A tourist is backpacking through the highlands of Scotland, and he stops at a pub to get a drink. And the only people in there is a bartender and an old man nursing a beer. And he orders a pint, and they sit in silence for a while. And suddenly the old man turns to him and goes, "You see this bar? I built this bar with my bare hands from the finest wood in the county. Gave it more love and care than my own child. But do they call me MacGregor the bar builder? No." Points out the window. "You see that stone wall out there? I built that stone wall with my bare hands. Found every stone, placed them just so through the rain and the cold. But do they call me MacGregor the stone wall builder? No." Points out the window. "You see that pier on the lake out there? I built that pier with my bare hands. Drove the pilings against the tide of the sand, plank by plank. But do they call me MacGregor the pier builder? No. But you fuck one goat ... "
Seorang turis sedang berpetualang melewati pegunungan Skotlandia, dan dia berhenti di sebuah bar untuk membeli minuman. Dan di sana hanya ada seorang bartender dan laki-laki tua yang meminum birnya perlahan-lahan. Dia memesan satu gelas bir dan mereka duduk diam untuk beberapa waktu. Dan tiba-tiba sang laki-laki tua menoleh dan berkata, "Kamu lihat bar ini? Aku membangunnya dengan tangan kosong dari kayu terbaik di daerah ini. Memberi cinta dan kasih sayang melebihi anakku sendiri. Tapi apa mereka memanggilku MacGregor si pembuat bar? Tidak." Dia menunjuk ke luar jendela. "Kamu lihat tembok batu di luar sana? Aku membangun tembok batu itu dengan tangan kosong. Mencari setiap batu, menaruhnya sesempurna mungkin bahkan saat dingin dan hujan. Tapi apa mereka memanggilku MacGregor si pembuat tembok batu? Tidak." Dia menunjuk ke luar jendela. "Kamu lihat dermaga di tepi danau di luar sana? Aku membangun dermaga itu dengan tangan kosong. Membawa tumpukan kayu melawan pasir dan lumpur, lembar demi lembar. Tapi apa mereka memanggilku MacGregor si pembuat dermaga? Tidak. Tapi kalau kamu meniduri seekor kambing ... "
(Laughter)
(Tawa)
Storytelling -- (Laughter) is joke telling. It's knowing your punchline, your ending, knowing that everything you're saying, from the first sentence to the last, is leading to a singular goal, and ideally confirming some truth that deepens our understandings of who we are as human beings. We all love stories. We're born for them. Stories affirm who we are. We all want affirmations that our lives have meaning. And nothing does a greater affirmation than when we connect through stories. It can cross the barriers of time, past, present and future, and allow us to experience the similarities between ourselves and through others, real and imagined.
Bercerita -- (Tawa) adalah memberitahukan lelucon. Mengetahui lelucon yang tepat, akhir ceritanya, mengetahui apa yang Anda katakan, dari kalimat pertama sampai terakhir, menuju pada satu tujuan tunggal, dan idealnya membuktikan fakta-fakta yang memperdalam pengertian kita tentang siapa kita sebenarnya sebagai manusia. Kita semua suka cerita. Kita dilahirkan untuk cerita itu. Cerita menegaskan siapa kita. Kita semua mau kepastian bahwa hidup kita punya arti. Dan tidak ada yang memberikan kepastian lebih daripada ketika kita berhubungan melalui cerita. Cerita bisa melewati penghalang waktu, masa lalu, sekarang dan masa depan, dan memungkinkan kita untuk merasakan persamaan di antara kita dan dengan orang lain, nyata ataupun tidak.
The children's television host Mr. Rogers always carried in his wallet a quote from a social worker that said, "Frankly, there isn't anyone you couldn't learn to love once you've heard their story." And the way I like to interpret that is probably the greatest story commandment, which is "Make me care" -- please, emotionally, intellectually, aesthetically, just make me care. We all know what it's like to not care. You've gone through hundreds of TV channels, just switching channel after channel, and then suddenly you actually stop on one. It's already halfway over, but something's caught you and you're drawn in and you care. That's not by chance, that's by design.
