[SHAPE YOUR FUTURE]
[TENTUKAN MASA DEPAN ANDA]
(Slam) Ow!
(Suara banting) Aw!
As anyone who’s stubbed a toe in the dark or spent an hour searching for their keys knows we're often limited by what we can or cannot see. In fact, even our own bodies can be black boxes.
Seperti siapa pun yang tersandung di kegelapan atau menghabiskan waktu mencari kunci, mengetahui kita sering terbatas pada apa yang bisa kita lihat maupun tidak. Padahal, tubuh kita bisa menjadi kotak hitam.
Today, I want to take you through a vision of health care that scientists and engineers, myself included, are building. We are creating a diagnostic lab inside your body that can provide a continuous analysis of your health so that we can better see what's happening in patients.
Hari ini, saya mengajak Anda melalui perawatan kesehatan yang para peneliti dan insinyur, termasuk saya, bangun. Kami menciptakan sebuah lab diagnosis di dalam tubuh Anda yang menyediakan analisis kesehatan lanjutan sehingga kami bisa amati apa yang terjadi pada pasien.
Currently, if someone is sick, we may diagnose them by using a biopsy to bring disease tissue outside the body where we can see it. We do this if we suspect, for instance, that a growth might be cancerous. Unfortunately, this approach can't work all the time because of two major problems. First, some tissues, like brains or spinal cords, can't be routinely biopsied. And second, doctors often don't know which tissue is causing the problem, so they don't know what to biopsy. So far, we've dealt with these issues using external medical tests, like MRIs or blood tests. These provide a broad overview of the health of a patient, but they can't see the molecular and cellular changes that occur within tissues, and they certainly can't provide enough information to proactively treat patients before symptoms develop. This is unfortunate because it's these invisible changes that ultimately cause disease. Our inability to measure these changes results in a disparity between what we can see on a test and what we know is happening in patients.
Saat ini, jika seseorang sakit, kami mendiagnosis menggunakan biopsi untuk mengeluarkan jaringan penyakit yang terlihat. Itu dilakukan jika mencurigai, misal, pertumbuhan yang bisa jadi kanker. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak berfungsi selamanya karena dua masalah besar. Pertama, beberapa jaringan seperti otak atau sumsum tulang belakang, tidak bisa selalu dibiopsi. Dan kedua, para dokter sering tidak tahu jaringan mana yang bermasalah, jadi tidak tahu apa yang dibiopsi. Sejauh ini, kami telah menghadapi masalah- masalah ini dengan uji medis eksternal, seperti MRI atau tes darah. Ia menyediakan gambaran luas dari kesehatan pasien, namun tidak dapat melihat molekuler dan seluler berganti yang terjadi dalam jaringan, dan ia sudah pasti tidak menyediakan cukup informasi untuk merawat pasien secara proaktif sebelum gejalanya berkembang. Ini kekurangannya karena perubahan tidak terlihatnya akan menyebabkan penyakit di akhir. Ketidakmampuan kami mengukur perubahan menghasilkan perbedaan antara apa yang kami lihat pada tes dan apa yang terjadi pada pasien.
Let's take multiple sclerosis as an example. In MS, which is an autoimmune disease, the immune system attacks two specific tissues: the brain and the spinal cord, resulting in damage and in some cases, paralysis. Now, we obviously can't catch MS by routinely biopsying people's brains, where there would be abundant and active disease-inducing cells. And we can't catch it using a blood test because the MS-inducing cells are so rare and inactive in the blood that we simply can't see them. Even brain imaging technologies like MRI can't provide the information we need to be proactive about MS.
Sebagai contoh, sklerosis multipel. Pada sklerosis multipel, penyakit autoimun, sistem imun menyerang dua jaringan khusus: otak dan sumsum tulang belakang, menghasilkan kerusakan dan pada beberapa kasus, paralisis. Sekarang, kami tidak dapat mendeteksi sklerosis multipel melalui biopsi otak, dimana akan terdapat sel penyebab penyakit yang banyak dan aktif. Kami tidak dapat menemukan dengan tes darah karena sel penyebab sklerosis multipel sangat jarang dan tidak aktif dalam darah yang mana tidak dapat kami lihat. Bahkan teknologi pencitraan otak seperti MRI tidak memberi informasi yang dicari mengenai sklerosis multipel.
So we need to rethink how we see. My coworkers at the University of Michigan and I decided to do just that. Instead of taking an outside-in approach to diagnostics, we're taking an inside-out approach. We are creating implantable sites that have similarities to other sites in the body, and will improve our vision by giving us real-time access to molecular and cellular information about diseased tissues. These insights will enable us to predict the onset of disease and even identify therapies likely to work in an individual patient.
Jadi kami harus memikirkan bagaimana kita melihat. Saya dan rekan kerja saya di Universitas Michigan memutuskan untuk melakukannya. Alih-alih pemeriksaan ‘memasukkan’ sesuatu untuk mendiagnosis, kami justru pemeriksaan ‘mengeluarkan’. Kami menciptakan bagian yang bisa diimplan yang memiliki kesamaan dengan bagian pada tubuh, dan akan mengembangkan pandangan kami dengan memberi akses waktu nyata untuk informasi molekuler dan seluler mengenai jaringan yang berpenyakit. Pengetahuan ini memudahkan kami mendeteksi awal mula penyakit dan bahkan mengidentifikasi terapi untuk tiap pasien.
