This is me. My name is Ben Saunders. I specialize in dragging heavy things around cold places.
Perkenalkan, nama saya Ben Saunders. Spesialisasi saya adalah menarik barang-barang berat di tempat-tempat yang dingin.
On May 11th last year, I stood alone at the North geographic Pole. I was the only human being in an area one-and-a-half times the size of America, five-and-a-half thousand square miles. More than 2,000 people have climbed Everest. 12 people have stood on the moon. Including me, only four people have skied solo to the North Pole. And I think the reason for that -- (Applause) -- thank you -- I think the reason for that is that it's -- it's -- well, it's as Chris said, bonkers. It's a journey that is right at the limit of human capability. I skied the equivalent of 31 marathons back to back. 800 miles in 10 weeks. And I was dragging all the food I needed, the supplies, the equipment, sleeping bag, one change of underwear -- everything I needed for nearly three months. (Laughter) What we're going to try and do today, in the 16 and a bit minutes I've got left, is to try and answer three questions. The first one is, why? The second one is, how do you go to the loo at minus 40? "Ben, I've read somewhere that at minus 40, exposed skin becomes frostbitten in less than a minute, so how do you answer the call of nature?" I don't want to answer these now. I'll come on to them at the end. Third one: how do you top that? What's next?
Pada tanggal 11 Mei tahun lalu, Saya berdiri sendiri di Kutub Utara geografis. Sayalah satu-satunya manusia di daerah berukuran satu setengah kali lebih besar dari Amerika; sembilan ribu kilometer persegi. Lebih dari 2.000 orang telah berhasil mendaki gunung Everest. 12 orang telah mencapai bulan. Termasuk saya, hanya empat orang yang berhasil berski sendirian ke Kutub Utara. Dan saya pikir alasannya adalah -- (Tepuk tangan) -- terima kasih -- saya pikir alasannya adalah -- seperti apa yang telah dikatakan Chris, ketidakwarasan. Perjalanan yang tepat berada pada batas kemampuan manusia. Saya berski setara dengan 31 lari maraton bolak balik. 800 mil (1.287 kilometer) dalam waktu 10 minggu. Dan saya menarik semua makanan yang saya butuhkan, bekal, alat-alat, kantong tidur, satu pakaian dalam untuk ganti -- semuanya yang saya butuhkan selama hampir 3 bulan. (Tawa) Yang akan saya lakukan hari ini dalam sisa waktu kira-kira 16 menit adalah berusaha menjawab tiga buah pertanyaan. Yang pertama adalah mengapa? Yang kedua adalah, bagaimana Anda buang air kecil pada suhu -40 derajat? "Ben, saya pernah membaca bahwa pada suhu -40 derajat, kulit yang terpapar akan membeku dalam waktu kurang dari satu menit, jadi bagaimana Anda menjawab panggilan alam?" Saya tidak ingin menjawabnya sekarang. Saya akan menjawabnya di akhir pembicaraan ini. Yang ketiga: bagaimana Anda bisa mencapainya? Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?
It all started back in 2001. My first expedition was with a guy called Pen Hadow -- enormously experienced chap. This was like my polar apprenticeship. We were trying to ski from this group of islands up here, Severnaya Zemlya, to the North Pole. And the thing that fascinates me about the North Pole, geographic North Pole, is that it's slap bang in the middle of the sea. This is about as good as maps get, and to reach it you've got to ski literally over the frozen crust, the floating skin of ice on the Artic Ocean. I'd spoken to all the experts. I'd read lots of books. I studied maps and charts. But I realized on the morning of day one that I had no idea exactly what I'd let myself in for.
Itu semua berawal pada tahun 2001. Ekspedisi pertama saya dilakukan dengan seorang pria bernama Pen Hadow -- seorang yang sangat berpengalaman. Itu seperti kesempatan bagi saya untuk magang. Kami berusaha untuk berski dari salah satu pulau di atas sana, Severnaya Zemlya, menuju ke Kutub Utara. Dan satu hal yang membuat saya terpesona dari Kutub Utara, Kutub Utara geografis, adalah lokasinya yang berada di tengah lautan. Inilah gambar terbaik yang dapat dilihat, dan untuk mencapainya, Anda harus berski di atas kerak yang membeku, pada es yang mengambang di Samudera Arktik. Saya telah berbicara dengan semua ahli. Saya telah membaca berbagai macam buku dan mempelajari beberapa peta dan grafik. Tapi saya menyadari pada pagi hari pertama ekspedisi saya bahwa saya tidak tahu persis mengapa saya melakukan ini.
I was 23 years old. No one my age had attempted anything like this, and pretty quickly, almost everything that could have gone wrong did go wrong. We were attacked by a polar bear on day two. I had frostbite in my left big toe. We started running very low on food. We were both pretty hungry, losing lots of weight. Some very unusual weather conditions, very difficult ice conditions. We had decidedly low-tech communications. We couldn't afford a satellite phone, so we had HF radio. You can see two ski poles sticking out of the roof of the tent. There's a wire dangling down either side. That was our HF radio antenna. We had less than two hours two-way communication with the outside world in two months. Ultimately, we ran out of time. We'd skied 400 miles. We were just over 200 miles left to go to the Pole, and we'd run out of time. We were too late into the summer; the ice was starting to melt; we spoke to the Russian helicopter pilots on the radio, and they said, "Look boys, you've run out of time. We've got to pick you up." And I felt that I had failed, wholeheartedly. I was a failure.
