I was speaking to a group of about 300 kids, ages six to eight, at a children's museum, and I brought with me a bag full of legs, similar to the kinds of things you see up here, and had them laid out on a table for the kids. And, from my experience, you know, kids are naturally curious about what they don't know, or don't understand, or is foreign to them. They only learn to be frightened of those differences when an adult influences them to behave that way, and maybe censors that natural curiosity, or you know, reins in the question-asking in the hopes of them being polite little kids. So I just pictured a first grade teacher out in the lobby with these unruly kids, saying, "Now, whatever you do, don't stare at her legs."
Saya berbicara dengan kira-kira 300 anak kecil, usia enam sampai delapan tahun, di museum anak-anak, dan saya membawa tas yang dipenuhi oleh kaki, kaki yang sama dengan yang Anda lihat diatas ini, lalu saya letakkan di atas meja, untuk anak-anak. Dan berdasarkan pengalaman saya, anak-anak biasanya penasaran akan hal-hal yang mereka tidak tahu, atau tidak mengerti, atau hal yang asing bagi mereka. Mereka mulai belajar untuk takut akan perbedaan ketika orang dewasa mempengaruhi mereka untuk berlaku demikian, dan akhirnya meredam rasa ingin tahu mereka, seperti yang Anda tahu, meredam keinginan mereka untuk bertanya agar mereka menjadi anak yang penurut. Jadi, saya membayangkan seorang guru kelas satu di lobi bersama anak-anak bandel ini, berkata, "Sekarang apapun yang kamu lakukan, jangan tatap kakinya."
But, of course, that's the point. That's why I was there, I wanted to invite them to look and explore. So I made a deal with the adults that the kids could come in without any adults for two minutes on their own. The doors open, the kids descend on this table of legs, and they are poking and prodding, and they're wiggling toes, and they're trying to put their full weight on the sprinting leg to see what happens with that. And I said, "Kids, really quickly -- I woke up this morning, I decided I wanted to be able to jump over a house -- nothing too big, two or three stories -- but, if you could think of any animal, any superhero, any cartoon character, anything you can dream up right now, what kind of legs would you build me?"
Tapi tentu saja itulah intinya. Itulah alasan mengapa saya ada di sana, untuk mengundang mereka melihat dan mencari tahu. Jadi saya buat kesepakatan dengan para orang dewasa bahwa anak-anak boleh masuk, tak ada satu pun orang dewasa, selama dua menit, hanya anak-anak. Pintu terbuka, dan anak-anak mengerumuni meja yang dipenuhi kaki, mereka memukul dan mendorong, menggoyangkan jari-jari yang berada di meja, lalu menekan kaki untuk lari dengan berat tubuh mereka, untuk melihat apa yang terjadi. Dan saya berkata, "Anak-anak, cepat-- Saya bangun pagi ini, saya memutuskan untuk melompati sebuah rumah -- tidak terlalu besar, dua atau tiga lantai saja -- tapi, jika kalian punya ide hewan, superhero, atau karakter kartun apa pun, apapun yang bisa kalian pikirkan sekarang, kaki seperti apa yang akan kalian berikan untuk saya?"
And immediately a voice shouted, "Kangaroo!" "No, no, no! Should be a frog!" "No. It should be Go Go Gadget!" "No, no, no! It should be the Incredibles." And other things that I don't -- aren't familiar with. And then, one eight-year-old said, "Hey, why wouldn't you want to fly too?" And the whole room, including me, was like, "Yeah." (Laughter) And just like that, I went from being a woman that these kids would have been trained to see as "disabled" to somebody that had potential that their bodies didn't have yet. Somebody that might even be super-abled. Interesting.
Dan segera seorang anak berseru, "Kanguru!" "Bukan, bukan, bukan! Seharusnya katak!" "Bukan. Seharusnya Go Go Gadget!" "Bukan, bukan, bukan! Sebaiknya The Incredibles." Dan jawaban-jawaban lainnya yang saya tidak familiar. Lalu seorang anak delapan tahun berkata, "Hey, kenapa tidak sekalian terbang juga?" Dan semua yang ada di dalam ruangan, termasuk saya berkata "Yeah". (Tertawa) Dan seperti itulah, saya berubah dari seorang wanita yang kepada anak-anak ini diajarkan sebagai "orang cacat" menjadi seseorang yang penuh potensi, yang tubuh mereka tidak miliki. Menjadi seseorang yang memiliki kemampuan super. Menarik.
