From the smallest single-celled organism to the largest creatures on earth, every living thing is defined by its genes. The DNA contained in our genes acts like an instruction manual for our cells. Four building blocks called bases are strung together in precise sequences, which tell the cell how to behave and form the basis for our every trait. But with recent advancements in gene editing tools, scientists can change an organism’s fundamental features in record time. They can engineer drought-resistant crops and create apples that don’t brown. They might even prevent the spread of infectious outbreaks and develop cures for genetic diseases. CRISPR is the fastest, easiest, and cheapest of the gene editing tools responsible for this new wave of science. But where did this medical marvel come from? How does it work? And what can it do?
Dari organisme bersel tunggal terkecil hingga makhluk terbesar di bumi, setiap makhluk hidup didefinisikan oleh gen yang menyusunnya. DNA yang ada dalam gen berfungsi sebagai petunjuk manual bagi sel kita. Empat macam basa nitrogen dirangkai dalam urutan yang tepat, untuk mengatur perilaku sel dan membentuk setiap ciri-ciri kita. Namun dengan perkembangan alat pengeditan gen, ilmuwan dapat mengubah fitur dasar organisme dengan cepat. Mereka dapat merekayasa tanaman yang tahan dari kemarau dan apel yang tidak berubah menjadi coklat. Mereka bahkan dapat mencegah penyebaran wabah menular dan mengembangkan pengobatan untuk penyakit genetik CRISPR adalah alat pengeditan gen tercepat, termudah, dan termurah yang berperan dalam gelombang ilmu pengetahuan terbaru ini. Tapi dari mana asal keajaiban medis ini? Bagaimana cara kerjanya? Dan apa yang dapat dilakukannya?
Surprisingly, CRISPR is actually a natural process that’s long functioned as a bacterial immune system. Originally found defending single-celled bacteria and archaea against invading viruses, naturally occurring CRISPR uses two main components. The first are short snippets of repetitive DNA sequences called “clustered regularly interspaced short palindromic repeats,” or simply, CRISPRs. The second are Cas, or “CRISPR-associated” proteins which chop up DNA like molecular scissors. When a virus invades a bacterium, Cas proteins cut out a segment of the viral DNA to stitch into the bacterium’s CRISPR region, capturing a chemical snapshot of the infection. Those viral codes are then copied into short pieces of RNA. This molecule plays many roles in our cells, but in the case of CRISPR, RNA binds to a special protein called Cas9. The resulting complexes act like scouts, latching onto free-floating genetic material and searching for a match to the virus. If the virus invades again, the scout complex recognizes it immediately, and Cas9 swiftly destroys the viral DNA.
Faktanya, CRISPR sebenarnya adalah proses natural yang sejak dulu berfungsi sebagai sistem imun pada bakteri. Awalnya ditemukan pada bakteri bersel tunggal dan <i>archaea</i> yang terserang virus, CRISPR yang terjadi secara alami menggunakan dua komponen utama. Yang pertama adalah potongan pendek rangkaian DNA yang berulang yang disebut <i>Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats</i>, disingkat CRISPR. Yang kedua adalah <i>Cas</i>, atau protein yang berhubungan dengan CRISPR yang memotong DNA seperti gunting molekul. Ketika virus menyerang bakteri, protein Cas memotong satu segmen DNA virus untuk disambung ke area CRISPR bakteri, seraya mengambil potret kimiawi dari infeksi tersebut. Kode virus tersebut kemudian disalin menjadi potongan-potongan pendek RNA. Molekul-molekul ini berperan banyak dalam sel-sel kita, namun dalam kasus CRISPR, RNA terikat pada protein khusus yang disebut Cas9. Kompleks yang dihasilkan bertindak sebagai pengintai, menempel pada materi genetik yang mengambang bebas dan mencari virus yang sesuai. Jika virus menyerang kembali, kompleks pengintai akan segera mengenalinya, dan Cas9 akan menghancurkan DNA virus dengan cepat.
Lots of bacteria have this type of defense mechanism. But in 2012, scientists figured out how to hijack CRISPR to target not just viral DNA, but any DNA in almost any organism. With the right tools, this viral immune system becomes a precise gene-editing tool, which can alter DNA and change specific genes almost as easily as fixing a typo.
Banyak bakteri memiliki mekanisme pertahanan seperti ini. Tapi pada 2012, ilmuwan menemukan cara memodifikasi CRISPR untuk tidak hanya menargetkan DNA virus, tapi juga DNA pada setiap organisme. Dengan alat yang tepat, sistem imun ini menjadi alat pengedit gen yang tepat, yang dapat mengubah DNA dan mengganti gen spesifik semudah memperbaiki salah ketik.
