This cell phone started its trajectory in an artisanal mine in the Eastern Congo. It's mined by armed gangs using slaves, child slaves, what the U.N. Security Council calls "blood minerals," then traveled into some components and ended up in a factory in Shinjin in China. That factory -- over a dozen people have committed suicide already this year. One man died after working a 36-hour shift. We all love chocolate. We buy it for our kids. Eighty percent of the cocoa comes from Cote d'Ivoire and Ghana and it's harvested by children. Cote d'Ivoire, we have a huge problem of child slaves. Children have been trafficked from other conflict zones to come and work on the coffee plantations. Heparin -- a blood thinner, a pharmaceutical product -- starts out in artisanal workshops like this in China, because the active ingredient comes from pigs' intestines. Your diamond -- you've all heard, probably seen the movie "Blood Diamond." This is a mine in Zimbabwe right now. Cotton: Uzbekistan is the second biggest exporter of cotton on Earth. Every year when it comes to the cotton harvest, the government shuts down the schools, puts the kids in buses, buses them to the cotton fields to spend three weeks harvesting the cotton. It's forced child labor on an institutional scale. And all of those products probably end their lives in a dump like this one in Manila.
Telepon selular ini memulai perjalanannya di sebuah penambangan manual di daerah timur Kongo, yang ditambang oleh kelompok-kelompok bersenjata memakai anak-anak sebagai budak apa yang disebut Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai "mineral berdarah" lalu menjadi beberapa komponen dan berakhir di sebuah pabrik di Shinjin, Cina. Pabrik tersebut -- lebih dari selusin orang telah melakukan bunuh diri tahun ini saja. Seorang pria meninggal dunia setelah menyelesaikan shift kerja 36 jam. Kita semua suka coklat Kita membelinya untuk anak-anak kita 80 persen dari biji coklat datang dari Pantai Gading dan Ghana dan dipanen oleh anak-anak Pantai Gading, kita memiliki masalah perbudakan anak yang sangat besar Anak-anak telah diperdagangkan dari zona-zona konflik untuk datang dan bekerja di ladang-ladang kopi. Heparin -- pengencer darah sebuah produk farmasi -- berasal dari bengkel-bengkel pertukangan seperti ini, di Cina, karena bahan aktifnya berasal dari usus babi. Berlian anda: anda semua sudah dengar, mungkin sudah pernah menonton film "Blood Diamond" (Berlian Berdarah). Ini adalah sebuah tambang di Zimbabwe saat ini. Kapas: Uzbekistan adalah pengekspor kapas nomor dua terbesar di dunia. Setiap tahun, saat musim panen tiba, pemerintah menutup sekolah-sekolah memasukkan anak-anak ke dalam bis, dan mengirim mereka ke ladang-ladang kapas untuk bekerja memanen kapas selama tiga minggu. Ini adalah kerja paksa anak dalam sebuah skala institusional Dan semua produk-produk ini mungkin berakhir di tempat pembuangan sampah seperti ini, di Manila.
These places, these origins, represent governance gaps. That's the politest description I have for them. These are the dark pools where global supply chains begin -- the global supply chains, which bring us our favorite brand name products. Some of these governance gaps are run by rogue states. Some of them are not states anymore at all. They're failed states. Some of them are just countries who believe that deregulation or no regulation is the best way to attract investment, promote trade. Either way, they present us with a huge moral and ethical dilemma. I know that none of us want to be accessories after the fact of a human rights abuse in a global supply chain. But right now, most of the companies involved in these supply chains don't have any way of assuring us that nobody had to mortgage their future, nobody had to sacrifice their rights to bring us our favorite brand name product.
