A few months ago, a 40 year-old woman came to an emergency room in a hospital close to where I live, and she was brought in confused. Her blood pressure was an alarming 230 over 170. Within a few minutes, she went into cardiac collapse. She was resuscitated, stabilized, whisked over to a CAT scan suite right next to the emergency room, because they were concerned about blood clots in the lung. And the CAT scan revealed no blood clots in the lung, but it showed bilateral, visible, palpable breast masses, breast tumors, that had metastasized widely all over the body. And the real tragedy was, if you look through her records, she had been seen in four or five other health care institutions in the preceding two years. Four or five opportunities to see the breast masses, touch the breast mass, intervene at a much earlier stage than when we saw her.
Beberapa bulan lalu, seorang wanita berusia 40 tahun masuk ke ruang gawat darurat di rumah sakit dekat tempat tinggal saya dalam keadaan kacau. Tekanan darahnya sangat mengkhawatirkan 230 - 170. Dalam beberapa menit, dia mengalami gagal jantung. Dia disadarkan dan distabilkan dan dibawa ke ruang pemindaian CAT tepat di sebelah ruang gawat darurat karena mereka khawatir ada pembekuan darah di paru-parunya Dan pemindaian CAT menunjukkan tidak ada pembekuan darah di paru-paru namun menunjukkan gumpalan yang jelas terlihat dari kanker payudara yang telah menyebar luas ke seluruh tubuhnya Dan tragedi sebenarnya adalah, jika Anda melihat rekaman medisnya, dia telah menemui empat atau lima pusat layanan kesehatan dalam setahun terakhir. Empat atau lima kesempatan untuk melihat, untuk meraba gumpalan itu dan mengobatinya pada tahap yang lebih awal daripada saat kami melihatnya.
Ladies and gentlemen, that is not an unusual story. Unfortunately, it happens all the time. I joke, but I only half joke, that if you come to one of our hospitals missing a limb, no one will believe you till they get a CAT scan, MRI or orthopedic consult. I am not a Luddite. I teach at Stanford. I'm a physician practicing with cutting-edge technology. But I'd like to make the case to you in the next 17 minutes that when we shortcut the physical exam, when we lean towards ordering tests instead of talking to and examining the patient, we not only overlook simple diagnoses that can be diagnosed at a treatable, early stage, but we're losing much more than that. We're losing a ritual. We're losing a ritual that I believe is transformative, transcendent, and is at the heart of the patient-physician relationship. This may actually be heresy to say this at TED, but I'd like to introduce you to the most important innovation, I think, in medicine to come in the next 10 years, and that is the power of the human hand -- to touch, to comfort, to diagnose and to bring about treatment.
Para hadirin, ini bukanlah kisah luar biasa. Sayangnya, hal ini terjadi setiap saat. Saya bercanda, namun setengah bercanda, namun jika Anda datang ke rumah sakit saat kaki atau tangan Anda hilang, tidak ada yang akan percaya sebelum melakukan pemindaian CAT, MRI, atau nasehat dari ahli bedah tulang. Saya bukan kaum Luddite, saya mengajar di Stanford. Saya adalah dokter yang menggunakan teknologi mutakhir. Namun saya ingin mengajukan dalam 17 menit ke depan bahwa saat kita menghilangkan pemeriksaan fisik, saat kita mengandalkan berbagai tes ketimbang berbicara dan memeriksa pasien, kita tidak hanya melewatkan diagnosa sederhana yang dapat diketahui pada awal, saat masih bisa dirawat, namun kita kehilangan lebih banyak lagi. Kita kehilangan ritual. Kita kehilangan ritual yang saya yakini adalah transformatif dan menurun, yaitu pada pusat dari hubungan pasien dan dokter. Ini mungkin tidak pantas disampaikan di TED, namun saya ingin memperkenalkan penemuan yang saya pikir paling penting, dalam kedokteran yang akan muncul dalam 10 tahun ke depan, yaitu kekuatan dari tangan manusia -- untuk menyentuh, menghibur, mendiagnosa, dan memberikan perawatan.
