There are times when I feel really quite ashamed to be a European. In the last year, more than a million people arrived in Europe in need of our help, and our response, frankly, has been pathetic.
Ada waktu-waktu ketika saya merasa sangat malu menjadi orang Eropa. Tahun lalu, lebih dari satu juta orang tiba di Eropa membutuhkan bantuan kita, dan respons kita sebenarnya sangat menyedihkan.
There are just so many contradictions. We mourn the tragic death of two-year-old Alan Kurdi, and yet, since then, more than 200 children have subsequently drowned in the Mediterranean. We have international treaties that recognize that refugees are a shared responsibility, and yet we accept that tiny Lebanon hosts more Syrians than the whole of Europe combined. We lament the existence of human smugglers, and yet we make that the only viable route to seek asylum in Europe. We have labor shortages, and yet we exclude people who fit our economic and demographic needs from coming to Europe. We proclaim our liberal values in opposition to fundamentalist Islam, and yet -- we have repressive policies that detain child asylum seekers, that separate children from their families, and that seize property from refugees.
Ada banyak sekali kontradiksi. Kita meratapi kematian tragis dari anak berusia 2 tahun, Alan Kurdi, tapi sejak saat itu, lebih dari 200 anak-anak telah tenggelam di Mediterania. Kita punya perjanjian internasional yang mengakui para pengungsi merupakan tanggung jawab bersama, namun, kita menerima bahwa Lebanon yang kecil itu menampung lebih banyak orang Suriah dibanding gabungan seluruh Eropa. Kita menyesali adanya penyelundup manusia, namun kita membuatnya menjadi satu-satunya rute yang bisa dilalui untuk mencari suaka di Eropa. Kita kekurangan tenaga kerja, namun kita melarang masuk orang-orang yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan demografi untuk datang ke Eropa. Kita menyatakan nilai-nilai liberal kita sebagai oposisi dari Islam fundamentalis dan lagi -- kita punya kebijakan-kebijakan represif yang menahan anak para pencari suaka, yang memisahkan anak-anak dari keluarga mereka, dan merebut properti dari para pengungsi.
What are we doing? How has the situation come to this, that we've adopted such an inhumane response to a humanitarian crisis?
Apa yang kita lakukan? Bagaimana situasinya bisa begini, yang mana kita mengadopsi respons tidak manusiawi terhadap krisis kemanusiaan?
I don't believe it's because people don't care, or at least I don't want to believe it's because people don't care. I believe it's because our politicians lack a vision, a vision for how to adapt an international refugee system created over 50 years ago for a changing and globalized world. And so what I want to do is take a step back and ask two really fundamental questions, the two questions we all need to ask. First, why is the current system not working? And second, what can we do to fix it?
Saya tidak percaya itu karena orang tidak peduli, atau setidaknya saya menolak percaya itu karena orang tidak peduli. Saya percaya itu karena para politisi kita kekurangan visi. Visi untuk bagaimana menyesuaikan sebuah sistem pengungsi internasional yang dibuat 50 tahun lalu untuk perubahan dan globalisasi dunia. Dan yang saya ingin lakukan adalah mundur selangkah dan bertanya dua pertanyaan mendasar, dua pertanyaan yang kita semua perlu tanyakan. Pertama, mengapa sistem saat ini tidak bekerja? Dan kedua, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?
So the modern refugee regime was created in the aftermath of the Second World War by these guys. Its basic aim is to ensure that when a state fails, or worse, turns against its own people, people have somewhere to go, to live in safety and dignity until they can go home. It was created precisely for situations like the situation we see in Syria today. Through an international convention signed by 147 governments, the 1951 Convention on the Status of Refugees, and an international organization, UNHCR, states committed to reciprocally admit people onto their territory who flee conflict and persecution.
Jadi rezim pengungsi modern dibuat setelah Perang Dunia ke-2 oleh orang-orang ini. Tujuan dasarnya adalah untuk memastikan ketika suatu negara gagal, atau lebih buruk, berbalik melawan rakyatnya, mereka punya tempat untuk pergi, untuk hidup aman dan terhormat sampai mereka bisa kembali ke rumah. Ini dibuat tepatnya untuk situasi-situasi seperti situasi di Suriah hari ini. Melalui konvensi internasional yang ditandatangani 147 pemerintah, Konvensi 1951 terkait Status Pengungsi, dan organisasi internasional, UNHCR menyatakan berkomitmen untuk secara resiprokal menerima orang-orang ke wilayah mereka, yang kabur dari konflik dan persekusi.
