I want you to imagine two couples in the middle of 1979 on the exact same day, at the exact same moment, each conceiving a baby, OK? So two couples each conceiving one baby. Now I don't want you to spend too much time imagining the conception, because if you do, you're not going to listen to me, so just imagine that for a moment. And in this scenario, I want to imagine that, in one case, the sperm is carrying a Y chromosome, meeting that X chromosome of the egg. And in the other case, the sperm is carrying an X chromosome, meeting the X chromosome of the egg. Both are viable; both take off. We'll come back to these people later.
Saya ingin Anda membayangkan dua pasangan berbeda di pertengahan tahun 1979 pada hari dan saat yang sama membuat seorang bayi -- sudah? Jadi kedua pasangan ini membuat seorang bayi. Saya tidak ingin Anda berlama-lama membayangkan mereka sedang membuatnya karena jika Anda terlalu lama membayangkannya Anda tidak akan mendengarkan saya. Jadi bayangkan sebentar saja. Dan dalam skenario ini, saya ingin membayangkan, dalam satu kasus sel sperma itu membawa kromosom Y yang bertemu kromosom X dalam sel telur. Dan dalam kasus lainnya, sel sperma itu membawa kromosom X, yang bertemu kromosom X dalam sel telur. Semuanya bagus dan berhasil. Kita akan kembali kepada orang-orang ini nanti.
So I wear two hats in most of what I do. As the one hat, I do history of anatomy. I'm a historian by training, and what I study in that case is the way that people have dealt with anatomy -- meaning human bodies, animal bodies -- how they dealt with bodily fluids, concepts of bodies; how have they thought about bodies. The other hat that I've worn in my work is as an activist, as a patient advocate -- or, as I sometimes say, as an impatient advocate -- for people who are patients of doctors. In that case, what I've worked with is people who have body types that challenge social norms. So some of what I've worked on, for example, is people who are conjoined twins -- two people within one body. Some of what I've worked on is people who have dwarfism -- so people who are much shorter than typical. And a lot of what I've worked on is people who have atypical sex -- so people who don't have the standard male or the standard female body types. And as a general term, we can use the term "intersex" for this.
Jadi ada dua sisi dalam kebanyakan pekerjaan saya. Di satu sisi, saya mengerjakan sejarah anatomi. Saya dilatih menjadi sejarawan dan apa yang saya pelajari adalah cara orang-orang berurusan dengan anatomi -- dalam arti tubuh manusia dan binatang -- bagaimana mereka berurusan dengan cairan tubuh, konsep dari tubuh; bagaimana mereka berpikir tentang tubuh. Di sisi lain pekerjaan saya, saya seorang aktivis, sebagai pembela pasien -- atau, seperti yang terkadang saya katakan, pembela yang tidak sabar -- bagi orang-orang yang menjadi pasien. Dalam kasus ini, saya bekerja bersama orang-orang dengan tubuh yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial Sebagai contoh, beberapa orang yang saya bantu adalah para kembar siam -- dua orang dalam satu tubuh. Beberapa orang lainnya bertubuh kerdil -- orang-orang yang jauh lebih pendek daripada orang kebanyakan. Dan kebanyakan orang yang saya bantu adalah orang dengan jenis kelamin yang tidak umum -- orang-orang yang tidak mempunyai tubuh seperti laki-laki atau perempuan pada umumnya. Dalam istilah umum, kita dapat menggunakan istilah "interseks."
Intersex comes in a lot of different forms. I'll just give you a few examples of the types of ways you can have sex that isn't standard for male or female. So in one instance, you can have somebody who has an XY chromosomal basis, and that SRY gene on the Y chromosome tells the proto-gonads, which we all have in the fetal life, to become testes. So in the fetal life, those testes are pumping out testosterone. But because this individual lacks receptors to hear that testosterone, the body doesn't react to the testosterone. And this is a syndrome called androgen insensitivity syndrome. So lots of levels of testosterone, but no reaction to it. As a consequence, the body develops more along the female typical path. When the child is born, she looks like a girl. She is a girl, she is raised as a girl. And it's often not until she hits puberty and she's growing and developing breasts, but she's not getting her period, that somebody figures out something's up here. And they do some tests and figure out that, instead of having ovaries inside and a uterus, she has testes inside, and she has a Y chromosome.