Pembawa acara televisi anak-anak, Pak Rogers selalu membawa sebuah kutipan dari seorang pekerja sosial di dalam dompetnya yang berkata, "Sejujurnya, tidak ada seorang pun yang tidak bisa kau coba cintai setelah kau mendengar cerita mereka." Dan cara saya menafsirkan hal itu adalah itu mungkin perintah dari cerita yang terhebat, yaitu "Buatlah saya peduli" -- saya mohon, baik secara emosional, intelektual, maupun estetis, buatlah saya peduli. Kita semua tahu bagaimana untuk tidak peduli. Anda pasti pernah melihat ratusan siaran TV, mengganti saluran demi saluran, dan tiba-tiba Anda berhenti pada satu saluran. Acaranya sudah lewat setengah, tapi ada sesuatu yang menarik perhatian Anda dan Anda ttertarik dan peduli. Itu bukan karena kebetulan, tapi karena desain.
So it got me thinking, what if I told you my history was story, how I was born for it, how I learned along the way this subject matter? And to make it more interesting, we'll start from the ending and we'll go to the beginning. And so if I were going to give you the ending of this story, it would go something like this: And that's what ultimately led me to speaking to you here at TED about story.
Itu membuat saya berpikir, bagaimana kalau saya memberitahukan Anda sejarah saya, bagaimana saya dilahirkan untuk itu, bagaimana saya belajar bahwa hal ini penting? Dan untuk membuatnya lebih menarik, kita akan mulai dari akhir cerita menuju ke awal ceritanya. Jadi jika saya memberitahukan Anda akhir dari cerita ini, cerita itu akan menjadi seperti ini: Dan itulah apa yang membuat saya berbicara kepada Anda di TED hari ini tentang cerita.
And the most current story lesson that I've had was completing the film I've just done this year in 2012. The film is "John Carter." It's based on a book called "The Princess of Mars," which was written by Edgar Rice Burroughs. And Edgar Rice Burroughs actually put himself as a character inside this movie, and as the narrator. And he's summoned by his rich uncle, John Carter, to his mansion with a telegram saying, "See me at once." But once he gets there, he's found out that his uncle has mysteriously passed away and been entombed in a mausoleum on the property.
Dan pelajaran paling baru tentang cerita yang saya alami adalah dalam menyelesaikan film yang baru saja saya buat di tahun 2012 ini. Film ini disebut "John Carter" ini diangkat dari sebuah buku berjudul "Putri Mars," karya Edgar Rice Burroughs. Dan Edgar Rice Burroughs benar-benar menaruh dirinya sendiri sebagai karakter di dalam film ini, dan juga sebagai narator. Dia dipanggil oleh pamannya yang kaya, John Carter, ke rumahnya yang besar dengan telegram yang berkata, "Temui aku sesegera mungkin." Tapi ketika dia sampai di situ, dia mendapati pamannya telah meninggal secara misterius dan telah dikubur di sebuah makam di atas lahan miliknya.
(Video) Butler: You won't find a keyhole. Thing only opens from the inside. He insisted, no embalming, no open coffin, no funeral. You don't acquire the kind of wealth your uncle commanded by being like the rest of us, huh? Come, let's go inside.
(Video) Kepala Pelayan: Kamu tidak akan menemui lubang kunci. Pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam. Dia bersikeras, tanpa pembalseman, tanpa peti terbuka, tanpa pemakaman. Kamu tidak mendapat kekayaan yang pamanmu punya dengan cara menjadi seperti kita, huh? Ayo, kita ke dalam.
AS: What this scene is doing, and it did in the book, is it's fundamentally making a promise. It's making a promise to you that this story will lead somewhere that's worth your time. And that's what all good stories should do at the beginning, is they should give you a promise. You could do it an infinite amount of ways. Sometimes it's as simple as "Once upon a time ... " These Carter books always had Edgar Rice Burroughs as a narrator in it. And I always thought it was such a fantastic device. It's like a guy inviting you around the campfire, or somebody in a bar saying, "Here, let me tell you a story. It didn't happen to me, it happened to somebody else, but it's going to be worth your time." A well told promise is like a pebble being pulled back in a slingshot and propels you forward through the story to the end.