I'd like to introduce you first to this person whose image you may or may not recognize. This is Sir Arthur Conan Doyle. Since we're in Edinburgh, I'm a big fan of Conan Doyle. You might not know that Conan Doyle went to medical school here in Edinburgh, and his character, Sherlock Holmes, was inspired by Sir Joseph Bell. Joseph Bell was an extraordinary teacher by all accounts. And Conan Doyle, writing about Bell, described the following exchange between Bell and his students.
Saya ingin terlebih dahulu mengenalkan Anda pada orang ini mungkin Anda kenal dengan gambarnya. Dia adalah Sir Arthur Conan Doyle. Karena saya tinggal di Edinburgh, saya penggembar beratnya. Anda mungkin tidak tahu kalau Conan Doyle mengambil kuliah kedokteran di Edinburgh, dan tokonya, Sherlock Holmes, diilhami oleh Sir Joseph Bell. Joseph Bell adalah guru yang luar biasa dalam segala hal. Dan Conan Doyle, menulis tentang Bell, tentang percakapan berikut antara Bell dengan para siswanya.
So picture Bell sitting in the outpatient department, students all around him, patients signing up in the emergency room and being registered and being brought in. And a woman comes in with a child, and Conan Doyle describes the following exchange. The woman says, "Good Morning." Bell says, "What sort of crossing did you have on the ferry from Burntisland?" She says, "It was good." And he says, "What did you do with the other child?" She says, "I left him with my sister at Leith." And he says, "And did you take the shortcut down Inverleith Row to get here to the infirmary?" She says, "I did." And he says, "Would you still be working at the linoleum factory?" And she says, "I am."
Jadi bayangkan Bell duduk di bagian rawat jalan para siswanya berkumpul di sekelilingnya, dan pasien datang ke ruang gawat darurat mendaftarkan diri dan masuk. Seorang wanita datang bersama anaknya dan Conan Doyle menulis percakapan berikut. Wanita itu berkata, "Selamat pagi." Bell menjawab, "Bagaimana perjalananmu di atas kapal feri dari Burntisland?" Dia menjawab, "Baik." Dan dia berkata, "Bagaimana dengan anakmu yang lain?" Dia menjawab, "Saya menitipkannya di rumah saudara saya di Leith." Dan dia berkata, "Dan apa kau mengambil jalan pintas melewati Inverleith Row menuju rumah sakit ini? Dia menjawab, "Iya." Dan dia berkata, "Kau masih bekerja di pabrik linolium?" Dan dia menjawab, "Iya."
And Bell then goes on to explain to the students. He says, "You see, when she said, 'Good morning,' I picked up her Fife accent. And the nearest ferry crossing from Fife is from Burntisland. And so she must have taken the ferry over. You notice that the coat she's carrying is too small for the child who is with her, and therefore, she started out the journey with two children, but dropped one off along the way. You notice the clay on the soles of her feet. Such red clay is not found within a hundred miles of Edinburgh, except in the botanical gardens. And therefore, she took a short cut down Inverleith Row to arrive here. And finally, she has a dermatitis on the fingers of her right hand, a dermatitis that is unique to the linoleum factory workers in Burntisland." And when Bell actually strips the patient, begins to examine the patient, you can only imagine how much more he would discern. And as a teacher of medicine, as a student myself, I was so inspired by that story.
Kemudian Bell menjelaskan kepada para siswanya. Dia berkata, "Kau tahu, saat dia berkata, 'Selamat pagi.' saya mendengar logat Fife. Dan pelabuhan feri terdekat dari Fife adalah Burntisland. Jadi dia pasti telah naik feri. Kau lihat pada mantel yang dia bawa itu terlalu kecil untuk anak yang dibawanya, sehingga, dia mulai perjalanan dengan dua anak, namun menitipkan seorang anak di jalan. Kau lihat tanah liat pada tapak kakinya. Tanah liat merah semacam itu tidak ada dalam jarak 100 mil dari Edinburgh, kecuali di kebun raya. Sehingga dia mengambil jalan pintas melalui Inverleith Row untuk sampai kemari. Dan terakhir, dia menderita infeksi kulit pada jari tangan kanannya, infeksi kulit yang unik yang hanya diderita oleh buruh pabrik di Burntisland." Dan saat Bell membuka pakaian pasien itu dan mulai memeriksanya, Anda dapat membayangkan betapa dia memahami hal itu. Dan sebagai guru di sekolah kedokteran, dan juga siswa, saya sangat terilhami oleh kisah ini.
