The Value of Nothing: Out of Nothing Comes Something. That was an essay I wrote when I was 11 years old and I got a B+. (Laughter) What I'm going to talk about: nothing out of something, and how we create. And I'm gonna try and do that within the 18-minute time span that we were told to stay within, and to follow the TED commandments: that is, actually, something that creates a near-death experience, but near-death is good for creativity. (Laughter) OK.
Nilai dari ketiadaan: dari ketiadaan muncullah sesuatu. Ini adalah esai yang saya tulis ketika saya berumur 11 tahun dan saya mendapat B+. (Tawa) Apa yang akan saya bicarakan : ketiadaan yang muncul dari sesuatu, dan bagaimana kita mencipta. Dan saya akan coba melakukannya dalam jangka waktu 18 menit yang kita diminta untuk mematuhinya, dan untuk mengikuti perintah-perintah suci TED : yang, kenyataannya, adalah sesuatu yang menciptakan suatu pengalaman hampir-mati, tetapi hampir-mati itu bagus untuk kreativitas. (Tawa) OK.
So, I also want to explain, because Dave Eggers said he was going to heckle me if I said anything that was a lie, or not true to universal creativity. And I've done it this way for half the audience, who is scientific. When I say we, I don't mean you, necessarily; I mean me, and my right brain, my left brain and the one that's in between that is the censor and tells me what I'm saying is wrong. And I'm going do that also by looking at what I think is part of my creative process, which includes a number of things that happened, actually -- the nothing started even earlier than the moment in which I'm creating something new. And that includes nature, and nurture, and what I refer to as nightmares.
Jadi, saya juga ingin menjelaskan, karena Dave Eggers berkata dia akan mengganggu saya jika saya mengatakan apapun yang merupakan suatu kebohongan, atau tidak benar menurut kreativitas yang universal. Dan saya telah melakukannya dengan cara ini untuk separuh dari audiens, yang merupakan komunitas ilmuwan. Ketika saya berkata kita, saya tidak bermaksud anda, secara khusus; Saya memaksudkannya diri saya, dan otak kanan saya, otak kiri saya, dan yang berada di antaranya yaitu sensor dan menyatakan pada saya apa yang saya katakan adalah salah. Dan saya juga akan melakukannya dengan melihat pada apa yang saya pikir sebagai bagian dari proses kreatif saya, yang termasuk sejumlah hal yang terjadi, kenyataannya -- ketiadaan bermula bahkan lebih awal daripada momentumnya dimana saya menciptakan sesuatu yang baru. Dan itu termasuk alam, dan perawatan, dan apa yang saya sebut sebagai mimpi-mimpi buruk.
Now in the nature area, we look at whether or not we are innately equipped with something, perhaps in our brains, some abnormal chromosome that causes this muse-like effect. And some people would say that we're born with it in some other means. And others, like my mother, would say that I get my material from past lives. Some people would also say that creativity may be a function of some other neurological quirk -- van Gogh syndrome -- that you have a little bit of, you know, psychosis, or depression. I do have to say, somebody -- I read recently that van Gogh wasn't really necessarily psychotic, that he might have had temporal lobe seizures, and that might have caused his spurt of creativity, and I don't -- I suppose it does something in some part of your brain. And I will mention that I actually developed temporal lobe seizures a number of years ago, but it was during the time I was writing my last book, and some people say that book is quite different.
Sekarang dalam area alami, kita melihat apakah benar atau tidak kita dilengkapi secara pembawaan lahir dengan sesuatu, mungkin dalam otak-otak kita, beberapa kromosom abnormal yang menyebabkan efek mirip-renungan ini. Dan beberapa orang akan berkata bahwa kita dilahirkan dengannya dalam beberapa cara lain, dan orang-orang lain, seperti ibu saya, akan berkata bahwa saya mendapat bahan bakunya dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. Beberapa orang juga akan berkata itulah kreativitas mungkin merupakan suatu fungsi dari beberapa keanehan neurologis lainnya -- sindrom van Gogh -- yaitu bahwa anda punya sedikit dari, anda tahulah, psikosis, atau depresi. Saya harus berkata, seseorang -- saya membacanya baru-baru ini bahwa van Gogh sebenarnya tidak benar-benar psikotik, bahwa dia mungkin mengalami kejang lobus temporal, dan itu mungkin menyebabkan percikan kreativitasnya, dan saya tidak -- Saya rasa itu menyebabkan sesuatu pada bagian otak anda. Dan saya akan menyebutkan bahwa saya pada dasarnya mengalami kejang lobus temporal beberapa tahun lalu, tetapi itu pada saat saya menulis buku terakhir saya, dan beberapa orang berkata bahwa buku itu cukup berbeda.
I think that part of it also begins with a sense of identity crisis: you know, who am I, why am I this particular person, why am I not black like everybody else? And sometimes you're equipped with skills, but they may not be the kind of skills that enable creativity. I used to draw. I thought I would be an artist. And I had a miniature poodle. And it wasn't bad, but it wasn't really creative. Because all I could really do was represent in a very one-on-one way. And I have a sense that I probably copied this from a book. And then, I also wasn't really shining in a certain area that I wanted to be, and you know, you look at those scores, and it wasn't bad, but it was not certainly predictive that I would one day make my living out of the artful arrangement of words.
