I am British.
Saya warga negara Inggris.
(Laughter)
(Suara tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
Never before has the phrase "I am British" elicited so much pity.
Baru kali ini ucapan “Saya warga negara Inggris” mengundang rasa kasihan.
(Laughter)
(Suara tawa)
I come from an island where many of us like to believe there's been a lot of continuity over the last thousand years. We tend to have historically imposed change on others but done much less of it ourselves.
Saya berasal dari pulau yang orang-orangnya percaya bahwa selalu ada kesinambungan sejak beberapa ribu tahun lamanya. Kami cenderung memaksa perubahan kepada bangsa lain namun jarang melakukannya untuk kami sendiri.
So it came as an immense shock to me when I woke up on the morning of June 24 to discover that my country had voted to leave the European Union, my Prime Minister had resigned, and Scotland was considering a referendum that could bring to an end the very existence of the United Kingdom. So that was an immense shock for me, and it was an immense shock for many people, but it was also something that, over the following several days, created a complete political meltdown in my country. There were calls for a second referendum, almost as if, following a sports match, we could ask the opposition for a replay. Everybody was blaming everybody else. People blamed the Prime Minister for calling the referendum in the first place. They blamed the leader of the opposition for not fighting it hard enough. The young accused the old. The educated blamed the less well-educated. That complete meltdown was made even worse by the most tragic element of it: levels of xenophobia and racist abuse in the streets of Britain at a level that I have never seen before in my lifetime. People are now talking about whether my country is becoming a Little England, or, as one of my colleagues put it, whether we're about to become a 1950s nostalgia theme park floating in the Atlantic Ocean.
Sebab itu, saya sangat kaget ketika terbangun di pagi hari pada 24 Juni dan menemukan bahwa negara saya memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa, Perdana Menteri saya mengundurkan diri, dan Skotlandia sedang mempertimbangkan referendum yang dapat mengakhiri keberadaan Inggris Raya. Hal tersebut sangat mengagetkan bagi saya, begitu pula bagi banyak orang, yang beberapa hari kemudian juga diikuti dengan kemelut politik di negara saya. Referendum kedua didesak untuk diadakan, seolah ini adalah pertandingan olahraga, dimana kita dapat meminta untuk bertanding ulang. Semua orang menyalahkan satu sama lain. Perdana Menteri disalahkan karena ia yang memulai referendum. Pemimpin partai oposisi disalahkan karena tidak berjuang cukup keras. Yang muda menyalahkan yang tua. Yang berpendidikan menyalahkan yang kurang berpendidikan. Kemelut itu menjadi tambah parah karena elemen yang paling tragis: xenofobia dan rasisme di jalanan Inggris di tingkat yang lebih parah dari yang pernah saya lihat seumur hidup. Orang-orang bicara bagaimana negara saya akan menjadi Inggris Kecil, atau, sebagaimana teman saya bilang, akan menjadi taman ria nostalgia era 1950-an yang mengambang di Laut Atlantik.
(Laughter)
(Suara tawa)
But my question is really, should we have the degree of shock that we've experienced since? Was it something that took place overnight? Or are there deeper structural factors that have led us to where we are today? So I want to take a step back and ask two very basic questions. First, what does Brexit represent, not just for my country, but for all of us around the world? And second, what can we do about it? How should we all respond?
Namun yang ingin saya tanyakan adalah, haruskah kita menunjukkan kekagetan separah itu? Apakah hal tersebut terjadi hanya dalam semalam? Atau adakah faktor struktural lebih dalam yang mengantarkan kita pada titik ini? Maka dari itu saya ingin berhenti sejenak dan menanyakan dua hal sederhana. Pertama, apa makna dari Brexit, tidak hanya untuk negara saya, namun untuk kita semua di seluruh dunia? Dan kedua, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana seharusnya kita merespon?