But you might not realize that our ability to look into the body in this simple way, using our senses, is quite recent. The picture I'm showing you is of Leopold Auenbrugger who, in the late 1700s, discovered percussion. And the story is that Leopold Auenbrugger was the son of an innkeeper. And his father used to go down into the basement to tap on the sides of casks of wine to determine how much wine was left and whether to reorder. And so when Auenbrugger became a physician, he began to do the same thing. He began to tap on the chests of his patients, on their abdomens. And basically everything we know about percussion, which you can think of as an ultrasound of its day -- organ enlargement, fluid around the heart, fluid in the lungs, abdominal changes -- all of this he described in this wonderful manuscript "Inventum Novum," "New Invention," which would have disappeared into obscurity, except for the fact that this physician, Corvisart, a famous French physician -- famous only because he was physician to this gentleman -- Corvisart repopularized and reintroduced the work.
Namun Anda mungkin tidak menyadari bahwa kemampuan kita untuk melihat ke dalam tubuh dengan cara sederhana, dengan indera kita, cukup baru. Gambar yang saya tunjukkan adalah Leopold Auenbrugger yang pada akhir 1700-an menemukan perkusi. Dan Leopold Auenbrugger adalah putra pengurus penginapan. Awalnya ayahnya harus turun ke ruang bawah tanah untuk mengetuk sisi tong anggur untuk mengetahui berapa banyak anggur yang tersisa dan apakah harus memesan kembali. Sehingga saat Auenbrugger menjadi dokter, dia mulai melakukan hal yang sama. Dia mengetuk dada pasiennya di daerah perutnya. Dan semua yang Anda bisa pikirkan tentang perkusi yang bisa Anda anggap sebagai USG saat itu -- perbesaran organ, cairan di sekitar jantung, cairan di paru-paru, perubahan perut -- semua hal ini digambarkannya dalam naskah luar biasa ini "Inventum Novum," "Penemuan Baru," yang kemudian menghilang kecuali fakta bahwa dokter ini, Corvisart, seorang dokter Perancis terkenal -- hanya karena dia adalah dokter orang ini -- Corvisart mempopulerkan dan mengenalkan kembali hal itu.
And it was followed a year or two later by Laennec discovering the stethoscope. Laennec, it is said, was walking in the streets of Paris and saw two children playing with a stick. One was scratching at the end of the stick, another child listened at the other end. And Laennec thought this would be a wonderful way to listen to the chest or listen to the abdomen using what he called "the cylinder." Later he renamed it the stethoscope. And that is how stethoscope and auscultation was born. So within a few years, in the late 1800s, early 1900s, all of a sudden, the barber surgeon had given way to the physician who was trying to make a diagnosis.
Kemudian satu atau dua tahun berikutnya Laennac menemukan stetoskop. Laennac, menurut cerita, berjalan di jalanan kota Paris dan melihat dua anak bermain dengan tongkat. Yang satu menggores ujung tongkat itu dan anak lain mendengar pada ujung satunya. Dan Laennac berpikir ini akan menjadi cara yang bagus untuk mendengarkan dada atau perut menggunakan apa yang disebutnya "silinder." Dia kemudian mengubah namanya menjadi stetoskop. Begitulah stetoskop dan auskultasi ditemukan. Dalam beberapa tahun, di akhir 1800-an, awal 1900-an, tiba-tiba saja "Tukang cukur bedah" tersingkirkan oleh dokter yang mencoba membuat diagnosis.
If you'll recall, prior to that time, no matter what ailed you, you went to see the barber surgeon who wound up cupping you, bleeding you, purging you. And, oh yes, if you wanted, he would give you a haircut -- short on the sides, long in the back -- and pull your tooth while he was at it. He made no attempt at diagnosis. In fact, some of you might well know that the barber pole, the red and white stripes, represents the blood bandages of the barber surgeon, and the receptacles on either end represent the pots in which the blood was collected. But the arrival of auscultation and percussion represented a sea change, a moment when physicians were beginning to look inside the body.
