I have a death wish.
Saya punya permohonan apabila mati.
Now before you just boo me off the stage for saying such a thing in a pandemic, I'll explain with a little back story, starting with my second grade gym class. This was the longest, most humiliating hour of the week. My PE teacher, Mr. Jensen, was a former drill sergeant, and I always felt like the weakest kid. On my report card, he checked the boxes corresponding to what must have been important for kids' physical development in the '70s. Oh, except the one on leadership qualities, he left that one unchecked. Then he added a note. He said, "Andrea has difficulty kicking balls."
Sebelum Anda mengusir saya dari panggung karena menyinggung itu di masa pandemi, saya akan menceritakan kisah dibaliknya, dimulai dari pelajaran gimnastik saat saya kelas dua. Ini adalah waktu yang terpanjang, dan yang paling menyedihkan sepanjang minggu. Guru olahraga saya, Pak Jensen, adalah mantan pelatih tentara, dan saya selalu merasa seperti anak yang paling lemah. Pada rapor saya, dia menandai kotak yang sesuai dengan hal-hal yang dianggap penting untuk pembentukan fisik anak pada tahun 70-an. Oh, kecuali bagian kualitas kepemimpinan, dia membiarkannya kosong. Kemudian dia menambahkan catatan. Dia berkata, “Andrea mempunyai kesulitan dalam menendang bola.”
(Laughter)
(Tertawa)
My dad, who was always the one to see people's gifts instead of their limits, wrote a letter back to Mr. Jensen. He said, "Andrea may have difficulty kicking balls, but you should see her stand on her head and do cartwheels."
Ayah saya, satu-satunya orang yang melihat potensi dibandingkan keterbatasan, menulis balasan surat kepada Pak Jensen. Dia berkata, “Andrea mungkin mengalami kesulitan menendang bola, tapi Anda harus melihatnya berdiri dengan kepalanya dan jungkir balik.”
(Laughter)
(Tertawa)
As a kid, I was usually the smallest on the playground, never athletic, picked last for, you guessed it, kickball. I took solace in my dad's sincere support. But now, as a business owner, I can see that ball kicking can really come in handy
Ketika masih kecil, saya selalu menjadi yang terkecil di taman bermain, tidak pernah atletis, dipilih paling terakhir, seperti yang Anda duga, saat bermain bola. Dukungan yang tulus dari ayah saya adalah sebuah pelipur lara. Namun sekarang, sebagai pemilik sebuah bisnis, saya bisa melihat bahwa tendangan bola itu dapat benar-benar berguna.
(Laughter)
(Tertawa)
Anyway, in that one simple sentence to a short-sighted gym teacher "but you should see her," my dad showed me that focusing on strengths more than weaknesses feels really good. That there are other ways to look at the world and that it's important to recognize each other's gifts.
Lagipula, dalam satu kalimat sederhana kepada guru gimnastik yang tidak bijaksana “namun Anda harus melihatnya,” ayah saya menunjukkan bahwa fokus pada kekuatan dibandingkan kelemahan terasa sangat menyenangkan. Bahwa ada banyak cara untuk melihat dunia dan penting untuk mengenali potensi satu sama lain.
So with all that great karma my dad had built up around appreciation with me, it only seems right that some praise would ultimately come his way. Long into his fruitful and active retirement, he was featured in a hometown newspaper story. The article described the many ways he contributed to our small Midwestern town. And he sent a copy of that piece to my siblings and me with a short handwritten note. He was always really modest, so he just said, "Well, it's better than having a eulogy read over a casket."
Jadi dengan karma yang bagus itu, ayah saya telah membangun apresiasi terhadap saya, hal ini sepertinya benar karena beberapa doa akan mengiringinya. Selama dirinya menjalani pensiun yang aktif dan berkesan, kisahnya diangkat sebagai berita di koran lokal. Artikelnya menceritakan banyak hal tentang cara dia berkontribusi untuk kota kecil kami di Midwestern. Dia mengirimkan salinan beritanya kepada saya dan saudara yang lainnya dengan sedikit tulisan tangannya. Dia memang selalu berwibawa, jadi dia hanya berkata, “Ini lebih baik dibandingkan dengan eulogi yang dibacakan di depan peti mati.”