Saat itu saya berumur 23 tahun. Tidak seorangpun yang seumuran dengan saya pernah mencoba melakukan ekspedisi seperti ini, dan dalam waktu yang cukup singkat, hampir semua yang mungkin gagal akhirnya menjadi gagal. Kami diserang oleh seekor beruang kutub pada hari kedua. Jari kaki kiri saya menderita radang dingin. Kami mulai kehabisan makanan. Kami berdua sangat kelaparan, kehilangan berat badan. Beberapa kondisi cuaca yang sangat luar biasa dan kondisi es yang sangat sulit. Kami memiliki alat komunikasi yang tidak begitu canggih. Kami tidak mampu membeli telepon satelit, jadi kami menggunakan radio berfrekuensi tinggi. Anda bisa melihat dua buah tongkat ski yang mencuat di atas atap tenda. Di sana ada kabel yang menjuntai di kedua sisi. Itulah antena radio berfrekuensi tinggi milik kami. Kami hanya memiliki waktu kurang dari dua jam untuk berkomunikasi dengan dunia luar dalam waktu 2 bulan. Pada akhirnya, kami kehabisan waktu. Kami telah berski sejauh 644 kilometer. Kami hanya butuh 322 kilometer lagi untuk mencapai Kutub Utara, dan kami kehabisan waktu. Kami sudah terlambat, esnya sudah mulai meleleh karena musim panas, kami berbicara melalui radio dengan beberapa pilot helikopter dari Rusia, dan mereka berkata, "Begini anak muda, Anda kehabisan waktu. Kami harus menjemput kalian." Dan saya merasa telah gagal, benar-benar gagal. Saya telah gagal.
The one goal, the one dream I'd had for as long as I could remember -- I hadn't even come close. And skiing along that first trip, I had two imaginary video clips that I'd replay over and over again in my mind when the going got tough, just to keep my motivation going. The first one was reaching the Pole itself. I could see vividly, I suppose, being filmed out of the door of a helicopter, there was, kind of, rock music playing in the background, and I had a ski pole with a Union Jack, you know, flying in the wind. I could see myself sticking the flag in a pole, you know -- ah, glorious moment -- the music kind of reaching a crescendo. The second video clip that I imagined was getting back to Heathrow airport, and I could see again, vividly, the camera flashbulbs going off, the paparazzi, the autograph hunters, the book agents coming to sign me up for a deal. And of course, neither of these things happened. We didn't get to the Pole, and we didn't have any money to pay anyone to do the PR, so no one had heard of this expedition.
Satu-satunya tujuan dan mimpi yang saya miliki yang bisa saya ingat -- saya tidak dapat mendekatinya. Dan pada perjalanan pertama itu, saya memiliki dua video klip khayalan yang saya putar berkali-kali dalam pikiran saya ketika perjalanan tersebut bertambah sulit, hanya untuk memotivasi saya. Khayalan pertama adalah mencapai Kutub itu sendiri. Saya bisa melihatnya dengan jelas, saya kira, difilmkan dari pintu helikopter dengan latar belakang musik rock yang diputar dan saya memegang tongkat ski dengan bendara Union Jack (bendera Britania Raya) yang tertiup angin. Saya dapat melihat diri saya memasang bendera itu pada tongkat, Anda tahu -- ah, momen kejayaan -- musiknya diputar semakin keras. Video klip kedua yang saya bayangkan adalah kembali ke Bandar Udara Heathrow, dan saya dapat melihat lagi, dengan jelas, lampu kamera di mana-mana, paparazzi, para pemburu tanda tangan, agen buku yang datang untuk membuat kesepakatan. Dan tentunya, tidak satupun dari semua itu terjadi. Kami tidak dapat mencapai Kutub, dan kami tidak memiliki uang sama sekali untuk membayar biaya promosinya, sehingga tidak ada yang pernah mendengar tentang ekspedisi ini.
And I got back to Heathrow. My mum was there; my brother was there; my granddad was there -- had a little Union Jack -- (Laughter) -- and that was about it. I went back to live with my mum. I was physically exhausted, mentally an absolute wreck, considered myself a failure. In a huge amount of debt personally to this expedition, and lying on my mum's sofa, day in day out, watching daytime TV. My brother sent me a text message, an SMS -- it was a quote from the "Simpsons." It said, "You tried your hardest and failed miserably. The lesson is: don't even try." (Laughter)
Dan saya kembali ke Bandar Udara Heathrow. Ibu dan saudara laki-laki saya ada di sana, kakek saya ada di sana -- menggenggam bendera Union Jack kecil -- (Tawa) -- dan itu saja. Saya kembali tinggal bersama ibu saya. Saya lelah secara fisik, secara mental benar-benar hancur, menganggap diri saya gagal, Dengan hutang pribadi yang begitu banyak untuk ekspedisi ini, dan saya berbaring di sofa ibu saya, hari demi hari, menonton TV di siang hari. Saudara saya mengirimkan pesan teks, SMS, yang berisi -- sebuah kutipan dari "The Simpsons", yaitu, "Anda telah berusaha sekeras mungkin dan gagal total. Pesan moralnya adalah: jangan berusaha." (Tawa)
Fast forward three years. I did eventually get off the sofa, and start planning another expedition. This time, I wanted to go right across, on my own this time, from Russia, at the top of the map, to the North Pole, where the sort of kink in the middle is, and then on to Canada. No one has made a complete crossing of the Arctic Ocean on their own. Two Norwegians did it as a team in 2000. No one's done it solo. Very famous, very accomplished Italian mountaineer, Reinhold Messner, tried it in 1995, and he was rescued after a week. He described this expedition as 10 times as dangerous as Everest. So for some reason, this was what I wanted to have a crack at, but I knew that even to stand a chance of getting home in one piece, let alone make it across to Canada, I had to take a radical approach. This meant everything from perfecting the sawn-off, sub-two-gram toothbrush, to working with one of the world's leading nutritionists in developing a completely new, revolutionary nutritional strategy from scratch: 6,000 calories a day.