Jika Anda ingat, sebelum saat itu tidak peduli Anda sakit apa, Anda pergi ke tukang cukur bedah yang meliukkan Anda, mengambil darah dan membersihkan Anda. Dan, jika Anda mau dia bisa memangkas rambut Anda -- di samping pendek, di belakang panjang -- sekaligus mencabut gigi Anda. Dia tidak mencoba membuat diagnosis. Sebenarnya, mungkin ada yang tahu bahwa papan nama tukang cukur, garis merah dan putih mewakili perban dari tukang cukur berdah dan wadah di ujung satunya mewakili periuk tempat darah itu dikumpulkan. Namun penemuan auskultasi dan perkusi menyebabkan perubahan besar, saat di mana dokter mulai melihat ke dalam tubuh.
And this particular painting, I think, represents the pinnacle, the peak, of that clinical era. This is a very famous painting: "The Doctor" by Luke Fildes. Luke Fildes was commissioned to paint this by Tate, who then established the Tate Gallery. And Tate asked Fildes to paint a painting of social importance. And it's interesting that Fildes picked this topic. Fildes' oldest son, Philip, died at the age of nine on Christmas Eve after a brief illness. And Fildes was so taken by the physician who held vigil at the bedside for two, three nights, that he decided that he would try and depict the physician in our time -- almost a tribute to this physician. And hence the painting "The Doctor," a very famous painting. It's been on calendars, postage stamps in many different countries. I've often wondered, what would Fildes have done had he been asked to paint this painting in the modern era, in the year 2011? Would he have substituted a computer screen for where he had the patient?
Dan lukisan ini, saya rasa menggambarkan puncak dari jaman ini. Ini adalah lukisan yang sangat terkenal: "The Doctor" karya Luke Fildes. Luke Fildes ditugaskan untuk menggambar ini oleh Tate, yang kemudian mendirikan Galeri Tate. Dan Tate meminta Fildes untuk menggambar tentang arti penting sosial. Dan sangat menarik bahwa Fildes memilih topik ini. Putra sulungnya, Philip meninggal di malam Natal pada usia 9 tahun setelah sempat sakit. Dan Fildes sangat terkesan akan dokter yang terus menjaganya selama dua, tiga malam sehingga dia memutuskan untuk mencoba menggambarkan dokter pada jaman kita -- hampir seperti penghormatan kepada dokter itu. Sehingga lukisan "The Doctor," lukisan yang sangat terkenal telah digunakan pada kalender, perangko di berbagai negara. Saya sering berpikir, apa yang akan dilakukan Fildes jika dia diminta menggambar lukisan ini pada jaman modern di tahun 2011? Apakah dia akan mengganti tempat pasien dengan layar komputer?
I've gotten into some trouble in Silicon Valley for saying that the patient in the bed has almost become an icon for the real patient who's in the computer. I've actually coined a term for that entity in the computer. I call it the iPatient. The iPatient is getting wonderful care all across America. The real patient often wonders, where is everyone? When are they going to come by and explain things to me? Who's in charge? There's a real disjunction between the patient's perception and our own perceptions as physicians of the best medical care.
Saya pernah mendapat masalah di Silicon Valley karena mengatakan bahwa pasien di ranjang itu hampir seperti ikon bagi pasien sesungguhnya yang ada dalam komputer. Saya sebenarnya membuat ungkapan bagi hal itu. Saya menyebutnya "iPatient." iPatient mendapat pelayanan menakjubkan di seluruh Amerika. Pasien yang sesungguhnya sering bertanya-tanya di mana semua orang? Kapan mereka akan datang dan menjelaskannya kepada saya? Siapa yang bertugas? Ada pemisahan antara gambaran dari pasien dengan gambaran kita sebagai dokter tentang layanan kesehatan terbaik.
I want to show you a picture of what rounds looked like when I was in training. The focus was around the patient. We went from bed to bed. The attending physician was in charge. Too often these days, rounds look very much like this, where the discussion is taking place in a room far away from the patient. The discussion is all about images on the computer, data. And the one critical piece missing is that of the patient.