AS: Apa yang terjadi dalam adegan ini, dan sama seperti di bukunya adalah pada dasarnya membuat janji. Adegan ini menjanjikan Anda bahwa cerita ini akan membawa pada sesuatu yang layak untuk ditunggu. Itulah yang harus dilakukan semua cerita bagus di awal, memberikan sebuah janji. Anda bisa melakukan itu dengan berbagai cara. Kadang-kadang caranya sederhana seperti "Pada suatu hari ... " Buku-buku Carter ini selalu mempunyai Edgar Rice Burroughs sebagai narator di dalamnya. Dan saya selalu berpikir itu merupakan sebuah perangkat yang hebat. Seperti seorang laki-laki mengajakmu ke sekitar api unggun, atau seseorang di bar mengatakan, "Kemari, aku akan menceritakan sebuah cerita. Ini tidak terjadi pada saya, tapi pada orang lain, tapi cerita ini layak disimak." Sebuah janji yang diberitahukan dengan baik seperti sebuah batu kerikil yang ditarik dengan ketapel dan mendorong Anda maju melewati ceritanya hingga akhir cerita.
In 2008, I pushed all the theories that I had on story at the time to the limits of my understanding on this project.
Pada tahun 2008, saya mendorong semua teori yang saya punya tentang cerita pada saat itu hingga batas pengertian saya akan proyek ini.
(Video) (Mechanical Sounds) ♫ And that is all ♫ ♫ that love's about ♫ ♫ And we'll recall ♫ ♫ when time runs out ♫ ♫ That it only ♫ (Laughter)
(Video) (Suara Mekanis) ♫ Dan itulah ♫ ♫ arti cinta ♫ ♫ Dan kita akan mengenang ♫ ♫ ketika waktunya telah habis ♫ ♫ Bahwa itu hanyalah ♫ (Tawa)
AS: Storytelling without dialogue. It's the purest form of cinematic storytelling. It's the most inclusive approach you can take. It confirmed something I really had a hunch on, is that the audience actually wants to work for their meal. They just don't want to know that they're doing that. That's your job as a storyteller, is to hide the fact that you're making them work for their meal. We're born problem solvers. We're compelled to deduce and to deduct, because that's what we do in real life. It's this well-organized absence of information that draws us in. There's a reason that we're all attracted to an infant or a puppy. It's not just that they're damn cute; it's because they can't completely express what they're thinking and what their intentions are. And it's like a magnet. We can't stop ourselves from wanting to complete the sentence and fill it in.
AS: Bercerita tanpa dialog. Itu adalah bentuk paling murni dari bercerita dalam layar lebar. Itu adalah cara pendekatan paling terbuka yang bisa Anda ambil. Ini membuktikan firasat saya yang kuat, adalah bahwa para penonton sebenarnya mau bekerja untuk kepuasan mereka. Mereka hanya tidak mau tahu bahwa mereka melakukannya. Itu adalah pekerjaan Anda sebagai pencerita, untuk menyembunyikan kenyataan bahwa Anda membuat mereka bekerja untuk kepuasan mereka. Kita dilahirkan sebagai pemecah masalah. Kita diajak untuk menduga-duga dan untuk menarik kesimpulan karena itulah yang kita lakukan dalam kehidupan nyata. Ketidakhadiran informasi yang telah diatur dengan baik inilah yang menarik kita. Ada alasan mengapa kita semua tertarik pada seorang bayi atau seekor anjing. Ini bukan hanya karena mereka benar-benar lucu; tapi juga karena mereka tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan pikiran dan keinginan mereka. Dan itu seperti sebuah magnet. Kita tidak bisa menghentikan diri kita dari keinginan untuk menyelesaikan dan mengisi kalimat yang kosong.
I first started really understanding this storytelling device when I was writing with Bob Peterson on "Finding Nemo." And we would call this the unifying theory of two plus two. Make the audience put things together. Don't give them four, give them two plus two. The elements you provide and the order you place them in is crucial to whether you succeed or fail at engaging the audience. Editors and screenwriters have known this all along. It's the invisible application that holds our attention to story. I don't mean to make it sound like this is an actual exact science, it's not. That's what's so special about stories, they're not a widget, they aren't exact. Stories are inevitable, if they're good, but they're not predictable.