Tempat-tempat ini, tempat-tempat asalnya, merepresentasikan kesenjangan pemerintahan. Itu adalah deskripsi paling santun yang saya punya untuk mereka. Tempat-tempat ini adalah lubuk-lubuk gelap di mana rantai pasokan global dimulai -- rantai-rantai pasokan global yang menyediakan produk-produk bermerek favorit kita. Beberapa kondisi kesenjangan pemerintahan ini dijalankan oleh pemerintah yang tidak berwenang. Beberapa dari mereka bukan lagi sebuah bentuk pemerintahan mereka adalah pemerintahan yang gagal. Beberapa dari mereka adalah negara-negara yang percaya bahwa melonggarkan atau meniadakan peraturan adalah cara terbaik untuk menarik investasi, mempromosikan perdagangan. Apapun itu, mereka menghadapkan kita pada dilema moral dan etika yang sangat besar. Saya tahu bahwa tak satupun dari kita yang ingin terlibat dalam kenyataan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalam sebuah rantai pasokan global. Tapi sekarang, sebagian besar perusahaan yang terlibat di rantai pasokan global ini tidak memiliki satupun cara untuk meyakinkan kita bahwa tak seorang pun mempertaruhkan masa depannya tak seorang pun perlu mengorbankan hak-hak mereka untuk memberikan kita produk-produk dengan merek-merek ternama.
Now, I didn't come here to depress you about the state of the global supply chain. We need a reality check. We need to recognize just how serious a deficit of rights we have. This is an independent republic, probably a failed state. It's definitely not a democratic state. And right now, that independent republic of the supply chain is not being governed in a way that would satisfy us, that we can engage in ethical trade or ethical consumption. Now, that's not a new story. You've seen the documentaries of sweatshops making garments all over the world, even in developed countries. You want to see the classic sweatshop, meet me at Madison Square Garden, I'll take you down the street, and I'll show you a Chinese sweatshop.
Sekarang saya tidak datang ke sini untuk membuat anda depresi tentang kondisi rantai pasokan global ini. Kita perlu memeriksa kenyataan Kita perlu menyadari betapa seriusnya defisit hak asasi yang kita miliki. Ini adalah sebuah republik merdeka. kemungkinan sebuah pemerintahan yang gagal. Tentu saja bukan sebuah pemerintahan demokratis. Dan sekarang, republik yang merdeka dari rantai pasokan tersebut¥ tidak dijalankan dengan cara yang bisa memuaskan kita bahwa kita bisa terlibat dalam sebuah perdagangan dan konsumsi yang bermoral. Sekarang, hal itu bukan cerita baru Anda telah melihat dokumentasi - dokumentasi tentang pabrik pembuat pakaian di seluruh dunia, bahkan di negara-negara maju. Kalau anda ingin melihat sebuah contoh klasik pabrik-pabrik ini, temui saya di Madison Square Garden, saya akan membawa anda dan menunjukkan sebuah pabrik milik orang Cina.
But take the example of heparin. It's a pharmaceutical product. You expect that the supply chain that gets it to the hospital, probably squeaky clean. The problem is that the active ingredient in there -- as I mentioned earlier -- comes from pigs. The main American manufacturer of that active ingredient decided a few years ago to relocate to China because it's the world's biggest supplier of pigs. And their factory in China -- which probably is pretty clean -- is getting all of the ingredients from backyard abattoirs, where families slaughter pigs and extract the ingredient. So a couple of years ago, we had a scandal which killed about 80 people around the world, because of contaminants that crept into the heparin supply chain. Worse, some of the suppliers realized that they could substitute a product which mimicked heparin in tests. This substitute cost nine dollars a pound, whereas real heparin, the real ingredient, cost 900 dollars a pound. A no-brainer. The problem was that it killed more people.