Kita percepat tiga tahun. Saya akhirnya bangkit dari sofa, dan mulai merencanakan ekspedisi selanjutnya. Kali ini, saya ingin pergi sendiri, dari Rusia, yang letaknya di paling atas di peta, ke Kutub Utara, yang terletak di tengah, dan berlanjut ke Kanada. Tidak ada satupun orang yang pernah melintasi Samudra Arktik sendirian. Dua orang Norwegia pernah melakukannya bersama pada tahun 2000. Tidak ada yang sendirian. Pendaki gunung asal Italia yang terkenal dan sukses, Reinhold Messner, mencobanya pada tahun 1995, dan dia diselamatkan setelah satu minggu. Dia menjelaskan bahwa ekspedisi ini 10 kali lebih berbahaya dari Everest. Jadi untuk beberapa alasan, inilah yang ingin saya terobos, tapi saya tahu bahwa peluang untuk dapat kembali ke rumah secara utuh, apalagi untuk dapat menyeberang ke Kanada, saya harus mengambil pendekatan yang radikal. Ini berarti, segala sesuatu dari penyempurnaan sikat gigi kecil kurang dari dua gram, sampai bekerja dengan salah satu ahli gizi terkemuka di dunia untuk menciptakan suatu stretegi yang benar-benar baru dan revolusioner: 6.000 kalori per hari.
And the expedition started in February last year. Big support team. We had a film crew, a couple of logistics people with us, my girlfriend, a photographer. At first it was pretty sensible. We flew British Airways to Moscow. The next bit in Siberia to Krasnoyarsk, on a Russian internal airline called KrasAir, spelled K-R-A-S. The next bit, we'd chartered a pretty elderly Russian plane to fly us up to a town called Khatanga, which was the sort of last bit of civilization. Our cameraman, who it turned out was a pretty nervous flier at the best of times, actually asked the pilot, before we got on the plane, how long this flight would take, and the pilot -- Russian pilot -- completely deadpan, replied, "Six hours -- if we live." (Laughter) We got to Khatanga. I think the joke is that Khatanga isn't the end of the world, but you can see it from there. (Laughter) It was supposed to be an overnight stay. We were stuck there for 10 days. There was a kind of vodka-fueled pay dispute between the helicopter pilots and the people that owned the helicopter, so we were stuck. We couldn't move. Finally, morning of day 11, we got the all-clear, loaded up the helicopters -- two helicopters flying in tandem -- dropped me off at the edge of the pack ice. We had a frantic sort of 45 minutes of filming, photography; while the helicopter was still there, I did an interview on the satellite phone; and then everyone else climbed back into the helicopter, wham, the door closed, and I was alone.
Dan ekspedisi ini dimulai pada bulan Februari tahun lalu. Tim dukungan yang besar. Kami memiliki kru film, beberapa orang logistik bersama kami, pacar saya, seorang fotografer. Pada awalnya itu cukup masuk akal. Kami terbang dengan British Airways ke Moskow. Selanjutnya ke Krasnoyarsk di Siberia, menggunakan sebuah maskapai penerbangan domestik Rusia yang bernama KrasAir, dieja K-R-A-S. Selanjutnya, kami menyewa pesawat Rusia yang lumayan tua untuk menerbangkan kami ke sebuah kota kecil bernama Khatanga, yang merupakan peradaban terakhir yang dapat ditemukan di ujung sana. Juru kamera kami, yang ternyata cukup gugup untuk terbang dalam waktu yang terbaik bertanya kepada pilot, sebelum kami naik pesawat, berapa lama kami akan terbang, dan pilot itu -- pilot Rusia -- dengan datarnya, menjawab, menjawab, enam jam -- jika kita masih hidup. (Tawa) Kami sampai di Khatanga. Sepertinya, leluconnya adalah Khatanga bukanlah ujung dunia, tapi Anda dapat lihat sendiri di sana. (Tawa) Kami seharusnya tinggal disana semalam saja. Tapi kami terjebak selama 10 hari. Ada perselisihan antara pilot helikopter dan pemilik helikopter, jadi kami terjebak. Kami tidak bisa kemana-mana. Akhirnya, pagi hari ke 11, kami berhasil menyelesaikannya, memuat helikopternya -- dua helikopter terbang bersamaan -- menurunkan saya di tepi es. Kami mengambil gambar selama 45 menit, berfoto, ketika helikopternya masih di sana, saya melakukan wawancara dengan telepon satelit, dan semua orang naik helikopter untuk kembali, pintunya tertutup dan saya pun sendirian.
