So this right here is the tiny village of Elle, close to Lista. It's right at the southernmost tip of Norway. And on January 2 this year, an elderly guy who lives in the village, he went out to see what was cast ashore during a recent storm. And on a patch of grass right next to the water's edge, he found a wetsuit. It was grey and black, and he thought it looked cheap. Out of each leg of the wetsuit there were sticking two white bones. It was clearly the remains of a human being.
Yang ditunjukkan di sini adalah desa kecil bernama Elle, berdekatan dengan Lista. Letaknya di ujung selatan Norwegia. Pada tanggal 2 Januari tahun ini, seorang pria tua yang tinggal di desa, melihat keluar untuk melihat apa yang terdampar akibat badai yang baru terjadi. Dan di sepetak rumput di tepian air, ia menemukan baju selam. Warnanya abu-abu dan hitam, dan kelihatannya murah. Dari kaki baju selam itu, dua tulang putih menjulur keluar. Sangat jelas itu sisa jenazah manusia.
And usually, in Norway, dead people are identified quickly. So the police started searching through missing reports from the local area, national missing reports, and looked for accidents with a possible connection. They found nothing. So they ran a DNA profile, and they started searching internationally through Interpol. Nothing. This was a person that nobody seemed to be missing. It was an invisible life heading for a nameless grave. But then, after a month, the police in Norway got a message from the police in the Netherlands. A couple of months earlier, they had found a body, in an identical wetsuit, and they had no idea who this person was. But the police in the Netherlands managed to trace the wetsuit by an RFID chip that was sewn in the suit. So they were then able to tell that both wetsuits were bought by the same customer at the same time, October 7, 2014, in the French city of Calais by the English Channel. But this was all they were able to figure out. The customer paid cash. There was no surveillance footage from the shop. So it became a cold case.
Biasanya, di Norwegia, jenazah manusia diidentifikasi dengan cepat. Jadi polisi mulai mencari melalui laporan orang hilang secara lokal dan nasional, dan mencari kecelakaan yang mungkin berhubungan. Mereka tidak menemukan apapun. Jadi mereka melakukan tes DNA, dan mereka mulai mencari secara internasional lewat Interpol. Tak ada apa pun. Ini adalah seseorang yang sepertinya tidak dirindukan siapa pun. Hidupnya tak terlihat, dan ia menuju ke kuburan tanpa nama. Tetapi setelah sebulan berlalu, kepolisian Norwegia mendapat pesan dari kepolisian Belanda. Beberapa bulan sebelumnya, mereka menemukan jenazah dalam baju selam yang persis sama, dan mereka tidak tahu identitasnya. Tapi kepolisian Belanda berhasil melacak baju selam itu menggunakan chip RFID yang dijahit ke baju itu. Mereka lalu bisa tahu bahwa kedua baju selam itu dibeli oleh orang yang sama pada saat yang sama, pada 7 Oktober 2014, di kota Calais di Perancis, dekat Selat Inggris. Tapi hanya inilah informasi yang mereka dapatkan. Pembelinya membayar tunai. Tidak ada rekaman CCTV di toko. Maka mereka berhenti menyelidikinya.
We heard this story, and it triggered me and my colleague, photographer Tomm Christiansen, and we of course had the obvious question: who were these people? At the time, I'd barely heard about Calais, but it took about two or three seconds to figure out Calais is basically known for two things. It's the spot in continental Europe closest to Britain, and a lot of migrants and refugees are staying in this camp and are trying desperately to cross over to Britain. And right there was a plausible theory about the identity of the two people, and the police made this theory as well. Because if you or I or anybody else with a firm connection to Europe goes missing off the coast of France, people would just know. Your friends or family would report you missing, the police would come search for you, the media would know, and there would be pictures of you on lampposts. It's difficult to disappear without a trace. But if you just fled the war in Syria, and your family, if you have any family left, don't necessarily know where you are, and you're staying here illegally amongst thousands of others who come and go every day. Well, if you disappear one day, nobody will notice. The police won't come search for you because nobody knows you're gone.