Ambil contoh Heparin. Sebuah produk farmasi. Anda berharap rantai pasokan yang mengantarkan produk ini ke rumah sakit, mungkin bersih tanpa cacat. Masalahnya adalah bahan aktif di dalamnya -- seperti yang saya sebutkan sebelumnya -- berasal dari babi. Produsen utamanya bahan aktif tersebut di Amerika beberapa tahun lalu memutuskan untuk pindah ke Cina karena negara tersebut adalah pemasok ternak babi terbesar dunia. Dan ketika pabrik mereka di Cina -- yang mungkin cukup bersih -- mendapatkan seluruh bahan-bahannya dari rumah-rumah jagal kecil di mana keluarga - keluarga memotong babi dan mengekstrak bahan tersebut. Beberapa tahun lalu, ada sebuah skandal, yang membunuh sekitar 80 orang di seluruh dunia, karena pencemar-pencemar yang menyusup ke dalam rantai pasokan heparin. Lebih buruk lagi, beberapa pemasok menyadari bahwa mereka bisa menggantikannya dengan sebuah produk yang menyerupai heparin dalam beberapa uji coba. Bahan pengganti ini berharga sembilan dolar per pon (hampir 0.5 kilogram) sementara heparin asli -- bahan aktif sebenarnya -- berharga 900 dolar per pon. Tak usah dipikirkan lagi. Masalahnya, bahan itu membunuh lebih banyak orang.
And so you're asking yourself, "How come the U.S. Food and Drug Administration allowed this to happen? How did the Chinese State Agency for Food and Drugs allow this to happen?" And the answer is quite simple: the Chinese define these facilities as chemical facilities, not pharmaceutical facilities, so they don't audit them. And the USFDA has a jurisdictional problem. This is offshore. They actually do conduct a few investigations overseas -- about a dozen a year -- maybe 20 in a good year. There are 500 of these facilities producing active ingredients in China alone. In fact, about 80 percent of the active ingredients in medicines now come from offshore, particularly China and India, and we don't have a governance system. We don't have a regulatory system able to ensure that that production is safe. We don't have a system to ensure that human rights, basic dignity, are ensured.
Dan sekarang anda bertanya pada diri anda sendiri, "Bagaimana mungkin otoritas bahan pangan dan obat-obatan Amerika (US FDA) membiarkan hal ini terjadi? Bagaimana mungkin lembaga pemerintah Cina untuk bahan pangan dan obat-obatan membiarkan hal ini terjadi?" Dan jawabannya cukup sederhana: Pemerintah Cina menganggap fasilitas-fasilitas ini sebagai fasilitas kimia, bukan fasilitas farmasi, sehingga mereka tidak melakukan audit. Dan otoritas bahan pangan dan makanan Amerika memiliki masalah yurisdiksi. Ini di luar negeri. Mereka sebenarnya melakukan beberapa investigasi di luar negeri -- sekitar selusin investigasi per tahun -- mungkin bisa mencapai 20 pada tahun tertentu. Namun ada 500 fasilitas-fasilitas seperti ini yang memproduksi bahan-bahan aktif di Cina saja. Faktanya, sekitar 80 persen dari bahan-bahan aktif dalam obat-obatan saat ini datang dari luar negeri khususnya Cina dan India Dan kita tidak memiliki sebuah sistem pengaturan, kita tidak memiliki sebuah sistem regulasi yang bisa memastikan bahwa proses produksi tersebut aman. Kita tidak memiliki sebuah sistem untuk memastikan bahwa Hak Asasi Manusia, martabat paling dasar terjamin.
So at a national level -- and we work in about 60 different countries -- at a national level we've got a serious breakdown in the ability of governments to regulate production on their own soil. And the real problem with the global supply chain is that it's supranational. So governments who are failing, who are dropping the ball at a national level, have even less ability to get their arms around the problem at an international level. And you can just look at the headlines. Take Copenhagen last year -- complete failure of governments to do the right thing in the face of an international challenge. Take the G20 meeting a couple of weeks ago -- stepped back from its commitments of just a few months ago. You can take any one of the major global challenges we've discussed this week and ask yourself, where is the leadership from governments to step up and come up with solutions, responses, to those international problems? And the simple answer is they can't. They're national. Their voters are local. They have parochial interests. They can't subordinate those interests to the greater global public good.