Here’s how it works in the lab: scientists design a “guide” RNA to match the gene they want to edit, and attach it to Cas9. Like the viral RNA in the CRISPR immune system, the guide RNA directs Cas9 to the target gene, and the protein’s molecular scissors snip the DNA. This is the key to CRISPR’s power: just by injecting Cas9 bound to a short piece of custom guide RNA scientists can edit practically any gene in the genome.
Berikut adalah cara kerjanya di lab: ilmuwan merancang RNA "pemandu", untuk menyesuaikan dengan gen yang ingin diedit, dan menempelkannya pada Cas9. Seperti RNA virus di sistem imun CRISPR, RNA pemandu mengarahkan Cas9 kepada gen sasaran, dan gunting molekul protein memotong DNA. Ini adalah kelebihan dari CRISPR: hanya dengan menyuntik Cas9 ke potongan pendek RNA pemandu ilmuwan dapat mengedit gen apapun pada genom.
Once the DNA is cut, the cell will try to repair it. Typically, proteins called nucleases trim the broken ends and join them back together. But this type of repair process, called nonhomologous end joining, is prone to mistakes and can lead to extra or missing bases. The resulting gene is often unusable and turned off. However, if scientists add a separate sequence of template DNA to their CRISPR cocktail, cellular proteins can perform a different DNA repair process, called homology directed repair. This template DNA is used as a blueprint to guide the rebuilding process, repairing a defective gene or even inserting a completely new one.
Ketika DNA dipotong, sel akan berusaha memperbaikinya. Biasanya, protein yang disebut nukleasi memangkas ujung yang rusak dan menyatukannya kembali. Tapi tipe perbaikan ini, yang disebut <i>nonhomologous end joining</i>, rawan akan kesalahan dan dapat menyebabkan basa nitrogen bertambah atau hilang. Gen yang dihasilkan sering kali tidak dapat digunakan dan dimatikan. Namun, jika para ilmuwan menambahkan rangkaian lain dari cetakan DNA ke racikan CRISPR mereka, protein seluler dapat melakukan proses perbaikan DNA yang berbeda, yang disebut <i>homology directed repair</i>. Rangkaian DNA ini berfungsi sebagai dasar untuk proses pembangunan ulang, memperbaiki gen yang rusak atau bahkan menambahkan gen yang benar-benar baru.
The ability to fix DNA errors means that CRISPR could potentially create new treatments for diseases linked to specific genetic errors, like cystic fibrosis or sickle cell anemia. And since it’s not limited to humans, the applications are almost endless. CRISPR could create plants that yield larger fruit, mosquitoes that can’t transmit malaria, or even reprogram drug-resistant cancer cells. It’s also a powerful tool for studying the genome, allowing scientists to watch what happens when genes are turned off or changed within an organism.
Kemampuan untuk memperbaiki kerusakan DNA menunjukkan bahwa CRISPR dapat menciptakan cara pengobatan baru untuk penyakit genetik khusus seperti fibrosis sistik atau anemia sel sabit. Karena tidak terbatas pada manusia, penerapannya hampir tak ada habisnya. CRISPR dapat menciptakan tanaman dengan buah berukuran lebih besar, nyamuk yang tidak menularkan malaria, atau bahkan memprogram kembali sel kanker yang kebal obat. CRISPR juga alat yang ampuh untuk mempelajari genom, memungkinkan ilmuwan melihat apa yang terjadi ketika gen dimatikan atau diubah dalam suatu organisme.
CRISPR isn’t perfect yet. It doesn’t always make just the intended changes, and since it’s difficult to predict the long-term implications of a CRISPR edit, this technology raises big ethical questions. It’s up to us to decide the best course forward as CRISPR leaves single-celled organisms behind and heads into labs, farms, hospitals, and organisms around the world.
CRISPR belum sempurna. CRISPR tidak selalu membuat perubahan yang diharapkan dan karena sulit memprediksi implikasi jangka panjang dari hasil edit CRISPR, teknologi ini menimbulkan pertanyaan etis besar. Terserah kita untuk memutuskan jalan terbaik selanjutnya saat CRISPR meninggalkan organisme bersel tunggal dan mulai dipakai di laboratorium, peternakan, rumah sakit, dan organisme di seluruh dunia.