Saya ingin menunjukkan gambar tentang bagaimana diskusi itu saat saya masih menjadi siswa. Fokusnya adalah di sekitar pasien. Kami pergi dari ranjang ke ranjang dengan dokter jaga sebagai penanggung jawabnya. Terlalu sering pada hari-hari ini diskusi itu terlihat seperti ini, saat diskusi itu berlangsung di ruangan yang jauh dari pasien. Diskusi itu adalah tentang semua gambar di komputer dan data. Dan ada satu potongan penting yang hilang yaitu pasiennya.
Now I've been influenced in this thinking by two anecdotes that I want to share with you. One had to do with a friend of mine who had a breast cancer, had a small breast cancer detected -- had her lumpectomy in the town in which I lived. This is when I was in Texas. And she then spent a lot of time researching to find the best cancer center in the world to get her subsequent care. And she found the place and decided to go there, went there. Which is why I was surprised a few months later to see her back in our own town, getting her subsequent care with her private oncologist.
Kini saya telah dipengaruhi akan pemikiran tentang dua anekdot yang ingin saya bagikan. Yang satu berhubungan dengan seorang teman yang menderita kanker payudara, ada kanker payudara kecil terdeteksi -- menjalani lumpektomi di kota kecil tempat saya tinggal. Ini saat saya berada di Texas. Lalu dia menghabiskan banyak waktu untuk mencari pusat perawatan kanker terbaik di dunia untuk mendapat perawatan lanjutan. dan dia menemukan tempat itu dan pergi ke sana. Itulah mengapa saya terkejut beberapa bulan kemudian karena dia kembali ke kota kami dan melakukan perawatan lanjutan dengan spesialis kankernya sendiri.
And I pressed her, and I asked her, "Why did you come back and get your care here?" And she was reluctant to tell me. She said, "The cancer center was wonderful. It had a beautiful facility, giant atrium, valet parking, a piano that played itself, a concierge that took you around from here to there. But," she said, "but they did not touch my breasts." Now you and I could argue that they probably did not need to touch her breasts. They had her scanned inside out. They understood her breast cancer at the molecular level; they had no need to touch her breasts.
Saya bertanya dan mendesaknya, "Mengapa kau kembali dan mendapat perawatan di sini?" Dan dia segan untuk menjawabnya. dia berkata, "Pusat perawatan kanker itu hebat. Fasilitasnya mengagumkan, atrium raksasa, petugas valet, piano yang bermain sendiri, pesuruh yang membawamu dari satu tempat ke tempat lain. Namun," katanya, "mereka tidak menyentuh payudara saya." Kini, mungkin kita dapat berpendapat bahwa mereka tidak perlu menyentuh payudaranya. Mereka sudah memindainya. Mereka memahami kanker payudaranya hingga tingkat moelkul, mereka tidak perlu menyentuh payudaranya.
But to her, it mattered deeply. It was enough for her to make the decision to get her subsequent care with her private oncologist who, every time she went, examined both breasts including the axillary tail, examined her axilla carefully, examined her cervical region, her inguinal region, did a thorough exam. And to her, that spoke of a kind of attentiveness that she needed. I was very influenced by that anecdote.
Namun baginya, itu sangat berarti. Hal itu cukup baginya untuk memutuskan untuk melanjutkan perawatannya dengan spesialis kankernya yang, setiap kali dia berkunjung memeriksa kedua payudaranya termasuk di dekat ketiak, memeriksa ketiaknya, bagian rahimnya, saluran kelaminnya, melakukan pemeriksaan menyeluruh. Dan baginya, hal itu menyuarakan perhatian yang dia perlukan. Saya sangat terpengaruh oleh anekdot itu.
I was also influenced by another experience that I had, again, when I was in Texas, before I moved to Stanford. I had a reputation as being interested in patients with chronic fatigue. This is not a reputation you would wish on your worst enemy. I say that because these are difficult patients. They have often been rejected by their families, have had bad experiences with medical care and they come to you fully prepared for you to join the long list of people who's about to disappoint them. And I learned very early on with my first patient that I could not do justice to this very complicated patient with all the records they were bringing in a new patient visit of 45 minutes. There was just no way. And if I tried, I'd disappoint them.