So first, what does Brexit represent? Hindsight is a wonderful thing. Brexit teaches us many things about our society and about societies around the world. It highlights in ways that we seem embarrassingly unaware of how divided our societies are. The vote split along lines of age, education, class and geography. Young people didn't turn out to vote in great numbers, but those that did wanted to remain. Older people really wanted to leave the European Union. Geographically, it was London and Scotland that most strongly committed to being part of the European Union, while in other parts of the country there was very strong ambivalence. Those divisions are things we really need to recognize and take seriously. But more profoundly, the vote teaches us something about the nature of politics today. Contemporary politics is no longer just about right and left. It's no longer just about tax and spend. It's about globalization. The fault line of contemporary politics is between those that embrace globalization and those that fear globalization.
Pertama, apa makna dari Brexit? Melihat kebelakang adalah hal yang menakjubkan. Brexit mengajarkan kita banyak hal tentang masyarakat kita dan masyarakat di seluruh dunia. Brexit menekankan seberapa terpecah belah masyarakat kita, yang sebelumnya tidak kita sadari. Hasil referendum terbelah sesuai usia, tingkat pendidikan, kelas, dan geografi. Tidak banyak jumlah pemuda yang memilih, namun mereka memilih untuk tetap. Orang tua menginginkan untuk keluar dari Uni Eropa. Secara geografis, daerah yang paling bersikeras untuk menjadi anggota Uni Eropa adalah London dan Skotlandia, sedangkan di daerah lain, terdapat ambivalensi yang sangat kuat. Pembelahan tersebut merupakan hal yang perlu kita sadari dan anggap serius. Namun secara lebih dalam, pemilihan itu mengajarkan kita tentang naluri dari politik kontemporer hari ini. Politik kontemporer tidak lagi sekadar tentang kanan dan kiri. TIdak hanya tentang pajak dan pengeluaran. Tetapi tentang globalisasi. Perpecahan dari politik kontemporer adalah dari mereka yang mendukung globalisasi dan yang takut akan globalisasi.
(Applause)
(Tepuk tangan)
If we look at why those who wanted to leave -- we call them "Leavers," as opposed to "Remainers" -- we see two factors in the opinion polls that really mattered. The first was immigration, and the second sovereignty, and these represent a desire for people to take back control of their own lives and the feeling that they are unrepresented by politicians. But those ideas are ones that signify fear and alienation. They represent a retreat back towards nationalism and borders in ways that many of us would reject. What I want to suggest is the picture is more complicated than that, that liberal internationalists, like myself, and I firmly include myself in that picture, need to write ourselves back into the picture in order to understand how we've got to where we are today. When we look at the voting patterns across the United Kingdom, we can visibly see the divisions. The blue areas show Remain and the red areas Leave. When I looked at this, what personally struck me was the very little time in my life I've actually spent in many of the red areas. I suddenly realized that, looking at the top 50 areas in the UK that have the strongest Leave vote, I've spent a combined total of four days of my life in those areas. In some of those places, I didn't even know the names of the voting districts. It was a real shock to me, and it suggested that people like me who think of ourselves as inclusive, open and tolerant, perhaps don't know our own countries and societies nearly as well as we like to believe.