Saya berpikir bahwa bagian itu juga dimulai dengan suatu perasaan krisis identitas: anda tahulah, siapa saya, mengapa saya seperti ini, mengapa saya bukan orang kulit hitam seperti orang-orang lain? Dan terkadang anda dilengkapi dengan keahlian-keahlian tetapi mereka mungkin bukan jenis-jenis keahlian yang memungkinkan kreativitas. Saya dulu menggambar. Saya dulu berpikir saya akan jadi seorang seniman. Dan saya dulu memiliki sebuah miniatur anjing pudel. Dan itu bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi itu tidak benar-benar kreatif. Karena semua yang saya lakukan adalah merepresentasikan sesuatu seperti apa adanya. Dan saya memiliki suatu perasaan bahwa saya mungkin menyalin ini dari sebuah buku. Dan kemudian saya juga tidak benar-benar cemerlang dalam beberapa area tertentu yang saya inginkan. dan anda tahulah, anda melihat pada nilai-nilai itu, dan itu tidaklah buruk, tetapi itu tidaklah secara jelas memprediksikan bahwa saya suatu hari akan memperoleh penghasilan saya dari pengaturan kata-kata yang berseni.
Also, one of the principles of creativity is to have a little childhood trauma. And I had the usual kind that I think a lot of people had, and that is that, you know, I had expectations placed on me. That figure right there, by the way, figure right there was a toy given to me when I was but nine years old, and it was to help me become a doctor from a very early age. I have some ones that were long lasting: from the age of five to 15, this was supposed to be my side occupation, and it led to a sense of failure.
Juga, satu dari prinsip-prinsip kreativitas adalah memiliki sedikit trauma masa kecil. Dan saya memiliki hal-hal yang saya pikir banyak orang lain miliki. dan itu adalah, anda tahulah, saya menerima harapan-harapan yang diletakkan pada diri saya Boneka di sana, omong-omong, boneka di sana dulunya adalah sebuah mainan yang diberikan kepada saya ketika saya berusia sembilan tahun, dan boneka itu untuk membantu saya menjadi seorang doktor dari usia yang sangat dini. Saya punya beberapa boneka yang cukup bertahan lama: dari usia lima sampai 15, ini seharusnya menjadi pekerjaan sampingan saya, dan itu membawa kepada suatu perasaan gagal.
But actually, there was something quite real in my life that happened when I was about 14. And it was discovered that my brother, in 1967, and then my father, six months later, had brain tumors. And my mother believed that something had gone wrong, and she was gonna find out what it was, and she was gonna fix it. My father was a Baptist minister, and he believed in miracles, and that God's will would take care of that. But, of course, they ended up dying, six months apart. And after that, my mother believed that it was fate, or curses -- she went looking through all the reasons in the universe why this would have happened. Everything except randomness. She did not believe in randomness. There was a reason for everything. And one of the reasons, she thought, was that her mother, who had died when she was very young, was angry at her. And so, I had this notion of death all around me, because my mother also believed that I would be next, and she would be next. And when you are faced with the prospect of death very soon, you begin to think very much about everything. You become very creative, in a survival sense.
Tetapi kenyataannya ada sesuatu yang cukup nyata dalam hidup saya yang terjadi ketika saya berusia sekitar 14 Dan ditemukan bahwa kakak lelaki saya, pada 1967, dan kemudian bapak saya, enam bulan kemudian, memiliki tumor otak. Dan ibu saya percaya bahwa suatu kesalahan telah terjadi, dan beliau akan mencari tahu apakah kesalahan itu. Dan beliau akan memperbaikinya. Bapak saya adalah seorang pendeta Baptis, dan beliau percaya pada mukjizat-mukjizat, dan bahwa kehendak Tuhan akan menanganinya. Tetapi tentu saja, akhirnya mereka menghembuskan nafas terakhirnya, terpisah enam bulan. Dan setelahnya, ibu saya percaya bahwa ini adalah takdir, atau kutukan-kutukan -- beliau mencari semua alasan di alam semesta kenapa hal ini harus terjadi. Semuanya kecuali keacakan. Beliau tidak percaya pada keacakan. Ada suatu alasan untuk segala sesuatu. Dan satu dari alasan-alasan tersebut, beliau berpikir, adalah bahwa ibunya dulu, yang telah wafat ketika beliau masih sangat muda, marah pada dirinya. Dan kemudian saya memiliki gagasan kematian ini di sekeliling saya karena ibu saya juga percaya bahwa sayalah yang berikutnya, dan beliau yang berikutnya Dan ketika anda dihadapkan dengan kemungkinan kematian yang sangat dekat, anda mulai berpikir sangat banyak tentang segala sesuatu. Anda menjadi sangat kreatif, dalam suatu perasaan bertahan hidup.
And this, then, led to my big questions. And they're the same ones that I have today. And they are: why do things happen, and how do things happen? And the one my mother asked: how do I make things happen? It's a wonderful way to look at these questions, when you write a story. Because, after all, in that framework, between page one and 300, you have to answer this question of why things happen, how things happen, in what order they happen. What are the influences? How do I, as the narrator, as the writer, also influence that? And it's also one that, I think, many of our scientists have been asking. It's a kind of cosmology, and I have to develop a cosmology of my own universe, as the creator of that universe.