My dad died seven years ago at the age of 96, and he was surrounded by family and friends and two hospice workers. He left this world not 20 feet from where he’d come into it. He was born and he died in the same house. I like to think he died as well as he'd lived. On his own terms.
Ayah saya meninggal tujuh tahun lalu di usianya yang ke-96 tahun, dan dia dikelilingi oleh keluarga, kerabat, dan dua petugas <i>hospice</i>. Dia meninggalkan dunia ini hanya sekitar 6 meter dari tempat dia dilahirkan. Dia lahir dan meninggal di rumah yang sama. Saya menganggap dia meninggal seperti halnya ketika dia hidup. Dengan caranya dia sendiri.
I had the honor of giving the eulogy, and ultimately he'd chosen cremation over that "casket." As I looked over at my dad's ashes, I had to smile because, you know, our dad really loved beer. So instead of putting his ashes in a blasé urn, we put them in a big, shiny beer growler.
Saya dapat kehormatan untuk memberikan eulogi, dan akhirnya dia lebih memilih proses kremasi dibandingkan dengan “peti”. Ketika saya melihat abu ayah saya, saya tersenyum karena, Anda tahu, ayah kami sangat suka minum bir. Jadi, daripada menaruh abunya di dalam guci <i>blasé</i>, kami menaruhnya di botol bir yang besar dan berkilau.
(Laughter) So my remarks over the growler were a sincere tribute to a superb human being. Not unusual as far as eulogies go, except for one thing. He'd already heard it. Those many years earlier, after I'd received his note about how having nice things said about you while you're alive beats the alternative, I wrote my dad a letter. And the theme of the letter reflected a common thread that I had noticed in his long life. The theme of building. Our dad had helped to build so many things. Gun emplacements in World War II; a new industrial park; a vibrant hobby as a self-taught and later acclaimed woodcarver; confidence in others; a many-decades-long marriage; a family, a home. And he had the chance to read it all long before he died.
(Tertawa) Jadi tulisan di sekitar botol bir itu adalah penghormatan terakhir kepada manusia yang luar biasa. Tidak terlalu berbeda seperti kebanyakan eulogi lainnya, kecuali untuk satu hal. Dia telah mendengarnya. Beberapa tahun sebelumnya, setelah saya menerima catatannya tentang bagaimana mendapat ucapan yang baik tentang diri Anda ketika masih hidup mengalahkan alternatifnya, saya menulis surat kepada ayah. Tema suratnya menggambarkan pola serupa yang saya sadari sepanjang hidupnya. Tema tentang pembangunan. Ayah kami membantu dalam membangun banyak hal. Penempatan senjata pada Perang Dunia II; taman industrial baru; hobi unik sebagai pengajar otodidak dan terakhir sebagai pengukir kayu; percaya diri dalam hal-hal lain; pernikahan panjang selama berpuluh tahun; sebuah keluarga, sebuah rumah. Dia berkesempatan untuk membaca semuanya jauh sebelum dia meninggal.
So that had me asking, why are eulogies only for dead people? Why do we wait so long to recognize each other's gifts? Why are the truest compliments and the sincerest sentiments said about people we love when they can't hear and savor and relish them? And how do we honor all those around us who are very much alive?
Hal itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa pujian-pujian itu hanya untuk orang yang meninggal? Mengapa kita menunggu terlalu lama untuk menyadari anugerah satu sama lain? Mengapa pujian yang paling tulus dan sentimen yang paling jujur untuk orang yang kita sayangi diucapkan ketika mereka tidak dapat mendengar dan menikmatinya? Dan bagaimana kita menghormati semua orang di sekitar kita yang masih hidup?