And I don't know if words will ever quite do that moment justice. All I could think about was running back up to the door, banging on the door, and saying, "Look guys, I haven't quite thought this through." (Laughter) To make things worse, you can just see the white dot up at the top right hand side of the screen; that's a full moon.
Dan saya tidak tahu apakah ada kata bisa menggambarkan momen tersebut. Saya hanya bisa berpikir untuk berlari ke pintu tersebut, menggedor pintunya dan berkata, "Begini teman-teman, saya belum memikirkan ini lebih dalam." (Tawa) Lebih parahnya lagi, Anda hanya dapat melihat titik putih di sisi kanan atas layar; itu adalah bulan purnama.
Because we'd been held up in Russia, of course, the full moon brings the highest and lowest tides; when you're standing on the frozen surface of the sea, high and low tides generally mean that interesting things are going to happen -- the ice is going to start moving around a bit. I was, you can see there, pulling two sledges. Grand total in all, 95 days of food and fuel, 180 kilos -- that's almost exactly 400 pounds. When the ice was flat or flattish, I could just about pull both. When the ice wasn't flat, I didn't have a hope in hell. I had to pull one, leave it, and go back and get the other one. Literally scrambling through what's called pressure ice -- the ice had been smashed up under the pressure of the currents of the ocean, the wind and the tides. NASA described the ice conditions last year as the worst since records began. And it's always drifting. The pack ice is always drifting. I was skiing into headwinds for nine out of the 10 weeks I was alone last year, and I was drifting backwards most of the time. My record was minus 2.5 miles. I got up in the morning, took the tent down, skied north for seven-and-a-half hours, put the tent up, and I was two and a half miles further back than when I'd started. I literally couldn't keep up with the drift of the ice.
Karena kami berada di Rusia, tentunya, bulan purnama menyebabkan pasang naik tertinggi dan pasang surut terendah; ketika Anda berdiri pada permukaan laut yang beku, pasang naik dan pasang surut berarti hal-hal menarik akan terjadi -- es akan mulai bergerak sedikit. Saya, seperti yang dapat Anda lihat, menarik dua kereta salju. Jumlah seluruhnya, pangan dan bahan bakar untuk 95 hari, 180 kilogram -- beratnya hampir mencapai 400 pon. Ketika esnya datar, saya dapat menarik dua kereta tersebut. Ketika esnya tidak datar, saya tidak ingin mengambil resiko. Saya harus menarik salah satunya, meninggalkannya, dan kembali untuk mengambil kereta yang lain. Berjuang melawan apa yang disebut dengan tekanan es -- es yang telah dihancurkan karena tekanan dari arus laut, angin dan gelombang. NASA menggambarkan kondisi es tahun lalu adalah yang terburuk sejak pencatatan dimulai. Dan es tersebut selalu bergerak. Saya pernah berski melawan angin selama sembilan dari sepuluh minggu saya sendirian tahun lalu, dan saya lebih sering mengapung ke belakang. Rekor saya minus 2,5 mil (4 km). Saya bangun di pagi hari, membongkar tenda, meluncur ke utara selama tujuh setengah jam, memasang tenda, dan saya berada di posisi 2,5 mil lebih jauh ke belakang dibandingkan ketika saya memulainya. Saya tidak dapat mengejar cepatnya es itu bergerak.
(Video): So it's day 22. I'm lying in the tent, getting ready to go. The weather is just appalling -- oh, drifted back about five miles in the last -- last night. Later in the expedition, the problem was no longer the ice. It was a lack of ice -- open water. I knew this was happening. I knew the Artic was warming. I knew there was more open water. And I had a secret weapon up my sleeve. This was my little bit of bio-mimicry. Polar bears on the Artic Ocean move in dead straight lines. If they come to water, they'll climb in, swim across it. So we had a dry suit developed -- I worked with a team in Norway -- based on a sort of survival suit -- I suppose, that helicopter pilots would wear -- that I could climb into. It would go on over my boots, over my mittens, it would pull up around my face, and seal pretty tightly around my face. And this meant I could ski over very thin ice, and if I fell through, it wasn't the end of the world. It also meant, if the worst came to the worst, I could actually jump in and swim across and drag the sledge over after me. Some pretty radical technology, a radical approach --but it worked perfectly.