Jenis interseks ada bermacam-macam. Saya akan memberikan beberapa contoh dari beberapa jenis kelamin yang mungkin tidak seperti laki-laki atau perempuan pada umumnya. Jadi sebagai contoh, mungkin ada orang yang memiliki kromosom XY dan gen SRY pada kromosom Y memerintahkan proto-gonad, yang kita miliki saat di dalam kandungan untuk menjadi testis. Sehingga di dalam kandungan, testis mengeluarkan testosteron. Namun karena orang ini kekurangan reseptor untuk mendengar testosteron itu, tubuh tidak menanggapi keluarnya testosteron itu. Inilah sindrom yang disebut "sindrom insensitivitas androgen." Jadi ada banyak testosteron, namun tidak ada yang menanggapi. Sebagai akibatnya, tubuh orang itu berkembang menyerupai tubuh perempuan. Saat anak itu lahir, dia tampak seperti perempuan. Dia menjadi perempuan, dibesarkan sebagai perempuan. Dan sering sampai anak itu mencapai akil balik dan payudaranya tumbuh, namun dia tidak mengalami menstruasi orang tidak menyadari ada yang salah. Lalu mereka melakukan beberapa tes dan menemukan bahwa, dia tidak memiliki ovarium dan rahim, namun dia memiliki testis dan kromosom Y.
Now what's important to understand is you may think of this person as really being male, but they're really not. Females, like males, have in our bodies something called the adrenal glands. They're in the back of our body. And the adrenal glands make androgens, which are a masculinizing hormone. Most females like me -- I believe myself to be a typical female -- I don't actually know my chromosomal make-up, but I think I'm probably typical -- most females like me are actually androgen-sensitive. We're making androgen, and we're responding to androgens. The consequence is that somebody like me has actually had a brain exposed to more androgens than the woman born with testes who has androgen insensitivity syndrome. So sex is really complicated -- it's not just that intersex people are in the middle of all the sex spectrum -- in some ways, they can be all over the place.
Kini hal yang penting untuk dipahami adalah mungkin Anda berpikir orang ini benar-benar laki-laki, namun sebenarnya tidak. Perempuan, sama seperti laki-laki memiliki sesuatu yang disebut kelenjar adrenal. Kelenjar itu ada di bagian belakang tubuh. Kelenjar itu membuat androgen, yang merupakan hormon pembuat maskulin. Kebanyakan perempuan seperti saya -- saya yakin saya perempuan normal -- saya tidak tahu bagaimana susunan kromosom saya, saya merasa mungkin saya normal -- kebanyakan perempuan seperti saya peka terhadap androgen. Kita membuat androgen dan menanggapi androgen ini. Akibatnya adalah otak dari seseorang seperti saya terpapar androgen lebih banyak dibandingkan perempuan yang lahir dengan testis yang menderita sindrom insensitivitas androgen. Jadi jenis kelamin benar-benar rumit, orang-orang interseks bukan hanya berada di tengah-tengah -- terkadang, jenis kelamin mereka bisa ada di mana saja. Contoh lainnya,
Another example: a few years ago I got a call from a man who was 19 years old, who was born a boy, raised a boy, had a girlfriend, had sex with his girlfriend, had a life as a guy, and had just found out that he had ovaries and a uterus inside. What he had was an extreme form of a condition called congenital adrenal hyperplasia. He had XX chromosomes, and in the womb, his adrenal glands were in such high gear that it created, essentially, a masculine hormonal environment. And as a consequence, his genitals were masculinized, his brain was subject to the more typical masculine component of hormones. And he was born looking like a boy -- nobody suspected anything. And it was only when he had reached the age of 19 that he began to have enough medical problems from menstruating internally, that doctors figured out that, in fact, he was female, internally.
beberapa tahun lalu saya menerima telepon dari pria berusia 19 tahun yang lahir dan dibesarkan sebagai laki-laki memiliki pacar dan sudah berhubungan intim dengannya, hidup seperti laki-laki dan baru tahu bahwa dia memiliki ovarium dan rahim di dalam tubuhnya. Yang dia derita adalah bentuk ekstrim dari keadaan yang disebut "congenital adrenal hiperplasia." Dia memiliki kromosom XX dan sewaktu di dalam kandungan kelenjar adrenalnya sangat aktif sehingga kelenjar itu menciptakan lingkungan hormon maskulin. Dan sebagai akibatnya, alat kelaminnya menjadi maskulin, otaknya terpapar komponen maskulin yang jauh lebih umum dari hormon. Dan dia lahir sebagai laki-laki -- tidak ada yang curiga. Baru pada saat dia berusia 19 tahun dia mulai mengalami masalah kesehatan yang sebenarnya akibat dari menstruasi di dalam tubuh sehingga dokter menemukan bahwa sebenarnya dia seorang perempuan.
OK, so just one more quick example of a way you can have intersex. Some people who have XX chromosomes develop what are called ovotestis, which is when you have ovarian tissue with testicular tissue wrapped around it. And we're not exactly sure why that happens.
Baiklah, satu contoh lagi mengenai bagaimana orang bisa mengalami interseks. Pada beberapa orang dengan kromosom XX timbul apa yang disebut ovotestis, di mana ada jaringan ovarium yang terbungkus oleh jaringan testis. Kami tidak yakin mengapa hal ini dapat terjadi.