Saya pertama mulai benar-benar mengerti perangkat bercerita ini ketika saya menulis "Finding Nemo" bersama Bob Peterson. Kami menyebut hal ini teori perpaduan dua tambah dua. Buatlah penonton menyatukannya. Jangan berikan empat, berikan dua tambah dua. Unsur-unsur yang Anda sediakan dan urutannya sangat penting dalam menentukan Anda berhasil atau gagal dalam menarik perhatian penonton. Penyunting dan penulis film sudah mengetahui hal ini sejak dulu. Ini adalah aplikasi tidak terlihat yang memegang perhatian kita pada cerita. Saya tidak bermaksud untuk membuat ini seperti seakan-akan ini adalah ilmu pasti, karena bukan. Itulah yang membuat cerita sangat istimewa, cerita bukanlah sebuah benda, cerita tidak pasti. Cerita, jika bagus, tidak akan bisa dihindari, tapi cerita tidak bisa ditebak.
I took a seminar in this year with an acting teacher named Judith Weston. And I learned a key insight to character. She believed that all well-drawn characters have a spine. And the idea is that the character has an inner motor, a dominant, unconscious goal that they're striving for, an itch that they can't scratch. She gave a wonderful example of Michael Corleone, Al Pacino's character in "The Godfather," and that probably his spine was to please his father. And it's something that always drove all his choices. Even after his father died, he was still trying to scratch that itch. I took to this like a duck to water. Wall-E's was to find the beauty. Marlin's, the father in "Finding Nemo," was to prevent harm. And Woody's was to do what was best for his child. And these spines don't always drive you to make the best choices. Sometimes you can make some horrible choices with them.
Saya menghadiri sebuah seminar tahun ini dengan seorang guru akting bernama Judith Weston. Dan saya belajar kunci untuk pemahaman karakter. Dia percaya bahwa semua karakter yang telah digambarkan dengan baik mempunyai suatu motivasi. Dan idenya adalah bahwa si karakter mempunyai suatu motivasi, sebuah tujuan utama yang mereka coba raih secara tidak sadar, seperti rasa gatal yang tidak bisa mereka garuk. Dia memberikan contoh yang hebat dari Michael Corleone, karakter Al Pacino dalam "The Godfather." yaitu bahwa mungkin motivasinya adalah untuk menyenangkan ayahnya. Dan itu merupakan sesuatu yang mengendalikan semua keputusannya. Bahkan setelah ayahnya meninggal, dia masih mencoba untuk menggaruk tempat gatal itu. Ketertarikan saya pada teori ini membuat saya mengikutinya. Motivasi Wall-E adalah untuk menemukan keindahan. Motivasi Marlin, sang ayah dalam "Finding Nemo," adalah untuk menghindari bahaya. Dan motivasi Woody adalah untuk melakukan apa yang terbaik untuk anaknya. Dan motivasi-motivasi ini tidak selalu mendorong Anda untuk membuat pilihan terbaik. Terkadang Anda bisa membuat pilihan yang buruk karena itu.
I'm really blessed to be a parent, and watching my children grow, I really firmly believe that you're born with a temperament and you're wired a certain way, and you don't have any say about it, and there's no changing it. All you can do is learn to recognize it and own it. And some of us are born with temperaments that are positive, some are negative. But a major threshold is passed when you mature enough to acknowledge what drives you and to take the wheel and steer it. As parents, you're always learning who your children are. They're learning who they are. And you're still learning who you are. So we're all learning all the time. And that's why change is fundamental in story. If things go static, stories die, because life is never static.
Saya sangat diberkati bisa menjadi orang tua, dan melihat anak-anak saya tumbuh, saya sangat peraya bahwa Anda lahir dengan watak tertentu dan Anda dirancang secara khusus, dan Anda tidak bisa berkomentar maupun mengubahnya. Yang bisa Anda lakukan hanyalah belajar mengenal dan memilikinya. Dan beberapa di antara kita lahir dengan watak yang positif, dan beberapa dengan watak negatif. Tapi suatu ambang pintu yang utama telah dilewati ketika Anda cukup dewasa untuk mengakui apa yang memotivasi Anda dan untuk mengambil kendali dan mulai menyetir. Sebagai orang tua, Anda selalu belajar siapa anak-anak Anda. Mereka sendiri juga belajar siapakah mereka. Dan Anda pun masih belajar siapakah Anda. Jadi kita semua belajar setiap waktu. Dan itulah mengapa perubahan sangat penting dalam cerita. Jika hal-hal menjadi statis, cerita pun mati, karena hidup ini tidak pernah diam.