Jadi di tingkat nasional -- dan kami bekerja di sekitar 60 negara yang berbeda -- di tingkat nasional kita memiliki masalah serius dalam kemampuan pemerintah untuk mengatur proses produksi di tanah mereka sendiri. Dan masalah sebenarnya dengan rantai pasokan global adalah hal ini bersifat global. Jadi, pemerintah-pemerintah yang gagal, yang menjatuhkan bola (Masalah), di tingkat nasional memiliki kemampuan yang lebih lemah lagi untuk mengatasi masalah ini di tingkat internasional. Dan anda hanya perlu melihat berita-berita utama. Ambil contoh (Konferensi) Kopenhagen tahun lalu -- kegagalan total pemerintah untuk melakukan hal yang benar dalam menghadapi tantangan internasional. Ambil contoh pertemuan G20 beberapa minggu yang lalu -- langkah mundur dari komitmennya hanya beberapa bulan yang lalu. Anda bisa ambil contoh apa saja dari tantangan-tantangan utama global yang kita telah diskusikan minggu ini dan bertanya pada diri anda sendiri, di mana kepemimpinan para pemerintah untuk maju ke depan dan mengajukan solusi, jawaban, untuk masalah-masalah internasional tersebut? dan jawaban singkatnya adalah mereka tidak bisa; mereka ada di tingkat nasional. Pemilih mereka lokal. Mereka memiliki kepentingan-kepentingan sempit. Mereka tidak bisa menomorduakan kepentingan-kepentingan itu demi kepentingan publik yang lebih besar.
So, if we're going to ensure the delivery of the key public goods at an international level -- in this case, in the global supply chain -- we have to come up with a different mechanism. We need a different machine. Fortunately, we have some examples. In the 1990s, there were a whole series of scandals concerning the production of brand name goods in the U.S. -- child labor, forced labor, serious health and safety abuses. And eventually President Clinton, in 1996, convened a meeting at the White House, invited industry, human rights NGOs, trade unions, the Department of Labor, got them all in a room and said, "Look, I don't want globalization to be a race to the bottom. I don't know how to prevent that, but I'm at least going to use my good offices to get you folks together to come up with a response." So they formed a White House task force, and they spent about three years arguing about who takes how much responsibility in the global supply chain. Companies didn't feel it was their responsibility. They don't own those facilities. They don't employ those workers. They're not legally liable. Everybody else at the table said, "Folks, that doesn't cut it. You have a custodial duty, a duty of care, to make sure that that product gets from wherever to the store in a way that allows us to consume it, without fear of our safety, or without having to sacrifice our conscience to consume that product." So they agreed, "Okay, what we'll do is we agree on a common set of standards, code of conduct. We'll apply that throughout our global supply chain regardless of ownership or control. We'll make it part of the contract." And that was a stroke of absolute genius, because what they did was they harnessed the power of the contract, private power, to deliver public goods.
