ada taman yang tidak boleh tertutup bayangan. Akhirnya, yang tersisa adalah bidang segitiga kecil, yang terlalu sempit untuk dibangun. Kemudian kami berpikir, bagaimana jika 100 kaki yang dimaksud adalah jarak minimum -- saat mencapai 100 kaki di udara, kami bisa mengembangkan bangunannya. Itu yang kami lakukan.
When you drive over the bridge, it's as if someone is pulling a curtain aback, welcoming you to Vancouver. Or a like a weed growing through the cracks in the pavement and blossoming as it gets light and air. Underneath the bridge, we've worked with Rodney Graham and a handful of Vancouver artists, to create what we called the Sistine Chapel of street art, an art gallery turned upside down, that tries to turn the negative impact of the bridge into a positive. So even if it looks like this kind of surreal architecture, it's highly adapted to its surroundings.
Saat mengemudi di jembatan itu, seolah seseorang membuka tirai, untuk menyambut Anda di Vancouver. Atau seperti rumput liar yang tumbuh melalui retakkan aspal dan berkembang saat mendapat cahaya dan udara. Di bagian bawah, kami bekerja dengan Rodney Graham dan beberapa seniman Vancouver, untuk membuat replika Kapel Sistina versi seni jalanan, galeri seni dengan posisi terbalik, yang berupaya mengubah citra negatif jembatan menjadi positif. Walaupun tampak seperti arsitektur surealis, gedung ini dapat menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
So if a bridge can become a museum, a museum can also serve as a bridge. In Norway, we are building a museum that spans across a river and allows people to sort of journey through the exhibitions as they cross from one side of a sculpture park to the other. An architecture sort of adapted to its landscape.
Jika jembatan dapat menjadi museum, maka museum juga dapat menjadi jembatan. Di Norwegia, kami membangun museum yang membentang di sepanjang sungai dan dapat dilihat oleh banyak orang saat mereka menyeberang dari satu sisi taman ke sisi lainnya. Arsitektur seharusnya beradaptasi dengan lanskap.
In China, we built a headquarters for an energy company and we designed the facade like an Issey Miyake fabric. It's rippled, so that facing the predominant direction of the sun, it's all opaque; facing away from the sun, it's all glass. On average, it sort of transitions from solid to clear. And this very simple idea without any moving parts or any sort of technology, purely because of the geometry of the facade, reduces the energy consumption on cooling by 30 percent. So you can say what makes the building look elegant is also what makes it perform elegantly. It's an architecture that is adapted to its climate.
Di Tiongkok, kami membangun kantor pusat perusahaan energi dan merancang muka bangunan-nya menyerupai kain Issey Miyake. Bagian yang menghadap matahari bentuknya bergelombang dan tidak tembus pandang; bagian yang membelakangi matahari terbuat dari kaca. Bidang tersebut bertransisi dari tidak transparan menjadi transparan. Ide sederhana yang tercipta tanpa pergerakan bidang atau teknologi apa pun, melainkan murni karena geometri muka bangunan tersebut, berhasil mengurangi konsumsi energi untuk pendingin sebanyak 30 persen. Komponen bangunan yang elegan turut membuat gedung beroperasi dengan elegan. Itu adalah arsitektur yang beradaptasi dengan iklim.
You can also adapt one culture to another, like in Manhattan, we took the Copenhagen courtyard building with a social space where people can hang out in this kind of oasis in the middle of a city, and we combined it with the density and the verticality of an American skyscraper, creating what we've called a "courtscraper."
Budaya juga dapat diadaptasi, di Manhattan, kami mengadaptasi konsep gedung <i>courtyard</i>, gedung dengan ruang terbuka untuk berkumpul seperti oasis di tengah kota, dan memadukannya dengan kepadatan dan ketegakan pencakar langit Amerika, dan menciptakan <i>courtscraper</i>.