(Video): Jadi ini adalah hari ke 22. Saya berbaring di tenda, bersiap-siap untuk pergi. Cuacanya begitu mengerikan -- oh, saya mengapung ke belakang kira-kira sejauh 5 mil (8 km) semalam. Kemudian dalam ekspedisi ini, masalahnya bukan lagi es. Sebaliknya, kurangnya es -- air terbuka. Saya tahu ini terjadi. Saya tahu Arktik itu memanas. Saya tahu terdapat air terbuka yang lebih banyak. Dan saya memiliki senjata rahasia di lengan saya. Ini adalah sedikit biomimikri dari saya. Beruang kutub di Samudra Arktik bergerak dalam garis lurus. Jika mereka menemukan air, mereka akan memanjat, berenang di atasnya. Jadi kita menciptakan sebuah baju kering -- saya bekerja dengan sebuah tim di Norwegia -- berdasarkan semacam baju penyelamat -- Saya kira, pilot-pilot helikopter memakainya -- yang bisa saya pakai. Baju terusan itu menutupi sepatu bot dan sarung tangan saya, dapat ditarik ke sekitar wajah saya dan menutup begitu erat di sekitar wajah saya. Dan ini artinya saya dapat berski melalui es yang sangat tipis, dan jika saya gagal, itu bukan berarti dunia telah berakhir. Itu juga berarti, jika sesuatu yang paling buruk terjadi, saya sebenarnya dapat terjun dan berenang dan menarik kereta luncur. Teknologi radikal suatu pendekatan yang radikal -- tapi dapat bekerja dengan sempurna.
Another exciting thing we did last year was with communications technology. In 1912, Shackleton's Endurance expedition -- there was -- one of his crew, a guy called Thomas Orde-Lees. He said, "The explorers of 2012, if there is anything left to explore, will no doubt carry pocket wireless telephones fitted with wireless telescopes." Well, Orde-Lees guessed wrong by about eight years. This is my pocket wireless telephone, Iridium satellite phone. The wireless telescope was a digital camera I had tucked in my pocket. And every single day of the 72 days I was alone on the ice, I was blogging live from my tent, sending back a little diary piece, sending back information on the distance I'd covered -- the ice conditions, the temperature -- and a daily photo. Remember, 2001, we had less than two hours radio contact with the outside world. Last year, blogging live from an expedition that's been described as 10 times as dangerous as Everest. It wasn't all high-tech. This is navigating in what's called a whiteout. When you get lots of mist, low cloud, the wind starts blowing the snow up. You can't see an awful lot. You can just see, there's a yellow ribbon tied to one of my ski poles. I'd navigate using the direction of the wind. So, kind of a weird combination of high-tech and low-tech.
Hal menarik lain yang kami lakukan tahun lalu adalah dengan teknologi komunikasi. Pada tahun 1912, ekspedisi Shackleton's Endurance -- ada -- salah satu dari krunya, pria bernama Thomas Orde-Lees. Dia berkata, "Para penjelajah di tahun 2012, jika ada sesuatu yang tersisa untuk dieksplorasi, pasti akan membawa telepon nirkabel saku dilengkapi dengan teleskop nirkabel." Yah, Orde-Lees salah tebak sekitar delapan tahun. Ini adalah saku telepon nirkabel saya, telepon satelit Iridium. Teleskop nirkabel itu adalah kamera digital yang saya selipkan di saku. Dan setiap hari dalam 72 hari saya sendirian di atas es, saya menulis blog langsung dari tenda saya, mengirimkan sebagian kecil dari catatan harian, mengirimkan informasi dalam jarak yang dapat saya liput -- kondisi es, suhu -- dan foto sehari-hari. Ingat, 2001, kami memiliki kontak radio dengan dunia luar kurang dari 2 jam. Tahun lalu, menulis blog langsung pada saat ekspedisi yang telah digambarkan 10 kali lebih berbahaya daripada Everest. Ini bukanlah teknologi tinggi. Ini adalah navigasi yang disebut "whiteout" (kondisi yang mengakibatkan kurangnya visibilitas dan kontras) Ketika banyak kabut dan awan yang rendah, angin mulai meniup salju. Anda tidak dapat melihat banyak. Anda hanya dapat melihat, ada sebuah pita kuning terikat pada tongkat ski saya. Saya menentukan arah menggunakan arah angin. Kombinasi yang aneh antara teknologi tinggi dan rendah.