Jadi bila kita hendak memastikan pengadaan barang-barang publik di tingkat internasional -- dalam hal ini, dalam rantai pasokan global -- kita perlu menemukan mekansime yang berbeda. Kita membutuhkan mesin yang berbeda. Untunglah, kita memiliki beberapa contoh. Sekitar tahun 90-an, ada beberapa skandal mengenai proses produksi barang-barang bermerek tertentu di Amerika Serikat -- pekerja anak, tenaga kerja paksa masalah kesehatan dan pelanggaran keselamatan yang serius -- dan akhirnya Presiden Clinton, di tahun 1996 mengadakan sebuah pertemuan di Gedung Putih -- mengundang pihak industri, LSM-LSM Hak Asasi Manusia, serikat-serikat pekerja, Departemen Tenaga Kerja -- mengumpulkan mereka semua dalam satu ruangan dan berkata, "Lihat, Saya tidak ingin globalisasi menjadi sebuah persaingan menuju kemunduran. Saya tidak tahu bagaimana mencegah hal itu. tapi setidaknya saya akan menggunakan kantor saya untuk mengumpulkan anda semua untuk menemukan sebuah jawaban." Lalu mereka membentuk sebuah satuan tugas Gedung Putih, dan mereka menghabiskan sekitar tiga tahun berdebat mengenai siapa dan seberapa banyak tanggung jawab masing-masing di dalam rantai pasokan global ini. Perusahaan-perusahaan merasa hal ini bukan tanggung jawab mereka. Mereka tidak memiliki fasilitas-fasilitas tersebut. Mereka tidak memperkerjakan pekerja-pekerjanya. Mereka tidak terkait secara hukum. Semua pihak lainnya di meja itu berkata, "Ini tidak bisa diterima. anda punya kewajiban untuk menjaga, untuk peduli, untuk memastikan produk tersebut sampai ke toko dari manapun mereka berasal dengan cara yang memungkinkan kita menggunakannya tanpa rasa takut untuk keselamatan diri kita, atau tanpa harus mengorbankan suara hati kita untuk mengkonsumsi produk itu." Lalu mereka setuju, "Baiklah. Yang akan kami lakukan adalah menyetujui sebuah standar umum kode etik. Kami akan memberlakukan hal itu di seluruh rantai pasokan global kami tanpa memandang kepemilikan ataupun yang berkuasa Kami akan menjadikan hal itu bagian dari kontrak." Dan ini benar-benar sebuah langkah genius, karena yang mereka lakukan adalah memanfaatkan kekuatan yang ada pada kontrak, kekuatan swasta, untuk menyediakan barang-barang publik.
And let's face it, the contract from a major multinational brand to a supplier in India or China has much more persuasive value than the local labor law, the local environmental regulations, the local human rights standards. Those factories will probably never see an inspector. If the inspector did come along, it would be amazing if they were able to resist the bribe. Even if they did their jobs, and they cited those facilities for their violations, the fine would be derisory. But you lose that contract for a major brand name, that's the difference between staying in business or going bankrupt. That makes a difference. So what we've been able to do is we've been able to harness the power and the influence of the only truly transnational institution in the global supply chain, that of the multinational company, and get them to do the right thing, get them to use that power for good, to deliver the key public goods.
Dan mari kita akui, kontrak dari sebuah merek multinasional terkenal untuk sebuah pemasok di India atau Cina memiliki daya tarik yang lebih besar daripada hukum tenaga kerja lokal, peraturan-peraturan lingkungan hidup lokal, standar lokal Hak Asasi Manusia. Pabrik-pabrik ini mungkin tidak akan pernah melihat seorang pengamat Tapi bila pengamat itu benar-benar datang, akan sangat luar biasa bila mereka mampu menolak suap. Bahkan bila mereka benar-benar melakukan tugasnya, dan menyebut pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan fasilitas itu, dendanya akan sangat kecil. Tapi anda akan kehilangan kontrak untuk sebuah merek terkemuka, di sinilah perbedaannya antara tetap berbisnis atau bangkrut. Ini membuat sebuah perbedaan. Jadi apa yang telah dapat kita lakukan, adalah kita telah mampu untuk memanfaatkan kekuatan dan pengaruh dari satu-satunya institusi yang benar-benar lintas nasional dalam rantai pasokan global ini, yaitu perusahaan multinasional, dan membuat mereka melakukan hal yang benar, membuat mereka menggunakan kekuatan tersebut untuk kebaikan, untuk menyediakan barang-barang publik yang penting.
Now of course, this doesn't come naturally to multinational companies. They weren't set up to do this. They're set up to make money. But they are extremely efficient organizations. They have resources, and if we can add the will, the commitment, they know how to deliver that product. Now, getting there is not easy. Those supply chains I put up on the screen earlier, they're not there. You need a safe space. You need a place where people can come together, sit down without fear of judgment, without recrimination, to actually face the problem, agree on the problem and come up with solutions. We can do it. The technical solutions are there. The problem is the lack of trust, the lack of confidence, the lack of partnership between NGOs, campaign groups, civil society organizations and multinational companies. If we can put those two together in a safe space, get them to work together, we can deliver public goods right now, or in extremely short supply.