Kami mendengar kisah ini, yang menarik minat saya dan rekan saya, juru foto Tomm Christiansen, dan kami punya pertanyaan yang jelas: siapakah mereka? Saat itu, saya tidak pernah dengar tentang Calais, tapi cuma butuh dua atau tiga detik untuk tahu bahwa Calais pada dasarnya terkenal untuk dua hal. Itu adalah lokasi terdekat dengan Inggris dari daratan Eropa, dan banyak migran dan pengungsi tinggal di perkemahan ini dan berusaha mati-matian untuk menyeberang ke Inggris. Dan dari sana, ada teori yang sangat mungkin tentang identitas dua orang ini, dan polisi juga menyimpulkan demikian. Karena jika Anda atau saya atau siapapun dengan hubungan jelas ke Eropa hilang dari pesisir Perancis, orang-orang pasti tahu. Teman dan keluarga Anda akan melaporkan Anda hilang, para polisi akan mencari Anda, media akan tahu, dan mungkin gambar Anda akan dipasang di tiang-tiang lampu. Susah untuk hilang tanpa jejak. Tapi jika Anda lari dari perang di Suriah, dan keluarga Anda, jika masih ada, tidak tahu di mana Anda, dan Anda tinggal di sini secara ilegal di antara ribuan lainnya yang datang dan pergi setiap hari. Jika Anda suatu hari hilang, tidak akan ada yang memperhatikan. Polisi tidak akan mencari Anda karena tidak ada yang tahu Anda hilang.
And this is what happened to Shadi Omar Kataf and Mouaz Al Balkhi from Syria.
Dan inilah yang terjadi pada Shadi Omar Kataf dan Mouaz Al Balkhi dari Suriah.
Me and Tomm went to Calais for the first time in April this year, and after three months of investigation, we were able to tell the story about how these two young men fled the war in Syria, ended up stuck in Calais, bought wetsuits and drowned in what seems to have been an attempt to swim across the English Channel in order to reach England. It is a story about the fact that everybody has a name, everybody has a story, everybody is someone. But it is also a story about what it's like to be a refugee in Europe today.
Saya dan Tomm ke Calais untuk pertama kalinya April tahun ini, dan setelah tiga bulan penyelidikan, kami bisa menceritakan bagaimana 2 pria muda ini melarikan diri dari perang di Suriah, lalu tertahan di Calais, membeli baju selam dan tenggelam ketika sepertinya mencoba berenang menyeberangi Selat Inggris untuk mencapai Inggris. Ini adalah cerita tentang fakta bahwa setiap orang memiliki nama, setiap orang punya cerita, setiap orang adalah seseorang. Ini juga cerita tentang bagaimana rasanya menjadi pengungsi di Eropa saat ini.
So this is where we started our search. This is in Calais. Right now, between 3,500 and 5,000 people are living here under horrible conditions. It has been dubbed the worst refugee camp in Europe. Limited access to food, limited access to water, limited access to health care. Disease and infections are widespread. And they're all stuck here because they're trying to get to England in order to claim asylum. And they do that by hiding in the back of trucks headed for the ferry, or the Eurotunnel, or they sneak inside the tunnel terminal at night to try to hide on the trains.
Kami memulai pencarian kami di sini. Ini di Calais. Sekarang, antara 3.500 dan 5.000 orang tinggal di sini dalam kondisi yang buruk. Calais dijuluki sebagai penampungan pengungsi terburuk di Eropa. akses makanan yang terbatas, akses air yang terbatas, dan layanan kesehatan yang terbatas. Penyakit dan infeksi di mana-mana. Dan mereka terjebak di sini karena mereka berusaha pergi ke Inggris untuk meminta suaka. Mereka melakukannya dengan sembunyi di belakang truk yang menuju ke feri, atau Eurotunnel, atau menyelinap ke terminal terowongan di malam hari untuk mencoba sembunyi di kereta.
Most want to go to Britain because they know the language, and so they figure it would be easier to restart their lives from there. They want to work, they want to study, they want to be able to continue their lives. A lot of these people are highly educated and skilled workers. If you go to Calais and talk to refugees, you'll meet lawyers, politicians, engineers, graphic designers, farmers, soldiers. You've got the whole spectrum. But who all of these people are usually gets lost in the way we talk about refugees and migrants, because we usually do that in statistics.
Kebanyakan ingin ke Inggris karena mengerti bahasanya, jadi mereka pikir akan lebih gampang memulai ulang hidup mereka di sana. Mereka ingin bekerja, ingin belajar, mereka ingin bisa melanjutkan hidup mereka. Banyak dari mereka yang berpendidikan tinggi dan terampil. Jika Anda bicara dengan mereka, Anda akan bertemu pengacara, politikus insinyur, perancang grafis, petani, tentara. Mereka dari beragam profesi. Tapi identitas orang-orang ini seringnya lenyap ketika kita bicara tentang pengungsi dan migran, karena kita biasanya berbicara tentang statistik.