But today, that system is failing. In theory, refugees have a right to seek asylum. In practice, our immigration policies block the path to safety. In theory, refugees have a right to a pathway to integration, or return to the country they've come from. But in practice, they get stuck in almost indefinite limbo. In theory, refugees are a shared global responsibility. In practice, geography means that countries proximate the conflict take the overwhelming majority of the world's refugees. The system isn't broken because the rules are wrong. It's that we're not applying them adequately to a changing world, and that's what we need to reconsider.
Tapi hari ini, sistem tersebut gagal. Dalam teori, para pengungsi punya hak untuk mencari suaka. Dalam praktiknya, kebijakan imigrasi kita memblokir akses ke keamanan. Dalam teori, para pengungsi punya hak untuk menuju integrasi, atau kembali ke negara asal mereka. Tapi dalam praktik, mereka terjebak dalam ketidakpastian. Dalam teori, para pengungsi adalah tanggung jawab dunia bersama. Dalam praktik, geografi artinya negara-negara dekat wilayah konflik mengambil mayoritas pengungsi dunia yang banyak. Sistem ini tidak rusak karena aturannya salah. Bukannya kita tidak menerapkan aturan dengan cukup untuk dunia yang berubah, dan itu yang perlu kita pertimbangkan.
So I want to explain to you a little bit about how the current system works. How does the refugee regime actually work? But not from a top-down institutional perspective, rather from the perspective of a refugee. So imagine a Syrian woman. Let's call her Amira. And Amira to me represents many of the people I've met in the region. Amira, like around 25 percent of the world's refugees, is a woman with children, and she can't go home because she comes from this city that you see before you, Homs, a once beautiful and historic city now under rubble. And so Amira can't go back there. But Amira also has no hope of resettlement to a third country, because that's a lottery ticket only available to less than one percent of the world's refugees.
Jadi saya ingin menjelaskan sedikit tentang bagaimana sistem saat ini bekerja. Bagaimana rezim pengungsi sebenarnya bekerja? Tapi bukan dari perspektif institusional dari atas-bawah, melainkan dari perspektif seorang pengungsi. Jadi bayangan seorang wanita Suriah. Sebut saja Amira. Dan bagi saya Amira merepresentasikan banyak orang yang saya temui di daerahnya. Amira, seperti sekitar 25% pengungsi di dunia, adalah wanita dengan anak-anak, dan ia tidak bisa ke rumah karena ia berasal dari kota ini yang Anda lihat di depan, Homs, kota yang dulunya cantik dan bersejarah sekarang menjadi puing-puing. Jadi Amira tidak bisa kembali ke sana. Tapi Amira juga tidak punya harapan untuk bermukim kembali di negara ketiga, karena itu adalah tiket lotere hanya berlaku untuk kurang dari satu persen pengungsi di dunia.
So Amira and her family face an almost impossible choice. They have three basic options. The first option is that Amira can take her family to a camp. In the camp, she might get assistance, but there are very few prospects for Amira and her family. Camps are in bleak, arid locations, often in the desert. In the Zaatari refugee camp in Jordan, you can hear the shells across the border in Syria at nighttime. There's restricted economic activity. Education is often of poor quality. And around the world, some 80 percent of refugees who are in camps have to stay for at least five years. It's a miserable existence, and that's probably why, in reality, only nine percent of Syrians choose that option.
Jadi Amira dan keluarganya menghadapi pilihan yang hampir tidak mungkin. Mereka punya tiga pilihan dasar. Pilihan pertama adalah Amira bisa membawa keluarganya ke sebuah kamp. Di kamp, ia mungkin mendapat pendampingan, tapi di sana hanya ada sedikit prospek untuk Amira dan keluarganya. Kamp-kamp tersebut suram, lokasinya gersang. dan sering kali di gurun. Di kamp pengungsi Zaatari di Yordania, Anda bisa mendengar granat di perbatasan Suriah pada waktu malam. Di sana ada pembatasan aktivitas ekonomi. Kualitas edukasi sering kali buruk. Dan di dunia, sekitar 80% pengungi yang berada di kamp-kamp harus tinggal paling tidak selama 5 tahun. Itu suatu keberadaan yang menyedihkan, dan mungkin itulah mengapa, kenyataannya, hanya 9% orang Suriah memilih opsi tersebut.