Sekarang tentu saja, hal ini tidak datang dengan sendirinya pada perusahaan - perusahaan multinasional. Mereka tidak didirikan untuk melakukan ini; mereka didirikan untuk menghasilkan uang. Tapi mereka adalah organisasi yang luar biasa efisien. Mereka memiliki sumber daya, dan bila kita bisa menambahkan niat, komitmen, mereka tahu bagaimana untuk menyediakan produk tersebut. Sekarang, menuju kesana tidaklah mudah. Rantai-rantai pasokan global yang saya tunjukkan di layar sebelumnya, sebenarnya tidak ada di sana. Anda butuh suatu tempat aman. Anda butuh satu tempat di mana orang - orang bisa berkumpul bersama, duduk tanpa rasa takut akan diadili, tanpa saling tuduh, untuk benar-benar menghadapi masalah, setuju akan permasalahannya dan menemukan solusinya. Kita bisa melakukan ini; solusi-solusi teknisnya sudah ada. Masalahnya adalah kurangnya rasa saling percaya, kurangnya rasa percaya diri, kurangnya kerja-sama antara LSM-LSM, kelompok-kelompok advokasi, organisasi-organisasi masyarakat madani, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Kalau kita bisa menempatkan kedua pihak ini di satu tempat aman, membuat mereka bekerja bersama, kita bisa menyediakan barang-barang publik sekarang, atau melalui pasokan yang sangat pendek.
This is a radical proposition, and it's crazy to think that if you're a 15-year-old Bangladeshi girl leaving your rural village to go and work in a factory in Dhaka -- 22, 23, 24 dollars a month -- your best chance of enjoying rights at work is if that factory is producing for a brand name company which has got a code of conduct and made that code of conduct part of the contract. It's crazy. Multinationals are protecting human rights. I know there's going to be disbelief. You'll say, "How can we trust them?" Well, we don't. It's the old arms control phrase: "Trust, but verify." So we audit. We take their supply chain, we take all the factory names, we do a random sample, we send inspectors on an unannounced basis to inspect those facilities, and then we publish the results. Transparency is absolutely critical to this. You can call yourself responsible, but responsibility without accountability often doesn't work. So what we're doing is, we're not only enlisting the multinationals, we're giving them the tools to deliver this public good -- respect for human rights -- and we're checking. You don't need to believe me. You shouldn't believe me. Go to the website. Look at the audit results. Ask yourself, is this company behaving in a socially responsible way? Can I buy that product without compromising my ethics? That's the way the system works.
Ini sebuah usulan yang radikal, dan gila untuk dipikirkan bila anda adalah seorang gadis berumur 15 tahun dari Bangladesh yang meninggalkan desanya untuk pergi dan bekerja di sebuah pabrik di Dhaka -- 22, 23, 24 dolar sebulan -- kesempatan terbaik anda untuk menikmati hak-hak anda di tempat kerja adalah bila pabrik tersebut memproduksi sesuatu untuk sebuah perusahaan bermerek yang memiliki sebuah kode etik dan membuat kode etik tersebut bagian dari kontrak. Ini gila; perusahaan multinasional melindungi Hak Asasi Manusia. Saya tahu pasti akan ada rasa tidak percaya. Anda akan berkata, "Bagaimana kita bisa mempercayai mereka?" Tidak. Seperti pepatah lama: "Percaya, tapi periksa lagi." Jadi kita mengaudit. Kita mengambil rantai pemasok mereka, semua nama-nama pabrik mereka, kita mengambil contoh acak, kita mengirim pengamat tanpa permberitahuan untuk memeriksa fasilitas-fasilitas tersebut, dan kemudian mempublikaskan hasilnya. Transparansi sangat penting dalam hal ini. Anda bisa menyebut diri anda bertanggung-jawab, tapi tanggung jawab tanpa akuntabilitas seringkali tidak berhasil. Jadi yang kita lakukan adalah, kita tidak hanya mendata perusahaan-perusahaan multinasional, kita memberi mereka alat untuk menyediakan barang publik ini -- rasa hormat akan hak asasi manusia -- dan kita memeriksanya. Anda tidak perlu percaya pada saya. Anda tidak seharusnya percaya pada saya. Lihatlah situs internetnya. Lihatlah hasil-hasil auditnya. Tanya diri anda sendiri, apakah perusahaan ini bertindak dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial? Bisakah saya beli produk tersebut tanpa melanggar etika saya? Begitulah sistem ini bekerja.