From New York to Copenhagen. On the waterfront of Copenhagen, we are right now finishing this waste-to-energy power plant. It's going to be the cleanest waste-to-energy power plant in the world, there are no toxins coming out of the chimney. An amazing marvel of engineering that is completely invisible. So we thought, how can we express this? And in Copenhagen we have snow, as you can see, but we have absolutely no mountains. We have to go six hours by bus to get to Sweden, to get alpine skiing. So we thought, let's put an alpine ski slope on the roof of the power plant. So this is the first test run we did a few months ago. And what I like about this is that it also show you the sort of world-changing power of formgivning. I have a five-month-old son, and he's going to grow up in a world not knowing that there was ever a time when you couldn't ski on the roof of the power plant.
Pindah dari New York ke Kopenhagen. Berlokasi di daerah tepian air, kami membangun pembangkit listrik tenaga limbah. Ini akan menjadi pembangkit listrik tenaga limbah terbersih di dunia, ia tidak akan membuang racun. Sebuah keajaiban teknik yang tidak terlihat. Kami berpikir, bagaimana cara mengekspresikannya? Di Kopenhagen ada salju, seperti yang kalian lihat, tapi kami tidak memiliki gunung. Kami harus naik bus selama enam jam untuk pergi ke Swedia, untuk ski Alpen. Kami memutuskan untuk membawa lereng ski Alpen ke atap gedung pembangkit listrik. Ini adalah uji coba pertama beberapa bulan lalu. Aku suka bahwa inovasi ini menunjukkan kekuatan <i>formgivning</i> dalam mengubah dunia. Aku memiliki putra berusia lima bulan, dan dia akan tumbuh dewasa tanpa pernah tahu bahwa dulu orang tidak bisa berski di atap gedung pembangkit listrik.
(Laughter)
(Suara tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
So imagine for him and his generation, that's their baseline. Imagine how far they can leap, what kind of wild ideas they can put forward for their future.
Bagi putraku dan generasinya, hal itu akan menjadi tolok ukur. Bayangkan potensi perkembangannya, serta beragam ide-ide liar yang akan mereka wujudkan untuk masa depan.
So right in front of it, we're building our smallest project. It's basically nine containers that we have stacked in a shipyard in Poland, then we've schlepped it across the Baltic sea and docked it in the port of Copenhagen, where it is now the home of 12 students. Each student has a view to the water, they can jump out the window into the clean port of Copenhagen, and they can get back in. All of the heat comes from the thermal mass of the sea, all the power comes from the sun. This is the first 12 units in Copenhagen, another 60 on their way, another 200 are going to Gothenburg, and we're speaking with the Paris Olympics to put a small floating village on the Seine. So very much this kind of, almost like nomadic, impermanent architecture.
Di depan gedung itu, terdapat proyek terkecil kami. Terdiri dari sembilan kontainer yang kami susun bertumpuk di galangan kapal Polandia, lalu kami bawa ia menyeberangi Laut Baltik dan melabuhkannya di dermaga Kopenhagen, dan saat ini menjadi rumah bagi 12 murid. Setiap murid dapat melihat air, mereka dapat lompat melalui jendela ke dermaga Kopenhagen yang bersih, dan dapat kembali ke dalam. Semua panas berasal dari massa termal laut, semua daya berasal dari matahari. Ini termasuk 12 unit pertama di Kopenhagen, masih ada 60 unit dalam perjalanan, 200 unit lain dibawa ke Gothenburg, kami minta agar Olimpiade Paris meletakkan desa kecil apung di Sungai Seine. Ini semacam bangunan nomaden yang tidak permanen.
And the waterfronts of our cities are experiencing a lot of change. Economic change, industrial change and climate change. This is Manhattan before Hurricane Sandy, and this is Manhattan after Sandy. We got invited by the city of New York to look if we could make the necessary flood protection for Manhattan without building a seawall that would segregate the life of the city from the water around it. And we got inspired by the High Line. You probably know the High Line -- it's this amazing new park in New York. It's basically decommissioned train tracks that now have become one of the most popular promenades in the city.