Alternatively, Amira can head to an urban area in a neighboring country, like Amman or Beirut. That's an option that about 75 percent of Syrian refugees have taken. But there, there's great difficulty as well. Refugees in such urban areas don't usually have the right to work. They don't usually get significant access to assistance. And so when Amira and her family have used up their basic savings, they're left with very little and likely to face urban destitution.
Kemungkinan lain, Amira bisa pergi ke sebuah wilayah perkotaan di negara tetangga seperti Amman atau Beirut. Itu adalah pilihan yang diambil sekitar 75% pengungsi Suriah. Tapi di sana, ada kesulitan besar pula. Para pengungsi wilayah perkotaan biasanya tidak punya hak bekerja. Mereka biasanya tidak mendapat akses pendampingan yang signifikan. Jadi saat Amira dan keluarganya sudah menggunakan tabungan dasar mereka, mereka hanya punya sangat sedikit, dan kemungkinan menghadapi kemiskinan kota.
So there's a third alternative, and it's one that increasing numbers of Syrians are taking. Amira can seek some hope for her family by risking their lives on a dangerous and perilous journey to another country, and it's that which we're seeing in Europe today.
Jadi ada alternatif ketiga, dan itu yang salah satunya meningkatkan angka yang diambil orang-orang Suriah. Amira bisa mencari harapan untuk keluarganya dengan mempertaruhkan nyawa mereka di perjalanan yang berbahaya ke negara lain, dan itu yang saat ini kita lihat di Eropa.
Around the world, we present refugees with an almost impossible choice between three options: encampment, urban destitution and dangerous journeys. For refugees, that choice is the global refugee regime today. But I think it's a false choice. I think we can reconsider that choice. The reason why we limit those options is because we think that those are the only options that are available to refugees, and they're not. Politicians frame the issue as a zero-sum issue, that if we benefit refugees, we're imposing costs on citizens. We tend to have a collective assumption that refugees are an inevitable cost or burden to society. But they don't have to. They can contribute.
Di dunia, kita menampilkan para pengungsi dengan pilihan yang hampir mustahil antara tiga pilihan: perkemahan, kemiskinan perkotaan, dan perjalanan berbahaya. Untuk para pengungsi, pilihan tersebut adalah rezim pengungsi global saat ini. Tapi saya pikir ini pilihan yang salah. Menurut saya, kita bisa pertimbangkan pilihan tersebut. Alasan kenapa kita membatasi pilihan-pilihan tersebut adalah karena kita pikir itu adalah satu-satunya opsi yang ada untuk para pengungsi, dan bukan hanya itu. Para politisi membatasi isu dengan isu menang-kalah, jika kita menguntungkan para pengungsi, kita membebankan biaya pada warga. Kita cenderung punya asumsi kolektif kalau para pengungsi memerlukan biaya tidak sedikit atau beban masyarakat. Tapi tidak mesti begitu. Mereka bisa berkontribusi.
So what I want to argue is there are ways in which we can expand that choice set and still benefit everyone else: the host states and communities, our societies and refugees themselves. And I want to suggest four ways we can transform the paradigm of how we think about refugees. All four ways have one thing in common: they're all ways in which we take the opportunities of globalization, mobility and markets, and update the way we think about the refugee issue.
Jadi yang ingin saya debat adalah, ada cara-cara yang bisa kita perluas sebagai pilihan dan tetap menguntungkan semua orang: negara tuan rumah dan komunitas, masyarakat, dan pengungsi itu sendiri. Dan saya ingin mengusulkan empat cara kita bisa mengubah paradigma bagaimana kita berpikir tentang para pengungsi. Semua empat cara punya satu kesamaan: semuanya karena kita mengambil kesempatan dari globalisasi, mobilitas, dan pasar, dan memperbarui cara kita berpikir tentang isu pengungsi.
The first one I want to think about is the idea of enabling environments, and it starts from a very basic recognition that refugees are human beings like everyone else, but they're just in extraordinary circumstances. Together with my colleagues in Oxford, we've embarked on a research project in Uganda looking at the economic lives of refugees. We chose Uganda not because it's representative of all host countries. It's not. It's exceptional. Unlike most host countries around the world, what Uganda has done is give refugees economic opportunity. It gives them the right to work. It gives them freedom of movement. And the results of that are extraordinary both for refugees and the host community. In the capital city, Kampala, we found that 21 percent of refugees own a business that employs other people, and 40 percent of those employees are nationals of the host country. In other words, refugees are making jobs for citizens of the host country. Even in the camps, we found extraordinary examples of vibrant, flourishing and entrepreneurial businesses.