I hate the idea that governments are not protecting human rights around the world. I hate the idea that governments have dropped this ball and I can't get used to the idea that somehow we can't get them to do their jobs. I've been at this for 30 years, and in that time I've seen the ability, the commitment, the will of government to do this decline, and I don't see them making a comeback right now. So we started out thinking this was a stopgap measure. We're now thinking that, in fact, this is probably the start of a new way of regulating and addressing international challenges. Call it network governance. Call it what you will. The private actors, companies and NGOs, are going to have to get together to face the major challenges we are going to face. Just look at pandemics -- swine flu, bird flu, H1N1. Look at the health systems in so many countries. Do they have the resources to face up to a serious pandemic? No. Could the private sector and NGOs get together and marshal a response? Absolutely. What they lack is that safe space to come together, agree and move to action. That's what we're trying to provide.
Saya tidak suka ide bahwa pemerintah tidak melindungi Hak Asasi Manusia di dunia ini. Saya tidak suka ide bahwa pemerintah telah menjatuhkan bolanya. Dan saya tidak bisa terbiasa pada ide bahwa karena suatu hal kita tidak bisa membuat mereka melakukan tugasnya. Saya telah menangani hal ini selama 30 tahun, dan selama itu saya telah melihat kemampuan, komitmen, dan niat dari pemerintah pada kemunduran ini, dan saya tidak melihat mereka melakukan perbaikan saat ini. Lalu kita mulai dengan berpikir hal ini adalah tindakan sementara. sekarang kita berpikir bahwa, sebenarnya, ini mungkin adalah awal dari sebuah cara baru dalam mengatur dan menjawab tantangan-tantangan internasional. Katakanlah sebagai pengaturan jaringan pemerintah, atau apapun yang anda inginkan, aktor-aktor swasta, perusahaan-perusahaan dan LSM-LSM, harus bisa berkumpul bersama untuk menghadapi tantangan-tantangan utama yang kita akan hadapi. Lihat saja kasus-kasus pandemi -- flu babi, flu burung, H1N1 -- Lihatlah sistem kesehatan di banyak negara. Apakah mereka memiliki sumber daya untuk menghadapi satu pandemi serius? Tidak. Dapatkah sektor swasta dan LSM-LSM berkumpul bersama dan menyusun sebuah jawaban? Tentu saja. Yang mereka tidak punya adalah tempat aman untuk berkumpul bersama, setuju dan bertindak. Itulah yang kami sedang coba untuk sediakan.
I know as well that this often seems like an overwhelming level of responsibility for people to assume. "You want me to deliver human rights throughout my global supply chain. There are thousands of suppliers in there." It seems too daunting, too dangerous, for any company to take on. But there are companies. We have 4,000 companies who are members. Some of them are very, very large companies. The sporting goods industry, in particular, stepped up to the plate and have done it. The example, the role model, is there. And whenever we discuss one of these problems that we have to address -- child labor in cottonseed farms in India -- this year we will monitor 50,000 cottonseed farms in India. It seems overwhelming. The numbers just make you want to zone out. But we break it down to some basic realities.