So sex can come in lots of different varieties. The reason that children with these kinds of bodies -- whether it's dwarfism, or it's conjoined twinning, or it's an intersex type -- are often "normalized" by surgeons is not because it actually leaves them better off in terms of physical health. In many cases, people are actually perfectly healthy. The reason they're often subject to various kinds of surgeries is because they threaten our social categories. Our system has been based typically on the idea that a particular kind of anatomy comes with a particular identity. So we have the concept that what it means to be a woman is to have a female identity; what it means to be a black person is, allegedly, to have an African anatomy in terms of your history. And so we have this terribly simplistic idea. And when we're faced with a body that actually presents us something quite different, it startles us in terms of those categorizations.
Jadi jenis kelamin bisa jadi beraneka ragam. Alasan mengapa anak-anak dengan tubuh seperti ini -- baik tubuh kerdil, kembar siam, ataupun interseks -- dibuat menjadi normal dengan operasi bukanlah karena hal itu membuat mereka lebih baik dalam hal kesehatan fisik. Pada banyak kasus, orang-orang ini sebenarnya sangat sehat. Alasan mengapa mereka harus menjalani berbagai jenis operasi adalah karena mereka mengancam kelompok sosial kita. Sistem kita telah berdasarkan pada gagasan di mana anatomi tertentu diiringi dengan identitas tertentu. Kita memiliki konsep bahwa menjadi seorang wanita berarti memiliki identitas perempuan, bahwa orang-orang hitam berarti, bisa diduga memiliki anatomi dari Afrika dalam hal sejarah. Jadi kita memiliki gagasan yang sangat sederhana. Dan saat kita berhadapan dengan tubuh yang cukup berbeda, hal itu mengejutkan kita akan pengelompokan ini.
So we have a lot of very romantic ideas in our culture about individualism. And our nation's really founded on a very romantic concept of individualism. You can imagine how startling then it is when you have children who are born who are two people inside of one body. Where I ran into the most heat from this most recently was last year when South African runner, Caster Semenya, had her sex called into question at the International Games in Berlin. I had a lot of journalists calling me, asking me, "Which is the test they're going to run that will tell us whether or not Caster Semenya is male or female?" And I had to explain to the journalists there isn't such a test.
Jadi ada banyak gagasan yang sangat romantis dalam budaya kita mengenai individualisme. Negara kita benar-benar berdiri di atas konsep individualisme yang sangat romantis. Anda bisa membayangkan betapa mengejutkannya saat anak-anak Anda lahir dengan dua orang dalam satu tubuh. Baru-baru ini saya berhadapan dengan sesuatu yang sengit di mana tahun lalu seorang pelari Afrika Selatan, Caster Semenya, diragukan jenis kelaminnya pada Perlombaan Internasional di Berlin. Ada banyak wartawan yang memanggil dan bertanya, "Tes apa yang akan mereka lakukan untuk memberi tahu apakah Caster Semenya itu pria atau wanita?" Dan saya harus menjelaskan bahwa tidak ada tes semacam itu.
In fact, we now know that sex is complicated enough that we have to admit: Nature doesn't draw the line for us between male and female, or between male and intersex and female and intersex; we actually draw that line on nature. So what we have is a sort of situation where the farther our science goes, the more we have to admit to ourselves that these categories that we thought of as stable anatomical categories, that mapped very simply to stable identity categories are a lot more fuzzy than we thought. And it's not just in terms of sex. It's also in terms of race, which turns out to be vastly more complicated than our terminology has allowed.
Sebenarnya, kini kita tahu bahwa jenis kelamin itu cukup rumit sehingga kita harus mengakui bahwa alam tidak menggambarkan garis antara pria dan wanita, atau antara pria dan interseks atau wanita dan interseks, sebenarnya kitalah yang menggambar garis itu. Jadi saat kita mengalami situasi semacam ini di mana semakin jauh kita memakai ilmu pengetahuan, semakin kita harus mengakui sendiri bahwa pengelompokan yang kita pikir merupakan kelompok anatomi yang stabil yang terpetakan dengan mudah untuk menstabilkan kelompok identitas jauh lebih kabur daripada yang kita pikirkan. Ini bukan saja dalam hal jenis kelamin. Namun juga dalam hal ras, yang ternyata jauh lebih sulit daripada pengertian yang ada.
As we look, we get into all sorts of uncomfortable areas. We look, for example, about the fact that we share at least 95 percent of our DNA with chimpanzees. What are we to make of the fact that we differ from them only, really, by a few nucleotides? And as we get farther and farther with our science, we get more and more into a discomforted zone, where we have to acknowledge that the simplistic categories we've had are probably overly simplistic.
Saat kita melihat, ada berbagai daerah yang tidak jelas. Contohnya, kita bisa melihat bahwa sebenarnya 95 persen DNA kita sama dengan simpanse. Memang siapa kita sehingga kita menyatakan bahwa kita berbeda dari mereka hanya karena sedikit nukleotida? Saat kita berjalan lebih jauh dengan ilmu pengetahuan semakin banyak daerah yang tidak jelas di mana kita harus mengakui bahwa pengelompokan sederhana yang kita miliki mungkin terlalu sederhana.