Pertama yang ingin saya pikirkan adalah ide lingkungan yang memungkinkan, dan itu dimulai dari pengakuan paling mendasar bahwa para pengungsi adalah manusia seperti semuanya, tapi mereka hanya dalam keadaan yang luar biasa. Bersama dengan rekan kerja saya di Oxford, kami telah mulai proyek riset di Uganda mengamati kehidupan ekonomi para pengungsi. Kami memilih Uganda bukan karena representasi dari semua negara tuan rumah. Bukan. Ini pengecualian. Beda dari kebanyakan negara tuan rumah di dunia, apa yang Uganda telah lakukan adalah memberi para pengungsi kesempatan ekonomi. Uganda memberi mereka izin bekerja, memberi kebebasan untuk berpindah. Dan hasilnya sangat luar biasa untuk para pengungsi dan tuan rumah. Di ibukota negara, Kampala, kami menemukan 21% pengungsi memiliki bisnis yang mempekerjakan orang lain, dan 40% dari karyawan tersebut adalah warga negara dari tuan rumah. Dengan kata lain, pengungsi menciptakan pekerjaan untuk penduduk negara tuan rumah. Meski di kamp-kamp, kami menemukan contoh-contoh luar biasa yang beragam, berjalan baik, dan bisnis wirausaha.
For example, in a settlement called Nakivale, we found examples of Congolese refugees running digital music exchange businesses. We found a Rwandan who runs a business that's available to allow the youth to play computer games on recycled games consoles and recycled televisions. Against the odds of extreme constraint, refugees are innovating, and the gentleman you see before you is a Congolese guy called Demou-Kay. Demou-Kay arrived in the settlement with very little, but he wanted to be a filmmaker. So with friends and colleagues, he started a community radio station, he rented a video camera, and he's now making films. He made two documentary films with and for our team, and he's making a successful business out of very little. It's those kinds of examples that should guide our response to refugees. Rather than seeing refugees as inevitably dependent upon humanitarian assistance, we need to provide them with opportunities for human flourishing.
Contohnya, di sebuah pemukiman bernama Nakivale, kami menemukan contoh pengungsi Kongo menjalankan bisnis pertukaran musik digital. Kami menemukan seorang Rwanda menjalankan bisnis yang ada untuk pemuda bermain games komputer di konsol games daur ulang dan TV daur ulang. Terhadap kemungkinan perlawanan ekstrem, para pengungsi berinovasi, dan pria di depan Anda adalah seorang lelaki Kongo bernama Demou-Kay. Demou-Kay tiba di pemukiman dengan sangat sedikit, tapi ia ingin menjadi pembuat film. Jadi dengan teman-teman dan rekan kerja, ia memulai sebuah stasiun radio komunitas, ia menyewa kamera video, dan sekarang ia membuat film. Ia membuat dua film dokumenter dengan dan untuk tim kami, dan ia membuat bisnis yang sukses dengan sangat sedikit modal. Contoh-contoh tersebut yang seharusnya memandu respons kita untuk pengungsi. Dibanding melihat pengungsi sebagai pasti bergantung pada pendampingan kemanusiaan, kita perlu menyediakan mereka kesempatan- kesempatan untuk manusia berkembang.
Yes, clothes, blankets, shelter, food are all important in the emergency phase, but we need to also look beyond that. We need to provide opportunities to connectivity, electricity, education, the right to work, access to capital and banking. All the ways in which we take for granted that we are plugged in to the global economy can and should apply to refugees.
Ya, pakaian, selimut, tempat berlindung, makanan itu semua penting pada fase darurat, tapi kita perlu melihat lebih jauh dari itu. Kita perlu menyediakan kesempatan- kesempatan ke koneksi, listrik, edukasi, hak bekerja, akses modal dan perbankan. Semua cara yang kita terima begitu saja yang kita hubungkan dengan ekonomi global bisa dan harus berlaku untuk para pengungsi.
The second idea I want to discuss is economic zones. Unfortunately, not every host country in the world takes the approach Uganda has taken. Most host countries don't open up their economies to refugees in the same way. But there are still pragmatic alternative options that we can use.