Jika diamati, alasan mereka yang ingin meninggalkan — kita sebut saja “peninggal”, dan sebaliknya “penetap”— bisa kita lihat dua faktor dalam pemilihan yang sangat krusial. Yang pertama adalah imigrasi, dan kedua yaitu kedaulatan, dan keduanya menyiratkan keinginan rakyat untuk mengambil alih kendali hidup mereka dan perasaan bahwa mereka tidak diwakilkan oleh para politisi. Tapi ide-ide tersebut menandakan ketakutan dan alienasi. Mereka melambangkan langkah mundur menuju nasionalisme dan perbatasan dengan cara yang mayoritas dari kami akan menolak. Saya ingin mengusulkan bahwa gambaran situasinya jauh lebih rumit, bahwa internasionalis liberal seperti saya, dan saya menegaskan diri saya sebagai bagian dari itu, harus memasukkan diri kita kembali dalam gambaran itu untuk memahami bagaimana kita sampai di titik ini. Jika kita lihat pola pemilihan di seluruh Inggris Raya, pembagiannya sangat jelas terlihat. Daerah berwarna biru menunjukkan Penetap sedangkan yang merah adalah Peninggal. Ketika saya melihat ini, yang terbesit di pikiran saya adalah betapa sedikitnya waktu yang pernah saya habiskan di daerah-daerah merah seumur hidup saya. Saya lalu tersadar bahwa, dilihat dari 50 daerah teratas di Inggris yang memilih meninggalkan, total waktu yang pernah saya habiskan di daerah tersebut hanya empat hari. Di beberapa daerah tersebut, saya bahkan tidak tau nama daerah pemilihannya. Hal itu sangat mengejutkan saya, dan menandakan bahwa orang seperti saya yang berpikir dirinya sebagai pribadi yang inklusif, terbuka, dan toleran, tidak tahu negara dan masyarakatnya sendiri sebanyak yang kita percaya.
(Applause)
(Tepuk tangan)
And the challenge that comes from that is we need to find a new way to narrate globalization to those people, to recognize that for those people who have not necessarily been to university, who haven't necessarily grown up with the Internet, that don't get opportunities to travel, they may be unpersuaded by the narrative that we find persuasive in our often liberal bubbles.
Dan dari situ muncullah tantangan dimana kita harus menemukan cara baru untuk menyerukan globalisasi terhadap mereka, untuk mengakui bahwa mereka yang mungkin belum pernah mengenyam pendidikan tinggi, yang mungkin dibesarkan tanpa akses internet, yang tidak berkesempatan untuk berpergian, mereka mungkin tidak terbujuk dengan narasi yang kita anggap menjanjikan dalam gelembung liberal kita.
(Applause)
(Tepuk tangan)
It means that we need to reach out more broadly and understand. In the Leave vote, a minority have peddled the politics of fear and hatred, creating lies and mistrust around, for instance, the idea that the vote on Europe could reduce the number of refugees and asylum-seekers coming to Europe, when the vote on leaving had nothing to do with immigration from outside the European Union. But for a significant majority of the Leave voters the concern was disillusionment with the political establishment. This was a protest vote for many, a sense that nobody represented them, that they couldn't find a political party that spoke for them, and so they rejected that political establishment.
Artinya kita perlu menggapai lebih luas dan memahami. Beberapa telah mencampuri politik berdasar ketakutan dan kebencian, menciptakan kebohongan dan kecurigaan dimana-mana, contohnya, ide bahwa memilih meninggalkan akan mengurangi jumlah pengungsi dan pencari suaka ke Eropa, meskipun meninggalkan Uni Eropa tidak mempengaruhi imigrasi dari luar Uni Eropa sama sekali. Namun bagi mayoritas Peninggal, kekhawatirannya terletak di kekecewaan terhadap lembaga politik. Untuk mereka, ini merupakan bentuk protes, bahwa mereka tidak diwakilkan oleh siapapun, bahwa mereka gagal menemukan partai politik yang mengadvokasi mereka, sehingga mereka menolak lembaga politik tersebut.
This replicates around Europe and much of the liberal democratic world. We see it with the rise in popularity of Donald Trump in the United States, with the growing nationalism of Viktor Orbán in Hungary, with the increase in popularity of Marine Le Pen in France. The specter of Brexit is in all of our societies.
Hal ini terulang di sekitar Eropa dan sebagian dari dunia liberal demokratis. Tercermin dari meningkatnya popularitas Donald Trump di Amerika Serikat, dengan bertumbuhnya nasionalisme Viktor Orbán di Hungaria, dan meningginya popularitas Marine Le Pen di Perancis. Brexit menghantui seluruh lapisan masyarakat kita.