So we're seeing this in all sorts of places in human life. One of the places we're seeing it, for example, in our culture, in the United States today, is battles over the beginning of life and the end of life. We have difficult conversations about at what point we decide a body becomes a human, such that it has a different right than a fetal life. We have very difficult conversations nowadays -- probably not out in the open as much as within medicine -- about the question of when somebody's dead. In the past, our ancestors never had to struggle so much with this question of when somebody was dead. At most, they'd stick a feather on somebody's nose, and if it twitched, they didn't bury them yet. If it stopped twitching, you bury them. But today, we have a situation where we want to take vital organs out of beings and give them to other beings. And as a consequence, we have to struggle with this really difficult question about who's dead, and this leads us to a really difficult situation where we don't have such simple categories as we've had before.
Kita melihat hal ini pada semua tempat dalam hidup manusia. Salah satu tempat di mana kita melihatnya adalah dalam budaya kita, di Amerika Serikat saat ini ada pertarungan antara awal dan akhir dari hidup. Ada perdebatan yang sulit tentang kapan kita memutuskan tubuh itu disebut manusia sehingga memiliki hak berbeda dibandingkan janin. Ada banyak perdebatan sulit saat ini -- mungkin bukan debat terbuka seperti pada obat-obatan -- tentang pertanyaan kapan seseorang dinyatakan meninggal. Di masa lalu, nenek moyang kita tidak pernah bertarung sesengit ini tentang pertanyaan kapan seseorang itu meninggal. Mereka hanya menempelkan bulu di hidung seseorang dan jika bulu itu bergerak, mereka tidak akan menguburnya. Jika bulu itu tidak bergerak, mereka menguburkannya. Namun kini, ada keadaan di mana kita ingin mengambil organ tubuh yang penting dan mendonorkannya kepada orang lain. Dan sebagai akibatnya, kita terjebak dalam pertarungan tentang pertanyaan yang sangat sulit ini tentang siapa yang meninggal dan hal ini membawa kita pada keadaan yang sangat sulit di mana tidak ada lagi hal sederhana yang kita miliki sebelumnya.
Now you might think that all this breaking-down of categories would make somebody like me really happy. I'm a political progressive, I defend people with unusual bodies, but I have to admit to you that it makes me nervous. Understanding that these categories are really much more unstable than we thought makes me tense. It makes me tense from the point of view of thinking about democracy. So in order to tell you about that tension, I have to first admit to you a huge fan of the Founding Fathers. I know they were racists, I know they were sexist, but they were great. I mean, they were so brave and so bold and so radical in what they did, that I find myself watching that cheesy musical "1776" every few years, and it's not because of the music, which is totally forgettable. It's because of what happened in 1776 with the Founding Fathers.
Mungkin Anda berpikir bahwa runtuhnya pengelompokan semacam ini akan membuat seseorang seperti saya sangat gembira. Saya seorang progresif. Saya membela orang-orang dengan tubuh yang tidak normal namun saya harus mengakui bahwa ini membuat saya gugup. Memahami bahwa pengelompokan ini jauh lebih tidak stabil daripada yang kita pikirkan membuat saya tegang. Hal ini membuat saya tegang dari sudut pandang cara memikirkan demokrasi. Jadi untuk menjelaskan tentang tekanan ini saya harus mengakui bahwa saya adalah penggembar berat Bapak Pendiri negara ini. Saya tahu mereka mendiskriminasikan ras dan jenis kelamin namun mereka hebat. Maksud saya, mereka sangat berani, tegas dan radikal dalam pekerjaan mereka yang membuat saya setia menonton musikal "1776" setiap beberapa tahun, bukan karena musiknya, yang benar-benar mudah dilupakan. Namun karena apa yang terjadi pada tahun 1776 dengan para Bapak Pendiri negara.
The Founding Fathers were, for my point of view, the original anatomical activists, and this is why. What they rejected was an anatomical concept and replaced it with another one that was radical and beautiful and held us for 200 years. So as you all recall, what our Founding Fathers were rejecting was a concept of monarchy, and the monarchy was basically based on a very simplistic concept of anatomy. The monarchs of the old world didn't have a concept of DNA, but they did have a concept of birthright. They had a concept of blue blood. They had the idea that the people who would be in political power should be in political power because of the blood being passed down from grandfather to father to son and so forth. The Founding Fathers rejected that idea, and they replaced it with a new anatomical concept, and that concept was "all men are created equal." They leveled that playing field and decided the anatomy that mattered was the commonality of anatomy, not the difference in anatomy, and that was a really radical thing to do.