Saya juga tahu bahwa hal ini seringkali terasa seperti tanggung jawab yang terlalu besar untuk dapat dipikul orang-orang. "Anda mau saya untuk memberikan Hak Asasi Manusia di seluruh rantai pasokan global saya. Ada ribuan pemasok di dalam sana. Rasanya terlalu sulit, terlalu berbahaya, untuk dijalankan oleh perusahaan manapun. Tapi perusahaan - perusahaan tersebut ada. Kami punya 4000 perusahaan yang menjadi anggota. Beberapa dari mereka adalah perusahaan-perusahaan yang sangat, sangat besar. Industri alat-alat olah raga, terutama mengajukan diri dan telah melakukan hal ini. Contoh dan panutannya, telah ada. Dan setiap kali kita mendiskusikan salah satu masalah yang kita perlu hadapi -- tenaga kerja anak di ladang-ladang kapas di India -- tahun ini kami memonitor 50.000 ladang biji kapas di India. Sepertinya sangat rumit. Angka-angka ini hanya membuat anda ingin pergi. Tapi kami memecahnya menjadi beberapa realitas dasar.
And human rights comes down to a very simple proposition: can I give this person their dignity back? Poor people, people whose human rights have been violated -- the crux of that is the loss of dignity, the lack of dignity. It starts with just giving people back their dignity. I was sitting in a slum outside Gurgaon just next to Delhi, one of the flashiest, brightest new cities popping up in India right now, and I was talking to workers who worked in garment sweatshops down the road, and I asked them what message they would like me to take to the brands. They didn't say money. They said, "The people who employ us treat us like we are less than human, like we don't exist. Please ask them to treat us like human beings." That's my simple understanding of human rights. That's my simple proposition to you, my simple plea to every decision-maker in this room, everybody out there. We can all make a decision to come together and pick up the balls and run with the balls that governments have dropped. If we don't do it, we're abandoning hope, we're abandoning our essential humanity, and I know that's not a place we want to be, and we don't have to be there. So I appeal to you. Join us, come into that safe space, and let's start to make this happen.
Dan Hak Asasi Manusia kembali pada sebuah masalah sederhana: dapatkah saya mengembalikan martabat orang ini? Orang-orang yang tidak mampu, mereka yang Hak Asasinya telah dilanggar -- inti masalahnya adalah hilangnya martabat, kurangnya martabat. Ini dimulai dengan semata-mata mengembalikan martabat mereka. Saya tengah duduk di sebuah perkampungan miskin di luar Gurgaon tepat di sebelah Delhi, salah satu kota yang paling mencolok, paling berkilau dari banyak kota baru yang bermunculan di India saat ini, dan saya tengah berbicara pada para pekerja yang berkerja di pabrik pakaian di area itu. Dan saya bertanya pada mereka pesan apa yang mereka ingin saya sampaikan pada merek tersebut. Mereka tidak menyebutkan uang; mereka berkata, "Orang-orang yang mempekerjakan kami tidak memperlakukan kami sebagai manusia seutuhnya. seperti kami ini tidak ada. Tolong minta mereka untuk memperlakukan kami seperti manusia." Itulah pengertian sederhana saya tentang Hak Asasi Manusia. Itulah usul sederhana saya pada anda, permohonan sederhana saya pada setiap pembuat keputusan di ruangan ini, setiap orang di luar sana. Kita semua bisa membuat sebuah keputusan untuk berkumpul bersama dan mengambil bola dan lari dengan bola yang telah dijatuhkan pemerintah. Bila kita tidak melakukannya, kita membuang harapan, kita membuang kemanusiaan kita yang paling utama, dan saya tahu kita tidak ingin berada dalam posisi tersebut, dan kita tidak perlu berada di sana. Untuk itu saya mengajak anda untuk bergabung dengan kami, datang ke tempat aman itu dan mari mulai membuat hal ini menjadi nyata.
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)