So the question I think we need to ask is my second question, which is how should we collectively respond? For all of us who care about creating liberal, open, tolerant societies, we urgently need a new vision, a vision of a more tolerant, inclusive globalization, one that brings people with us rather than leaving them behind.
Hal lain yang perlu dipertanyakan adalah pertanyaan kedua saya, yaitu bagaimana seharusnya kita merespon? Bagi kita yang peduli membangun masyarakat yang liberal, terbuka, dan toleran, kita sangat perlu visi baru, visi globalisasi yang lebih toleran, inklusif, yang mengayomi banyak orang, bukannya meninggalkan mereka.
That vision of globalization is one that has to start by a recognition of the positive benefits of globalization. The consensus amongst economists is that free trade, the movement of capital, the movement of people across borders benefit everyone on aggregate. The consensus amongst international relations scholars is that globalization brings interdependence, which brings cooperation and peace. But globalization also has redistributive effects. It creates winners and losers. To take the example of migration, we know that immigration is a net positive for the economy as a whole under almost all circumstances. But we also have to be very aware that there are redistributive consequences, that importantly, low-skilled immigration can lead to a reduction in wages for the most impoverished in our societies and also put pressure on house prices. That doesn't detract from the fact that it's positive, but it means more people have to share in those benefits and recognize them.
Visi globalisasi itu harus dimulai dengan mengakui keuntungan positif dari globalisasi. Konsensus di antara ahli ekonomi yaitu perdagangan bebas, perpindahan kapital, perpindahan penduduk lintas perbatasan menguntungkan banyak pihak secara keseluruhan. Konsensus di antara ahli hubungan internasional yaitu globalisasi memunculkan keadaan saling tergantung, yang menciptakan kooperasi dan perdamaian. Namun, globalisasi juga menimbulkan efek redistributif. Globalisasi menciptakan pemenang dan pecundang. Ambil migrasi sebagai contohnya, kita tahu jika imigrasi berdampak positif bersih bagi ekonomi secara keseluruhan di hampir semua keadaan. Tapi kita juga harus sadar bahwa terdapat beberapa konsekuensi redistributif, bahwa imigrasi penduduk berkeahlian rendah dapat menimbulkan pengurangan pendapatan bagi masyarakat kelas bawah dan juga mengancam harga pasar rumah. Itu tidak menampik bahwa imigrasi berdampak positif, namun artinya lebih banyak orang harus berbagi keuntungan itu dan mengakuinya.
In 2002, the former Secretary-General of the United Nations, Kofi Annan, gave a speech at Yale University, and that speech was on the topic of inclusive globalization. That was the speech in which he coined that term. And he said, and I paraphrase, "The glass house of globalization has to be open to all if it is to remain secure. Bigotry and ignorance are the ugly face of exclusionary and antagonistic globalization."
Pada tahun 2002, mantan Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan, memberikan pidato di Universitas Yale, dan pidato tersebut membahas tentang globalisasi inklusif. Dalam pidato itulah, istilah tersebut dipopulerkan. Ia berkata demikian, “Rumah kaca globalisasi harus terbuka bagi semua kalangan jika hendak tetap aman. Kefanatikan dan tindakan apatis adalah rupa jelek dari globalisasi eksklusif dan antagonistik.”
That idea of inclusive globalization was briefly revived in 2008 in a conference on progressive governance involving many of the leaders of European countries. But amid austerity and the financial crisis of 2008, the concept disappeared almost without a trace. Globalization has been taken to support a neoliberal agenda. It's perceived to be part of an elite agenda rather than something that benefits all. And it needs to be reclaimed on a far more inclusive basis than it is today.
Konsep globalisasi inklusif sempat dihidupkan kembali pada tahun 2008 dalam konferensi mengenai pemerintahan progresif yang melibatkan banyak pemimpin dari negara-negara Eropa. Tetapi di tengah ketegangan dan krisis moneter pada tahun 2008, konsep itu menghilang, hampir tanpa jejak. Globalisasi telah diambil alih untuk mendukung agenda neoliberalisme. Ide tersebut dianggap sebagai bagian dari agenda elit alih-alih sesuatu yang menguntungkan semua pihak. Dan globalisasi perlu diambil alih dengan pendekatan yang lebih inklusif dari yang ada saat ini.