So some of you actually saw me at TED, 11 years ago. And there's been a lot of talk about how life-changing this conference is for both speakers and attendees, and I am no exception. TED literally was the launch pad to the next decade of my life's exploration. At the time, the legs I presented were groundbreaking in prosthetics. I had woven carbon fiber sprinting legs modeled after the hind leg of a cheetah, which you may have seen on stage yesterday. And also these very life-like, intrinsically painted silicone legs.
Mungkin beberapa dari kalian melihat saya di TED, 11 tahun lalu, dan sudah banyak dibicarakan bahwa konferensi ini mengubah hidup orang baik pembicara maupun peserta, dan saya juga termasuk di dalamnya. TED adalah lompatan awal saya memasuki dekade baru kehidupan saya. Saat itu, kaki yang saya perlihatkan adalah terobosan dalam dunia prostetik. Saya punya kaki lari jarak pendek yang terbuat dari woven carbon dimodelkan seperti kaki belakang cheetah, yang mungkin sudah Anda lihat di panggung pada saat itu. Dan juga kaki ini yang sangat mirip aslinya, kaki dari silikon yang dicat.
So at the time, it was my opportunity to put a call out to innovators outside the traditional medical prosthetic community to come bring their talent to the science and to the art of building legs. So that we can stop compartmentalizing form, function and aesthetic, and assigning them different values. Well, lucky for me, a lot of people answered that call. And the journey started, funny enough, with a TED conference attendee -- Chee Pearlman, who hopefully is in the audience somewhere today. She was the editor then of a magazine called ID, and she gave me a cover story.
Jadi waktu itu adalah kesempatan saya untuk mengundang para inovator di luar komunitas prostetik medis tradisional untuk keluar memperlihatkan bakat mereka dalam ilmu pengetahuan dan seni menciptakan kaki. Sehingga kita tidak lagi memisahkan bentuk, fungsi dan estetika, dan memberikan mereka nilai-nilai yang berbeda. Saya beruntung, banyak orang yang menjawab undangan tersebut. Dan dari sanalah perjalanan dimulai, cukup lucu, diawali oleh peserta konferensi TED -- Chee Pearlman, yang saya harap menonton hari ini. Pada saat itu ia adalah editor majalah ID, dan ia menjadikan saya sampul utama.
This started an incredible journey. Curious encounters were happening to me at the time; I'd been accepting numerous invitations to speak on the design of the cheetah legs around the world. And people would come up to me after the conference, after my talk, men and women. And the conversation would go something like this, "You know Aimee, you're very attractive. You don't look disabled." (Laughter) I thought, "Well, that's amazing, because I don't feel disabled." And it really opened my eyes to this conversation that could be explored, about beauty. What does a beautiful woman have to look like? What is a sexy body? And interestingly, from an identity standpoint, what does it mean to have a disability? I mean, people -- Pamela Anderson has more prosthetic in her body than I do. Nobody calls her disabled. (Laughter)
Dimulailah perjalanan yang luar biasa. Banyak yang ingin berjumpa dengan saya saat itu; Saya menerima banyak undangan untuk berbicara mengenai desain kaki cheetah ke seluruh dunia. Orang-orang menghampiri saya setelah konferensi, setelah saya bicara, pria dan wanita. Pembicaraan menjadi seperti ini, "Kamu tahu Aimee, kamu sangat menarik. Kamu tidak terlihat cacat." (Tertawa) Saya pikir, "Wah ini mengagumkan, karena saya sendiri tidak merasa cacat." Dan hal ini membuka mata saya mengenai hal-hal yang bisa kita eksplorasi, mengenai kecantikan. Seperti apa wanita cantik harus tampil? Seperti apa tubuh yang seksi? Dan yang menarik, dari sudut pandang identitas diri, seperti apa artinya memiliki kecacatan? Maksud saya -- bahkan Pamela Anderson memiliki tubuh yang lebih prostetik dari saya. Tidak ada yang menyebutnya cacat. (Tertawa)
So this magazine, through the hands of graphic designer Peter Saville, went to fashion designer Alexander McQueen, and photographer Nick Knight, who were also interested in exploring that conversation. So, three months after TED I found myself on a plane to London, doing my first fashion shoot, which resulted in this cover -- "Fashion-able"? Three months after that, I did my first runway show for Alexander McQueen on a pair of hand-carved wooden legs made from solid ash. Nobody knew -- everyone thought they were wooden boots. Actually, I have them on stage with me: grapevines, magnolias -- truly stunning. Poetry matters. Poetry is what elevates the banal and neglected object to a realm of art. It can transform the thing that might have made people fearful into something that invites them to look, and look a little longer, and maybe even understand.