So you have 60 million refugees globally. About half a million have made the crossing over the Mediterranean into Europe so far this year, and roughly 4,000 are staying in Calais. But these are numbers, and the numbers don't say anything about who these people are, where they came from, or why they're here.
Jadi ada 60 juta pengungsi di dunia. Sekitar setengah juta menyeberangi Laut Mediterania ke Eropa hingga tahun ini, dan kurang lebih 4.000 tinggal di Calais. Tapi ini adalah angka, dan angka tidak menceritakan apa-apa tentang siapa orang-orang ini, dari mana mereka, atau kenapa mereka di sini.
And first, I want to tell you about one of them. This is 22-year-old Mouaz Al Balkhi from Syria. We first heard about him after being in Calais the first time looking for answers to the theory of the two dead bodies. And after a while, we heard this story about a Syrian man who was living in Bradford in England, and had been desperately searching for his nephew Mouaz for months. And it turned out the last time anybody had heard anything from Mouaz was October 7, 2014. That was the same date the wetsuits were bought. So we flew over there and we met the uncle and we did DNA samples of him, and later on got additional DNA samples from Mouaz's closest relative who now lives in Jordan. The analysis concluded the body who was found in a wetsuit on a beach in the Netherlands was actually Mouaz Al Balkhi. And while we were doing all this investigation, we got to know Mouaz's story. He was born in the Syrian capital of Damascus in 1991. He was raised in a middle class family, and his father in the middle there is a chemical engineer who spent 11 years in prison for belonging to the political opposition in Syria. While his father was in prison, Mouaz took responsibility and he cared for his three sisters. They said he was that kind of guy. Mouaz studied to become an electrical engineer at the University of Damascus.
Saya ingin bercerita tentang salah satu dari mereka. Ini adalah Mouaz Al Balkhi, usia 22 tahun, dari Suriah. Kami pertama mendengar tentangnya setelah pertama kali pergi ke Calais, mencari jawaban atas dua jenazah itu. Setelah beberapa waktu, kami mendengar cerita tentang pria Suriah yang tinggal di Bradford di Inggris, yang sudah mati-matian mencari keponakannya Mouaz selama berbulan-bulan. Dan ternyata kabar terakhir dari Mouaz diterima tanggal 7 Oktober 2014. Pada hari yang sama baju selam itu dibeli. Kami pergi ke sana dan bertemu dengan pamannya dan kami mengambil sampel DNA darinya, dan belakangan mendapat sampel tambahan dari keluarga dekat Mouaz yang sekarang tinggal di Yordania. Analisa menyimpulkan bahwa jenazah yang ditemukan dalam baju selam di pantai Belanda sebenarnya adalah Mouaz Al Balkhi. Dan ketika kami melakukan investigasi ini, kami jadi tahu tentang kisah Mouaz. Ia lahir di ibu kota Suriah, Damaskus, tahun 1991. Dibesarkan di keluarga kelas menengah, dan ayahnya yang di tengah adalah insinyur kimia yang menghabiskan 11 tahun di penjara karena termasuk oposisi politik di Suriah. Ketika ayahnya di penjara, Mouaz bertanggung jawab untuk menjaga ketiga saudara perempuannya. Mereka bilang dia seperti itu orangnya. Mouaz belajar untuk menjadi insinyur listrik di Universitas Damaskus.
So a couple of years into the Syrian war, the family fled Damascus and went to the neighboring country, Jordan. Their father had problems finding work in Jordan, and Mouaz could not continue his studies, so he figured, "OK, the best thing I can do to help my family would be to go somewhere where I can finish my studies and find work." So he goes to Turkey.
Beberapa tahun setelah perang mulai, keluarganya kabur dari Damaskus dan pergi ke negara tetangga, Yordania. Ayah mereka susah mencari kerja di Yordania, dan Mouaz tidak bisa melanjutkan kuliah, jadi ia pikir,"hal terbaik yang saya bisa lakukan untuk keluarga adalah pergi ke tempat dimana saya bisa menyelesaikan kuliah dan cari kerja." Jadi ia pergi ke Turki.