So the question is, how can we achieve that goal? How can we balance on the one hand addressing fear and alienation while on the other hand refusing vehemently to give in to xenophobia and nationalism? That is the question for all of us. And I think, as a social scientist, that social science offers some places to start. Our transformation has to be about both ideas and about material change, and I want to give you four ideas as a starting point.
Jadi pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mencapai tujuan itu? Bagaimana kita bisa mengimbangi isu ketakutan dan alienasi dan di waktu yang sama menolak untuk tunduk terhadap xenofobia dan nasionalisme? Pertanyaan itu untuk kita semua. Dan saya pikir, sebagai ahli sosial, ilmu sosial menawarkan beberapa titik untuk memulai. Transformasi kita harus tentang kedua ide tersebut dan perubahan material, dan saya ingin memberikan empat ide sebagai titik pangkal.
The first relates to the idea of civic education. What stands out from Brexit is the gap between public perception and empirical reality. It's been suggested that we've moved to a postfactual society, where evidence and truth no longer matter, and lies have equal status to the clarity of evidence. So how can we --
Yang pertama berkaitan dengan pendidikan kewarganegaraan. Brexit menonjolkan adanya celah antara persepsi publik dan realita empiris. Sulit dipungkiri bahwa kita telah memasuki era pasca kebenaran dimana bukti dan kenyataan sudah tidak penting, dan kebohongan mencapai status yang sama dengan kejelasan bukti. Lalu bagaimana —
(Applause)
(Tepuk tangan)
How can we rebuild respect for truth and evidence into our liberal democracies?
Bagaimana kita bisa membangun kembali hormat terhadap
It has to begin with education, but it has to start with the recognition that there are huge gaps.
kebenaran dan bukti dalam demokrasi liberal kita? Hal ini harus dimulai dari pendidikan, namun juga pengakuan bahwa terdapat celah yang besar.
In 2014, the pollster Ipsos MORI published a survey on attitudes to immigration, and it showed that as numbers of immigrants increase, so public concern with immigration also increases, although it obviously didn't unpack causality, because this could equally be to do not so much with numbers but the political and media narrative around it. But the same survey also revealed huge public misinformation and misunderstanding about the nature of immigration. For example, in these attitudes in the United Kingdom, the public believed that levels of asylum were a greater proportion of immigration than they were, but they also believed the levels of educational migration were far lower as a proportion of overall migration than they actually are. So we have to address this misinformation, the gap between perception and reality on key aspects of globalization. And that can't just be something that's left to our schools, although that's important to begin at an early age. It has to be about lifelong civic participation and public engagement that we all encourage as societies.
Pada tahun 2014, lembaga survei Ipsos MORI menerbitkan survei tentang sikap terhadap imigrasi, dan menunjukkan bahwa semakin meningkatnya angka imigran, semakin meninggi pula kekhawatiran publik mengenai imigrasi, meskipun hubungan sebab-akibatnya tidak dijelaskan karena hal ini bisa menjadi tidak terlalu berkaitan dengan angka melainkan narasi politik dan media seputarnya. Survei yang sama juga menunjukkan disinformasi publik besar dan kesalahpahaman tentang naluri dari imigrasi. Sebagai contoh dari sikap ini, masyarakat di Inggris percaya bahwa tingkatan dari suaka yang diberikan lebih banyak dari jumlah imigran, dan mereka juga percaya kalau jumlah imigran terdidik jauh lebih rendah daripada jumlah migrasi keseluruhan yang nyatanya ada. Maka dari itu kita perlu meluruskan kesalahpahaman ini, celah antara persepsi dan realita mengenai aspek penting dari globalisasi. Dan ini bukan hal yang hanya perlu diajarkan di sekolah, meskipun juga perlu ditempa sejak usia dini. Ini tentang partisipasi kewarganegaraan seumur hidup dan keterlibatan publik yang kita semua dukung sebagai masyarakat.