Daerah tepian air di kota kami mengalami banyak perubahan. Perubahan ekonomi, industri dan iklim. Ini adalah Manhattan sebelum Badai Sandy, dan ini Manhattan setelah Badai Sandy. Kami diundang oleh kota New York untuk membuat perlindungan dari banjir di Manhattan tanpa membangun tembok laut yang akan memisahkan kehidupan kota dengan air. Kami terinspirasi oleh High Line. Kalian mungkin tahu High Line, taman baru yang luar biasa di New York. Sebenarnya taman itu adalah jalur kereta yang telah nonaktif yang kini menjadi salah satu tempat berjalan terpopuler di New York.
So we thought, could we design the necessary flood protection for Manhattan so we don't have to wait until we shut it down before it gets nice? So we sat down with the citizens living along the waterfront of New York, and we worked with them to try to design the necessary flood protection in such a way that it only makes their waterfront more accessible and more enjoyable. Underneath the FDR, we are putting, like, pavilions with pocket walls that can slide out and protect from the water. We are creating little stepped terraces that are going to make the underside more enjoyable, but also protect from flooding. Further north in the East River Park, we are creating rolling hills that protect the park from the noise of the highway, but in turn also become the necessary flood protection that can stop the waves during an incoming storm surge. So in a way, this project that we have called the Dryline, it's essentially the High Line --
Jadi kami berpikir, apakah kami bisa merancang perlindungan dari banjir di Manhattan tanpa harus menunggu wilayah tersebut nonaktif? Kami berkumpul dengan penduduk daerah tepian air New York dan bekerja sama merancang perlindungan dari banjir sedemikian rupa agar membuat daerah tepian air lebih mudah diakses dan nyaman. Di bawah FDR, kami membangun sejenis paviliun dengan pintu geser yang dapat ditarik dan melindungi dari air. Kami membuat teras berundak yang akan menambah kenyamanan di area tersebut, dan juga melindungi dari banjir. Di bagian utara, Taman East River, kami membuat bukit-bukit kecil yang melindungi taman dari kebisingan jalan raya, sekaligus dapat menjadi perlindungan dari banjir dengan cara menghentikan gelombang saat badai melanda. Jadi, proyek yang kami beri nama Dryline, sejatinya adalah High Line --
(Laughter)
(Suara tawa)
The High Line that's going to keep Manhattan dry.
Ini akan menjaga Manhattan tetap kering.
(Applause)
(Tepuk tangan)
It's scheduled to break ground on the first East River portion at the end of this year. But it has essentially been codesigned with the citizens of Lower Manhattan to take all of the necessary infrastructure for resilience and give it positive social and environmental side effects.
Proyek ini rencananya akan dimulai di bagian East River akhir tahun ini. Pada dasarnya proyek ini hasil kerja sama dengan penduduk pusat kota Manhattan untuk meningkatkan ketahanan infrastruktur penting dan memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.
So, New York is not alone in facing this situation. In fact, by 2050, 90 percent of the major cities in the world are going to be dealing with rising seas. In Hamburg, they've created a whole neighborhood where the bottom floors are designed to withstand the inevitable flood. In Sweden, they've designed a city where all of the parks are wet gardens, designed to deal with storm water and waste water. So we thought, could we perhaps --
New York tidak sendiri dalam menghadapi situasi ini. Faktanya, pada 2050, 90 persen kota besar di dunia akan berurusan dengan kenaikan permukaan laut. Di Hamburg, ada sebuah lingkungan yang bagian bawahnya dirancang agar tahan banjir. Di Swedia, ada sebuah kota yang seluruh tamannya adalah taman basah, yang dirancang untuk menanggulangi air badai dan limbah. Jadi kami berpikir, apakah mungkin --
Actually, today, three million people are already permanently living on the sea. So we thought, could we actually imagine a floating city designed to incorporate all of the Sustainable Development Goals of the United Nations into a whole new human-made ecosystem. And of course, we have to design it so it can produce its own power, harvesting the thermal mass of the oceans, the force of the tides, of the currents, of the waves, the power of the wind, the heat and the energy of the sun. Also, we are going to collect all of the rain water that drops on this man-made archipelago and deal with it organically and mechanically and store it and clean it. We have to grow all of our food locally, it has to be fish- and plant-based, because you won't have the space or the resources for a dairy diet. And finally, we are going to deal with all the waste locally, with compost, recycling, and turning the waste into energy.