Ide kedua saya ingin bahas adalah zona-zona ekonomi. Sayangnya, tidak semua negara tuan rumah di dunia mengambil pendekatan yang diambil Uganda. Kebanyakan negara tuan rumah tidak membuka ekonomi mereka pada pengungsi dengan cara yang sama. Tapi ada juga pilihan alternatif pragmatis yang bisa kita gunakan.
Last April, I traveled to Jordan with my colleague, the development economist Paul Collier, and we brainstormed an idea while we were there with the international community and the government, an idea to bring jobs to Syrians while supporting Jordan's national development strategy. The idea is for an economic zone, one in which we could potentially integrate the employment of refugees alongside the employment of Jordanian host nationals. And just 15 minutes away from the Zaatari refugee camp, home to 83,000 refugees, is an existing economic zone called the King Hussein Bin Talal Development Area. The government has spent over a hundred million dollars connecting it to the electricity grid, connecting it to the road network, but it lacked two things: access to labor and inward investment. So what if refugees were able to work there rather than being stuck in camps, able to support their families and develop skills through vocational training before they go back to Syria? We recognized that that could benefit Jordan, whose development strategy requires it to make the leap as a middle income country to manufacturing. It could benefit refugees, but it could also contribute to the postconflict reconstruction of Syria by recognizing that we need to incubate refugees as the best source of eventually rebuilding Syria.
April lalu, saya pergi Yordania dengan rekan kerja, seorang ekonom pembangunan Paul Collier, dan kami mencari sebuah ide ketika kami di sana dengan komunitas internasional dan pemerintah, ide untuk membawa pekerjaan ke orang-orang Suriah selagi mendukung strategi pembangunan nasional Yordania. Idenya adalah untuk zona ekonomi, satu di mana kita bisa berpotensi mengintegrasikan pekerjaan pengungsi bersamaan dengan mempekerjakan tuan rumah orang-orang Yordania. Dan hanya berjarak 15 menit dari kamp pengungsi Zaatari, rumah dari 83.000 pengungsi, merupakan zona ekonomi yang sudah tersedia bernama, <i>The King Hussein</i> <i>bin Talal Development Area.</i> Pemerintah menghabiskan lebih dari ratusan juta dollar menghubungkannya dengan pembangkit listrik, jaringan jalan, tapi ada dua hal yang kurang: akses tenaga kerja dan investasi masuk. Jadi bagaimana kalau para pengungsi bisa bekerja di sana dibandingkan terjebak di kamp-kamp, bisa mendukung keluarga mereka dan mengembangkan kemampuan lewat pelatihan vokasional sebelum mereka kembali ke Suriah? Kami sadar kalau itu bisa menguntungkan Yordania, yang strategi pengembangannya memerlukan peningkatan sebagai negara berpendapatan menengah untuk manufaktur. Ini bisa menguntungkan para pengungsi, tapi juga bisa berkontribusi untuk rekonstruksi pascakonflik di Suriah dengan menyadari bahwa kita perlu inkubasi para pengungsi sebagai sumber terbaik untuk nantinya membangun kembali Suriah.
We published the idea in the journal Foreign Affairs. King Abdullah has picked up on the idea. It was announced at the London Syria Conference two weeks ago, and a pilot will begin in the summer.
Kami menerbitkan ide tersebut dalam jurnal <i>Foreign Affairs</i>. Raja Abdullah mengambil ide tersebut. Ini diumumkan pada Konferensi London Suriah dua minggu lalu, dan percobaan akan dimulai pada musim panas.
(Applause)
(Tepuk tangan)
The third idea that I want to put to you is preference matching between states and refugees to lead to the kinds of happy outcomes you see here in the selfie featuring Angela Merkel and a Syrian refugee. What we rarely do is ask refugees what they want, where they want to go, but I'd argue we can do that and still make everyone better off. The economist Alvin Roth has developed the idea of matching markets, ways in which the preference ranking of the parties shapes an eventual match. My colleagues Will Jones and Alex Teytelboym have explored ways in which that idea could be applied to refugees, to ask refugees to rank their preferred destinations, but also allow states to rank the types of refugees they want on skills criteria or language criteria and allow those to match. Now, of course you'd need to build in quotas on things like diversity and vulnerability, but it's a way of increasing the possibilities of matching. The matching idea has been successfully used to match, for instance, students with university places, to match kidney donors with patients, and it underlies the kind of algorithms that exist on dating websites. So why not apply that to give refugees greater choice?