The second thing that I think is an opportunity is the idea to encourage more interaction across diverse communities.
Hal kedua yang menurut saya berpotensi adalah ide untuk mendukung lebih banyak interaksi antar komunitas beragam.
(Applause)
(Tepuk tangan)
One of the things that stands out for me very strikingly, looking at immigration attitudes in the United Kingdom, is that ironically, the regions of my country that are the most tolerant of immigrants have the highest numbers of immigrants. So for instance, London and the Southeast have the highest numbers of immigrants, and they are also by far the most tolerant areas. It's those areas of the country that have the lowest levels of immigration that actually are the most exclusionary and intolerant towards migrants.
Melihat sikap terhadap imigrasi di Inggris, sesuatu yang menurut saya menonjol adalah, ironisnya, daerah di negara saya yang paling toleran terhadap imigran, memiliki angka imigran yang paling tinggi. Contohnya, London dan daerah Tenggara memiliki angka imigran paling tinggi, dan sejauh ini merekalah daerah yang paling toleran. Daerah yang memiliki angka imigran paling rendahlah yang paling tidak toleran terhadap imigran.
So we need to encourage exchange programs. We need to ensure that older generations who maybe can't travel get access to the Internet. We need to encourage, even on a local and national level, more movement, more participation, more interaction with people who we don't know and whose views we might not necessarily agree with.
Jadi kita perlu mendukung program pertukaran. Kita harus memastikan generasi tua yang mungkin tidak bisa bepergian mendapatkan akses internet. Kita bahkan harus mendukung di skala lokal dan nasional, lebih banyak perpindahan, partisipasi, dan interaksi dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya dan pandangannya mungkin tidak sejalan dengan kita.
The third thing that I think is crucial, though, and this is really fundamental, is we have to ensure that everybody shares in the benefits of globalization. This illustration from the Financial Times post-Brexit is really striking. It shows tragically that those people who voted to leave the European Union were those who actually benefited the most materially from trade with the European Union. But the problem is that those people in those areas didn't perceive themselves to be beneficiaries. They didn't believe that they were actually getting access to material benefits of increased trade and increased mobility around the world.
Hal penting ketiga yang menurut saya krusial, dan sangat mendasar, adalah kita harus memastikan bahwa semua mendapatkan keuntungan yang sama dari globalisasi. Illustrasi pasca-Brexit oleh Financial Times ini sangat mencolok. Betapa tragisnya bagaimana mereka yang memilih untuk meninggalkan Uni Eropa adalah yang paling diuntungkan secara material dari perdagangan dengan Uni Eropa. Namun masalahnya, orang-orang di daerah Peninggal tidak menganggap dirinya sebagai pihak yang diuntungkan. Mereka tidak percaya bahwa mereka mendapat akses terhadap keuntungan material dari peningkatan perdagangan dan mobilitas seluruh dunia.
I work on questions predominantly to do with refugees, and one of the ideas I spent a lot of my time preaching, mainly to developing countries around the world, is that in order to encourage the integration of refugees, we can't just benefit the refugee populations, we also have to address the concerns of the host communities in local areas. But in looking at that, one of the policy prescriptions is that we have to provide disproportionately better education facilities, health facilities, access to social services in those regions of high immigration to address the concerns of those local populations. But while we encourage that around the developing world, we don't take those lessons home and incorporate them in our own societies.