In 1998, I had finished writing "Toy Story" and "A Bug's Life" and I was completely hooked on screenwriting. So I wanted to become much better at it and learn anything I could. So I researched everything I possibly could. And I finally came across this fantastic quote by a British playwright, William Archer: "Drama is anticipation mingled with uncertainty." It's an incredibly insightful definition.
Pada tahun 1998, saya baru selesai menulis "Toy Story" dan "A Bug's Life" dan saya benar-benar ketagihan dalam menulis skenario. Saya ingin menjadi jauh lebih baik di bidang itu dan belajar apapun yang saya bisa. Jadi saya mencari tahu sebanyak mungkin tentang hal itu. Dan akhirnya saya menemukan satu kutipan luar biasa ini dari pengarang sandiwara Inggris, William Archer: "Drama adalah antisipasi dicampur dengan ketidakpastian." Itu adalah pengertian yang sangat mendalam.
When you're telling a story, have you constructed anticipation? In the short-term, have you made me want to know what will happen next? But more importantly, have you made me want to know how it will all conclude in the long-term? Have you constructed honest conflicts with truth that creates doubt in what the outcome might be? An example would be in "Finding Nemo," in the short tension, you were always worried, would Dory's short-term memory make her forget whatever she was being told by Marlin. But under that was this global tension of will we ever find Nemo in this huge, vast ocean?
Ketika Anda bercerita, pernahkah Anda membangun antisipasi? Dalam jangka pendek, pernahkah Anda membuat saya ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Tapi yang lebih penting lagi, pernahkah Anda membuat saya ingin tahu bagaimana semuanya akan berakhir dalam jangka panjang? Pernahkah Anda membangun konflik dengan kebenaran yang akan menimbulkan keraguan tentang apa yang akan terjadi dalam hasilnya? Contohnya, di "Finding Nemo," dalam ketegangan jangka pendek, Anda selalu khawatir, apakah memori jangka pendek Dory akan membuatnya lupa apa yang dikatakan Marlin kepadanya. Tapi di bawahnya adalah ketegangan yang terus menerus tentang apakah kita akan menemukan Nemo di laut yang luas dan lebar ini?
In our earliest days at Pixar, before we truly understood the invisible workings of story, we were simply a group of guys just going on our gut, going on our instincts. And it's interesting to see how that led us places that were actually pretty good. You've got to remember that in this time of year, 1993, what was considered a successful animated picture was "The Little Mermaid," "Beauty and the Beast," "Aladdin," "Lion King." So when we pitched "Toy Story" to Tom Hanks for the first time, he walked in and he said, "You don't want me to sing, do you?" And I thought that epitomized perfectly what everybody thought animation had to be at the time. But we really wanted to prove that you could tell stories completely different in animation.
Pada hari-hari awal kami di Pixar, sebelum kami sepenuhnya mengerti cara kerja cerita yang tidak terlihat, kami hanyalah sekelompok pria yang bekerja sesuai perasaan kita, insting kita. Dan hal yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana hal itu membawa kita ke tempat-tempat yang sebenarnya lumayan bagus. Anda harus ingat bahwa pada saat itu, 1993, apa yang dianggap sebagai animasi yang sukses adalah "The Little Mermaid," "Beauty and the Beast," "Aladdin," "Lion King." Jadi ketika kita melontarkan ide "Toy Story" ke Tom Hanks untuk pertama kalinya, dia masuk dan berkata, "Kamu tidak berharap aku bernyanyi, kan?" Dan saya pikir itu melambangkan dengan sempurna apa yang dipikirkan semua orang tentang animasi saat itu. Tapi kami ingin membuktikan bahwa Anda bisa bercerita dengan cara yang benar-benar berbeda dalam animasi.