So what if we turn regret on its head and take all that love and conscientiousness that we habitually express after people die and do it while they're still here? Because doing that eases the pain of death and regret for both the dying and the living. So I set out on an intentional quest to bear witness to people who are dying. As a hospice volunteer, I'm learning that those who are dying, they want to know that they're loved. That they've loved well. They feel regret for all sorts of things. For things they didn't do and words they didn't say. Deep down, they want to know that their lives have mattered. They feel really mortal. Because they are. As am I. As are you.
Bagaimana jika kita alihkan penyesalan yang ada, dan membawa semua rasa cinta dan tanggung jawab yang kita sering tunjukkan setelah kematian seseorang dan melakukannya ketika mereka masih hidup? Karena hal itu mengurangi rasa sakit akibat kematian dan penyesalan baik untuk orang yang meninggal dan yang hidup. Saya bertekad untuk menyaksikan orang-orang yang sekarat. Sebagai relawan <i>hospice</i>, saya belajar bahwa mereka yang sekarat, mereka ingin tahu apakah mereka dicintai. Bahwa mereka dicintai dengan baik. Mereka menyesal untuk beberapa hal. Untuk hal yang tidak mereka lakukan, dan kalimat yang tidak mereka ucapkan. Jauh di lubuk hatinya, mereka ingin tahu bahwa hidup mereka itu berarti. Mereka merasa sangat rentan. Karena begitulah mereka. Begitu juga saya. Maupun Anda.
So when we learn a loved one may be dying, we face a pivotal choice. We can choose to say nothing and hope that our words will sufficiently honor the person who's no longer here with us. Or we can step up and express our love and appreciation while they're still here. And we can honor all those around us who are very much alive. I call this intentional honoring of others “Gracenotes”. And whether they’re written or spoken, they're this means of freely and openly acknowledging someone's presence and gifts. I know in my bones that these sentiments lessen the pain of grief and increase its grace. Like a musical grace note, they're that extra embellishment that makes something beautiful even better. With Gracenotes, we let our family, our friends, our kids, even our colleagues know not just that they matter but how they matter. And these notes also help us to overcome the illusion, the illusion that there'll always be more time to let others know how they're impacting the world.
Ketika kita belajar bahwa orang yang dicintai sekarat, kita menghadapi pilihan yang sulit. Kita dapat memilih untuk diam dan berharap ucapan kita akan langsung menghormati orang tersebut ketika orang tersebut telah tiada. Atau kita bisa bangkit dan menunjukkan penghargaan dan cinta kita ketika mereka masih bersama kita. Kita bisa menghormati semua hal di sekitar kita yang masih hidup. Saya menyebut penghormatan yang diniatkan ini sebagai “Gracenotes”. Baik tertulis ataupun diucapkan, mereka adalah suatu usaha untuk secara terbuka mengakui keberadaan dan anugerah seseorang. Saya tahu persis bahwa kepekaan ini mengurangi rasa sakit dari duka dan meningkatkan rasa syukur. Seperti alunan musik yang khidmat, mereka adalah perhiasan tambahan yang membuat sesuatu jauh lebih indah. Melalui Gracenotes, kami ingin keluarga, teman-teman kita, anak-anak kita, bahkan rekan kita mengetahui, tidak hanya bahwa mereka berarti namun bagaimana mereka berarti. Dan catatan ini juga menolong kita untuk mengatasi ilusi, yaitu ilusi bahwa akan selalu ada waktu lebih untuk orang lain tahu bagaimana peran mereka di dunia.
So what do you think keeps us from "gracing" each other this way? Lack of time? Fear of feeling awkward? Unresolved anger? Maybe a lack of forgiveness.
Menurut Anda, apa yang menghalangi kita untuk “saling memberkati” seperti ini? Kurangnya waktu? Takut merasa canggung? Kemarahan yang tidak terselesaikan? Atau mungkin kurangnya memaafkan.