I got to the Pole on the 11th of May. It took me 68 days to get there from Russia, and there is nothing there. (Laughter). There isn't even a pole at the Pole. There's nothing there, purely because it's sea ice. It's drifting. Stick a flag there, leave it there, pretty soon it will drift off, usually towards Canada or Greenland. I knew this, but I was expecting something. Strange mixture of feelings: it was extremely warm by this stage, a lot of open water around, and of course, elated that I'd got there under my own steam, but starting to really realize that my chances of making it all the way across to Canada, which was still 400 miles away, were slim at best. The only proof I've got that I was there is a blurry photo of my GPS, the little satellite navigation gadget. You can just see -- there's a nine and a string of zeros here. Ninety degrees north -- that is slap bang in the North Pole. I took a photo of that. Sat down on my sledge. Did a sort of video diary piece. Took a few photos. I got my satellite phone out. I warmed the battery up in my armpit. I dialed three numbers. I dialed my mum. I dialed my girlfriend. I dialed the CEO of my sponsor. And I got three voicemails. (Laughter) (Video): Ninety. It's a special feeling. The entire planet is rotating beneath my feet. The -- the whole world underneath me. I finally got through to my mum. She was at the queue of the supermarket. She started crying. She asked me to call her back. (Laughter)
Saya berhasil mencapai Kutub pada tanggal 11 Mei. Saya butuh waktu selama 68 hari untuk mencapainya dari Rusia, dan tidak ada apapun di sana. (Tawa) Di Kutub bahkan tidak ada tiang. Di sana tidak ada apa-apa, semata-mata karena itu adalah lautan es yang mengambang. Letakkan dan tinggalkan tiang bendera disana, dengan segera akan berpindah, biasanya menuju Kanada atau Greenland. Saya tahu itu, tapi saya mengharapkan sesuatu. Perasaan aneh yang campur aduk: suhunya sangat hangat, terdapat banyak air terbuka, dan tentunya, sangat gembira karena saya dapat sampai disana atas jerih payah saya sendiri, tapi saya mulai menyadari bahwa peluang saya untuk dapat mencapai Kanada, yang jauhnya masih sekitar 400 mil (645 km), sangatlah kecil. Satu-satunya bukti yang saya miliki bahwa saya berada di sana adalah foto GPS saya yang buram, sebuah gadget kecil untuk navigasi satelit. Anda dapat melihatnya -- ada angka sembilan dan deretan nol disitu. Sembilan puluh derajat di utara -- ini terletak persis di Kutub Utara. Saya mengambil gambar itu. Duduk di atas kereta luncur saya. Membuat catatan harian dengan video. Mengambil beberapa gambar. Saya mengeluarkan telpon satelit saya. Saya menghangatkan baterainya di ketiak saya. Saya menghubungi 3 nomor. Saya menghubungi ibu saya. Saya menghubungi pacar saya. Saya menghubungi direktur utama sponsor saya. Dan saya dihubungkan dengan tiga pesan suara. (Tawa) (Video): Sembilan puluh. Ini perasaan yang sangat istimewa. Seluruh planet berputar di bawah kaki saya. Seluruh dunia ini berada di bawah kaki saya. Saya akhirnya dapat menghubungi ibu saya. Beliau sedang mengantri di supermarket. Beliau mulai menangis. Beliau menyuruh saya untuk menghubunginya lagi. (Tawa)
I skied on for a week past the Pole. I wanted to get as close to Canada as I could before conditions just got too dangerous to continue. This was the last day I had on the ice. When I spoke to the -- my project management team, they said, "Look, Ben, conditions are getting too dangerous. There are huge areas of open water just south of your position. We'd like to pick you up. Ben, could you please look for an airstrip?" This was the view outside my tent when I had this fateful phone call. I'd never tried to build an airstrip before. Tony, the expedition manager, he said, "Look Ben, you've got to find 500 meters of flat, thick safe ice." The only bit of ice I could find -- it took me 36 hours of skiing around trying to find an airstrip -- was exactly 473 meters. I could measure it with my skis. I didn't tell Tony that. I didn't tell the pilots that. I thought, it'll have to do. (Video): Oh, oh, oh, oh, oh, oh.
Saya berski selama seminggu melewati Kutub. Saya ingin sedapat mungkin mendekat ke Kanada sebelum kondisi disana menjadi terlalu berbahaya untuk melanjutkannya. Ini adalah hari terakhir saya berada di atas es. Saat saya berbicara pada -- tim manajemen proyek saya, mereka berkata, "Begini, Ben, kondisinya semakin berbahaya. Ada daerah perairan terbuka di selatan Anda. Kami akan menjemput Anda. Ben, dapatkah Anda mencari lahan untuk landas pacu?" Ini adalah pemandangan di luar tenda saya ketika saya mendapatkan telepon penting itu. Saya tidak pernah berusaha untuk membuat landasan sebelumnya. Tony, manajer ekspedisi, berkata, "Begini Ben, Anda harus mencari 500 meter es yang datar dan tebal." Satu-satunya es yang saya dapat temukan -- saya butuh waktu 36 jam berski untuk mencari lahan untuk landas pacu -- panjangnya 473 meter. Saya dapat mengukurnya dengan tongkat ski saya. Saya tidak memberi tahu Tony ataupun pilot tentang hal itu. Saya pikir, pasti bisa. (Video): Oh, oh, oh, oh, oh, oh.
It just about worked. A pretty dramatic landing -- the plane actually passed over four times, and I was a bit worried it wasn't going to land at all. The pilot, I knew, was called Troy. I was expecting someone called Troy that did this for a living to be a pretty tough kind of guy. I was bawling my eyes out by the time the plane landed -- a pretty emotional moment. So I thought, I've got to compose myself for Troy. I'm supposed to be the roughty toughty explorer type. The plane taxied up to where I was standing. The door opened. This guy jumped out. He's about that tall. He said, "Hi, my name is Troy." (Laughter). The co-pilot was a lady called Monica. She sat there in a sort of hand-knitted jumper. They were the least macho people I've ever met, but they made my day. Troy was smoking a cigarette on the ice; we took a few photos. He climbed up the ladder. He said, "Just -- just get in the back." He threw his cigarette out as he got on the front, and I climbed in the back. (Laughter) Taxied up and down the runway a few times, just to flatten it out a bit, and he said, "Right, I'm going to -- I'm going to give it a go." And he -- I've now learned that this is standard practice, but it had me worried at the time. He put his hand on the throttle. You can see the control for the engines is actually on the roof of the cockpit. It's that little bar there. He put his hand on the throttle. Monica very gently put her hand sort of on top of his. I thought, "God, here we go. We're, we're -- this is all or nothing." Rammed it forwards. Bounced down the runway. Just took off. One of the skis just clipped a pressure ridge at the end of the runway, banking. I could see into the cockpit, Troy battling the controls, and he just took one hand off, reached back, flipped a switch on the roof of the cockpit, and it was the "fasten seat belt" sign you can see on the wall. (Laughter) And only from the air did I see the big picture. Of course, when you're on the ice, you only ever see one obstacle at a time, whether it's a pressure ridge or there's a bit of water. This is probably why I didn't get into trouble about the length of my airstrip. I mean, it really was starting to break up.