We didn't have any influence then, so we had a little secret list of rules that we kept to ourselves. And they were: No songs, no "I want" moment, no happy village, no love story. And the irony is that, in the first year, our story was not working at all and Disney was panicking. So they privately got advice from a famous lyricist, who I won't name, and he faxed them some suggestions. And we got a hold of that fax. And the fax said, there should be songs, there should be an "I want" song, there should be a happy village song, there should be a love story and there should be a villain. And thank goodness we were just too young, rebellious and contrarian at the time. That just gave us more determination to prove that you could build a better story. And a year after that, we did conquer it. And it just went to prove that storytelling has guidelines, not hard, fast rules.
Kami tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada saat itu, jadi kami punya daftar rahasia yang berisi peraturan-peraturan yang kita simpan dalam diri kita sendiri. Pertauran itu adalah: Tidak ada lagu, tidak ada saat-saat "Aku ingin", tidak ada desa yang bahagia, tidak ada cerita cinta. Ironisnya, di tahun pertama, cerita kami benar-benar tidak berhasil dan Disney pun panik. Jadi mereka diam-diam mencari nasihat dari penulis lirik terkenal, yang tidak akan saya sebut namanya, dan dia mengirim mereka beberapa saran melewati faks. Dan kami ambil faks itu. Dan di faksnya tertulis, harus ada lagu, harus ada lagu tentang "Aku ingin", harus ada lagu tentang desa yang bahagia, harus ada cerita cinta dan harus ada penjahat. Dan untungnya pada waktu itu, kami terlalu muda, suka memberontak dan melawan. Itu hanya memberi kami tekad lebih untuk membuktikan bahwa Anda bisa membangun cerita yang lebih baik. Dan setahun setelah itu, kami berhasil menaklukkannya. Dan itu hanyalah membuktikan bahwa bercerita mempunyai pedoman tertentu, bukan peraturan yang harus diikuti dengan keras.
Another fundamental thing we learned was about liking your main character. And we had naively thought, well Woody in "Toy Story" has to become selfless at the end, so you've got to start from someplace. So let's make him selfish. And this is what you get.
Hal penting lainnya yang telah kami pelajari adalah tentang menyukai tokoh utama Anda. Dan kita secara naif berpikir, Woody di "Toy Story" harus tidak mementingkan diri sendiri pada akhirnya, jadi Anda harus mulai dari suatu tempat. Ayo buat dia egois. Dan inilah yang Anda dapatkan.
(Voice Over) Woody: What do you think you're doing? Off the bed. Hey, off the bed! Mr. Potato Head: You going to make us, Woody? Woody: No, he is. Slinky? Slink ... Slinky! Get up here and do your job. Are you deaf? I said, take care of them. Slinky: I'm sorry, Woody, but I have to agree with them. I don't think what you did was right. Woody: What? Am I hearing correctly? You don't think I was right? Who said your job was to think, Spring Wiener?
(Voice Over) Woody: Kau pikir kau sedang apa? Turun dari ranjang. Hey, turun dari ranjang! Mr. Potato Head: Kau akan membuat kami melakukan itu, Woody? Woody: Bukan aku, tapi dia. Slinky? Slink ... Slinky! Naiklah ke sini dan lakukan tugasmu. Apa kau tuli? Kubilang, usir mereka. Slinky: Maaf, Woody, tapi aku setuju dengan mereka. Aku pikir apa yang kau lakukan tidak benar. Woody: Apa? Apa aku mendengar dengan benar ? Kamu pikir apa yang aku lakukan tidak benar? Kata siapa pekerjaanmu itu berpikir, Spring Wiener?
AS: So how do you make a selfish character likable? We realized, you can make him kind, generous, funny, considerate, as long as one condition is met for him, is that he stays the top toy. And that's what it really is, is that we all live life conditionally. We're all willing to play by the rules and follow things along, as long as certain conditions are met. After that, all bets are off. And before I'd even decided to make storytelling my career, I can now see key things that happened in my youth that really sort of opened my eyes to certain things about story.