Dan ini, kemudian, membawa pada pertanyaan-pertanyaan besar saya. Dan itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sama yang saya miliki hari ini. Dan pertanyaan-pertanyaan itu adalah : mengapa hal-hal terjadi, dan bagaimana hal-hal terjadi? Dan satu pertanyaan yang ditanyakan ibu saya: Bagaimana saya membuat hal-hal terjadi? Adalah suatu cara yang indah untuk melihat pada pertanyaan-pertanyaan ini, ketika anda menulis sebuah cerita. Karena pada dasarnya, dalam kerangka tersebut, diantara halaman satu dan 300, anda harus menjawab pertanyaan tentang mengapa hal-hal terjadi, bagaimana hal-hal terjadi, dalam urutan apa mereka terjadi. Apa pengaruh-pengaruhnya? Bagaimana saya, sebagai narator, sebagai penulis, juga mempengaruhinya? Dan itu juga sesuatu yang saya pikir banyak dari para ilmuwan kita telah pertanyakan. Hal itu seperti semacam kosmologi, dan saya harus membangun suatu kosmologi dari alam semesta saya sendiri, sebagai pencipta dari alam semesta tersebut.
And you see, there's a lot of back and forth in trying to make that happen, trying to figure it out -- years and years, oftentimes. So, when I look at creativity, I also think that it is this sense or this inability to repress, my looking at associations in practically anything in life. And I got a lot of them during what's been going on throughout this conference, almost everything that's been going on.
Dan anda lihat, ada banyak sekali maju dan mundur untuk membuat hal itu terjadi, untuk mencoba mencari tahu -- bertahun-tahun, seringkali. Sehingga ketika saya melihat pada kreativitas, saya juga berpikir bahwa itu adalah perasaan ini atau ketidakmampuan ini untuk menekan penglihatan saya pada asosiasi-asosiasi tentang segala sesuatu secara khusus di dalam hidup Dan saya mendapatkan banyak dari hal-hal tersebut selama apa yang telah terjadi sepanjang konferensi ini, hampir segala sesuatu yang telah terjadi.
And so I'm going to use, as the metaphor, this association: quantum mechanics, which I really don't understand, but I'm still gonna use it as the process for explaining how it is the metaphor. So, in quantum mechanics, of course, you have dark energy and dark matter. And it's the same thing in looking at these questions of how things happen. There's a lot of unknown, and you often don't know what it is except by its absence. But when you make those associations, you want them to come together in a kind of synergy in the story, and what you're finding is what matters. The meaning. And that's what I look for in my work, a personal meaning.
Dan saya akan menggunakan asosiasi ini, sebagai metafora mekanika kuantum, yang sesungguhnya saya tidak mengerti, tetapi saya tetap akan menggunakannya sebagai proses untuk menjelaskan apakah metafora yang dimaksud tersebut. Jadi dalam mekanika kuantum, tentu saja, anda memiliki energi gelap dan materi gelap. Dan itu adalah hal yang sama dalam melihat pertanyaan-pertanyaan ini tentang bagaimana hal-hal terjadi. Ada banyak sekali hal-hal yang tidak diketahui, dan anda seringkali tidak tahu hal apa itu kecuali dengan ketiadaannya. Tetapi ketika anda membuat asosiasi-asosiasi tersebut, anda menginginkannya untuk bergabung menjadi suatu bentuk sinergi dalam cerita, dan apa yang anda temukan itulah yang penting. Maknanya. Dan itulah yang saya cari dalam karya saya, suatu makna pribadi.
There is also the uncertainty principle, which is part of quantum mechanics, as I understand it. (Laughter) And this happens constantly in the writing. And there's the terrible and dreaded observer effect, in which you're looking for something, and you know, things are happening simultaneously, and you're looking at it in a different way, and you're trying to really look for the about-ness, or what is this story about. And if you try too hard, then you will only write the about. You won't discover anything. And what you were supposed to find, what you hoped to find in some serendipitous way, is no longer there. Now, I don't want to ignore the other side of what happens in our universe, like many of our scientists have. And so, I am going to just throw in string theory here, and just say that creative people are multidimensional, and there are 11 levels, I think, of anxiety. (Laughter) And they all operate at the same time.
Ada juga prinsip ketidakpastian, yang merupakan bagian dari mekanika kuantum, sebagaimana yang saya mengerti. (Tawa) Dan hal ini terjadi secara konstan dalam penulisan. Dan ada efek pengamat yang mengerikan dan menakutkan, di mana anda mencari sesuatu, dan anda tahu, hal-hal terjadi secara bersamaan, dan anda melihatnya dengan cara yang berbeda, dan anda mencoba untuk benar-benar mencari ke-tentang-annya. Atau tentang apa cerita ini. Dan jika anda mencoba terlalu keras, maka anda akan hanya menulis mengenai tentang. Anda tidak akan menemukan apapun. Dan apa yang anda semestinya temukan, apa yang anda harap untuk temukan, dengan beberapa cara yang kebetulan, tidak lagi ada di sana. Sekarang, saya tidak ingin mengabaikan sisi lain dari yang terjadi dalam alam semesta kita, sebagaimana banyak dari para ilmuwan kita lakukan. Dan karenanya saya hanya akan memberikan teori string di sini, dan hanya berkata bahwa orang-orang kreatif adalah multidimensional, dan ada sebelas tingkat, saya pikir, dari kecemasan. (Tawa) Dan kesemuanya beroperasi pada waktu yang sama.
There is also a big question of ambiguity. And I would link that to something called the cosmological constant. And you don't know what is operating, but something is operating there. And ambiguity, to me, is very uncomfortable in my life, and I have it. Moral ambiguity. It is constantly there. And, just as an example, this is one that recently came to me. It was something I read in an editorial by a woman who was talking about the war in Iraq. And she said, "Save a man from drowning, you are responsible to him for life." A very famous Chinese saying, she said. And that means because we went into Iraq, we should stay there until things were solved. You know, maybe even 100 years. So, there was another one that I came across, and it's "saving fish from drowning." And it's what Buddhist fishermen say, because they're not supposed to kill anything. And they also have to make a living, and people need to be fed. So their way of rationalizing that is they are saving the fish from drowning, and unfortunately, in the process the fish die.