Sebenarnya, saat ini, tiga juta orang tinggal permanen di permukaan laut. Jadi kami berpikir, apakah mungkin ada sebuah kota apung yang dirancang untuk menggabungkan semua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dari Perserikatan Bangsa Bangsa ke dalam ekosistem baru buatan manusia. Tentu saja, kita harus merancangnya agar dapat menghasilkan daya sendiri, memanfaatkan massa termal samudra, kekuatan air pasang, arus, ombak, kekuatan angin, panas dan energi matahari. Kita juga akan mengumpulkan semua air hujan yang turun di kepulauan buatan manusia ini dan mengolahnya secara organik dan mekanis lalu menyimpan dan membersihkannya. Kita harus menanam bahan pangan sendiri, semua harus berbahan dasar ikan dan tanaman, karena tidak ada ruang atau sumber daya untuk makanan berbahan dasar susu. Terakhir, kita harus mengelola limbah sendiri, dengan kompos, daur ulang, dan mengubah limbah menjadi energi.
So imagine where a traditional urban master plan, you typically draw the street grid where the cars can drive and the building plots where you can put some buildings. This master plan, we sat down with a handful of scientists and basically started with all of the renewable, available natural resources, and then we started channeling the flow of resources through this kind of human-made ecosystem or this kind of urban metabolism. So it's going to be modular, it's going to be buoyant, it's going to be designed to resist a tropical storm. You can prefabricate it at scale, and tow it to dock with others, to form a small community. We're designing these kind of coastal additions, so that even if it's modular and rational, each island can be unique with its own coastal landscape. The architecture has to remain relatively low to keep the center of gravity buoyant. We're going to take all of the agriculture and use it to also create social space so you can actually enjoy the permaculture gardens. We're designing it for the tropics, so all of the roofs are maximized to harvest solar power and to shade from the sun. All the materials are going to be light and renewable, like bamboo and wood, which is also going to create this charming, warm environment. And any architecture is supposed to be able to fit on this platform. Underneath we have all the storage inside the pontoon, almost like a mega version of the student housings that we've already worked with. We have all the storage for the energy that's produced, all of the water storage and remediation. We are sort of dealing with all of the waste and the composting. And we also have some backup farming with aeroponics and hydroponics. So imagine almost like a vertical section through this landscape that goes from the air above, where we have vertical farms; below, we have the aeroponics and the aquaponics. Even further below, we have the ocean farms and where we tie the island to the ground, we're using biorock to create new reefs to regenerate habitat.
Jadi bayangkan rencana induk kota tradisional, terdapat jaringan jalan yang dapat dilalui mobil dan plot bidang tanah yang dapat ditempati bangunan. Rencana induk ini kami bahas bersama sejumlah ilmuwan dan diawali dengan semua jenis sumber daya alam terbarukan yang ada, lalu kami mulai membahas aliran sumber daya melalui ekosistem buatan manusia atau metabolisme urban. Metode yang dipakai adalah modular, bangunan ini dapat mengapung, dan akan dirancang untuk tahan terhadap badai tropis. Anda dapat membangunnya secara terpisah lalu membawanya ke dermaga untuk membentuk komunitas kecil. Tujuan tambahan ini adalah, meski bangunan ini modular dan rasional, setiap gugus dapat memiliki keunikan dengan adanya pesisir tersebut, Bangunan di atasnya harus cukup rendah agar pusat gravitasinya tetap ringan. Kami akan memanfaatkan lahan pertanian sebagai ruang sosial agar Anda dapat menikmati taman permakultur. Ini dirancang untuk wilayah tropis, jadi atapnya berfungsi maksimal untuk mengumpulkan energi surya dan melindungi dari terik matahari. Semua bahan yang digunakan ringan dan terbarukan, seperti bambu dan kayu, yang turut menciptakan lingkungan yang menawan dan hangat. Segala bentuk bangunan dapat diwujudkan di sini. Penyimpanan akan diletakkan di dalam ponton di bagian bawah, seperti proyek hunian siswa yang kami kerjakan namun dalam skala besar. Penyimpanan digunakan untuk semua energi yang dihasilkan, air serta remediasi. Semua limbah dan kompos akan kita tangani. Ada pula pertanian cadangan dengan teknik aeroponik dan hidroponik. Bayangkan ada bidang vertikal di sepanjang lanskap ini. Di permukaan laut terdapat pertanian vertikal; di bawah terdapat aeroponik dan aquaponik. Di bagian paling bawah terdapat pertanian bawah laut lalu di bagian yang mengikat gugus dengan dasar laut, kita gunakan <i>biorock</i> untuk membuat terumbu karang guna regenerasi habitat.