AS: Jadi bagaimana Anda membuat karakter yang egois menjadi mudah disukai? Kami sadar, Anda bisa membuatnya baik, murah hari, lucu, penuh perhatian, selama ada satu kondisi yang dipenuhi, dia akan tetap menjadi mainan yang statusnya paling tinggi. Dan itulah sebenarnya, bahwa kita semua hidup dengan syarat. Kita semua mau bermain sesuai aturan dan mengikuti apa yang terjadi, selama syarat-syarat tertentu dipenuhi. Setelah itu, segala sesuatunya bisa terjadi. Dan bahkan sebelum saya memutuskan untuk menjadikan bercerita sebagai karir saya, saya bisa melihat hal-hal penting yang terjadi di masa muda saya yang benar-benar membuka mata saya ke hal-hal tertentu tentang cerita.
In 1986, I truly understood the notion of story having a theme. And that was the year that they restored and re-released "Lawrence of Arabia." And I saw that thing seven times in one month. I couldn't get enough of it. I could just tell there was a grand design under it -- in every shot, every scene, every line. Yet, on the surface it just seemed to be depicting his historical lineage of what went on. Yet, there was something more being said. What exactly was it? And it wasn't until, on one of my later viewings, that the veil was lifted and it was in a scene where he's walked across the Sinai Desert and he's reached the Suez Canal, and I suddenly got it.
Pada tahun 1986, saya benar-benar mengerti pemikiran tentang cerita mempunyai tema. Itu adalah tahun dimana mereka memperbaiki dan merilis ulang "Lawrence of Arabia." Dan saya menonton film itu tujuh kali dalam satu bulan. Rasanya tidak pernah cukup menonton sekali saja. Saya tahu bahwa ada desain besar di balik film itu -- dalam setiap rekaman, setiap adegan, setiap dialog. Namun, di permukaannya, itu hanya terlihat seperti menunjukkan sejarah garis keturunan, tentang apa yang terjadi. Tapi, ada yang lebih dari itu. Apakah sebenarnya? Sampai ketika saya menonton itu kembali, saya mendapat jawabannya dalam sebuah adegan dimana dia berjalan melintasi Gurun Sinai dan sesampainya di Terusan Suez, dan tiba-tiba saya mendapat jawabannya.
(Video) Boy: Hey! Hey! Hey! Hey! Cyclist: Who are you? Who are you?
(Video) Anak laki-laki: Hey! Hey! Hey! Hey! Pengendara sepeda: Siapa kamu? Siapa kau?
AS: That was the theme: Who are you? Here were all these seemingly disparate events and dialogues that just were chronologically telling the history of him, but underneath it was a constant, a guideline, a road map. Everything Lawrence did in that movie was an attempt for him to figure out where his place was in the world. A strong theme is always running through a well-told story.
AS: Itulah temanya: Siapa kau? Semua kejadian dan dialog yang berbeda-beda yang memberitahukan sejarah secara kronologis, tapi di balik itu ada sesuatu yang konstan, sebuah pedoman, sebuah peta. Semua yang dilakukan Lawrence dalam film itu adalah sebuah usaha untuk mencari tahu di manakah tempatnya di dunia ini. Tema yang kuat selalu hadir dalam cerita yang diceritakan dengan baik.
When I was five, I was introduced to possibly the most major ingredient that I feel a story should have, but is rarely invoked. And this is what my mother took me to when I was five.
Ketika saya berusia 5 tahun, saya diperkenalkan pada bahan yang mungkin paling penting yang saya rasa harus dipunyai semua cerita, tapi jarang sekali digunakan. Ke sinilah ibu saya mengajak saya ketika berusia lima tahun.
(Video) Thumper: Come on. It's all right. Look. The water's stiff. Bambi: Yippee! Thumper: Some fun, huh, Bambi? Come on. Get up. Like this. Ha ha. No, no, no.
(Video) Thumper: Ayo. Tidak apa-apa kok. Lihat. Airnya beku. Bambi: Yippee! Thumper: Seru kan Bambi? Ayo. Bangun. Seperti ini. Ha ha. Tidak, tidak, tidak.
AS: I walked out of there wide-eyed with wonder. And that's what I think the magic ingredient is, the secret sauce, is can you invoke wonder. Wonder is honest, it's completely innocent. It can't be artificially evoked. For me, there's no greater ability than the gift of another human being giving you that feeling -- to hold them still just for a brief moment in their day and have them surrender to wonder. When it's tapped, the affirmation of being alive, it reaches you almost to a cellular level. And when an artist does that to another artist, it's like you're compelled to pass it on. It's like a dormant command that suddenly is activated in you, like a call to Devil's Tower. Do unto others what's been done to you. The best stories infuse wonder.