Dalam sudut pandang saya, Bapak Pendiri negara kita adalah aktivis anatomi yang asli dan inilah alasannya. Yang mereka tolak adalah konsep anatomi dan mereka menggantinya dengan yang lain sesuatu yang radikal dan indah dan menyatukan kita selama 200 tahun. Jadi jika Anda ingat apa yang ditolak para Bapak Pendiri kita adalah konsep kerajaan dan kerajaan pada dasarnya didasarkan oleh konsep anatomi yang sangat sederhana. Para raja di dunia kuno tidak memiliki konsep DNA namun mereka memiliki konsep hak kelahiran. Mereka memiliki konsep darah biru. Mereka memiliki gagasan bahwa orang yang akan memiliki kekuatan politik harus memiliki kekuatan politik karena darah itu telah diteruskan kepada mereka dari kakek kepada ayah lalu kepada anaknya dan seterusnya. Para Bapak Pendiri negara menolak gagasan itu dan menggantinya dengan konsep anatomi yang baru dan konsep itu adalah semua orang diciptakan setara. Mereka setara dalam papan permainan dan mereka memutuskan bahwa anatomi yang penting adalah kesamaan dalam anatomi bukan perbedaan dalam anatomi, dan itu benar-benar hal yang sangat radikal.
Now they were doing it in part because they were part of an Enlightenment system where two things were growing up together. And that was democracy growing up, but it was also science growing up at the same time. And it's really clear, if you look at the history of the Founding Fathers, a lot of them were very interested in science, and they were interested in the concept of a naturalistic world. They were moving away from supernatural explanations, and they were rejecting things like a supernatural concept of power, where it transmitted because of a very vague concept of birthright.
Mereka melakukan hal itu sebagian karena mereka adalah bagian dari sebuah sistem Pencerahan di mana dua hal tumbuh secara bersamaan. Hal itu adalah demokrasi dan juga ilmu pengetahuan yang tumbuh pada saat yang sama. Dan jika Anda melihat sejarah para Bapak Pendiri negara sangat jelas bahwa banyak dari mereka yang tertarik pada ilmu pengetahuan dan mereka tertarik pada konsep akan dunia naturalistik. Mereka beralih dari penjelasan supernatural dan mereka menolak hal-hal seperti konsep kekuatan supernatural yang dapat berpindah karena konsep yang sangat kabur akan hak kelahiran.
They were moving towards a naturalistic concept. And if you look, for example, in the Declaration of Independence, they talk about nature and nature's God. They don't talk about God and God's nature. They're talking about the power of nature to tell us who we are. So as part of that, they were coming to us with a concept that was about anatomical commonality. And in doing so, they were really setting up in a beautiful way the Civil Rights Movement of the future. They didn't think of it that way, but they did it for us, and it was great.
Mereka beralih menuju konsep naturalistik. Dan jika Anda melihat, contohnya pada Deklarasi Kemerdekaan, mereka bicara tentang alam dan Tuhan dari alam. Mereka tidak bicara tentang Tuhan dan asal dari Tuhan. Mereka bicara tentang kekuatan alam untuk menjelaskan siapa kita. Sebagai bagian dari hal itu, mereka datang dengan konsep tentang kesamaan anatomi. Dan dengan melakukannya, mereka dengan indah mengatur pergerakan Hak-Hak Sipil di masa depan. Mereka tidak berpikir seperti itu, namun mereka melakukannya untuk kita, sungguh luar biasa.
So what happened years afterwards? What happened was women, for example, who wanted the right to vote, took the Founding Fathers' concept of anatomical commonality being more important than anatomical difference and said, "The fact that we have a uterus and ovaries is not significant enough in terms of a difference to mean that we shouldn't have the right to vote, the right to full citizenship, the right to own property, etc." And women successfully argued that. Next came the successful Civil Rights Movement, where we found people like Sojourner Truth talking about, "Ain't I a woman?" We find men on the marching lines of the Civil Rights Movement saying, "I am a man." Again, people of color appealing to a commonality of anatomy over a difference of anatomy, again, successfully. We see the same thing with the disability rights movement.
Lalu apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian? Sebagai contoh apa yang terjadi pada wanita yang ingin mendapat hak memilih dalam pemilu yang mengambil konsep para Bapak Pendiri negara tentang kesamaan anatomi yang lebih penting dibandingkan perbedaan anatomi dan berkata, "Kenyataan bahwa kami memiliki rahim dan ovarium tidak penting dalam hal perbedaan sehingga mengakibatkan kami tidak berhak memilih, hak kewarganegaraan seutuhnya, hak memiliki properti, dan sebagainya." Dan kaum wanita sukses memperdebatkannya. Kemudian muncul pergerakan Hak-Hak Sipil di mana ada orang seperti Sojourner Truth yang berbicara mengenai, "Bukankah saya seorang wanita?" Ada pria yang berbaris dalam pergerakan Hak-Hak Sipil dan berkata, "Saya seorang pria." Lalu, orang berkulit hitam memperdebatkan kesamaan anatomi lebih penting daripada perbedaan anatomi dan kembali sukses. Kita melihat hal yang sama dalam pergerakan hak-hak para penyandang cacat.