Ada juga sebuah pertanyaan besar tentang ambiguitas. Dan saya akan menghubungkannya dengan sesuatu yang disebut konstanta kosmologis. Dan anda tidak tahu apa yang beroperasi, tetapi sesuatu sedang beroperasi di sana. Dan ambiguitasm, bagi saya, adalah sangat tidak nyaman dalam hidup saya, dan saya memilikinya. Ambiguitas moral. Hal itu secara konstan ada di sana. Dan sebagaimana sebuah contoh, berikut ini adalah satu yang baru-baru ini menimpa saya. Hal itu adalah sesuatu yang saya baca dalam sebuah editorial oleh seorang wanita yang membicarakan tentang perang di Iraq. Dan ia berkata, "Selamatkan seseorang dari tenggelam, maka anda bertanggung jawab terhadapnya seumur hidupnya." Sebuah pepatah Cina yang sangat terkenal, katanya. Dan hal itu berarti karena kita pergi ke Iraq, kita seharusnya tetap di sana hingga hal-hal terselesaikan. Anda tahu, mungkin bahkan sampai 100 tahun. Sehingga ada satu hal lagi yang terlintas di pikiran saya, dan itu adalah "menyelamatkan ikan dari tenggelam." Dan hal itulah yang nelayan-nelayan Buddha katakan, karena mereka tidak seharusnya membunuh apapun. Dan karena mereka juga harus memperoleh penghasilan, dan orang-orang butuh makan. Sehingga cara mereka merasionalisasikan adalah bahwa mereka menyelamatkan ikan dari tenggelam, dan sayangnya dalam proses tersebut ikannya mati.
Now, what's encapsulated in both these drowning metaphors -- actually, one of them is my mother's interpretation, and it is a famous Chinese saying, because she said it to me: "save a man from drowning, you are responsible to him for life." And it was a warning -- don't get involved in other people's business, or you're going to get stuck. OK. I think if somebody really was drowning, she'd save them. But, both of these sayings -- saving a fish from drowning, or saving a man from drowning -- to me they had to do with intentions.
Sekarang apa yang meliputi dalam kedua metafora tenggelam tersebut -- kenyataannya, satu darinya adalah penafsiran ibu saya, dan itu adalah sebuah pepatah Cina yang terkenal karena beliau yang mengatakan ke saya: "Selamatkan seseorang dari tenggelam, maka anda bertanggung jawab terhadapnya seumur hidupnya." Dan itu adalah sebuah peringatan -- jangan ikut campur urusan orang lain, atau anda akan terjebak. OK. Saya pikir jika seseorang memang benar-benar tenggelam, ia akan menyelamatkannya. Tetapi kedua pepatah tersebut, menyelamatkan seekor ikan dari tenggelam, atau menyelamatkan seseorang dari tenggelam, buat saya hal-hal tersebut berkaitan dengan niat-niat.
And all of us in life, when we see a situation, we have a response. And then we have intentions. There's an ambiguity of what that should be that we should do, and then we do something. And the results of that may not match what our intentions had been. Maybe things go wrong. And so, after that, what are our responsibilities? What are we supposed to do? Do we stay in for life, or do we do something else and justify and say, well, my intentions were good, and therefore I cannot be held responsible for all of it? That is the ambiguity in my life that really disturbed me, and led me to write a book called "Saving Fish From Drowning."
Dan kesemua dari kita dalam hidup, ketika kita melihat suatu situasi, kita memiliki suatu respons. Dan kemudian kita punya niat-niat. Ada suatu ambiguitas dari apa yang seharusnya harus kita lakukan, dan kemudian kita melakukan sesuatu. Dan hasil-hasil darinya mungkin tidak sesuai dengan niat-niat kita pada awalnya. Mungkin hal-hal menjadi salah. Dan kemudian, setelah itu, apa tanggung jawab kita? Apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah kita tetap didalamnya seumur hidup kita, atau kita melakukan sesuatu yang lain dan menjustifikasinya dan berkata, yah, niat-niat saya baik, dan karenanya saya tidak bisa dituntut bertanggung jawab untuk keseluruhannya? Itulah ambiguitas dalam hidup saya yang benar-benar mengganggu saya, dan membuat saya menulis sebuah buku berjudul Menyelamatkan Ikan Dari Tenggelam.
I saw examples of that. Once I identified this question, it was all over the place. I got these hints everywhere. And then, in a way, I knew that they had always been there. And then writing, that's what happens. I get these hints, these clues, and I realize that they've been obvious, and yet they have not been. And what I need, in effect, is a focus. And when I have the question, it is a focus. And all these things that seem to be flotsam and jetsam in life actually go through that question, and what happens is those particular things become relevant. And it seems like it's happening all the time. You think there's a sort of coincidence going on, a serendipity, in which you're getting all this help from the universe. And it may also be explained that now you have a focus. And you are noticing it more often.