Saya juga terpengaruh oleh pengalaman lainnya, kembali saat saya di Texas, sebelum pindah ke Stanford. Saya terkenal sebagai dokter yang tertarik pada pasien dengan kelelahan kronis. Ini bukan reputasi yang Anda akan dapatkan dari musuh terbesar Anda. Saya mengatakannya karena ini adalah pasien yang berat. Mereka sering disisihkan oleh keluarga mereka memiliki pengalaman buruk dengan layanan kesehatan dan mereka datang penuh persiapan untuk menambah nama Anda pada daftar panjang orang yang akan mengecewakan mereka. Dan saya langsung belajar dari pasien pertama saya bahwa saya tidak dapat menghakimi pasien yang sangat rumit ini dengan semua data yang mereka bawa dan kunjungan pasien baru perlu waktu 45 menit. Tidak ada cara lain. Dan jika saya mencoba, saya akan mengecewakan mereka.
And so I hit on this method where I invited the patient to tell me the story for their entire first visit, and I tried not to interrupt them. We know the average American physician interrupts their patient in 14 seconds. And if I ever get to heaven, it will be because I held my piece for 45 minutes and did not interrupt my patient. I then scheduled the physical exam for two weeks hence, and when the patient came for the physical, I was able to do a thorough physical, because I had nothing else to do. I like to think that I do a thorough physical exam, but because the whole visit was now about the physical, I could do an extraordinarily thorough exam.
Jadi saya menggunakan metode ini, saya mengajak pasien untuk memberi tahu kisah hidup mereka, dan saya mencoba tidak menyelanya. Kita tahu rata-rata dokter di Amerika menyela pasien dalam 14 detik. Dan jika saya masuk ke surga, itu adalah berkat saya menyimpan omongan saya selama 45 menit dan tidak menyela pasien saya. Lalu saya menjadwalkan pemeriksaan fisik 2 minggu sesudahnya, dan saat pasien itu datang saya dapat melakukan pemeriksaan menyeluruh karena tidak ada lagi yang perlu saya lakukan. Saya senang berpikir saya melakukan pemeriksaan menyeluruh karena kini kunjungan hanyalah tentang fisik, Saya dapat melakukan pemeriksaan dengan baik.
And I remember my very first patient in that series continued to tell me more history during what was meant to be the physical exam visit. And I began my ritual. I always begin with the pulse, then I examine the hands, then I look at the nail beds, then I slide my hand up to the epitrochlear node, and I was into my ritual. And when my ritual began, this very voluble patient began to quiet down. And I remember having a very eerie sense that the patient and I had slipped back into a primitive ritual in which I had a role and the patient had a role. And when I was done, the patient said to me with some awe, "I have never been examined like this before." Now if that were true, it's a true condemnation of our health care system, because they had been seen in other places.
Dan saya ingat pasien pertama saya yang terus menceritakan kisah yang lain dalam apa yang seharusnya adalah kunjungan untuk pemeriksaan fisik. Lalu saya memulai ritual saya. Saya selalu mulai dengan detak jantung, lalu saya memeriksa tangannya, jari-jari kukunya, lalu saya naik ke titik epitroclearnya, dan saya memulai ritual saya. Saat ritual saya dimulai pasien yang cerewet itu mulai diam. Dan saya ingat akan perasaan takut karena saya dan pasien telah kembali kepada ritual primitif di mana saya memiliki peranan dan pasien juga memiliki peranan. Dan saat saya selesai, pasien itu berkata dengan kekaguman, "Saya tidak pernah diperiksa seperti ini sebelumnya." Lalu jika itu benar itu sungguh merupakan kutukan bagi sistem layanan kesehatan kita karena hal itu telah dilihat di tempat-tempat lain.
I then proceeded to tell the patient, once the patient was dressed, the standard things that the person must have heard in other institutions, which is, "This is not in your head. This is real. The good news, it's not cancer, it's not tuberculosis, it's not coccidioidomycosis or some obscure fungal infection. The bad news is we don't know exactly what's causing this, but here's what you should do, here's what we should do." And I would lay out all the standard treatment options that the patient had heard elsewhere.
Lalu saya mengatakan kepada pasien itu, setelah dia selesai berpakaian hal-hal standar yang harus didengar oleh pasien itu di lembaga lainnya, yaitu, "Ini bukan hanya ada di dalam kepalamu. Ini sungguhan. Kabar baiknya, itu bukan kanker, bukan TBC, bukan coccidioidomycosis atau jenis infeksi jamur lainnya. Kabar buruknya adalah kami tidak benar-benar tahu apa penyebabnya, tapi kau sebaiknya begini, inilah yang sebaiknya kau lakukan." Dan saya akan memberikan beberapa pilihan perawatan standar yang telah didengar pasien itu di tempat lain.