With that in mind, I'll tell you a bit about my friend Sandy. For much of her life, she had this complicated relationship with her mom. She was holding on to decades of resentment. Some of it was tied up in her mom's alcoholism. But now her mom was dying of cancer. And as heart-wrenching as it was to admit, she said sometimes she wanted her to die. Sandy and I happened to go for a walk not long after my dad passed, and I said I felt this sense of freedom and a lack of regret, and I thought it had to be because I gave him that note before he died. So Sandy decided to write her mom a note, and she included an honoring set of memories about what she did love about her mom.
Saya ingin bercerita sedikit tentang teman saya, Sandy. Sepanjang hidupnya, dia mempunyai hubungan yang rumit dengan ibunya. Dia menahan dendam selama puluhan tahun. Beberapa di antaranya terkait dengan kecanduan alkohol ibunya. Sekarang ibunya sedang sekarat karena kanker. Secara menyayat hati untuk diakuinya, dia cerita bahwa terkadang dia ingin ibunya mati. Sandy dan saya pergi berdua tidak lama setelah ayah saya meninggal, dan saya berkata bahwa saya merasakan perasaan bebas dan tidak terlalu menyesal, dan saya berpikir begitu karena dia menerima catatan saya sebelum dia meninggal. Sandy memutuskan untuk menuliskannya kepada ibunya, termasuk serangkaian kenangan untuk menghormatinya tentang apa yang dicintainya dari ibunya.
She called me later, she said, "You know what? It was like magic. I started liking my mom. I forgave her. I felt compassion for her. My heart got softer."
Dia menghubungi saya dan berkata, “Kamu tahu? Ini seperti sihir. Aku mulai menyukai ibuku. Aku memaafkannya. Aku menyayanginya. Hatiku melunak.”
Here's the thing. When we're writing a Gracenote, you're not trying to get published in a poetry anthology. You don't have to sound like Shakespeare. My guess is you're probably not trying to get a job at Hallmark. Just want to sound like you. You just need to be willing to try. You're aiming for truth, authenticity, love. What I've learned over and over is that the pain of regret is always greater than the challenge of writing a Gracenote. A moment of grace can be that simple and that profound. It's an experience that forever touches the dying and those who are left behind.
Inilah intinya. Ketika kita menulis Gracenote, bukan untuk Anda terbitkan di buku antologi puisi. Anda tidak perlu terdengar seperti Shakespeare. Tebakan saya, Anda mungkin tidak ingin bekerja di Hallmark. Itu hanya perlu terdengar seperti diri Anda. Anda hanya perlu keinginan untuk mencoba. Anda menginginkan kebenaran, kemurnian, cinta. Apa yang saya pelajari terus-menerus adalah rasa sakit karena penyesalan selalu lebih besar daripada tantangan menuliskan Gracenote. Momen berharga itu dapat jadi sangat mudah dan besar. Itu adalah sebuah pengalaman yang selamanya menyentuh orang yang tiada dan mereka yang ditinggalkan.
So what now? You might be sitting there thinking what you'd say or how to get started. Business groups and long-term care groups that I speak to use what I like to call the Mad Libs approach. Maybe you played Mad Libs in middle school. Maybe you still play Mad Libs. It’s that fun, fill-in-the-blank word game. So with a little bit of Mad Libs style, we get this easy-to-use Gracenotes road map.
Lalu, sekarang apa? Anda mungkin berpikir hal apa yang akan Anda katakan atau bagaimana memulainya. Kelompok bisnis dan layanan sosial yang saya ajak bicara menggunakan apa yang saya sebut dengan pendekatan <i>Mad Libs</i>. Mungkin Anda memainkan <i>Mad Libs</i> di bangku SMP. Mungkin Anda masih memainkan <i>Mad Libs</i>. Sangat menyenangkan, permainan isilah-kata-yang-kosong. Jadi dengan memakai sedikit gaya Mad Libs, kita mudah untuk menggunakan peta jalan Gracenotes.
"You are the only person I know who ..."
“Kamu adalah satu-satunya orang yang aku tahu ...”
"I always laugh when I think about ..."