In Turkey, he's not accepted at a university, and once he had left Jordan as a refugee, he was not allowed to reenter. So then he decides to head for the UK, where his uncle lives. He makes it into Algeria, walks into Libya, pays a people smuggler to help him with the crossing into Italy by boat, and from there on he heads to Dunkirk, the city right next to Calais by the English Channel. We know he made at least 12 failed attempts to cross the English Channel by hiding in a truck. But at some point, he must have given up all hope. The last night we know he was alive, he spent at a cheap hotel close to the train station in Dunkirk. We found his name in the records, and he seems to have stayed there alone. The day after, he went into Calais, entered a sports shop a couple of minutes before 8 o'clock in the evening, along with Shadi Kataf. They both bought wetsuits, and the woman in the shop was the last person we know of to have seen them alive. We have tried to figure out where Shadi met Mouaz, but we weren't able to do that. But they do have a similar story. We first heard about Shadi after a cousin of his, living in Germany, had read an Arabic translation of the story made of Mouaz on Facebook. So we got in touch with him. Shadi, a couple of years older than Mouaz, was also raised in Damascus. He was a working kind of guy. He ran a tire repair shop and later worked in a printing company. He lived with his extended family, but their house got bombed early in the war. So the family fled to an area of Damascus known as Camp Yarmouk.
Di Turki, dia tidak diterima di universitas, dan setelah pergi dari Yordania sebagai pengungsi, dia tidak boleh masuk lagi. Jadi ia memutuskan untuk pergi ke Inggris, tempat tinggal pamannya. Ia berhasil ke Algeria, berjalan masuk Libya, membayar penyelundup untuk membantunya menyeberang ke Itali dengan kapal, dan dari situ ia menuju ke Dunkirk, kota di sebelah Calais di Selat Inggris. Kami tahu dia mencoba minimal 12 kali untuk menyeberangi Selat Inggris dengan sembunyi di truk. Tapi pada suatu waktu, dia sepertinya putus asa. Malam terakhir yang kami tahu dia masih hidup, dihabiskannya di hotel murah dekat stasiun kereta di Dunkirk. Kami menemukan namanya di buku tamu, dan sepertinya dia di sana sendirian. Sehari setelahnya, dia pergi ke Calais, masuk ke toko olahraga beberapa menit sebelum jam 8 malam, bersamaan dengan Shadi Kataf. Mereka berdua membeli baju selam, dan wanita di toko itu setahu kami adalah orang terakhir yang melihat mereka hidup-hidup. Kami sudah mencoba mencari tahu dimana Shadi bertemu Mouaz, tapi kami tidak berhasil. Tapi cerita mereka serupa. Kami pertama mendengar tentang Shadi setelah sepupunya yang tinggal di Jerman membaca kisah Mouaz di Facebook, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Jadi kami menghubunginya. Shadi, beberapa tahun lebih tua dari Mouaz, juga dibesarkan di Damaskus. Ia pria yang senang bekerja. Ia memiliki bengkel ban dan belakangan bekerja di perusahaan percetakan. Ia tinggal dengan keluarga besar, tapi rumah mereka terkena bom pada awal perang. Mereka sekeluarga kabur ke area Perkemahan Yarmouk di Damaskus.
Yarmouk is being described as the worst place to live on planet Earth. They've been bombed by the military, they've been besieged, they've been stormed by ISIS and they've been cut off from supplies for years. There was a UN official who visited last year, and he said, "They ate all the grass so there was no grass left." Out of a population of 150,000, only 18,000 are believed to still be left in Yarmouk. Shadi and his sisters got out. The parents are still stuck inside.
Yarmouk digambarkan sebagai tempat terparah untuk ditinggali di muka bumi ini. Mereka pernah dibom oleh militer, mereka pernah dikepung, mereka pernah diserbu ISIS dan tidak ada akses persediaan selama bertahun-tahun. Ada petugas PBB yang berkunjung tahun lalu dan ia bilang,"Mereka sudah makan semua rumput di sana, jadi tanahnya gundul." Dari populasi 150.000 orang, diperkirakan hanya 18.000 yang masih tinggal di Yarmouk. Shadi dan saudaranya berhasil keluar. Orang tuanya masih ada di Yarmouk.
So Shadi and one of his sisters, they fled to Libya. This was after the fall of Gaddafi, but before Libya turned into full-blown civil war. And in this last remaining sort of stability in Libya, Shadi took up scuba diving, and he seemed to spend most of his time underwater. He fell completely in love with the ocean, so when he finally decided that he could no longer be in Libya, late August 2014, he hoped to find work as a diver when he reached Italy. Reality was not that easy. We don't know much about his travels because he had a hard time communicating with his family, but we do know that he struggled. And by the end of September, he was living on the streets somewhere in France. On October 7, he calls his cousin in Belgium, and explains his situation. He said, "I'm in Calais. I need you to come get my backpack and my laptop. I can't afford to pay the people smugglers to help me with the crossing to Britain, but I will go buy a wetsuit and I will swim." His cousin, of course, tried to warn him not to, but Shadi's battery on the phone went flat, and his phone was never switched on again. What was left of Shadi was found nearly three months later, 800 kilometers away in a wetsuit on a beach in Norway. He's still waiting for his funeral in Norway, and none of his family will be able to attend.