Pekerjaan saya fokus terhadap isu terkait pengungsi, dan salah satu pemikiran yang sering saya sebarkan, terutama untuk negara berkembang di seluruh dunia, adalah dalam upaya untuk mendukung integrasi dari pengungsi, kita tidak bisa hanya menguntungkan pengungsi, kita juga harus mengatasi kekhawatiran warga lokal sebagai tuan rumah. Namun dalam pelaksanaannya, salah satu saran kebijakan adalah kita harus menyediakan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan akses pelayanan kemasyarakatan yang jauh lebih baik di daerah dengan angka imigrasi tinggi untuk mengatasi kekhawatiran warga lokal. Terlepas dari dukungan kiat itu di negara berkembang, baiknya ilmu itu tidak dibawa pulang dan dijalankan di masyarakat kita sendiri.
Furthermore, if we're going to really take seriously the need to ensure people share in the economic benefits, our businesses and corporations need a model of globalization that recognizes that they, too, have to take people with them.
Terlebih lagi, jika kita ingin menganggap secara serius pentingnya memastikan pembagian keuntungan material tersebut, bisnis dan perusahaan membutuhkan model globalisasi yang mengakui bahwa mereka juga harus mengutamakan masyarakat.
The fourth and final idea I want to put forward is an idea that we need more responsible politics. There's very little social science evidence that compares attitudes on globalization. But from the surveys that do exist, what we can see is there's huge variation across different countries and time periods in those countries for attitudes and tolerance of questions like migration and mobility on the one hand and free trade on the other. But one hypothesis that I think emerges from a cursory look at that data is the idea that polarized societies are far less tolerant of globalization. It's the societies like Sweden in the past, like Canada today, where there is a centrist politics, where right and left work together, that we encourage supportive attitudes towards globalization. And what we see around the world today is a tragic polarization, a failure to have dialogue between the extremes in politics, and a gap in terms of that liberal center ground that can encourage communication and a shared understanding. We might not achieve that today, but at the very least we have to call upon our politicians and our media to drop a language of fear and be far more tolerant of one another.
Ide keempat dan terakhir yang saya ingin sampaikan adalah bahwa kita perlu politik yang bertanggung jawab. Masih sedikit studi ilmu sosial yang membandingkan sikap terhadap globalisasi. Namun dari survei yang ada, yang bisa kita lihat adalah terdapat banyak variasi di seluruh dunia serta periode waktu di negara-negara tersebut dalam sikap dan toleransi mengenai isu seperti migrasi dan mobilitas di satu sisi dan perdagangan bebas di sisi lain. Namun sebuah hipotesis yang muncul dari tampilan sepintas data tersebut yaitu bahwa masyarakat yang terpecah belah kurang toleran terhadap globalisasi. Negara seperti Swedia dahulu kala, seperti Kanada yang sekarang, dimana terdapat politik sentris, dimana sayap kanan dan kiri bekerja sama, di situlah terdapat masyarakat yang bersikap positif terhadap globalisasi. Dan yang kita lihat di seluruh dunia saat ini adalah perpecahan yang tragis, kegagalan dua ekstrim berbeda dalam politik untuk berdialog, dan celah di antaranya yaitu ranah liberal tengah yang mendorong komunikasi dan pemahaman bersama. Mungkin kita sulit mencapainya sekarang tapi setidaknya kita harus mendorong politisi dan media kita untuk meninggalkan bahasa ketakutan dan menjadi lebih toleran satu sama lain.
(Applause)
(Tepuk tangan)
These ideas are very tentative, and that's in part because this needs to be an inclusive and shared project.
Ide-ide ini sangat tentatif, karena dalam pelaksanaannya, ini harus menjadi sebuah proyek inklusif bersama.
I am still British. I am still European. I am still a global citizen. For those of us who believe that our identities are not mutually exclusive, we have to all work together to ensure that globalization takes everyone with us and doesn't leave people behind. Only then will we truly reconcile democracy and globalization.
Saya masih warga negara Inggris. Saya masih orang Eropa. Saya masih warga negara global. Bagi kita yang masih percaya bahwa identitas kita tidak saling meniadakan, kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa globalisasi mencakupi semua orang dan tidak meninggalkan siapa pun. Hanya demikianlah, kita bisa berdamai dengan demokrasi dan globalisasi.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)