Pendaratan yang lumayan dramatis -- pesawat itu sebenarnya lewat lebih dari empat kali, dan saya sedikit khawatir pesawat itu tidak akan bisa mendarat. Pilot itu, saya tahu, bernama Troy. Saya sudah mengharapkan seseorang bernama Troy yang mencari penghidupan dengan ini dan merupakan lelaki yang cukup tangguh. Saya meneteskan air mata pada saat pesawat mendarat; sebuah momen yang cukup emosional. Jadi saya pikir, saya harus menenangkan diri untuk Troy. Saya harus menjadi penjelajah yang kasar dan kuat. Pesawat mendarat sampai ke tempat saya berdiri. Pintu terbuka. Orang ini melompat keluar. Dia setinggi ini. Dia berkata, "Hai, nama saya Troy." (Tawa) Ko-pilotnya seorang wanita bernama Monica. Dia duduk disitu mengenakan baju wol yang dirajut tangan. Mereka adalah orang-orang paling tidak jantan yang pernah saya temui, tapi mereka membuat saya gembira. Troy -- Troy merokok di atas es, kami mengambil beberapa foto. Dia -- menaiki tangga. Dia berkata, "Masuk lewat belakang saja." Dia membuang rokoknya ketika dia sampai di depan pesawat, dan saya memanjat lewat belakang. (Tawa) Pesawatnya berjalan di atas es beberapa kali, hanya untuk meratakan esnya, dan dia berkata, "Baiklah, saya akan -- Saya akan mencoba untuk menerbangkannya." Dan dia -- saya sekarang tahu bahwa ini adalah praktik standar, tapi itu membuat saya khawatir saat itu. Dia meletakkan tangannya di atas tuas. Anda dapat melihat kontrol untuk mesin di atas kokpit. Di batang kecil itu. Dia meletakkan tangannya di atas tuas. Monica dengan sangat hati-hati meletakkan tangannya di atas tangan Troy. Saya berpikir, "Tuhan, kami sudah siap. Kami, kami -- ini akan berhasil atau tidak sama sekali." Menabrak ke depan. Memantul di landasan. Akhirnya lepas landas. Salah satu tongkat ski saya terpotong bukit es pada ujung landasan, berbelok. Saya dapat melihat ke dalam kokpit, Troy berjuang mengendalikan pesawat, dan dia melepas satu tangannya, mencapainya kembali, menyalakan sebuah tombol di atap kokpit, dan itu adalah tanda "kencangkan sabuk pengaman" yang dapat Anda lihat di dinding. (Tawa) Dan hanya dari udara saya dapat melihat gambaran besarnya. Tentunya, ketika Anda di atas es, Anda hanya melihat satu kendala dalam satu waktu, dalam bentuk tekanan pegunungan atau terdapatnya sedikit air. Dan inilah mengapa saya tidak mendapat masalah mengenai panjangnya landas pacu. Maksud saya, esnya benar-benar mulai retak.
Why? I'm not an explorer in the traditional sense. I'm not skiing along drawing maps; everyone knows where the North Pole is. At the South Pole there's a big scientific base. There's an airstrip. There's a cafe and there's a tourist shop. For me, this is about exploring human limits, about exploring the limits of physiology, of psychology and of technology. They're the things that excite me. And it's also about potential, on a personal level. This, for me, is a chance to explore the limits -- really push the limits of my own potential, see how far they stretch. And on a wider scale, it amazes me how people go through life just scratching the surface of their potential, just doing three or four or five percent of what they're truly capable of. So, on a wider scale, I hope that this journey was a chance to inspire other people to think about what they want to do with their potential, and what they want to do with the tiny amount of time we each have on this planet. That's as close as I can come to summing that up.
Mengapa? Saya bukanlah penjelajah dalam arti tradisional. Saya tidak berski sepanjang yang sudah ditentukan peta, semua orang tahu dimana letak Kutub Utara. Di Kutub Selatan terdapat pusat ilmiah yang besar. Ada sebuah lapangan terbang. Disana ada kafe dan toko cindera mata. Bagi saya, ini adalah tentang eksplorasi batas-batas manusia, tentang eksplorasi batas-batas fisiologi, psikologi, dan teknologi. Semua ini membuat saya bergairah. Dan itu juga tentang potensi, pada tingkat pribadi. Bagi saya, ini adalah suatu kesempatan untuk menjelajahi batas-batas -- yang benar-benar mendorong batas potensi saya sendiri, melihat seberapa jauh batas itu dapat meregang. Dan pada skala yang lebih luas, saya kagum pada bagaimana orang menjalani kehidupan dengan menggores permukaan potensi mereka, hanya melakukan tiga atau empat atau lima persen dari apa yang mereka benar-benar mampu. Jadi, pada skala yang lebih luas, saya harap perjalanan ini adalah sebuah kesempatan untuk mengilhami orang lain untuk berpikir tentang apa yang ingin mereka lakukan dengan potensi mereka, dan apa yang ingin mereka lakukan dengan waktu sedikit yang kita miliki masing-masing. Itulah yang bisa saya simpulkan.