The problem is, of course, that, as we begin to look at all that commonality, we have to begin to question why we maintain certain divisions. Mind you, I want to maintain some divisions, anatomically, in our culture. For example, I don't want to give a fish the same rights as a human. I don't want to say we give up entirely on anatomy. I don't want to say a five-year-old should be allowed to consent to sex or consent to marry. So there are some anatomical divisions that make sense to me and that I think we should retain. But the challenge is trying to figure out which ones they are and why do we retain them, and do they have meaning.
Sudah pasti masalahnya adalah saat kita melihat pada semua masyarakat itu, kita mulai mempertanyakan mengapa kita mempertahankan pembagian tertentu. Kini bayangkan, saya ingin mempertahankan beberapa pembagian secara anatomi, dalam budaya kita. Sebagai contoh, saya tidak mau memberikan hak yang sama pada ikan dan manusia. Saya tidak mengatakan kita menghilangkan hal ini seutuhnya. Saya tidak mengatakan bahwa anak berumur 5 tahun harus diijinkan untuk berhubungan intim atau menikah. Jadi ada perbedaan anatomi yang menurut saya masuk akal dan harus dipertahankan. Tantangannya adalah mencoba mencari tahu mana yang masuk akal dan mengapa kita mempertahankannya dan apakah hal itu penting.
So let's go back to those two beings conceived at the beginning of this talk. We have two beings, both conceived in the middle of 1979 on the exact same day. Let's imagine one of them, Mary, is born three months prematurely, so she's born on June 1, 1980. Henry, by contrast, is born at term, so he's born on March 1, 1980. Simply by virtue of the fact that Mary was born prematurely three months, she comes into all sorts of rights three months earlier than Henry does -- the right to consent to sex, the right to vote, the right to drink. Henry has to wait for all of that, not because he's actually any different in age, biologically, except in terms of when he was born.
Jadi mari kita kembali kepada kedua pasangan yang membuat seorang anak pada awal presentasi tadi. Ada dua pasangan, sama-sama mengandung di pertengahan tahun 1979 pada hari yang sama. Mari bayangkan salah satunya, Mary lahir 3 bulan sebelum waktunya, jadi dia lahir tanggal 1 Juni 1980. Sebaliknya, Henry lahir tepat waktu jadi dia lahir tanggal 1 Maret 1980. Hanya karena kenyataan bahwa Mary lahir 3 bulan lebih awal, dia mendapatkan semua hak-hak itu tiga bulan lebih awal dibandingkan Henry -- hak untuk berhubungan intim, hak untuk memilih, hak untuk minum minuman keras. Henry harus menunggu hal itu bukan karena usianya berbeda secara biologis, hanya karena saat dia lahir.
We find other kinds of weirdness in terms of what their rights are. Henry, by virtue of being assumed to be male -- although I haven't told you that he's the XY one -- by virtue of being assumed to be male is now liable to be drafted, which Mary does not need to worry about. Mary, meanwhile, cannot in all the states have the same right that Henry has in all the states, namely, the right to marry. Henry can marry, in every state, a woman, but Mary can only marry today in a few states, a woman.
Kita menemukan keanehan-keanehan lainnya dalam hak-hak mereka. Henry, karena dianggap sebagai laki-laki -- walaupun saya belum menyebutkan dialah pemilik kromosom XY -- karena dia dianggap laki-laki harus menjalani wajib militer, sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan oleh Mary. Sementara Mary, di beberapa negara bagian, tidak memiliki hak yang sama dengan Henry yaitu hak untuk menikah. Henry dapat menikah dengan wanita di negara bagian manapun, namun Mary hanya dapat menikah dengan wanita di beberapa negara bagian.
So we have these anatomical categories that persist, that are in many ways problematic and questionable. And the question to me becomes: What do we do, as our science gets to be so good in looking at anatomy, that we reach the point where we have to admit that a democracy that's been based on anatomy might start falling apart? I don't want to give up the science, but at the same time, it feels sometimes like the science is coming out from under us. So where do we go? It seems like what happens in our culture is a sort of pragmatic attitude: "We have to draw the line somewhere, so we will draw the line somewhere." But a lot of people get stuck in a very strange position.
Jadi ada beberapa kelompok anatomi yang masih ada yang dalam banyak hal bermasalah dan dapat dipertanyakan. Dan bagi saya pertanyaannya menjadi: Apa yang kita lakukan saat ilmu pengetahuan kita menjadi luar biasa dalam melihat anatomi hingga mencapai titik di mana kita harus mengakui bahwa demokrasi yang berdasarkan anatomi mungkin akan mulai runtuh? Saya tidak ingin melepaskan ilmu pengetahuan namun terkadang secara bersamaan saya merasa bahwa ilmu pengetahuan muncul dari bawah kita. Lalu ke mana kita mengarah? Sepertinya yang terjadi dalam budaya kita adalah perilaku pragmatis. "Kita harus menggambar garis di suatu tempat, jadi kita akan menggambar garis itu." Namun banyak orang terjebak pada posisi yang sangat aneh.