Ide ketiga yang ingin saya sampaikan adalah menyesuaikan preferensi negara dengan pengungsi untuk mengarah ke hasil yang bahagia seperti selfie di sini menampilkan Angela Merkel dan seorang pengungsi Suriah. Jarang kita bertanya pada pengungsi, apa yang mereka mau, ke mana mereka ingin pergi tapi saya yakin kita bisa melakukannya dan tetap membuat semua orang lebih baik. Ekonom Alvin Roth telah mengembangkan ide dari menyesuaikan pasar, cara-cara di mana tingkat preferensi dari pihak-pihak membentuk kecocokan. Rekan kerja saya Will Jones dan Alec Teytelboym telah mengeksplorasi cara-cara bagaimana ide itu bisa diterapkan pada pengungsi, meminta pengungsi untuk mengurutkan destinasi preferensi mereka, tapi juga membolehkan negara-negara mengurutkan tipe pengungsi yang diinginkan berdasarkan kriteria kemampuan atau bahasa dan mencocokkan mereka. Sekarang, tentu Anda perlu membentuk kuota terkait hal-hal seperti keragaman dan kerentanan, tapi hal ini meningkatkan kemungkinan kecocokan. Ide mencocokkan sudah berhasil digunakan untuk memasangkan, contohnya, siswa-siswa dengan universitas mencocokkan donor ginjal dengan pasien, dan itu mendasari semacam algoritma yang ada di laman kencan. Kenapa tidak menerapkannya untuk memberi pengungsi pilihan lebih?
It could also be used at the national level, where one of the great challenges we face is to persuade local communities to accept refugees. And at the moment, in my country, for instance, we often send engineers to rural areas and farmers to the cities, which makes no sense at all. So matching markets offer a potential way to bring those preferences together and listen to the needs and demands of the populations that host and the refugees themselves.
Ini juga bisa digunakan di level nasional, di mana tantangan besar yang kita hadapi adalah meyakinkan komunitas lokal untuk menerima para pengungsi. Saat ini, di negara saya contohnya, kita sering mengirim insinyur ke pedalaman dan petani ke kota, yang sama sekali tidak masuk akal. Jadi mencocokkan pasar memberi cara potensial untuk membawa preferensi dan mendengarkan kebutuhan dan permintaan dari populasi tuan rumah dan para pengungsi itu sendiri.
The fourth idea I want to put to you is of humanitarian visas. Much of the tragedy and chaos we've seen in Europe was entirely avoidable. It stems from a fundamental contradiction in Europe's asylum policy, which is the following: that in order to seek asylum in Europe, you have to arrive spontaneously by embarking on those dangerous journeys that I described. But why should those journeys be necessary in an era of the budget airline and modern consular capabilities? They're completely unnecessary journeys, and last year, they led to the deaths of over 3,000 people on Europe's borders and within European territory.
Ide keempat yang ingin saya sampaikan adalah visa kemanusiaan. Banyak tragedi dan kekacauan yang kita lihat di Eropa bisa sepenuhnya dicegah. Itu berasal dari kontradiksi mendasar di kebijakan suaka Eropa sebagai berikut: untuk mencari suaka di Eropa, Anda harus tiba secara spontan dengan memulai perjalanan berbahaya yang saya jelaskan. Tapi kenapa perjalanan tersebut penting dalam era maskapai murah dan kemampuan konsuler modern? Perjalanan tersebut benar-benar tidak penting. Tahun lalu, perjalanan tersebut berujung pada kematian lebih dari 3.000 orang di perbatasan Eropa dan di wilayah Eropa.
If refugees were simply allowed to travel directly and seek asylum in Europe, we would avoid that, and there's a way of doing that through something called a humanitarian visa, that allows people to collect a visa at an embassy or a consulate in a neighboring country and then simply pay their own way through a ferry or a flight to Europe. It costs around a thousand euros to take a smuggler from Turkey to the Greek islands. It costs 200 euros to take a budget airline from Bodrum to Frankfurt. If we allowed refugees to do that, it would have major advantages. It would save lives, it would undercut the entire market for smugglers, and it would remove the chaos we see from Europe's front line in areas like the Greek islands. It's politics that prevents us doing that rather than a rational solution.