So think of this small island for 300 people. It can then group together to form a cluster or a neighborhood that then can sort of group together to form an entire city for 10,000 people. And you can imagine if this floating city flourishes, it can sort of grow like a culture in a petri dish.
Bayangkan satu gugus kecil ini dihuni 300 orang. Kemudian mereka berkelompok, lalu berkelompok kembali untuk membentuk kota yang dihuni 10.000 orang. Anda bisa bayangkan jika kota apung ini berkembang, ia dapat tumbuh seperti kultur di cawan petri.
So one of the first places we are looking at placing this, or anchoring this floating city, is in the Pearl River delta. So imagine this kind of canopy of photovoltaics on this archipelago floating in the sea. As you sail towards the island, you will see the maritime residents moving around on alternative forms of aquatic transportation. You come into this kind of community port. You can roam around in the permaculture gardens that are productive landscapes, but also social landscapes. The greenhouses also become orangeries for the cultural life of the city, and below, under the sea, it's teeming with life of farming and science and social spaces. So in a way, you can imagine this community port is where people gather, both by day and by night. And even if the first one is designed for the tropics, we also imagine that the architecture can adapt to any culture, so imagine, like, a Middle Eastern floating city or Southeast Asian floating city or maybe a Scandinavian floating city one day.
Kami berencana untuk meletakkan atau menanamkan kota apung ini, di delta Sungai Mutiara. Bayangkan sebuah kanopi fotovoltaik di gugus ini mengapung di samudra. Saat Anda berlayar menuju gugus ini, Anda akan melihat penduduk berpindah menggunakan alternatif moda transportasi air. Anda sampai di sejenis dermaga. Anda dapat berkeliling di taman permakulutur yang merupakan lanskap produktif sekaligus sosial. Rumah kaca digunakan untuk menanam jeruk sebagai budaya, dan di bawah, di bawah laut, penuh dengan pertanian dan sains serta ruang sosial. Jadi bayangkan sebuah dermaga yang menjadi tempat berkumpul di siang dan malam hari. Meski model pertama dirancang untuk iklim tropis, rancangan ini dapat beradaptasi dengan berbagai budaya, bayangkan kota apung Timur Tengah atau kota apung Asia Tenggara atau mungkin kota apung Skandinavia.
So maybe just to conclude. The human body is 70 percent water. And the surface of our planet is 70 percent water. And it's rising. And even if the whole world woke up tomorrow and became carbon-neutral over night, there are still island nations that are destined to sink in the seas, unless we also develop alternate forms of floating human habitats. And the only constant in the universe is change. Our world is always changing, and right now, our climate is changing. No matter how critical the crisis is, and it is, this is also our collective human superpower. That we have the power to adapt to change and we have the power to give form to our future.
Jadi kesimpulannya. Tubuh manusia terdiri dari 70 persen air. Permukaan planet kita terdiri dari 70 persen air. Airnya semakin naik. Meskipun esok seluruh dunia sadar dan menerapkan hidup bebas karbon dalam semalam, tetap ada pulau yang ditakdirkan untuk tenggelam ke dasar laut, kecuali kita mengembangkan alternatif berupa wilayah hunian mengapung. Satu hal yang pasti di semesta ini adalah perubahan. Dunia kita selalu berubah, dan saat ini, iklim kita berubah. Entah betapa kritisnya masalah ini, jika bergabung, kita menjadi adikuasa. Kita berkuasa untuk beradaptasi dengan perubahan dan kita berkuasa untuk memberi bentuk pada masa depan.
(Applause)
(Tepuk tangan)