Saya melihat contoh-contoh hal tersebut, sekalinya saya mengidentifikasi pertanyaan ini. Hal itu ada di semua tempat. Saya mendapat isyarat-isyarat ini di manapun. Dan kemudian, dengan suatu cara, saya tahu bahwa mereka selalu ada di sana. Dan kemudian menulis, itulah yang terjadi. Saya mendapat isyarat-isyarat ini, petunjuk-petunjuk ini, dan saya sadar bahwa mereka telah jelas, dan sebelumnya mereka belum jelas. Dan yang saya butuhkan, secara efek, adalah suatu fokus. Dan ketika saya memiliki pertanyaan, itu adalah suatu fokus Dan semua hal ini yang kelihatannya seperti kepingan dan buangan dalam hidup kenyataannya melalui pertanyaan tersebut, dan apa yang terjadi adalah hal-hal khusus tersebut menjadi relevan. Dan nampaknya seperti itu terjadi sepanjang waktu. Anda berpikir ada suatu ketidaksengajaan yang terjadi, suatu kebetulan, di mana anda memperoleh seluruh bantuan ini dari alam semesta. Dan hal itu juga dapat dijelaskan bahwa anda saat ini memiliki fokus. Dan anda memperhatikannya lebih sering.
But you apply this. You begin to look at things having to do with your tensions. Your brother, who's fallen in trouble, do you take care of him? Why or why not? It may be something that is perhaps more serious -- as I said, human rights in Burma. I was thinking that I shouldn't go because somebody said, if I did, it would show that I approved of the military regime there. And then, after a while, I had to ask myself, "Why do we take on knowledge, why do we take on assumptions that other people have given us?" And it was the same thing that I felt when I was growing up, and was hearing these rules of moral conduct from my father, who was a Baptist minister. So I decided that I would go to Burma for my own intentions, and still didn't know that if I went there, what the result of that would be, if I wrote a book -- and I just would have to face that later, when the time came.
Tetapi anda mengaplikasikan hal itu. Anda mulai melihat pada hal-hal yang yang berkaitan dengan ketegangan-ketegangan anda. Saudara laki-laki anda, yang sedang mengalami masalah, apakah anda mengurusinya ? Mengapa atau mengapa tidak ? Hal itu mungkin merupakan sesuatu yang barangkali lebih serius --sebagaimana saya katakan, hak-hak asasi manusia di Birma. Saya berpikir bahwa saya seharusnya tidak pergi karena seseorang berkata jika saya melakukannya, hal itu akan menunjukkan bahwa saya setuju dengan rezim militer di sana. Dan kemudian setelah beberapa lama, saya harus bertanya kepada diri saya, "Mengapakah kita menelan mentah-mentah pengetahuan, mengapakah kita menelan asumsi yang telah diberikan orang lain kepada kita ?" Dan hal itu adalah hal yang sama yang saya rasakan ketika saya tumbuh dewasa, dan mendengar aturan-aturan kelakuan moral dari ayah saya, yang adalah seorang pendeta Baptis. Jadi saya memutuskan bahwa saya akan pergi ke Birma untuk niat-niat saya sendiri, dan tetap tidak tahu bahwa jika saya pergi ke sana, apakah hasil dari hal tersebut adalah jika saya menulis sebuah buku -- dan saya hanya akan menghadapi yang terakhir disebutkan, ketika waktunya tiba,
We are all concerned with things that we see in the world that we are aware of. We come to this point and say, what do I as an individual do? Not all of us can go to Africa, or work at hospitals, so what do we do, if we have this moral response, this feeling? Also, I think one of the biggest things we are all looking at, and we talked about today, is genocide. This leads to this question. When I look at all these things that are morally ambiguous and uncomfortable, and I consider what my intentions should be, I realize it goes back to this identity question that I had when I was a child -- and why am I here, and what is the meaning of my life, and what is my place in the universe?
Kita semua menaruh perhatian dengan hal-hal yang kita lihat dalam dunia yang kita peduli dengannya. Kita sampai pada titik ini dan berkata, apa yang saya sebagai seorang individu lakukan ? Tidak semua dari kita dapat pergi ke Afrika, atau bekerja di rumah sakit-rumah sakit jadi, apa yang kita lakukan jika kita punya respons moral ini, perasaan ini ? Juga, saya pikir satu dari hal-hal terbesar yang kita semua melihat, dan berbicara tentangnya hari ini, adalah genosida. Hal ini membawa pada pertanyaan ini, ketika saya melihat pada semua hal ini yang secara moral adalah ambigu dan tidak nyaman, dan saya mempertimbangkan apakah seharusnya niat-niat saya, saya menyadari itu kembali ke pertanyaan identitas yang saya alami ketika saya masih kecil -- dan mengapa saya ada di sini, dan apakah arti dari hidup saya, dan apakah tempat saya di alam semesta ini ?
It seems so obvious, and yet it is not. We all hate moral ambiguity in some sense, and yet it is also absolutely necessary. In writing a story, it is the place where I begin. Sometimes I get help from the universe, it seems. My mother would say it was the ghost of my grandmother from the very first book, because it seemed I knew things I was not supposed to know. Instead of writing that the grandmother died accidentally, from an overdose of opium, while having too much of a good time, I actually put down in the story that the woman killed herself, and that actually was the way it happened. And my mother decided that that information must have come from my grandmother.