AS: Saya keluar dari sana dengan mata penuh kekaguman. Dan itulah apa yang menurut saya bahan ajaibnya, saus rahasia, apakah Anda bisa menimbulkan rasa kekaguman. Kekaguman adalah sesuatu yang jujur, sepenuhnya lugu. Itu tidak bisa dipalsukan. Bagi saya, tidak ada kemampuan yang lebih besar daripada anugerah dari orang lain yang memberi Anda perasaan itu -- untuk membuat mereka terpaku hanya untuk beberapa saat dan membuat mereka menyerah pada kekaguman.. Ketika hal itu telah diraih, kepastian bahwa Anda hidup, mempengaruhi Anda hingga ke sel-sel Anda. Dan ketika satu seniman berhasil melakukannya pada seniman lain, Anda seperti didorong untuk menyebarkannya, seperti perintah terbengkalai yang tiba-tiba diaktifkan dalam diri Anda, seperti panggilan ke Menara Iblis. Lakukan kepada orang lain seperti apa yang telah dilakukan kepada Anda. Cerita-cerita terbaik menanamkan rasa kagum.
When I was four years old, I have a vivid memory of finding two pinpoint scars on my ankle and asking my dad what they were. And he said I had a matching pair like that on my head, but I couldn't see them because of my hair. And he explained that when I was born, I was born premature, that I came out much too early, and I wasn't fully baked; I was very, very sick. And when the doctor took a look at this yellow kid with black teeth, he looked straight at my mom and said, "He's not going to live." And I was in the hospital for months. And many blood transfusions later, I lived, and that made me special.
Ketika saya berusia empat tahun, saya mempunyai ingatan yang jelas ketika menemukan dua bekas luka kecil di pergelangan kaki saya dan bertanya kepada ayah saya apa itu. Dan ayah berkata saya punyai sepasang persis seperti itu di kepala saya, tapi saya tidak bisa melihatnya karena rambut saya. Dan ayah menjelaskan bahwa ketika saya lahir, saya lahir prematur, bahwa saya keluar jauh terlalu awal, dan saya belum sepenuhnya matang; Saya sangat, sangat sakit. Dan ketika seorang dokter melihat anak berkulit kuning dengan gigi hitam ini, dia menatap ibu saya dalam-dalam dan berkata, "Dia tidak akan hidup." Dan saya dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Dan setelah banyak transfusi darah, saya berhasil hidup, dan itu membuat saya istimewa.
I don't know if I really believe that. I don't know if my parents really believe that, but I didn't want to prove them wrong. Whatever I ended up being good at, I would strive to be worthy of the second chance I was given.
Saya tidak tahu apa saya benar-benar percaya hal itu. Saya tidak tahu apa orang tua saya benar-benar percaya hal itu, tapi saya tidak mau membuktikan kalau mereka salah. Apapun keahlian saya nantinya, saya akan berusaha agar kesempatan kedua yang telah diberikan ini pantas.
(Video) (Crying) Marlin: There, there, there. It's okay, daddy's here. Daddy's got you. I promise, I will never let anything happen to you, Nemo.
(Video) (Tangisan) Marlin: Cup, cup, cup. Tidak apa-apa, ada ayah di sini. Kau aman bersama Ayah. Ayah janji, ayah tidak akan pernah membiarkan apapun terjadi padamu, Nemo.
AS: And that's the first story lesson I ever learned. Use what you know. Draw from it. It doesn't always mean plot or fact. It means capturing a truth from your experiencing it, expressing values you personally feel deep down in your core. And that's what ultimately led me to speaking to you here at TEDTalk today.
AS: Dan itulah pelajaran pertama tentang cerita yang saya pelajari. Gunakanlah apa yang Anda ketahui. Ambillah sesuatu dari sana. Ini tidak selalu berarti plot atau fakta. Ini juga berarti mengambil kebenaran dari pengalaman itu, mengekspresikan prinsip yang Anda rasakan secara pribadi jauh di lubuk hati Anda. Dan itulah apa yang membawa saya untuk berbicara kepada Anda hari ini di TEDTalk.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)