So what does this inside-out approach look like? Step one is to engineer new tissues just under the skin. These tissues have similarities to other inaccessible sites in the body, like the brain or the lungs. By implanting a porous plastic disk made of FDA-approved biomaterials, I can harness the body's natural responses to allow cells to migrate into the disk, survive at the site and form a tissue. Eventually, we're left with an engineered tissue with integrated immune cells, just the cells we need for diagnosis. Although these tissues are complex and chronically inflamed, they're also innocuous and after a few weeks, nearly imperceptible. Our engineered tissues contain information not present in the blood, and they can help bridge the gap between what we can see on a traditional test and cellular changes we know occur in disease.
Jadi seperti apa pemeriksaan ‘mengeluarkan’ ini? Langkah pertama, merekayasa jaringan baru di bawah kulit. Jaringan ini memiliki kesamaan dengan bagian tidak dapat diakses dalam tubuh, seperti otak atau paru-paru. Dengan mengimplan piringan plastik berpori yang terbuat dari biomateri disetujui FDA, Saya memanfaatkan respons alami tubuh untuk membiarkan sel berpidah ke piringan, bertahan dalam bagiannya dan membentuk jaringan. Nantinya, bersisa jaringan rekayasa dengan sel imun yang digabungkan, hanya sel yang kami butuhkan untuk diagnosis. Meskipun jaringan ini rumit dan meradang secara kronis, ia juga tidak membahayakan dan setelah beberapa minggu, hampir tidak terasa. Jaringan rekayasa kami mengandung informasi yang tidak ada dalam darah, dan membantu menjembatani celah antara yang bisa dilihat pada tes sederhana dan perubahan seluler yang terjadi dalam penyakit.
Step two is to read this signal. Currently, I could take a biopsy of my engineered site and analyze it because I made them accessible just under the skin. But it would certainly be better if we could incorporate and read a sensor noninvasively. Within the next decade, rapidly converging technologies could enable diagnosis at such an implant by harnessing simple detectors, like a blood pressure cuff or smartwatch does now. The mechanisms for diagnosing and monitoring disease could be as simple as opening an app, like Candy Crush on your phone.
Langkah kedua, membaca sinyal. Saat ini, saya bisa membiopsi bagian rekayasanya dan menganalisis karena saya membuatnya bisa diakses di bawah kulit. Namun itu akan lebih baik jika kami bisa menggabungkan dan membaca sensor tanpa memasukkan alat. Dalam dekade selanjutnya, teknologi konvergen secara cepat bisa memudahkan diagnosis seperti implan dengan menggunakan detektor sederhana, seperti alat ukur tekanan darah atau jam tangan pintar. Mekanisme untuk mendiagnosis dan memantau penyakit bisa semudah membuka aplikasi seperti Candy Crush pada ponsel Anda.
Step three is to harness the huge array of knowledge in fields like engineering and material science to improve these implants and our ability to read their data. Eventually, tens, if not hundreds of individual engineered tissues with integrated sensors may be implantable with a single application.
Langkah ketiga adalah memanfaatkan sejumlah besar pengetahuan pada bidang seperti teknik dan ilmu materi untuk mengembangkan implan dan kemampuan kami membaca data. Nantinya, puluhan, bahkan ratusan jaringan rekayasa seseorang dengan sensor terintegrasi bisa diimplan dengan satu aplikasi.
Now, this approach to diagnosis is unconventional, to be sure, but it is robust. So far, my colleagues and I have used it to diagnose models of metastatic cancer, type 1 diabetes, multiple sclerosis and organ transplant rejection. But this is just the beginning of what we can see. With continuous improvements, we will be able to truly create a diagnostic lab inside your body that provides a continuous analysis of your health. By changing how we see what's going wrong in patients, we will be able to diagnose and treat diseases better and faster than ever before. If you're willing to rethink how you see, you may be surprised what comes into view.
Sekarang, pemeriksaan untuk diagnosis ini tidak nyaman, sejujurnya, tetapi bagus. Sejauh ini, saya dan kolega saya menggunakannya untuk mendiagnosis tipe kanker metastatis, tipe 1 diabetes, sklerosis multipel, dan penolakan transplantasi organ. Namun ini baru permulaan dari apa yang kami lihat. Dengan perkembangan berkelanjutan, kami akan benar-benar menciptakan lab diagnosis dalam tubuh Anda yang menyediakan analisis lanjutan kesehatan Anda. Dengan mengubah bagaimana kami memeriksa pasien, kami akan mampu mendiagnosis dan merawat dengan lebih baik dan lebih cepat dari sebelumnya. Jika Anda ingin memikirkan bagaimana Anda memeriksa, Anda akan terkejut pada pemandangannya.
Thank you.
Terima kasih.