Jadi Shadi bersama salah satu saudaranya, kabur ke Libya. Ini setelah jatuhnya Gaddafi, tapi sebelum perang sipil besar pecah di Libya. Dan di saat-saat akhir Libya masih cukup stabil, Shadi belajar scuba diving, dan menghabiskan banyak waktu di laut. Dia jatuh cinta dengan lautan, jadi ketika dia memutuskan untuk meninggalkan Libya di akhir Agustus 2014, ia berharap bisa bekerja sebagai penyelam ketika sampai Itali. Kenyataan tidak semudah itu. Kami tidak tahu banyak tentang perjalanannya karena ia kesulitan berkomunikasi dengan keluarganya, tapi kami tahu ia mengalami kesulitan. Dan pada akhir September, dia tinggal di jalanan di Perancis. Tanggal 7 Oktober, dia menelepon sepupunya di Belgia, dan menjelaskan situasinya. Ia bilang,"Saya di Calais. Saya butuh kamu datang untuk mengambil tas & laptop saya. Saya tidak mampu membayar penyelundup untuk membantu saya ke Inggris, tapi saya akan membeli baju selam dan berenang." Tentu saja, sepupunya mencoba memperingatkannya untuk mengurungkan niat tapi baterai ponsel Shadi habis, dan ponselnya tidak pernah nyala lagi. Apa yang tersisa dari Shadi ditemukan hampir tiga bulan kemudian, 800 kilometer jauhnya dalam baju selam di pantai Norwegia. Ia masih menunggu pemakamannya di Norwegia, dan keluarganya tidak akan bisa hadir.
Many may think that the story about Shadi and Mouaz is a story about death, but I don't agree. To me, this is a story about two questions that I think we all share: what is a better life, and what am I willing to do to achieve it? And to me, and probably a lot of you, a better life would mean being able to do more of what we think of as meaningful, whether that be spending more time with your family and friends, travel to an exotic place, or just getting money to buy that cool new device or a pair of new sneakers. And this is all within our reach pretty easily.
Banyak yang mungkin berpikir cerita Shadi dan Mouaz adalah cerita tentang kematian, tapi saya tidak setuju. Bagi saya, ini cerita tentang 2 pertanyaan yang menurut saya kita semua pikirkan: apakah definisi kehidupan yang lebih baik, dan apa yang saya rela lakukan untuk mencapainya? Dan untuk saya, dan mungkin kebanyakan Anda, hidup yang lebih baik berarti bisa melakukan lebih banyak hal yang berarti bagi kita, apakah itu menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman, bepergian ke tempat eksotis, atau mendapat uang untuk beli alat baru yang keren atau sepasang sepatu baru. Dan ini semua dapat kita raih dengan mudah.
But if you are fleeing a war zone, the answers to those two questions are dramatically different. A better life is a life in safety. It's a life in dignity. A better life means not having your house bombed, not fearing being kidnapped. It means being able to send your children to school, go to university, or just find work to be able to provide for yourself and the ones you love. A better life would be a future of some possibilities compared to nearly none, and that's a strong motivation. And I have no trouble imagining that after spending weeks or even months as a second-grade citizen, living on the streets or in a horrible makeshift camp with a stupid, racist name like "The Jungle," most of us would be willing to do just about anything. If I could ask Shadi and Mouaz the second they stepped into the freezing waters of the English Channel, they would probably say, "This is worth the risk," because they could no longer see any other option. And that's desperation, but that's the reality of living as a refugee in Western Europe in 2015.