So for example, Texas has at one point decided that what it means to marry a man is to mean that you don't have a Y chromosome, and what it means to marry a woman means you have a Y chromosome. In practice they don't test people for their chromosomes. But this is also very bizarre, because of the story I told you at the beginning about androgen insensitivity syndrome.
Sebagai contoh Texas pernah memutuskan bahwa menikah dengan seorang pria berarti Anda tidak memiliki kromosom Y, dan menikah dengan seorang wanita berarti Anda memiliki kromosom Y. Dalam prakteknya mereka tidak menguji kromosom orang-orang itu. Namun ini juga sangat aneh karena dalam kisah yang saya berikan di awal tadi tentang sindrom insensitivitas androgen.
If we look at one of the Founding Fathers of modern democracy, Dr. Martin Luther King, he offers us something of a solution in his "I have a dream" speech. He says we should judge people "based not on the color of their skin, but on the content of their character," moving beyond anatomy. And I want to say, "Yeah, that sounds like a really good idea." But in practice, how do you do it? How do you judge people based on the content of character? I also want to point out that I'm not sure that is how we should distribute rights in terms of humans, because, I have to admit, that there are some golden retrievers I know that are probably more deserving of social services than some humans I know. I also want to say there are probably also some yellow Labradors that I know that are more capable of informed, intelligent, mature decisions about sexual relations than some 40-year-olds that I know.
Jika kita melihat salah satu Bapak Pendiri demokrasi modern, Dr. Martin Luther King, dia menawarkan suatu solusi dalam pidatonya: "Saya memiliki mimpi" Dia berkata kita harus menilai orang "bukan berdasarkan warna kulit mereka namun berdasarkan sifat mereka," beralih ke hal yang melampaui anatomi. Saya ingin berkata, "Kedengarannya itu gagasan yang bagus." Namun dalam prakteknya, bagaimana kita melakukannya? Bagaimana Anda menentukan orang berdasarkan sifat mereka? Saya juga ingin menekankan bahwa saya tidak yakin bagaimana kita harus membagikan hak-hak manusia karena, harus saya akui, ada beberapa anjing golden retriever yang mungkin lebih layak mendapat layanan sosial daripada beberapa orang lainnya. Saya juga ingin mengatakan mungkin ada Labrador kuning yang lebih dapat membuat keputusan yang lebih layak, cerdas, dan dewasa mengenai hubungan seks daripada beberapa orang berusia 40 tahun yang saya kenal.
So how do we operationalize the question of content of character? It turns out to be really difficult. And part of me also wonders, what if content of character turns out to be something that's scannable in the future -- able to be seen with an fMRI? Do we really want to go there? I'm not sure where we go.
Jadi bagaimana kita menjalankan pertanyaan mengenai sifat-sifat itu? Ternyata hal ini sangat sulit. Dan sebagian dari diri saya juga ingin tahu bagaimana jika sifat-sifat ini ternyata menjadi sesuatu yang dapat dipindai di masa depan -- dapat dilihat dengan fMRI? Apa kita perlu menuju ke sana? Saya tidak yakin ke mana arah kita.
What I do know is that it seems to be really important to think about the idea of the United States being in the lead of thinking about this issue of democracy. We've done a really good job struggling with democracy, and I think we would do a good job in the future. We don't have a situation that Iran has, for example, where a man who's sexually attracted to other men is liable to be murdered, unless he's willing to submit to a sex change, in which case he's allowed to live.
Yang saya tahu adalah tampaknya sangat penting untuk berpikir mengenai gagasan bahwa Amerika Serikat adalah pemimpin dalam pemikiran isu-isu demokrasi. Kita telah sangat berhasil berjuang dengan demokrasi dan saya rasa kita akan terus berhasil di masa depan. Kita tidak pernah mengalami situasi seperti yang dialami Iran di mana pria yang tertarik dengan sesama pria besar kemungkinan akan dibunuh kecuali dia bersedia mengganti kelaminnya di mana dia diijinkan untuk tetap hidup.
We don't have that kind of situation. I'm glad to say we don't have the kind of situation with -- a surgeon I talked to a few years ago who had brought over a set of conjoined twins in order to separate them, partly to make a name for himself. But when I was on the phone with him, asking why he'll do this surgery -- this was a very high-risk surgery -- his answer was that, in this other nation, these children were going to be treated very badly, and so he had to do this. My response to him was, "Well, have you considered political asylum instead of a separation surgery?" The United States has offered tremendous possibility for allowing people to be the way they are, without having them have to be changed for the sake of the state. So I think we have to be in the lead.