The next question is, how do you answer the call of nature at minus 40? The answer, of course, to which is a trade secret -- and the last question, what's next? As quickly as possible, if I have a minute left at the end, I'll go into more detail. What's next: Antarctica. It's the coldest, highest, windiest and driest continent on Earth. Late 1911, early 1912, there was a race to be the first to the South Pole: the heart of the Antarctic continent. If you include the coastal ice shelves, you can see that the Ross Ice Shelf -- it's the big one down here -- the Ross Ice Shelf is the size of France. Antarctica, if you include the ice shelves, is twice the size of Australia -- it's a big place. And there's a race to get to the Pole between Amundsen, the Norwegian -- Amundsen had dog sleds and huskies -- and Scott, the British guy, Captain Scott. Scott had sort of ponies and some tractors and a few dogs, all of which went wrong, and Scott and his team of four people ended up on foot. They got to the Pole late January 1912 to find a Norwegian flag already there. There was a tent, a letter to the Norwegian king. And they turned around, headed back to the coast, and all five of them died on the return journey. Since then, no one has ever skied -- this was 93 years ago -- since then, no one has ever skied from the coast of Antarctica to the Pole and back. Every South Pole expedition you may have heard about is either flown out from the Pole or has used vehicles or dogs or kites to do some kind of crossing -- no one has ever made a return journey. So that's the plan. Two of us are doing it. That's pretty much it.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana Anda menjawab panggilan alam pada suhu -40 derajat? Jawabannya, tentu saja, sebuah rahasia dagang -- dan pertanyaan terakhir, apa selanjutnya? Secepat mungkin, jika saya memiliki satu menit lagi, saya akan menjelaskannya lebih rinci. Selanjutnya adalah: Antartika. Benua yang terbeku, tertinggi, paling berangin dan terkering di bumi. Akhir tahun 1911, awal tahun 1912, ada perlombaan untuk dapat mencapai Kutub Selatan: jantung benua Antartika. Jika Anda menyertakan rak es pantainya, Anda bisa melihat bahwa Ross Ice Shelf -- yang berukuran besar disana -- Ross Ice Shelf berukuran sebesar Prancis. Antartika, jika Anda menyertakan bagian esnya, berukuran dua kali lipat Australia -- sangat besar. Dan terdapat pertarungan untuk mencapai Kutub di antara Amundsen, orang Norwegia -- Amundsen memiliki anjing untuk kereta luncur dan anjing Eskimo -- dan Scott, pria Inggris, Kapten Scott. Scott memiliki semacam kuda poni dan beberapa traktor dan beberapa anjing, yang semuanya kacau, Scott dan 4 orang timnya akhirnya harus berjalan kaki. Mereka mencapai Kutub Selatan pada akhir Januari tahun 1912 dan menemukan bendera Norwegia di sana. Di sana ada sebuah tenda, sebuah surat untuk raja Norwegia. Dan mereka berbalik arah, kembali ke daerah pesisir, dan mereka semua meninggal dalam perjalanan pulang. Sejak itu, tidak satupun orang pernah berski -- ini terjadi 93 tahun yang lalu -- sejak saat itu, tidak satupun orang pernah berski dari pesisir Antartika ke Kutub dan kembali. Setiap ekspedisi Kutub Selatan yang pernah Anda dengar menggunakan pesawat atau kendaraan untuk kembali dari Kutub atau menyeberang menggunakan anjing atau layang-layang -- tidak seorangpun dapat melakukan perjalanan bolak balik. Jadi, itulah rencananya. Kami berdua akan melakukannya. Hanya itu saja.
One final thought before I get to the toilet bit, is -- is, I have a -- and I meant to scan this and I've forgotten -- but I have a -- I have a school report. I was 13 years old, and it's framed above my desk at home. It says, "Ben lacks sufficient impetus to achieve anything worthwhile." (Laughter) (Applause) I think if I've learned anything, it's this: that no one else is the authority on your potential. You're the only person that decides how far you go and what you're capable of. Ladies and gentlemen, that's my story. Thank you very much.
Satu gagasan terakhir sebelum saya berbicara tentang toilet adalah -- adalah, saya memiliki sebuah -- saya bermaksud untuk memindai ini dan saya lupa tapi saya memiliki -- saya memiliki rapor sekolah. Saat itu saya berumur 13 tahun, dan rapor tersebut dibingkai di atas meja belajar di rumah. Di rapor itu tertulis, "Ben tidak memiliki dorongan yang cukup untuk mencapai sesuatu yang berharga." (Tawa) (Tepuk tangan) Saya kira, jika saya mempelajari sesuatu, itu adalah: tidak seorang pun mempunyai wewenang pada potensi Anda. Andalah satu-satunya orang yang menentukan kemampuan Anda dan seberapa jauh anda bisa pergi. Para hadirin semua, itulah kisah saya. Terima kasih. Terima kasih.