Itu kelihatannya sangat jelas, tapi kenyataannya tidak. Kita semua membenci ambiguitas moral dalam tingkat tertentu, dan kenyataannya itu juga diperlukan secara mutlak. Dalam menulis suatu cerita, inilah tempat saya memulai. Terkadang saya mendapatkan bantuan dari alam semesta, sepertinya. Ibu saya akan berkata bahwa itu adalah arwah dari nenek saya dari buku pertama, karena sepertinya saya tahu hal-hal yang saya seharusnya tidak tahu. Daripada menulis bahwa nenek saya meninggal karena kecelakaan, dari suatu overdosis opium sementara sedang bersenang-senang terlalu banyak, saya pada kenyataannya menceritakan bahwa wanita tersebut bunuh diri, dan itulah kenyataan sebenarnya yang terjadi. Dan ibu saya memutuskan bahwa informasi itu pasti datang dari nenek saya.
There are also things, quite uncanny, which bring me information that will help me in the writing of the book. In this case, I was writing a story that included some kind of detail, period of history, a certain location. And I needed to find something historically that would match that. And I took down this book, and I -- first page that I flipped it to was exactly the setting, and the time period, and the kind of character I needed -- was the Taiping rebellion, happening in the area near Guilin, outside of that, and a character who thought he was the son of God.
Ada juga hal-hal, yang cukup luar biasa, yang memberi saya informasi yang akan membantu saya dalam menulis buku tersebut. Dalam kasus itu, saya sedang menulis sebuah cerita yang memasukkan sejenis detil, periode sejarah, suatu lokasi tertentu. Dan saya butuh untuk mencari sesuatu yang secara sejarah akan sesuai dengannya. Dan saya mengambil buku ini, dan saya -- halaman pertama yang saya buka adalah tepat tempat dan periode waktunya. Dan jenis karakter yang saya butuhkan adalah pemberontakan Taiping, terjadi di daerah dekat Qualin, di luarnya, dan seorang karakter yang berpikir dia adalah anak dewa.
You wonder, are these things random chance? Well, what is random? What is chance? What is luck? What are things that you get from the universe that you can't really explain? And that goes into the story, too. These are the things I constantly think about from day to day. Especially when good things happen, and, in particular, when bad things happen. But I do think there's a kind of serendipity, and I do want to know what those elements are, so I can thank them, and also try to find them in my life. Because, again, I think that when I am aware of them, more of them happen.
Anda bertanya-tanya, apakah hal-hal ini kemungkinan acak? Yah, apa itu acak ? Apa itu kemungkinan ? Apa itu keberuntungan ? Apa hal-hal yang anda dapatkan dari alam semesta yang anda tidak dapat benar-benar jelaskan ? Dan itu masuk ke dalam cerita juga. Ada hal-hal yang saya pikirkan secara konstan dari hari ke hari. Khususnya ketika hal-hal baik terjadi, dan lebih khususnya, ketika hal-hal buruk terjadi. Tetapi saya memang berfikir ada semacam kebetulan, dan saya memang ingin tahu apakah unsur-unsurnya, sehingga saya dapat berterima kasih kepada mereka, dan juga mencoba mencari mereka dalam hidup saya. Karena, lagi-lagi, saya berfikir bahwa ketika saya sadar tentang mereka, lebih banyak dari mereka yang terjadi.
Another chance encounter is when I went to a place -- I just was with some friends, and we drove randomly to a different place, and we ended up in this non-tourist location, a beautiful village, pristine. And we walked three valleys beyond, and the third valley, there was something quite mysterious and ominous, a discomfort I felt. And then I knew that had to be [the] setting of my book. And in writing one of the scenes, it happened in that third valley. For some reason I wrote about cairns -- stacks of rocks -- that a man was building. And I didn't know exactly why I had it, but it was so vivid. I got stuck, and a friend, when she asked if I would go for a walk with her dogs, that I said, sure. And about 45 minutes later, walking along the beach, I came across this. And it was a man, a Chinese man, and he was stacking these things, not with glue, not with anything. And I asked him, "How is it possible to do this?" And he said, "Well, I guess with everything in life, there's a place of balance." And this was exactly the meaning of my story at that point. I had so many examples -- I have so many instances like this, when I'm writing a story, and I cannot explain it. Is it because I had the filter that I have such a strong coincidence in writing about these things? Or is it a kind of serendipity that we cannot explain, like the cosmological constant?
Kejadian lainnya adalah ketika saya pergi ke suatu tempat --saya hanya dengan beberapa teman, dan kami menyetir secara acak ke suatu tempat yang berbeda, dan kami sampai di lokasi non-turis ini, suatu perkampungan yang indah, murni. Dan kami berjalan tiga lembah melewatinya, dan pada lembah ketiga, ada sesuatu yang cukup misterius dan pertanda buruk, suatu ketidaknyamanan yang saya rasakan. Dan kemudian saya tahu hal itu harus jadi latar dari buku saya. Dan ketika menulis salah satu dari peristiwanya, itu terjadi di lembah ketiga. Untuk beberapa alasan saya menulis tentang tugu-tugu peringatan --tumpukan-tumpukan batu -- yang dibangun seorang laki-laki. Dan saya tidak tahu secara pasti mengapa saya mendapatkannya, tetapi saat itu sangat jelas. Saya mengalami kebuntuan, dan seorang teman, ketika dia bertanya apakah saya mau berjalan-jalan dengan dia dan anjing-anjingnya, saya bilang, tentu. Dan sekitar 45 menit kemudian, berjalan sepanjang pantai, saya menemui ini. Dan itu adalah seorang laki-laki, seorang laki-laki Cina, dan dia menumpuk benda-benda ini, tidak dengan lem, tidak dengan apapun. Dan saya bertanya bagaimana mungkin untuk melakukan ini ? Dan dia berkata, yah, saya rasa segala sesuatu dalam hidup, ada suatu tempat keseimbangan. Dan ini adalah tepatnya makna dari cerita saya pada titik tersebut. Saya memiliki banyak sekali contoh -- saya memiliki banyak sekali kejadian seperti ini ketika saya menulis suatu cerita, dan saya tidak dapat menjelaskannya. Apakah itu karena saya memiliki filter bahwa saya memiliki suatu kebetulan yang sedemikian kuat dalam menulis tentang hal-hal ini ? Atau itu adalah semacam kebetulan yang tidak dapat kita jelaskan, seperti konstanta kosmologis ?