Kita tidak mengalami situasi semacam itu. Saya senang berkata bahwa kita tidak menghadapi situasi di mana -- seorang dokter bedah yang bicara dengan saya beberapa tahun lalu membawa serta sepasang kembar siam untuk memisahkannya, sebagian juga untuk membuatnya terkenal. Namun saat saya meneleponnya dan bertanya mengapa dia harus melakukan operasi ini -- resiko operasi ini benar-benar tinggi -- jawabannya adalah, di negara itu anak-anak ini akan diperlakukan dengan buruk, jadi dia harus melakukannya. Jawaban saya adalah, "Pernahkah kau mempertimbangkan suaka politik ketimbang operasi pemisahan?" Amerika Serikat telah menawarkan kesempatan luar biasa mempersilahkan orang menjadi seperti apa adanya tanpa harus berubah demi negara ini. Jadi saya rasa seharusnya kitalah pemimpinnya.
Well, just to close, I want to suggest to you that I've been talking a lot about the Fathers. And I want to think about the possibilities of what democracy might look like, or might have looked like, if we had more involved the mothers. And I want to say something a little bit radical for a feminist, and that is that I think that there may be different kinds of insights that can come from different kinds of anatomies, particularly when we have people thinking in groups. For years, because I've been interested in intersex, I've also been interested in sex-difference research. And one of the things that I've been interested in is looking at the differences between males and females in terms of the way they think and operate in the world. And what we know from cross-cultural studies is that females, on average -- not everyone, but on average -- are more inclined to be very attentive to complex social relations and to taking care of people who are, basically, vulnerable within the group. And so if we think about that, we have an interesting situation in hands.
Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa saya telah banyak bicara tentang para ayah. Dan saya ingin mempertimbangkan kemungkinan tentang bagaimana rupa demokrasi jika kita mengikutsertakan para ibu. Dan saya ingin mengatakan sesuatu yang cukup radikal bagi para wanita yaitu saya rasa mungkin ada jenis wawasan yang berbeda yang muncul dari berbagai jenis anatomi, terutama saat ada orang-orang yang berpikir bersama. Saya tertarik pada kaum interseks, dan selama bertahun-tahun saya juga tertarik pada penelitian tentang pembedaan seks. Dan salah satu hal yang sangat membuat saya tertarik adalah melihat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal cara berpikir dan hidup di dunia. Dan apa yang kita tahu dari kajian lintas budaya adalah rata-rata para wanita -- tidak semuanya, namun rata-rata -- lebih cenderung sangat memperhatikan hubungan sosial kompleks dan mempedulikan orang lain yang rentan di dalam kelompok itu. Jadi jika kita memikirkannya ada situasi menarik yang kita hadapi.
Years ago, when I was in graduate school, one of my graduate advisors who knew I was interested in feminism -- I considered myself a feminist, as I still do, asked a really strange question. He said, "Tell me what's feminine about feminism." And I thought, "Well, that's the dumbest question I've ever heard. Feminism is all about undoing stereotypes about gender, so there's nothing feminine about feminism." But the more I thought about his question, the more I thought there might be something feminine about feminism. That is to say, there might be something, on average, different about female brains from male brains that makes us more attentive to deeply complex social relationships, and more attentive to taking care of the vulnerable.
Beberapa tahun yang lalu, saat saya berada di program pascasarjana, salah satu dosen saya yang tahu saya tertarik pada feminisme -- saya menganggap diri saya feminis, hingga saat ini -- menanyakan pertanyaan yang sangat aneh. Dia berkata, "Apa yang feminim mengenai feminisme" Dan saya berpikir, "Ini pertanyaan terbodoh yang pernah saya dengar. Feminisme hanya tentang merusak klise tentang jenis kelamin, adi tidak ada yang feminim di sana." Namun semakin saya memikirkan pertanyaan itu semakin saya berpikir mungkin ada yang feminim dalam feminisme. Yaitu, mungkin secara rata-rata, ada sesuatu yang berbeda dalam otak pria dan wanita yang membuat kita lebih menaruh perhatian kepada hubungan sosial yang sangat kompleks dan lebih menaruh perhatian untuk mempedulikan mereka yang rentan.
So whereas the Fathers were extremely attentive to figuring out how to protect individuals from the state, it's possible that if we injected more mothers into this concept, what we would have is more of a concept of not just how to protect, but how to care for each other. And maybe that's where we need to go in the future, when we take democracy beyond anatomy, is to think less about the individual body in terms of the identity, and think more about those relationships. So that as we the people try to create a more perfect union, we're thinking about what we do for each other.
Jadi walaupun para ayah sangat menaruh perhatian untuk mencari tahu cara melindungi orang-orang dari situasi itu, mungkin jika kita lebih banyak melibatkan para ibu ke dalam konsep ini kita mungkin akan mendapatkan konsep bukan hanya untuk melindungi namun saling mempedulikan. Dan mungkin ke sanalah kita harus menuju di masa depan saat kita membawa demokrasi untuk melampaui anatomi yaitu untuk lebih tidak memikirkan tubuh masing-masing dalam hal identitas, dan lebih banyak berpikir tentang hubungan itu. Sehingga saat kita mencoba membuat persekutuan yang lebih kuat kita berpikir tentang apa yang dapat kita lakukan untuk orang lain.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)