And I always felt that if my patient gave up the quest for the magic doctor, the magic treatment and began with me on a course towards wellness, it was because I had earned the right to tell them these things by virtue of the examination. Something of importance had transpired in the exchange. I took this to my colleagues at Stanford in anthropology and told them the same story. And they immediately said to me, "Well you are describing a classic ritual." And they helped me understand that rituals are all about transformation.
Dan saya selalu merasa bahwa jika pasien saya menyerahkan petualangan akan dokter atau perawatan ajaib yang dimulai dengan saya dalam perjalanan menuju kesembuhan. itu karena saya memiliki hak untuk mengatakan hal-hal ini berkat pemeriksaan. Ada hal penting yang berlangsung dalam perubahan ini. Saya menceritakannya kepada rekan-rekan saya di Stanford di sekolah antropologi dengan cerita yang sama. Dan mereka langsung mengatakan, "Kau menggambarkan ritual klasik." Dan mereka membantu saya memahami bahwa ritual itu adalah tentang pengubahan.
We marry, for example, with great pomp and ceremony and expense to signal our departure from a life of solitude and misery and loneliness to one of eternal bliss. I'm not sure why you're laughing. That was the original intent, was it not? We signal transitions of power with rituals. We signal the passage of a life with rituals. Rituals are terribly important. They're all about transformation. Well I would submit to you that the ritual of one individual coming to another and telling them things that they would not tell their preacher or rabbi, and then, incredibly on top of that, disrobing and allowing touch -- I would submit to you that that is a ritual of exceeding importance. And if you shortchange that ritual by not undressing the patient, by listening with your stethoscope on top of the nightgown, by not doing a complete exam, you have bypassed on the opportunity to seal the patient-physician relationship.
Sebagai contoh, kita menikah, dengan berbagai kemegahan, upacara, dan biaya untuk mengisyaratkan kepergian kita dari hidup yang sunyi, sedih, dan kesepian menuju ke kebahagiaan abadi. Saya tidak yakin mengapa Anda tertawa. Namun itu maksud aslinya bukan? Kita mengisyaratkan pergantian kekuatan dengan ritual. Kita mengisyaratkan jalan kehidupan dengan ritual. Ritual itu sangat penting. Semuanya tentang perubahan. Begini, saya ingin mengajukan bahwa ritual dari satu orang yang datang kepada orang lain dan menceritakan hal-hal yang tidak akan mereka ceritakan kepada guru agama atau rabi mereka, kemudian, diatas semua itu, menanggalkan pakaian dan mengijinkan sentuhan -- itu adalah ritual yang sangat penting. Dan jika Anda melewatkan ritual itu dengan tidak membuka baju pasien dengan mendengarkan stetoskop Anda di atas gaun malam dengan tidak melakukan pemeriksaan menyeluruh Anda telah melewatkan kesempatan untuk mengunci hubungan dokter dengan pasien.
I am a writer, and I want to close by reading you a short passage that I wrote that has to do very much with this scene. I'm an infectious disease physician, and in the early days of HIV, before we had our medications, I presided over so many scenes like this. I remember, every time I went to a patient's deathbed, whether in the hospital or at home, I remember my sense of failure -- the feeling of I don't know what I have to say; I don't know what I can say; I don't know what I'm supposed to do. And out of that sense of failure, I remember, I would always examine the patient. I would pull down the eyelids. I would look at the tongue. I would percuss the chest. I would listen to the heart. I would feel the abdomen. I remember so many patients, their names still vivid on my tongue, their faces still so clear. I remember so many huge, hollowed out, haunted eyes staring up at me as I performed this ritual. And then the next day, I would come, and I would do it again.
