Welcome to Bayeku, a riverine community in Ikorodu, Lagos -- a vivid representation of several riverine communities across Nigeria, communities whose waterways have been infested by an invasive aquatic weed; communities where economic livelihoods have been hampered: fishing, marine transportation and trading; communities where fish yields have diminished; communities where schoolchildren are unable to go to school for days, sometimes weeks, on end. Who would have thought that this plant with round leaves, inflated stems, and showy, lavender flowers would cause such havoc in these communities.
Selamat datang di Bayeku, sebuah komunitas sungai di Ikorodu, Lagos-- satu representasi nyata dari beberapa komunitas sungai di Nigeria, komunitas yang jalur airnya dipenuhi gulma air yang invasif; komunitas dimana aktivitas ekonomi seperti memancing, transportasi air dan perdagangan terhambat, komunitas dimana tangkapan ikannya telah berkurang; komunitas di mana anak sekolah tidak bisa pergi ke sekolah selama berhari-hari, kadang berminggu-minggu, berturut-turut. Siapa yang menyangka tanaman ini, dengan daun bulat, tangkai menggelembung dan bunga ungu yang mencolok, dapat menyebabkan malapetaka di komunitas ini. Tanaman ini dikenal sebagai eceng gondok
The plant is known as water hyacinth and its botanical name, Eichhornia crassipes. Interestingly, in Nigeria, the plant is also known by other names, names associated with historical events, as well as myths. In some places, the plant is called Babangida. When you hear Babangida, you remember the military and military coups. And you think: fear, restraint. In parts of Nigeria in the Niger Delta, the plant is also known as Abiola. When you hear Abiola, you remember annulled elections and you think: dashed hopes. In the southwestern part of Nigeria, the plant is known as Gbe'borun. Gbe'borun is a Yoruba phrase which translates to "gossip," or "talebearer." When you think of gossip, you think: rapid reproduction, destruction. And in the Igala-speaking part of Nigeria, the plant is known as A Kp'iye Kp'oma, And when you hear that, you think of death. It literally translates to "death to mother and child."
dan nama ilmiahnya adalah Eichhornia crassipes. Menariknya, tanaman ini juga dikenal dengan nama lain di Nigeria, nama yang berhubungan dengan peristiwa sejarah dan juga mitos. Di beberapa tempat, tanaman ini disebut Babangida. Saat mendengar Babangida, yang teringat adalah militer dan kudeta militer. Anda lalu terpikir: rasa takut, terkekang. Di beberapa tempat di Delta Niger, tanaman ini dikenal juga sebagai Abiola. Saat mendengar Abiola, yang teringat adalah pemilu yang dibatalkan dan Anda berpikir: harapan yang hancur. Di bagian Barat Daya Nigeria, tanaman ini dikenal sebagai Gbe'borun. Gbe'borun adalah ungkapan bahasa Yoruba, artinya "gosip" atau "pembawa cerita." Saat Anda memikirkan gosip, Anda terpikir reproduksi yang cepat, kehancuran. Dan di wilayah Nigeria yang berbahasa Igala tanaman ini dikenal sebagai A Kp'iye Kp'oma. Saat Anda mendengarnya, Anda terpikir kematian. Secara harfiah artinya "kematian bagi ibu dan anak."
I personally had my encounter with this plant in the year 2009. It was shortly after I had relocated from the US to Nigeria. I'd quit my job in corporate America and decided to take this big leap of faith, a leap of faith that came out of a deep sense of conviction that there was a lot of work to do in Nigeria in the area of sustainable development. And so here I was in the year 2009, actually, at the end of 2009, in Lagos on the Third Mainland Bridge.
Saya bertemu tanaman ini pada tahun 2009, tak lama setelah saya pindah dari Amerika ke Nigeria. Saya berhenti dari pekerjaan saya di perusahaan besar di AS dan memutuskan untuk melakukan lompatan besar ini, karena saya amat sangat yakin bahwa banyak yang harus dilakukan di sektor pembangunan berkelanjutan di Nigeria. Jadi pada tahun 2009, sebenarnya, di akhir tahun 2009, saya berada di Lagos, di Third Mainland Bridge.
And I looked to my left and saw this very arresting image. It was an image of fishing boats that had been hemmed in by dense mats of water hyacinth. And I was really pained by what I saw because I thought to myself, "These poor fisherfolk, how are they going to go about their daily activities with these restrictions." And then I thought, "There's got to be a better way." A win-win solution whereby the environment is taken care of by the weeds being cleared out of the way and then this being turned into an economic benefit for the communities whose lives are impacted the most by the infestation of the weed. That, I would say, was my spark moment.
Saya melihat ke kiri dan saya melihat pemandangan yang sangat mencekat. Saya melihat perahu-perahu nelayan yang dikepung oleh hamparan eceng gondok yang (tumbuh) rapat. Pemandangan itu sangat menyakitkan bagi saya, waktu itu saya berpikir, "Bagaimana para nelayan yang malang itu akan menjalani aktivitas keseharian mereka dengan hambatan ini." Kemudian saya berpikir, "Pasti ada jalan yang lebih baik." Solusi yang saling menguntungkan dimana lingkungan terjaga dengan dibersihkannya gulma yang lalu dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi komunitas-komunitas paling terdampak oleh wabah gulma tersebut. Menurut saya, itu adalah momen yang menginspirasi saya.
And so I did further research to find out more about the beneficial uses of this weed. Out of the several, one struck me the most. It was the use of the plant for handicrafts. And I thought, "What a great idea." Personally, I love handicrafts, especially handicrafts that are woven around a story. And so I thought, "This could be easily deployed within the communities without the requirement of technical skills." And I thought to myself, "Three simple steps to a mega solution."