Jika para pengungsi diizinan untuk pergi secara langsung dan mencari suaka di Eropa, kita bisa mencegahnya, dan ada cara untuk melakukannya melalui sesuatu yang disebut visa kemanusiaan, yang memungkinkan orang untuk mendapat visa di kedutaan atau konsulat di negara tetangga dan lalu membayar jalan mereka sendiri melalui feri atau penerbangan ke Eropa. Harganya sekitar seribu euro untuk membawa penyelundup dari Turki ke kepulauan Yunani. harga untuk menggunakan maskapai murah adalah 200 euro dari Bodrum ke Frankfurt. Kalau kita mengizinkan pengungsi melakukannya, akan ada banyak keuntungan. Ini akan menyelamatkan nyawa, memangkas seluruh pasar untuk penyelundup, dan menghapus kekacauan yang kita lihat dari garis depan Eropa di area-area seperti kepulauan Yunani. Politiklah yang mencegah kita melakukannya dibandingkan solusi rasional.
And this is an idea that has been applied. Brazil has adopted a pioneering approach where over 2,000 Syrians have been able to get humanitarian visas, enter Brazil, and claim refugee status on arrival in Brazil. And in that scheme, every Syrian who has gone through it has received refugee status and been recognized as a genuine refugee.
Dan ini adalah ide yang sudah diterapkan. Brazil telah meniru pendekatan perintis di mana lebih dari 2.000 orang Suriah berhasil mendapatkan visa kemanusiaan, masuk Brazil dan mengklaim status saat tiba di Brazil. Pada skema itu, setiap orang Suriah yang telah melaluinya telah menerima status pengungsi dan diakui sebagai pengungsi asli.
There is a historical precedent for it as well. Between 1922 and 1942, these Nansen passports were used as travel documents to allow 450,000 Assyrians, Turks and Chechens to travel across Europe and claim refugee status elsewhere in Europe. And the Nansen International Refugee Office received the Nobel Peace Prize in recognition of this being a viable strategy.
Ada contoh sejarah itu itu pula. Antara 1922 dan 1942, paspor Nansen digunakan sebagai dokumen perjalanan untuk mengizinkan 450.000 orang Assyrian, Turki, dan Chechen untuk pergi melintasi Eropa dan mengklaim status pengungsi di tempat lain di Eropa. Kantor Pengungsi Internasional Nansen menerima penghargaan Nobel Perdamaian sebagai pengakuan strategi yang layak.
So all four of these ideas that I've presented you are ways in which we can expand Amira's choice set. They're ways in which we can have greater choice for refugees beyond those basic, impossible three options I explained to you and still leave others better off.
Jadi semua empat ide yang saya tampilkan pada Anda adalah cara-cara yang bisa memperluas set pilihan dari Amira. Mereka adalah cara lebih luas yang bisa kita punya untuk pengungsi melebihi yang sederhana, tiga pilihan yang mustahil Saya jelaskan pada Anda dan masih meninggalkan yang lain lebih baik.
In conclusion, we really need a new vision, a vision that enlarges the choices of refugees but recognizes that they don't have to be a burden. There's nothing inevitable about refugees being a cost. Yes, they are a humanitarian responsibility, but they're human beings with skills, talents, aspirations, with the ability to make contributions -- if we let them.
Sebagai kesimpulan, kita benar-benar butuh visi baru, sebuah visi yang memperbesar pilihan-pilihan para pengungsi tapi menyadari kalau mereka tidak harus jadi beban. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengungsi memerlukan biaya. Benar, mereka adalah tanggung jawab kemanusiaan, tapi mereka juga manusia dengan keterampilan, bakat, aspirasi, dengan kemampuan untuk berkontribusi -- kalau kita membolehkan.
In the new world, migration is not going to go away. What we've seen in Europe will be with us for many years. People will continue to travel, they'll continue to be displaced, and we need to find rational, realistic ways of managing this -- not based on the old logics of humanitarian assistance, not based on logics of charity, but building on the opportunities offered by globalization, markets and mobility. I'd urge you all to wake up and urge our politicians to wake up to this challenge.
Di dunia yang baru, migrasi tidak akan hilang. Apa yang kita lihat di Eropa akan ada selama bertahun-tahun. Orang-orang akan terus bepergian, mereka kembali mengungsi, dan kita perlu menemukan cara rasional, realistis, untuk mengelola ini bukan berdasarkan logika kuno dari pendampingan kemanusiaan, bukan berdasarkan sumbangan logistik, tapi membangun kesempatan yang ditawarkan oleh globalisasi, pasar, dan mobilitas. Saya mendesak Anda untuk bangun dan mendesak para politisi kita untuk bangun untuk tantangan ini.
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)