Saya seorang penulis, dan saya ingin menutup dengan membacakan bagian singkat yang saya tulis yang berhubungan erat dengan gambaran ini. saya adalah dokter penyakit menular, dan pada masa awal HIV, sebelum kami memiliki obat, Saya mengawasi begitu banyak hal seperti ini. Saya ingat, setiap kali saya pergi ke ranjang pasien yang akan meninggal, baik di rumah sakit maupun di rumah, saya merasakan kegagalan -- perasaan saya tidak tahu harus berkata apa; saya tidak tahu apa yang dapat saya katakan; saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Dan dari perasaan kegagalan itu saya ingat, saya akan selalu memeriksa pasien. Saya akan membuka kelopak matanya. Saya akan melihat lidahnya. Saya akan mengetuk dadanya, mendengarkan jantungnya. Saya akan merasakan perutnya. Saya ingat ada banyak pasien yang namanya masih teringat jelas wajahnya masih jelas Saya ingat begitu banyak mata besar yang membelalak yang melihat saya saat saya melakukan ritual ini. Dan kemudian esok harinya saya akan datang dan melakukannya lagi.
And I wanted to read you this one closing passage about one patient. "I recall one patient who was at that point no more than a skeleton encased in shrinking skin, unable to speak, his mouth crusted with candida that was resistant to the usual medications. When he saw me on what turned out to be his last hours on this earth, his hands moved as if in slow motion. And as I wondered what he was up to, his stick fingers made their way up to his pajama shirt, fumbling with his buttons. I realized that he was wanting to expose his wicker-basket chest to me. It was an offering, an invitation. I did not decline.
Dan saya ingin membacakan satu bagian penutup tentang seorang pasien. "Saya ingat satu pasien yang pada saat itu tidak lebih dari tengkorak yang terbungkus kulit yang mengkerut, tidak mampu berbicara, mulutnya dipenuhi candida yang sudah kebal dengan obat-obatan biasa. Saat dia melihat saya yang ternyata adalah 1 jam terakhirnya di Bumi, tangannya bergerak perlahan. Saat saya penasaran tentang apa yang ingin dia lakukan, jarinya menuju kepada baju piyamanya meraba-raba kancingnya. Saya sadar dia ingin menunjukkan dadanya yang sudah seperti keranjang rotan itu. Itu adalah tawaran, undangan. Saya tidak menolak.
I percussed. I palpated. I listened to the chest. I think he surely must have known by then that it was vital for me just as it was necessary for him. Neither of us could skip this ritual, which had nothing to do with detecting rales in the lung, or finding the gallop rhythm of heart failure. No, this ritual was about the one message that physicians have needed to convey to their patients. Although, God knows, of late, in our hubris, we seem to have drifted away. We seem to have forgotten -- as though, with the explosion of knowledge, the whole human genome mapped out at our feet, we are lulled into inattention, forgetting that the ritual is cathartic to the physician, necessary for the patient -- forgetting that the ritual has meaning and a singular message to convey to the patient.
Saya mengetuk, meraba, mendengarkan dadanya. Saya pikir saat itu dia sudah pasti tahu bahwa itu penting bagi saya sama pentingnya baginya. Tidak ada dari kita yang dapat melewatkan ritual itu yang tidak ada hubungannya dengan suara tidak normal di paru-paru atau menemukan ritme kencang dari kegagalan jantung. Bukan. Ritual ini adalah tentang satu hal yang harus dibawakan para dokter kepada pasiennya. Walaupun, Tuhan tahu, dalam keangkuhan kita, kita tampak telah bergerak. Kita tampak telah melupakan -- seperti, dengan ledakan pengetahuan keseluruhan genom manusia dapat dipetakan, kita terbuai pada kekurangperhatian, melupakan bahwa ritual ini adalah obat pencahar bagi dokter dan diperlukan oleh pasien -- melupakan bahwa ritual ini memiliki makna dan pesan untuk disampaikan kepada pasien.
And the message, which I didn't fully understand then, even as I delivered it, and which I understand better now is this: I will always, always, always be there. I will see you through this. I will never abandon you. I will be with you through the end."
Dan pesannya, yang saat itu saya tidak begitu paham walaupun saya menyampaikannya dan yang saya pahami lebih baik sekarang adalah: Saya akan selalu ada di sana. Saya akan menemanimu melalui hal ini. Saya tidak akan pernah meninggalkanmu. Saya akan bersamamu hingga akhir."
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)