Saya melakukan riset lebih lanjut untuk mencari tahu pemanfaatan gulma ini. Dari beberapa manfaat eceng gondok, ada satu yang membuat saya terkesan. yaitu penggunaannya untuk kerajinan. Saya pikir, "Ini adalah ide bagus." Secara pribadi, saya suka kerajinan, terutama kerajinan yang dirajut dari sebuah cerita. Jadi saya pikir, "Ini bisa diterapkan dengan mudah pada masyarakat tanpa membutuhkan keterampilan teknis." Saya berkata pada diri saya sendiri, "Tiga langkah mudah untuk solusi besar."
First step: Get out into the waterways and harvest the water hyacinth. That way, you create access.
Langkah pertama: Turun ke air dan memanen eceng gondok. Dengan begitu, kita menciptakan akses.
Secondly, you dry the water hyacinth stems.
Kedua, keringkan batang eceng gondok.
And thirdly, you weave the water hyacinth into products.
Ketiga, rajut eceng gondok menjadi produk.
The third step was a challenge. See, I'm a computer scientist by background and not someone in the creative arts. And so I began my quest to find out how I can learn how to weave.
Langkah ketiga adalah tantangan. Latar belakang saya adalah ahli komputer dan bukan seorang yang bekerja pada kesenian kreatif. Jadi, saya mulai pencarian saya untuk mencari tahu bagaimana saya bisa belajar cara merajut.
And this quest took me to a community in Ibadan, where I lived, called Sabo. Sabo translates to "strangers' quarters." And the community is predominantly made up of people from the northern part of the country. So I literally took my dried weeds in hand, there were several more of them, and went knocking from door to door to find out who could teach me how to weave these water hyacinth stems into ropes. And I was directed to the shed of Malam Yahaya. The problem, though, is that Malam Yahaya doesn't speak English and neither did I speak Hausa. But some little kids came to the rescue and helped translate. And that began my journey of learning how to weave and transform these dried water hyacinth stems into long ropes.
Pencarian ini membawa saya ke sebuah komunitas di Ibadan, tempat saya tinggal, namanya Sabo. Sabo artinya "tempat orang asing." Sebagian besar komunitas itu terdiri atas orang-orang dari bagian Utara Nigeria. Jadi saya membawa beberapa gulma kering di tangan saya dan berkunjung dari rumah ke rumah untuk mencari seseorang yang bisa mengajar saya untuk merajut batang eceng gondok menjadi tali. Saya diarahkan ke gubuk Malam Yahaya. Masalahnya, Malam Yahaya tidak bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Hausa. Tapi ada beberapa anak kecil yang membantu menerjemahkan. Dan itulah awal perjalanan saya untuk belajar merajut dan mengubah batang eceng gondok kering menjadi tali panjang.
With my long ropes in hand, I was now equipped to make products. And that was the beginning of partnerships. Working with rattan basket makers to come up with products. So with this in hand, I felt confident that I would be able to take this knowledge back into the riverine communities and help them to transform their adversity into prosperity. So taking these weeds and actually weaving them into products that can be sold. So we have pens, we have tableware, we have purses, we have tissue boxes. Thereby, helping the communities to see water hyacinth in a different light. Seeing water hyacinth as being valuable, being aesthetic, being durable, tough, resilient. Changing names, changing livelihoods.
Dengan tali panjang di tangan, saya siap untuk membuat produk. Dan itu adalah awal dari kemitraan. Bermitra dengan pembuat keranjang rotan untuk menghasilkan produk. Dengan ini, saya merasa percaya diri bahwa saya bisa membawa pulang pengetahuan ini ke komunitas-komunitas sungai dan membantu mereka mengubah kesulitan mereka menjadi kesejahteraan. Jadi menggunakan gulma dan merajutnya menjadi produk yang bisa dijual. Kami membuat pulpen, alat makan, dompet, kotak tisu. Dan dengan demikian membantu masyarakat melihat eceng gondok secara berbeda. Melihat eceng gondok sebagai tanaman yang bernilai, indah, tahan lama, kuat, dan fleksibel. Mengubah nama, mengubah penghidupan.
From Gbe'borun, gossip, to Olusotan, storyteller. And from A Kp'iye Kp'oma, which is "killer of mother and child," to Ya du j'ewn w'Iye kp'Oma, "provider of food for mother and child."
Dari Gbe'borun, gosip, menjadi Olusotan, penutur cerita. Dan dari A Kp'iye Kp'oma, "pembunuh ibu dan anak" menjadi Ya du j'ewn w'Iye kp'Oma, "penyedia makanan bagi ibu dan anak." Saya ingin mengakhiri dengan sebuah kutipan dari Michael Margolis.
And I'd like to end with a quote by Michael Margolis. He said, "If you want to learn about a culture, listen to the stories. And if you want to change a culture, change the stories."
Beliau berkata, "Jika Anda ingin belajar suatu budaya, dengar cerita-cerita mereka. Dan jika Anda ingin mengubah suatu budaya, ubah cerita-cerita mereka." Demikianlah, dari komunitas Makoko, ke Abobiri, ke Ewoi,
And so, from Makoko community, to Abobiri, to Ewoi, to Kolo, to Owahwa, Esaba, we have changed the story.
ke Kolo, lalu Owahwa, Esaba, kami telah mengubah cerita.
Thank you for listening.
Terima kasih sudah mendengarkan.
(Applause)
(Tepuk tangan)