A big thing that I also think about is accidents. And as I said, my mother did not believe in randomness. What is the nature of accidents? And how are we going to assign what the responsibility and the causes are, outside of a court of law? I was able to see that in a firsthand way, when I went to beautiful Dong village, in Guizhou, the poorest province of China. And I saw this beautiful place. I knew I wanted to come back. And I had a chance to do that, when National Geographic asked me if I wanted to write anything about China. And I said yes, about this village of singing people, singing minority. And they agreed, and between the time I saw this place and the next time I went, there was a terrible accident. A man, an old man, fell asleep, and his quilt dropped in a pan of fire that kept him warm. 60 homes were destroyed, and 40 were damaged. Responsibility was assigned to the family. The man's sons were banished to live three kilometers away, in a cowshed. And, of course, as Westerners, we say, "Well, it was an accident. That's not fair. It's the son, not the father."
Suatu hal besar yang saya juga pikirkan adalah kebetulan-kebetulan. Dan sebagaimana saya sampaikan, ibu saya tidak percaya dengan keacakan. Apa sifat alami kebetulan-kebetulan ? Dan bagaimana kita akan menentukan apa tanggung jawabnya dan apa penyebabnya, di luar suatu ruang pengadilan ? Saya mampu melihatnya dari sudut pandang orang pertama, ketika saya pergi ke desa Dong yang indah, di Guizhou, provinsi termiskin di Cina. Dan saya melihat tempat indah ini, saya tahu saya ingin kembali. Dan saya memiliki kesempatan untuk melakukannya ketika National Geographic meminta saya apakah saya ingin menulis apapun tentang Cina. Dan saya bilang ya, tentang desa ini dari orang-orang Singing, minoritas Singing. Dan mereka setuju, dan antara waktu saya melihat tempat ini dan waktu berikutnya saya ke sana, ada suatu kecelakaan yang buruk. Seorang lelaki, seorang lelaki tua, jatuh tertidur, dan selimutnya terjatuh ke dalam suatu wajan berapi yang menjaganya tetap hangat. 60 rumah hancur, dan 40 rumah rusak. Tanggung jawab dibebankan kepada keluarganya. Anak-anak lelaki dari lelaki tersebut dibuang untuk tinggal tiga kilometer jauhnya, di dalam suatu kandang sapi. Dan tentu saja, sebagai orang Barat, kita berkata, "Yah, itu adalah sebuah kecelakaan. Itu tidak adil. Itu adalah anaknya, bukan ayahnya."
When I go on a story, I have to let go of those kinds of beliefs. It takes a while, but I have to let go of them and just go there, and be there. And so I was there on three occasions, different seasons. And I began to sense something different about the history, and what had happened before, and the nature of life in a very poor village, and what you find as your joys, and your rituals, your traditions, your links with other families. And I saw how this had a kind of justice, in its responsibility. I was able to find out also about the ceremony that they were using, a ceremony they hadn't used in about 29 years. And it was to send some men -- a Feng Shui master sent men down to the underworld on ghost horses. Now you, as Westerners, and I, as Westerners, would say well, that's superstition. But after being there for a while, and seeing the amazing things that happened, you begin to wonder whose beliefs are those that are in operation in the world, determining how things happen.
Dan ketika saya melanjutkan sebuah cerita, saya harus melepaskan kepercayaan-kepercayaan seperti itu. Itu membutuhkan waktu, tetapi saya harus melepaskan mereka dan pergi kesana, dan tinggal di sana. Dan kemudian saya berada di sana dalam tiga kesempatan, pada musim yang berbeda. Dan saya mulai merasakan sesuatu yang berbeda tentang sejarah dan tentang apa yang telah terjadi sebelumnya, dan sifat alami kehidupan dalam suatu desa yang sangat miskin, dan apa yang anda temukan sebagai kebahagiaan-kebahagiaan anda, ritual-ritual anda, tradisi-tradisi anda, keterkaitan-keterkaitan anda dengan keluarga-keluarga lainnya. Dan saya melihat bagaimana ini memiliki semacam keadilan dalam pertanggungjawabannya. Saya juga dapat mengetahui tentang upacara yang mereka gunakan, suatu upacara yang tidak pernah mereka gunakan dalam sekitar 29 tahun. Dan itu adalah untuk mengirim beberapa lelaki -- seorang ahli Feng Shui mengirim lelaki-lelaki turun ke dunia kematian menggunakan kuda-kuda hantu. Sekarang anda, sebagai orang Barat, dan saya, sebagai orang Barat, akan berkata yah, itulah takhayul. Tetapi setelah di sana beberapa saat, dan melihat hal-hal menakjubkan yang terjadi, anda mulai bertanya-tanya kepercayaan-kepercayaan siapa yang beroperasi di dunia ini, menentukan bagaimana hal-hal terjadi.