“Aku selalu tertawa ketika memikirkan tentang ...”
"You will leave a legacy around ..."
“Kamu akan meninggalkan warisan seperti..”
Bottom line, you can't do this wrong. It's impossible. And if writing’s not your thing, what if you made a video? A drawing? Maybe you're really good at PowerPoint decks. Could you write a grace sentence? The medium doesn't matter. What matters is the doing.
Intinya, Anda tidak akan salah. Itu tidak mungkin. Dan jika menulis bukanlah kesenangan Anda, bagaimana kalau Anda membuat video? Atau gambar? Mungkin Anda sangat ahli dalam membuat Power Point. Dapatkah Anda menuliskan kalimat pujian? Tidak masalah dengan media apa. Hal yang terpenting adalah melakukannya.
What I've learned in this journey of my own and in talking to others about their losses, is that Gracenotes create the sense of completeness, contentedness and calm. I vividly recall the last night my dad was alive. By then he was unconscious, and everyone else had gone to bed. I sat with him with my hand softly on his. And on this unrepeatable night, I didn't have to worry about trying to find the words to tell him all that he'd meant to me and only hope that he could hear what I said. Instead, I could be present to his dying. I could affirm that if this was his time to move on, that was OK. I could love him with presence and with touch, knowing full well that my Gracenote those many years earlier had been a sincere and thorough rendering of his life well lived.
Apa yang saya pelajari dari perjalanan hidup saya dan berbagi kehilangan dengan orang lain, adalah bahwa Gracenotes menciptakan perasaan yang lengkap, perasaan terpenuhi dan tenang. Tadi malam, saya dengan jelas merasa ayah saya masih hidup. Ketika dia tidak sadarkan diri, dan yang lainnya sudah tidur. Saya duduk dengannya, menaruh tangan saya di atas tangannya. Di malam yang tidak dapat terulang ini, saya tidak perlu khawatir untuk mencoba mencari-cari kalimat untuk memberitahu arti dirinya bagi saya dan hanya berharap dia mendengar apa yang saya katakan. Atau, saya bisa benar-benar hadir di sampingnya ketika dia sekarat. Saya bisa meyakinkannya bahwa jika ini waktunya dia untuk pergi, itu baik-baik saja. Saya bisa mencintainya dengan keberadaan dan sentuhan, mengetahui benar bahwa Gracenote saya beberapa tahun sebelumnya itu tulus dan mengartikan bahwa dia telah hidup dengan baik.
Ever since, I've felt very little regret. And I know it's because I shared my full heart with him before it was too late.
Sejak saat itu, saya tidak terlalu menyesal. Dan saya tahu bahwa itu karena saya berbagi dengannya sepenuh hati sebelum semuanya terlambat.
So I hope, I deeply hope, that you don't know anyone who's actively dying. But given the times we're in, that may well not be the case. No matter what, I encourage you to just look around. People everywhere are dying to be seen and heard, to know how they matter. They're dying to get your Gracenote.
Jadi saya berharap, sangat berharap, bahwa Anda tidak menyaksikan siapa pun yang sedang sekarat. Namun mengingat situasi kita saat ini, hal itu mungkin tidak akan terjadi. Bagaimanapun, saya meminta Anda untuk melihat sekeliling. Orang-orang berusaha keras untuk dapat terlihat dan didengar, untuk mengetahui bahwa mereka berarti. Mereka mati-matian untuk mendapat Gracenote Anda.
So that is my death wish. That you see how your note, no matter what form it takes, is like an oasis in a desert of people who are thirsty to know they're making a difference. Like my dad said, it's better than having a eulogy read over a casket.
Itulah permohonan saya sebelum meninggal. Bahwa Anda melihat catatan Anda, bagaimanapun bentuknya, seperti halnya sebuah oase di tengah padang pasir manusia yang haus akan keingintahuan apakah mereka membuat sebuah perbedaan. Seperti yang ayah saya bilang, ini lebih baik dibandingkan eulogi yang dibacakan di depan peti mati.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)