Jadi majalah ini, melalui tangan desainer grafis Peter Saville, hingga ke desainer fashion Alexander McQueen, dan fotografer Nick Knight, yang juga tertarik untuk mengeksplorasi hal tersebut. Jadi, tiga bulan setelah TED saya berada di pesawat ke London, untuk melakukan foto fashion pertama saya, yang hasilnya adalah sampul ini -- Fashion-able? Tiga bulan setelahnya, saya melakukan peragaan busana pertama saya untuk Alexander McQueen dengan kaki kayu buatan tangan. Tidak ada yang tahu -- semua mengira itu adalah sepatu bot kayu. Sebenarnya, saya membawanya sekarang: Pohon anggur, magnolia, benar-benar menarik. Seni puisi itu bermakna. Puisilah yang mengangkat benda biasa atau terabaikan ke dalam dunia yang berseni. Ia mampu mengubah hal yang mungkin menakutkan bagi orang menjadi sesuatu yang mengundang untuk dilihat, dan dilihat lebih lama lagi, dan bahkan dimengerti.
I learned this firsthand with my next adventure. The artist Matthew Barney, in his film opus called the "The Cremaster Cycle." This is where it really hit home for me -- that my legs could be wearable sculpture. And even at this point, I started to move away from the need to replicate human-ness as the only aesthetic ideal. So we made what people lovingly referred to as glass legs even though they're actually optically clear polyurethane, a.k.a. bowling ball material. Heavy! Then we made these legs that are cast in soil with a potato root system growing in them, and beetroots out the top, and a very lovely brass toe. That's a good close-up of that one. Then another character was a half-woman, half-cheetah -- a little homage to my life as an athlete. 14 hours of prosthetic make-up to get into a creature that had articulated paws, claws and a tail that whipped around, like a gecko. (Laughter) And then another pair of legs we collaborated on were these -- look like jellyfish legs, also polyurethane. And the only purpose that these legs can serve, outside the context of the film, is to provoke the senses and ignite the imagination. So whimsy matters.
Saya mempelajarinya di petualangan saya yang berikutnya. Seniman Matthew Barney, dalam filmnya "The Cremaster Cycle." Inilah yang menyadarkan saya -- bahwa kaki saya adalah seni pahat yang bisa dipakai. Dan sejak saat itu, saya tidak lagi melihat bahwa mirip seperti kaki manusia adalah satu-satunya tampilan yang ideal. Jadi kami membuat kaki yang dilihat orang sebagai kaki kaca meskipun sebenarnya terbuat dari polyurethane yang transparan, bahan yang sama untuk bola bowling. Berat! Lalu kami membuat kaki yang dibentuk seperti tanah dengan akar kentang tumbuh di sana, dan gula bit di atasnya, dan jari kaki yang amat cantik. Ini gambarnya. Lalu ada karakter setengah wanita, setengah cheetah -- sedikit penghormatan atas hidup saya sebagai atlet. 14 jam melakukan rias tubuh prostetik agar bisa menjadi makhluk yang memiliki cakar, kuku dan ekor yang menebas sekelilingnya, seperti kadal tokek. (Tertawa) Lalu sepasang kaki lain yang merupakan hasil kerjasama kami ... terlihat seperti kaki ubur-ubur. Juga terbuat dari polyurethane. Dan satu-satunya tujuan dari kaki ini, di luar konteks film, adalah untuk memprovokasi indera dan menyalakan imajinasi. Sungguh hal yang aneh.