So I remained with them, and the more I wrote that story, the more I got into those beliefs, and I think that's important for me -- to take on the beliefs, because that is where the story is real, and that is where I'm gonna find the answers to how I feel about certain questions that I have in life. Years go by, of course, and the writing, it doesn't happen instantly, as I'm trying to convey it to you here at TED. The book comes and it goes. When it arrives, it is no longer my book. It is in the hands of readers, and they interpret it differently. But I go back to this question of, how do I create something out of nothing? And how do I create my own life?
Jadi saya tetap bersama mereka, dan semakin saya menulis cerita itu, semakin saya masuk ke dalam kepercayaan-kepercayaan itu, dan saya pikir itu penting untuk saya -- untuk mengambil kepercayaan-kepercayaan itu, karena di sanalah cerita itu nyata, dan di sanalah saya akan menemukan jawaban-jawabannya tentang bagaimana saya merasakan mengenai pertanyaan-pertanyaan tertentu yang saya punyai dalam hidup. Tahun berlalu, tentu saja, dan tulisannya, itu tidak terjadi secara instan, sebagaimana saya coba sampaikan kepada anda di sini di TED. Bukunya terbit dan demikianlah. Ketika ia tiba, ia bukan lagi buku saya. Ia di tangan-tangan para pembaca, dan mereka mengartikannya secara berbeda-beda. Tetapi saya kembali ke pertanyaan tentang, bagaimana saya menciptakan sesuatu dari ketiadaan ? Dan bagaimana saya menciptakan hidup saya sendiri ?
And I think it is by questioning, and saying to myself that there are no absolute truths. I believe in specifics, the specifics of story, and the past, the specifics of that past, and what is happening in the story at that point. I also believe that in thinking about things -- my thinking about luck, and fate, and coincidences and accidents, God's will, and the synchrony of mysterious forces -- I will come to some notion of what that is, how we create. I have to think of my role. Where I am in the universe, and did somebody intend for me to be that way, or is it just something I came up with? And I also can find that by imagining fully, and becoming what is imagined -- and yet is in that real world, the fictional world. And that is how I find particles of truth, not the absolute truth, or the whole truth. And they have to be in all possibilities, including those I never considered before.
Dan saya memikirkannya dengan mempertanyakannya, dan berkata kepada diri saya sendiri bahwa tidak ada kebenaran-kebenaran sejati. Saya percaya dalam seluk-beluk, seluk-beluk cerita, dan masa lalu, seluk-beluk masa lalu, dan apa yang terjadi dalam cerita pada titik itu. Saya juga percaya bahwa dalam berfikir tentang hal-hal, pemikiran saya tentang keberuntungan, dan takdir, dan kebetulan-kebetulan dan kecelakaan-kecelakaan, kehendak Tuhan, dan sinkroni dari kekuatan-kekuatan misterius, Saya mencapai gagasan dari apa yang ada saat ini, bagaimana kita mencipta. Saya harus berfikir tentang peran saya. Di mana saya di alam semesta. Dan apakah seseorang menginginkan saya untuk menjadi seperti itu, atau itu hanyalah sesuatu yang saya inginkan ? Dan saya juga menemukan bahwa dengan mengimajinasikannya secara penuh, dan menjadi apa yang diimajinasikan, dan demikianlah di dalam dunia nyata itu, dunia fiksi. Dan itu adalah bagaimana saya menemukan partikel-partikel kebenaran, bukan kebenaran sejati, atau kebenaran utuh. Dan mereka harus berada dalam semua kemungkinan, termasuk hal-hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.
So, there are never complete answers. Or rather, if there is an answer, it is to remind myself that there is uncertainty in everything, and that is good, because then I will discover something new. And if there is a partial answer, a more complete answer from me, it is to simply imagine. And to imagine is to put myself in that story, until there was only -- there is a transparency between me and the story that I am creating.
Sehingga tidak pernah ada jawaban yang lengkap. Atau, jika memang ada suatu jawaban, itu adalah untuk mengingatkan diri saya bahwa ada ketidakpastian dalam segala hal, dan itu bagus. Karena kemudian saya akan menemukan sesuatu yang baru. Dan jika ada sebagian jawaban, suatu jawaban yang lebih lengkap dari saya, adalah untuk hanya berimajinasi. Dan berimajinasi adalah meletakkan diri saya dalam cerita tersebut, sampai hanya ada -- ada suatu transparansi antara saya dan cerita yang saya ciptakan.
And that's how I've discovered that if I feel what is in the story -- in one story -- then I come the closest, I think, to knowing what compassion is, to feeling that compassion. Because for everything, in that question of how things happen, it has to do with the feeling. I have to become the story in order to understand a lot of that. We've come to the end of the talk, and I will reveal what is in the bag, and it is the muse, and it is the things that transform in our lives, that are wonderful and stay with us. There she is. Thank you very much! (Applause)
Dan demikianlah cara saya menemukannya, jika saya merasa apa yang ada dalam cerita --dalam suatu cerita-- kemudian saya sampai pada yang paling dekat, saya pikir, untuk mengetahui apa belas kasihan itu, untuk merasakan belas kasihan tersebut. Karena untuk segalanya, dalam pertanyaan tentang bagaimana hal-hal terjadi, itu berkaitan dengan perasaan tersebut. Saya harus menjadi cerita tersebut untuk memahami banyak darinya. Kita sudah sampai ke akhir pembicaraan kita, dan saya akan menunjukkan apa yang ada di dalam tas, dan itu adalah renungan, dan itu adalah hal-hal yang berubah dalam hidup kita, yang indah dan tetap bersama kita. Itulah dia. Terima kasih banyak! (Tepuk tangan)