Tapi jika Anda kabur dari zona perang, jawaban kedua pertanyaan itu sangat berbeda. Hidup yang lebih baik adalah hidup aman. Itu adalah kehidupan bermartabat. Hidup yang lebih baik berarti rumah Anda tidak dibom, tidak takut akan diculik. Itu berarti bisa mengirim anak Anda ke sekolah, kuliah, atau cari kerja untuk menafkahi diri Anda dan orang-orang yang Anda cintai. Hidup yang lebih baik berarti masa depan dengan beberapa kemungkinan alih-alih tiada harapan dan kemungkinan, dan itu motivasi yang kuat. Dan saya bisa dengan mudah membayangkan setelah menghabiskan beberapa minggu atau bahkan bulan sebagai warga kelas dua, tinggal di jalanan atau kemah darurat yang mengerikan dengan nama rasis dan bodoh seperti "The Jungle" (Hutan), kebanyakan kita akan bersedia melakukan apapun. Andai saya bisa tanya Shadi dan Mouaz tepat ketika mereka melangkahkan kaki di air beku Selat Inggris, mereka mungkin berkata, "Ini sepadan dengan resikonya," karena mereka tidak lagi bisa melihat pilihan lain. Dan itulah perasaan putus asa, tapi itulah kenyataan kehidupan pengungsi di Eropa Barat tahun 2015.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Bruno Giussani: Thank you, Anders. This is Tomm Christiansen, who took most of the pictures you have seen and they've done reporting together. Tomm, you two have been back to Calais recently. This was the third trip. It was after the publication of the article. What has changed? What have you seen there?
Bruno Giussani: Terima kasih, Anders. Ini Tomm Christiansen, yang memotret sebagian besar gambar yang Anda lihat dan mereka meliput laporan ini bersama-sama. Tomm, kalian kembali lagi ke Calais baru-baru ini. Ini perjalanan ketiga kalian. Ini setelah publikasi artikel itu. Apa ada yang berubah? Apa yang Anda lihat?
Tomm Christiansen: The first time we were in Calais, it was about 1,500 refugees there. They had a difficult time, but they were positive, they had hope. The last time, the camp has grown, maybe four or five thousand people. It seemed more permanent, NGOs have arrived, a small school has opened. But the thing is that the refugees have stayed for a longer time, and the French government has managed to seal off the borders better, so now The Jungle is growing, along with the despair and hopelessness among the refugees.
Tomm Christiansen: Pertama kali kami di Calais, ada sekitar 1.500 pengungsi di sana. Mereka mengalami kesulitan, tapi mereka positif, punya harapan. Terakhir kami di sana, perkemahannya makin besar, mungkin ada 4-5 ribu orang. Terlihat lebih permanen, sudah ada LSM, ada sekolah kecil yang dibuka. Para pengungsi telah menetap di sana untuk waktu lebih lama, dan pemerintah Perancis berhasil menutup perbatasan dengan lebih baik, jadi The Jungle berkembang, bersamaan dengan keputus-asaan para pengungsi.
BG: Are you planning to go back? And continue the reporting?
BG: Apa Anda berencana kembali? Dan meneruskan laporan ini?
TC: Yes.
TC: Iya.
BG: Anders, I'm a former journalist, and to me, it's amazing that in the current climate of slashing budgets and publishers in crisis, Dagbladet has consented so many resources for this story, which tells a lot about newspapers taking the responsibility, but how did you sell it to your editors?
BG: Anders, saya mantan wartawan, dan bagi saya, menakjubkan bahwa dalam kondisi krisis yang melanda penerbit saat ini dengan pemotongan anggaran, Dagbladet bersedia mengeluarkan banyak sumber daya untuk cerita ini, yang berkata banyak tentang koran mengambil tanggung jawab, tapi bagaimana Anda meyakinkan editor Anda?
Anders Fjellberg: It wasn't easy at first, because we weren't able to know what we actually could figure out. As soon as it became clear that we actually could be able to identify who the first one was, we basically got the message that we could do whatever we wanted, just travel wherever you need to go, do whatever you need to do, just get this done.
Anders Fjellberg: Tidak mudah awalnya, karena kami tidak tahu apa yang bisa kami cari tahu. Begitu mulai jelas bahwa kami bisa mengenali identitas jenazah yang pertama, kami mendapat lampu hijau untuk melakukan apa yang kami mau, pergi ke mana dibutuhkan, melakukan apa saja yang perlu dilakukan, yang penting menyelesaikan ini.
BG: That's an editor taking responsibility. The story, by the way, has been translated and published across several European countries, and certainly will continue to do. And we want to read the updates from you. Thank you Anders. Thank you Tomm.
BG: Itu editor yang bertanggung jawab. Ceritanya telah diterjemahkan dan diterbitkan di beberapa negara Eropa, dan tentu akan terus menyebar. Kami ingin baca berita terbaru dari Anda. Terima kasih Anders dan Tomm.
(Applause)
(Tepuk tangan)