Today, I have over a dozen pair of prosthetic legs that various people have made for me, and with them I have different negotiations of the terrain under my feet, and I can change my height -- I have a variable of five different heights. (Laughter) Today, I'm 6'1". And I had these legs made a little over a year ago at Dorset Orthopedic in England and when I brought them home to Manhattan, my first night out on the town, I went to a very fancy party. And a girl was there who has known me for years at my normal 5'8". Her mouth dropped open when she saw me, and she went, "But you're so tall!" And I said, "I know. Isn't it fun?" I mean, it's a little bit like wearing stilts on stilts, but I have an entirely new relationship to door jams that I never expected I would ever have. And I was having fun with it. And she looked at me, and she said, "But, Aimee, that's not fair." (Laughter) (Applause) And the incredible thing was she really meant it. It's not fair that you can change your height, as you want it.
Hingga hari ini, saya memiliki lebih dari selusin pasang kaki prostetik yang telah dibuatkan untuk saya, menggunakan mereka saya bisa bernegosiasi untuk kaki saya. Dan saya bisa menggubah tinggi saya -- Saya memiliki lima tinggi tubuh yang berbeda. (Tertawa) Hari ini saya 6'1" Dan saya memiliki kaki ini yang dibuat beberapa tahun yang lalu di Dorset Orthopaedic di Inggris dan ketika saya bawa pulang ke Manhattan, di malam pertama saya di sana, saya pergi ke sebuah pesta yang amat megah. Seorang wanita yang mengenal saya bertahun-tahun juga ada di sana ia tahu tinggi saya 5'8". Mulutnya menganga saat ia melihat saya, dan ia berkata, "Tapi kamu tinggi sekali!" Dan saya bilang, "Ya. Tidakkah ini menyenangkan?" Maksud saya, ini seperti berdiri dengan stik egrang, namun membuat saya dipandang berbeda yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan saya menikmatinya. Lalu ia melihat saya, dan berkata, "Tapi Aimee, ini tidak adil." (Tertawa) (Tepuk tangan) Yang menakjubkan adalah, ia sungguh-sungguh mengatakannya. Tidak adil jika kamu dapat mengubah tinggi badanmu, seperti yang kamu inginkan.
And that's when I knew -- that's when I knew that the conversation with society has changed profoundly in this last decade. It is no longer a conversation about overcoming deficiency. It's a conversation about augmentation. It's a conversation about potential. A prosthetic limb doesn't represent the need to replace loss anymore. It can stand as a symbol that the wearer has the power to create whatever it is that they want to create in that space. So people that society once considered to be disabled can now become the architects of their own identities and indeed continue to change those identities by designing their bodies from a place of empowerment. And what is exciting to me so much right now is that by combining cutting-edge technology -- robotics, bionics -- with the age-old poetry, we are moving closer to understanding our collective humanity. I think that if we want to discover the full potential in our humanity, we need to celebrate those heartbreaking strengths and those glorious disabilities that we all have. I think of Shakespeare's Shylock: "If you prick us, do we not bleed, and if you tickle us, do we not laugh?" It is our humanity, and all the potential within it, that makes us beautiful. Thank you. (Applause)
Itulah saat dimana saya mengetahui -- bahwa topik pembicaraan dalam masyarakat telah amat berubah dalam dekade terakhir ini. Bukan lagi membicarakan bagaimana mengatasi kekurangan. Tapi pembicaraan mengenai penambahan. Pembicaraan mengenai potensi. Kaki atau tangan prostetik tidak lagi dilihat untuk menggantikan yang hilang. Tapi bisa menjadi simbol bahwa si pemakainya bisa menciptakan apapun yang mereka inginkan di bagian itu. Jadi orang-orang yang tadinya dipandang masyarakat sebagai orang cacat kini bisa menjadi arsitek untuk identitas diri mereka sendiri dan terus menerus mengubah identitas itu dengan mendesain tubuh mereka menjadi sesuatu yang menguatkan diri. Dan yang amat menarik bagi saya sekarang adalah dengan mengkombinasikan teknologi baru -- robotik, bionik -- dengan seni puisi antik, kita semakin memahami kemanusiaan. Saya pikir jika kita mau menemukan potensi kita sepenuhnya dalam kemanusiaan kita, kita perlu merayakan kekuatan kita yang luar biasa dan kegemilangan dari ketidakmampuan yang kita miliki. Saya teringat Shylock, salah satu karakter Shakespeare: "Jika kamu menikam kami, apakah kami tidak berdarah, dan jika kamu menggelitiki kami, apakah kami tidak tertawa?" Itulah kemanusiaan kita, dan dengan segala potensi di dalamnya, yang membuat kita menjadi cantik. Terima kasih. (Tepuk tangan)